Hidup Bersama denga Pasangan yang Tidak Shalat

Istri saya tidak menunaikan shalat, puasa, dan kewajiban-kewajiban agama yang lain, demikian pula kewajibannya sebagai istri. Namun saya terus-menerus memberikan pengajaran kepadanya, hanya saja ia tetap tidak mengerjakan shalat lima waktu seluruhnya, bahkan sering meninggalkannya. Ia mengolok-olok saya ketika saya mengajarinya atau menyuruhnya shalat. Lalu apa hukumnya terus hidup bersamanya, sementara sulit untuk menikah dengan wanita lainnya yang shalihah, disebabkan mahar yang mahal dan sungguh ini menjadi penghalang besar dalam pernikahan?
Jawab:
Fadhilatusy Syaikh Shalih ibnu Fauzan Al-Fauzan hafizhahullah menjawab, “Tidak boleh terus hidup bersama dengan wanita yang demikian sifatnya, ia mengolok-olok shalat, menertawakan orang yang menyuruhnya shalat, dan ia (sendiri) meninggalkan shalat. Wanita seperti itu kafir yang berarti tidak boleh hidup bersamanya, berdasarkan firman Allah l:
“Dan janganlah kalian tetap berpegang pada tali (perkawinan) dengan wanita-wanita kafir.” (Al-Mumtahanah: 10)
“Dan janganlah kalian menikahi wanita-wanita musyrik sampai mereka mau beriman. Sesungguhnya budak wanita yang beriman lebih baik daripada wanita musyrik walaupun dia menarik hatimu.” (Al-Baqarah: 221)
Wanita tersebut kafir selama ia tidak mengerjakan shalat, bahkan mengejek shalat berikut orang yang menyuruhnya shalat. Karenanya, tidak boleh engkau hidup bersamanya.
Adapun ucapanmu, sulit untuk menikah lagi, maka Allah l akan memudahkan hal-hal yang baik. Barangsiapa yang meninggalkan sesuatu karena Allah, niscaya Allah k akan menggantikan yang lebih baik untuknya.
Kesimpulannya, tidak boleh seorang suami terus hidup bersama dengan istri yang demikian keadaannya, selama ia tidak mau bertaubat kepada Allah l dan menjaga shalat. Wanita seperti itu tidak boleh menjadi istri seorang muslim dan tidak boleh seorang muslim terus menahannya dalam ikatan pernikahan.” (Majmu’ Fatawa Fadhilatusy Syaikh Shalih Al Fauzan, 1/337)
Seorang wanita muslimah menikah dengan seorang lelaki yang sebelumnya tidak dikenalnya. Lelaki itu bekerja di Jerman. Ia meminta kepada ayah si wanita agar memperkenankan dirinya menikahi si wanita. Si wanita itu pun menyetujui pinangan tersebut. Usai pernikahan, si wanita ikut ke Jerman bersama lelaki yang kini telah menjadi suaminya. Setelah hidup berdampingan dengan suaminya, tersingkaplah bagi si istri bahwa suaminya ini tidak mengerjakan shalat dan tidak puasa. Bahkan pernah suaminya memaksanya agar memasakkan makanan untuknya di siang hari Ramadhan. Selain itu si suami terbiasa mengerjakan perbuatan mungkar lainnya. Si istri telah berupaya untuk memperbaiki keadaan suaminya akan tetapi tidak ada pengaruhnya. Itu semua mendorong si istri menuntut cerai dari suaminya dan pada akhirnya terjadilah perceraian. Apakah si wanita itu memang pantas menuntut cerai dari suami yang berperilaku demikian?
Kemudian, setelah perceraian si wanita pergi ke Belgia bersama beberapa tetangganya dahulu. Ia bekerja di Belgia untuk menghidupi dirinya dan ayahnya yang fakir. Ia tinggal sendirian bersama satu keluarga di sana. Ia cuma tinggal serumah dengan mereka. Adapun makan dan tidurnya sendirian, tidak bergabung dengan mereka. Keluarga tersebut memberikan kebebasan kepadanya untuk mengamalkan perintah agama berupa shalat, puasa, dan selainnya. Apakah tinggalnya si wanita seorang diri di negeri asing bersama satu keluarga di sana teranggap menyelisihi agama?
Jawab:
Fadhilatusy Syaikh Shalih ibnu Fauzan Al-Fauzan hafizhahullah menjawab, “Pertama kali, kami bersyukur wahai penanya, dengan berpegangnya engkau terhadap agama ini serta semangatmu untuk melaksanakan syiar-syiar agama ini.
Adapun pertanyaanmu tentang perceraianmu dengan suami ketika engkau melihat ia tidak berpegang dengan agama, ia tidak mengerjakan shalat dan tidak puasa, maka itu memanwg wajib engkau lakukan. Engkau tidak boleh terus hidup bersama suami tersebut bila ia tetap demikian keadaannya. Karena, orang yang meninggalkan shalat secara sengaja, ia kafir1, tidak boleh seorang muslimah tetap dalam ikatan pernikahan dengannya. Engkau telah berbuat kebaikan dengan berpisah dari suami yang jelek tersebut dan engkau meninggalkannya karena ingin menyelamatkan agamamu.
Pertanyaanmu tentang kepergianmu ke Belgia seorang diri dan tinggalmu di sana bersama keluarga yang bukan mahrammu, maka ini tidak boleh.
Pertama: Safar seorang wanita tanpa mahram adalah tidak boleh.
Kedua: Si wanita tinggal bersama keluarga yang bukan mahramnya dan bersama orang-orang yang bukan mahramnya, ini haram bagi seorang muslimah.
Yang aku nasihatkan kepadamu, kembalilah ke negeri asalmu, atau ayahmu pergi menyertaimu bila memang engkau ingin safar ke Belgia atau ke negeri lain. Adapun bila engkau safar sendirian, tinggal sendirian atau bersama satu keluarga yang bukan mahrammu, maka ini perkara yang tidak diakui oleh Islam. Allah k tidak ridha karena wanita itu aurat, dan ia tidak boleh safar tanpa mahram, atau tinggal bersama satu keluarga yang di situ ada laki-laki yang bukan mahramnya, karena hal itu akan menyeret dirinya kepada fitnah, dan orang lain pun akan terfitnah dengannya. Wallahu a’lam. (Majmu’ Fatawa Fadhilatusy Syaikh Shalih Al-Fauzan, 1/337-338)

1 Ulama sepakat tentang kafirnya orang yang menentang kewajiban shalat. Namun, dalam hal hukum orang yang meninggalkan shalat dengan sengaja, karena malas atau menggampang-gampangkannya, tanpa bermaksud menentang kewajibannya, maka ada perbedaan pendapat di kalangan mereka antara yang mengafirkan dan tidak mengafirkan.