Hukum Shalat Berjamaah

Seperti pada pemaparan sebelumnya, shalat berjamaah adalah syariat Allah Subhanahu wata’ala dan perkara yang disepakati oleh kaum muslimin. Hanya saja para ulama berbeda pendapat dalam hal hukumnya. Hal ini disebabkan karena perbedaan sisi pandang terhadap dalil – dalil yang ada.

Pendapat pertama menyatakan hukumnya fardhu ‘ain.

Maknanya, wajib bagi setiap individu muslim lelaki yang sudah baligh dan mampu untuk menghadirinya. Barang siapa meninggalkan berjamaah tanpa uzur, sah shalatnya namun ia berdosa. Inilah pendapat yang benar. Berikut ini beberapa dalil yang menunjukkan tentang wajibnya shalat berjamaah.

1. Dalil dari al-Qur’an di antaranya adalah firman Allah Subhanahu wata’ala,

وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ وَارْكَعُوا مَعَ الرَّاكِعِينَ

Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat, dan rukuklah bersama orangorang yang rukuk.” (al-Baqarah: 43)

Kata “bersama” menunjukkan makna menemani, menyertai. Jadi, ayat ini bermakna “dirikanlah shalat bersama yang lain secara berjamaah!” Ibnu Katsir rahimahullah menerangkan, “Kebanyakan para ulama berdalil dengan ayat ini atas wajibnya shalat berjamaah.”

2. Dalil lain dari ayat al-Qur’an adalah firman Allah Subhanahu wata’ala,

وَإِذَا كُنتَ فِيهِمْ فَأَقَمْتَ لَهُمُ الصَّلَاةَ فَلْتَقُمْ طَائِفَةٌ مِّنْهُم مَّعَكَ

Dan apabila kamu berada di tengahtengah mereka (sahabatmu) lalu kamu hendak mendirikan shalat bersama-sama mereka, hendaklah segolongan dari mereka berdiri (shalat) bersamamu. (an-Nisa: 102)

Pada kalimat پ huruf lam di sini menunjukkan perintah, sedangkan asal suatu perintah adalah wajib. Yang menguatkan bahwa perintah dalam hal ini bermakna wajib ialah, Allah Subhanahu wata’ala memerintah para sahabat untuk melaksanakan shalat berjamaah, meskipun dalam kondisi takut (dalam peperangan). Sementara itu, pada umumnya, apabila manusia dalam kondisi takut (perang) dan kekacauan, berat bagi mereka untuk berkumpul. Dalam situasi kacau, umumnya orang lebih suka untuk tetap berada pada posisi masing-masing dalam rangka memantau musuh. Hal ini sebagaimana yang Allah Subhanahu wata’ala perintahkan,

وَلْيَأْخُذُوا حِذْرَهُمْ وَأَسْلِحَتَهُمْ ۗ

Dan hendaklah mereka bersiap siaga dan menyandang senjata.” (an- Nisa: 102)

Yang tampak dalam hal ini adalah tidak ada perbedaan antara senjata ringan dan berat, dalam keadaan suci atau najis. Para ulama berpendapat, pada saat seperti ini—karena keadaan darurat—diperbolehkan menyandang senjata meskipun dalam kondisi najis. Selanjutnya, setelah kelompok pertama menyelesaikan shalat, sebagaimana firman Allah Subhanahu wata’ala,

فَإِذَا سَجَدُوا فَلْيَكُونُوا مِن وَرَائِكُمْ

Kemudian apabila mereka (yang shalat bersamamu) telah sujud (telah menyempurnakan serakaat) maka hendaklah mereka pindah dari belakangmu (untuk menghadapi musuh).” (an-Nisa: 102)

Sujud di sini bermakna mereka telah menyelesaikan shalatnya. Kemudian Allah Subhanahu wata’ala memerintah (kelompok lain yang belum shalat bersama kelompok pertama) untuk shalat berjamaah bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam,

Dan hendaklah datang golongan yang kedua yang belum shalat, lalu shalatlah mereka denganmu.

Perintah ini menunjukkan shalat berjamaah hukumnya fardhu ‘ain. Kalau saja hukumnya fardhu kifayah, akan gugurlah kewajiban kelompok yang kedua karena telah ditunaikan oleh kelompok yang pertama.

