Hukum Asuransi

HUKUM ASURANSI

  1. Bagaimanakah hukum asuransi dalam agama Islam? (‘Utsman, Kebumen)
  2. Apa hukumnya bila kita bekerja di perusahaan asuransi atau menggunakan jasa asuransi?

(Nama dan alamat email pada redaksi)

 

Dijawab oleh al-Ustadz Abu Abdillah Muhammad al-Makassari

Alhamdulillah, wa bihi nasta’in.

Permasalahan at-ta’min (asuransi) telah ditanyakan kepada asy-Syaikh al-Albani rahimahullah, baik itu asuransi jiwa, asuransi mobil, asuransi pertokoan, atau yang lainnya.

Maka beliau menjawab, “Asuransi yang dikenal pada masa ini, baik itu asuransi barang, asuransi mobil, asuransi pertokoan atau asuransi jiwa, saya berkeyakinan dengan keyakinan yang mantap bahwa perkara ini masuk dalam kategori perjudian yang terlarang dalam al-Qur’an dan as-Sunnah…. Jadi asuransi (model sekarang ini) merupakan salah satu bentuk perjudian.

Adapun asuransi yang sesuai dengan syariat atau (dengan kata lain) asuransi yang Islami, sampai saat ini saya belum menemukan ada asuransi dengan pengertian yang dikenal pada masa ini yang dibenarkan oleh Islam, kecuali jika ditemukan di sana pertukaran faedah (manfaat) antara pihak pengansuransi (pemegang polis/nasabah) dan pihak penjamin asuransi (perusahaan).[1]

Misalnya: Seseorang yang mengasuransikan perumahannya atau pertokoannya dengan cara membebankan tanggung jawab kepada orang lain untuk menjaga keamanan perumahannya. Kemudian sebagai imbalannya dia membayar upah yang disepakati bersama, maka asuransi model ini boleh, karena masuk dalam kategori al-Isti’jar.[2]

Adapun asuransi yang berjalan di atas sistem untung-untungan (adu nasib) maka itu adalah judi.

Adapun ta’min madhyur (nama suatu sistem asuransi) yang diwajibkan oleh pemerintahan untuk perbaikan (renovasi) ini dan itu misalnya, maka masuk dalam kategori pajak.[3]

Adapun asuransi atas pilihan sendiri yang dia usahakan untuk meraihnya maka tidak boleh (haram) dalam Islam, karena masuk dalam kategori judi.” (Fatawa asy-Syaikh al-Albani, hlm. 363)

Pada kesempatan lain asy-Syaikh al-Albani juga ditanya tentang asuransi yang diwajibkan oleh pemerintah, bagaimana hukumnya?

Maka beliau menjawab, “Kami mengatakan bahwa asuransi yang dibayar oleh pemilik mobil karena paksaan pemerintah, masuk dalam kategori pajak (yang dipungut oleh pemerintah secara paksa) yang pada dasarnya tidak disyariatkan. Akan tetapi karena hal tersebut diwajibkan secara paksa kepada mereka (untuk membayarnya) maka mereka lepas dari tanggung jawab di hadapan Allah subhanahu wa ta’ala dan tidak akan mendapatkan hukuman karenanya.

Lain halnya dengan asuransi yang merupakan pilihan sendiri (tanpa paksaan) sebagaimana kebanyakan asuransi yang ada, berupa asuransi perumahan, pertokoan, barang (dan yang lainnya) maka seluruhnya adalah judi, haram untuk dilakukan.

Adapun asuransi yang diwajibkan (dipaksakan oleh pemerintah) terhadap seseorang, maka (seperti kata pepatah),

مُكْرَهٌ أَخَاكَ لَا بَطَلٌ

“Saudaramu ini terpaksa melakukannya, bukannya dia pemberani (menerjang perkara yang haram).”

Kemudian sang penanya bertanya lagi: “Akan tetapi apakah dibenarkan baginya untuk melakukan muamalah dengan pihak syarikah (perusahaan asuransi terkait) atas dasar bahwa mobilnya terasuransikan di situ?” Asy-Syaikh berkata, “Tidak boleh.”[4] (al-Hawi min Fatawa asy-Syaikh al-Albani hlm. 415)

Demikian pula fatwa para ulama[5] yang tergabung dalam Hai’ah Kibaril Ulama pada pertemuan mereka yang berlangsung tanggal 10 Sya’ban 1398 H dan Majma’ al-Fiqh al-Islami pada pertemuan mereka yang berlangsung 4 Rabi’ul Akhir 1397 H menetapkan haramnya seluruh jenis asuransi yang berjalan dengan sistem perdagangan, baik itu asuransi jiwa, barang, atau yang lainnya dengan beberapa dalil, di antaranya:

  1. Akad asuransi dengan sistem perdagangan termasuk kategori pertukaran harta yang tidak jelas serta mengandung tipuan yang keji.

Sebab, saat berlangsungnya akad tersebut, pihak nasabah tidak mengetahui berapa nilai uang yang bakal disetor atau bakal diperolehnya. Mungkin saja baru membayar 1 atau 2 kali setoran, kemudian dia tertimpa musibah yang mengharuskan pihak perusahaan asuransi untuk membayar tanggungan yang berhak diperolehnya (yang lebih besar dari yang telah dibayar). Boleh jadi musibah itu tidak terjadi sama sekali sehingga dia membayar seluruh setoran dan tidak memperoleh sepeser pun (uangnya hilang begitu saja).

Demikian pula halnya dengan pihak perusahaan asuransi, dia juga tidak bisa memperkirakan berapa besar nilai uang yang bakal ditanggungnya atau diperolehnya pada setiap akad yang berlangsung.