3. Adapun dalil dari as-Sunnah di antaranya adalah hadits dari Abu Hurairah zbahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

لَقَدْ هَمَمْتُ أَنْ آمُرَ بِالصَّلَاةِ فَتُقَامَ ثُمَّ آمُرَ رَجُلًا فَيُصَلِّيَ بِالنَّاسِ ثُمَّ أَنْطَلِقَ بِرِجَالٍ مَعَهُمْ حُزَمٌ مِنْ حَطَبٍ إِلَى قَوْمٍ لَا يَشْهَدُونَ الصَّلَاةَ فَأُحَرِّقَ عَلَيْهِمْ بُيُوتَهُمْ بِالنَّارِ

“Sungguh, aku berkeinginan untuk memerintahkan agar shalat ditegakkan, lalu aku perintahkan seorang untuk mengimami manusia. Kemudian pergi bersamaku beberapa orang sambil membawa seikat kayu bakar menuju rumah orang-orang yang tidak menghadiri shalat berjamaah, lalu aku bakar rumahrumah mereka dengan api.” (HR. Ibnu Majah)

Hadits ini menjelaskan bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam telah berkeinginan namun tidak melakukannya. Hal ini tidak berarti shalat berjamaah bukanlah perkara yang wajib. Kalau bukan suatu yang wajib, tidak tepat untuk dikatakan dengan ungkapan seperti itu. Ungkapan ini akan dianggap sia-sia dan tidak ada manfaatnya. Adapun yang menghalangi beliau melakukannya (membakar rumah)] dan ilmunya ada di sisi Allah Subhanahu wata’ala adalah tidak ada yang berhak menyiksa manusia dengan api selain Rabb-nya api, yaitu Allah Subhanahu wata’ala.

4. Dalil yang lain dari sunnah Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam adalah hadits yang memberitakan adanya seorang laki-laki buta yang meminta izin kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam  untuk tidak ikut shalat berjamaah di masjid.

أَتَى النَّبِيَّ رَجُلٌ أَعْمَى فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللهِ،  إِنَّهُ لَيْسَ لِي قَائِدٌ يَقُودُنِي إِلَى الْمَسْجِدِ. فَسَأَلَ رَسُولَ اللهِ أَنْ يُرَخِّصَ لَهُ فَيُصَلِّيَ فِي بَيْتِهِ  فَرَخَّصَ لَهُ، فَلَمَّا وَلَّى دَعَاهُ فَقَالَ: هَلْ تَسْمَعُ النِّدَاءَ بِالصَّلَاةِ؟ قَالَ: نَعَمْ. قَالَ: فَأَجِبْ

Beliau bertanya, “Apakah kamu mendengar suara azan?” Ia pun menjawab, “Ya.” Lalu beliau berkata, “Kalau begitu penuhilah (panggilan azan itu).”

Demikian pula hadits yang lain dari Ibnu Abbas  radhiyallahu ‘anhuma,

مَنْ سَمِعَ النِّدَاءَ فَلَمْ يَأْتِهِ فَلَا صَلَاةَ لَهُ إِلَّا مِنْ عُذْرٍ

Barang siapa mendengar azan kemudian ia tidak mendatanginya, tidak sah shalatnya kecuali karena uzur.” (HR. Ibnu Majah)

Adapun praktik perbuatan sahabat, seperti riwayat dari Ibnu Mas’ud z beliau berkata, “Sungguh aku telah menyaksikan para sahabat, tidak ada seseorang yang tidak ikut shalat berjamaah selain munafik yang jelas kemunafikannya.”

Hal ini menunjukkan bahwa mereka sangat perhatian terhadap shalat berjamaah serta berpandangan akan wajibnya dan tidak ingin menyelisihinya. Yang lebih menguatkan hukum shalat berjamaah itu wajib adalah kebaikan dan manfaat yang ada padanya. Di antara ulama yang menguatkan pendapat ini adalah Atha’, al-Auza’i, Ahmad, Abu Tsaur, Ibnu Khuzaimah, Ibnul Mundzir, Ibnu Hibban, Abul Abbas, mazhab Zhahiri, mazhab Hanbali, serta salah satu pendapat dalam mazhab Syafi’i dan Hanafi.