Sementara itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah melarang dalam hadits yang sahih dari jual beli yang mengandung ketidakjelasan.[6]

  1. Akad asuransi dengan sistem perdagangan merupakan salah satu model perjudian, karena bentuknya berupa pertukaran harta yang mengandung resiko untung-untungan (adu nasib) yang berakhir dengan kerugian yang dia derita tanpa sebab/kesalahan yang menuntut demikian, atau berakhir dengan keuntungan yang diraih tanpa imbalan sedikit pun atau dengan imbalan yang tidak sebanding.

 Sebab, pihak nasabah mungkin saja baru membayar satu kali setoran kemudian terjadi musibah yang menimpanya, sehingga pihak perusahaan asuransi menderita kerugian dengan menanggung seluruh beban asuransinya. Boleh jadi tidak terjadi musibah apa pun, sehingga pihak perusahaan asuransi beruntung dengan mendapatkan seluruh setoran asuransi tanpa imbalan sepeserpun (yang diberikan kepada pihak nasabah).

Jika demikian perkaranya, maka jelaslah bahwa ini merupakan judi yang terlarang, masuk dalam keumuman firman Allah ‘azza wa jalla,

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ إِنَّمَا ٱلۡخَمۡرُ وَٱلۡمَيۡسِرُ وَٱلۡأَنصَابُ وَٱلۡأَزۡلَٰمُ رِجۡسٞ مِّنۡ عَمَلِ ٱلشَّيۡطَٰنِ فَٱجۡتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمۡ تُفۡلِحُونَ ٩٠

“Wahai orang-orang yang beriman sesungguhnya (minum) khamr, berjudi, (beribadah kepada berhala-berhala, dan (mengundi nasib dengan) azlam[7] adalah perbuatan kotor merupakan amalan setan, maka jauhilah agar kalian meraih keberuntungan (keselamatan).” (al-Maidah:90)

  1. Pada akad asuransi dengan sistem perdagangan, seseorang akan mengambil harta orang lain tanpa imbalan (sama sekali atau yang sebanding).

Sementara itu, yang seperti ini hukumnya haram dalam akad pertukaran harta benda yang sifatnya perdagangan, karena masuk dalam keumuman larangan pada firman Allah subhanahu wa ta’ala,

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ لَا تَأۡكُلُوٓاْ أَمۡوَٰلَكُم بَيۡنَكُم بِٱلۡبَٰطِلِ إِلَّآ أَن تَكُونَ تِجَٰرَةً عَن تَرَاضٖ مِّنكُمۡۚ

“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah sebagian kalian memakan harta sebagian yang lain dengan cara-cara yang batil, melainkan (hendaklah) dengan cara jual beli (perdagangan) yang kalian ridhai bersama.” (an-Nisa’: 29)

  1. Dalam akad asuransi terdapat ilzam (pengharusan) yang tidak diharuskan oleh syariat, karena pihak perusahaan asuransi tidak mendatangkan musibah atau menyebabkan musibah tersebut, yang ada hanyalah akad bersama pihak nasabah untuk menanggung beban musibah yang menimpanya—kalau ditakdirkan terjadi—sebagai balasan uang yang disetorkannya (yang tidak sebanding).

Padahal pihak perusahaan asuransi tidak terkait sama sekali dengan musibah tersebut, maka perkara ini haram.

Ini di antara dalil yang disebutkan oleh Majma’ al-Fiqhi al-Islami yang dimuat dalam kitab Fiqh wa Fatawal Buyu’ hlm. 227 dan seterusnya.

Dengan demikian, haram hukumnya bekerja di perusahaan asuransi. Sebab, hal itu berarti ta’awun (tolong-menolong) dalam kemungkaran sedangkan Allah subhanahu wa ta’ala telah berfirman,

وَلَا تَعَاوَنُواْ عَلَى ٱلۡإِثۡمِ وَٱلۡعُدۡوَٰنِۚ

“Dan janganlah kalian tolong-menolong dalam perbuatan dosa dan permusuhan.”

Besar kemungkinan bahwa upah yang dia dapatkan sebagiannya berasal dari uang hasil asuransi itu, yang pada hakikatnya adalah hasil judi.

Semoga Allah subhanahu wa ta’ala memberikan taufik kepada pemerintah dan kaum muslimin untuk menghentikan kegiatan asuransi yang haram ini dan menempuh jalan lain yang diridhai dan diberkahi oleh Allah subhanahu wa ta’ala.

Washallallahu ‘ala Muhammad wa ‘ala alihi wasallam.


[1] Yaitu dengan pengertian asuransi yang dimaksudkan oleh asy-Syaikh al-Albani sebagaimana dicontohkan setelahnya.

[2] Yaitu menyewa tenaga seseorang untuk dipekerjakan dengan upah tertentu.

[3] Artinya seorang warga negara dipaksa dan tidak memiliki pilihan lain kecuali membayarnya, maka dia lepas dari tanggung jawab di hadapan Allah, dia terzalimi dan tidak dianggap berbuat haram.

[4] Artinya tidak boleh baginya untuk memanfaatkan (mengambil) uang asuransi dari perusahaan tersebut.

[5] Seperti asy-Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baz rahimahullah

[6] Hadits Abu Hurairah dalam Shahih Muslim no. 1513

نَهَى رَسُولُ اللهِ عَنْ بَيْعِ الْغَرَرِ

[7] Yaitu 3 batang anak panah yang tidak berbulu, tertulis pada salah satunya “lakukan,” pada yang lain “jangan lakukan” dan yang ketiga kosong tanpa tulisan. Seseorang berbuat sesuai dengan anak panah yang terambil.

asuransijudi terselubung