Pendapat kedua, hukumnya fardhu kifayah.

Yang menguatkan pendapat ini adalah mayoritas ulama mazhab Syafi’i, Hanafi, dan Maliki. Mereka berdalil dengan dalil-dalil yang dinyatakan oleh para ulama yang berpendapat tentang fardhu ain. Hanya saja dalil-dalil tersebut dipalingkan kepada makna fardhu kifayah.

Ketiga, hukumnya sunnah.

Ini adalah salah satu pendapat dalam mazhab Syafi’i, Maliki, dan Hanafi. Hujah mereka adalah hadits,

صَلَاةُ الْجَمَاعَةِ أَفْضَلُ مِنْ صَلَاةِ الْفَذِّ بِسَبْعٍ وَعِشْرِينَ دَرَجَةً

Shalat berjamaah lebih utama daripada shalat sendirian dengan kelipatan 27 derajat.”

Mereka memahami kalimat “lebih utama” bermakna hanya lebih utama dan bukan wajib. Namun, pendalilan mereka dalam hal ini sangat lemah. Sebab, hadits ini menjelaskan pahala orang yang shalat berjamaah lebih utama dan lebih banyak, bukan menjelaskan hukum shalat (berjamaah). Pun penyebutan kalimat ”lebih utama” tidak meniadakan hukum wajibnya. Kita katakan pula, apakah beriman kepada Allah Subhanahu wata’ala itu wajib? Jawabannya, pasti wajib. Akan tetapi, Allah Subhanahu wata’ala berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا هَلْ أَدُلُّكُمْ عَلَىٰ تِجَارَةٍ تُنجِيكُم مِّنْ عَذَابٍ أَلِيمٍ () تُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَتُجَاهِدُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ بِأَمْوَالِكُمْ وَأَنفُسِكُمْ ۚ ذَٰلِكُمْ خَيْرٌ لَّكُمْ إِن كُنتُمْ تَعْلَمُونَ

 “Hai orang-orang yang beriman, sukakah kamu Aku tunjukkan suatu perniagaan yang dapat meyelamatkan kamu dari azab yang pedih? (Yaitu) kamu beriman kepada Allah dan Rasul- Nya serta berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwamu. Itulah yang lebih baik bagi kamu jika kamu mengetahuinya.” (ash-Shaf: 10—11)

Maksudnya, yang lebih baik dan lebih utama. Apakah akan dikatakan bahwa beriman kepada Allah Subhanahu wata’ala dan berjihad di jalan-Nya hukumnya sunnah (dengan alasan kalimat ”itulah yang lebih baik bagimu”)? Sungguh, tidak seorang pun yang berpendapat demikian. Kita katakan pula, apakah shalat Jumat hukumnya sunnah karena firman Allah Subhanahu wata’ala,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نُودِيَ لِلصَّلَاةِ مِن يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَىٰ ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ ۚ ذَٰلِكُمْ خَيْرٌ لَّكُمْ إِن كُنتُمْ تَعْلَمُونَ

Hai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat pada hari Jumat, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Hal itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.” (al-Jumu’ah: 9)

Pasti tidak seorang pun yang mengatakan bahwa shalat Jumat hukumnya sunnah (berdalil dengan kalimat “hal itu lebih baik bagimu”).

Demikian pula hadits yang menerangkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam berkeinginan untuk membakar rumahrumah orang yang tidak ikut shalat berjamaah. Mereka beralasan, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam tidak mewujudkan keinginannya sehingga hal itu hanya sebagai peringatan keras, tidak sampai pada kenyataan. Jawabannya bisa dilihat pada pembahasan sebelumnya.

Dengan demikian, berdasarkan al-Qur’an, sunnah, ijma’ sahabat, pencermatan dan pemahaman terhadap masalah, disimpulkan bahwa shalat berjamaah hukumnya wajib. (Syarh al-Bukhari, al-‘Utsaimin, 3/57—58, asy-Syarhul al-Mumti’, 2/369—370, at-Tashil, 2/406—407) Wallahu a’lam.

Ditulis oleh Al-Ustadz Abu Ubaidah Syafrudin

shalat berjamaah