Islammu Sebagai Maharku

Pelajaran dari Kisah Ummu Sulaim

Ini bukan judul film khayal, bukan pula judul novel picisan. Namun, kisah ini benar terjadi di dunia nyata. Pernah ada seorang wanita yang menikah dengan seorang lelaki dengan mahar keislaman si lelaki.

Bagi Anda yang pernah membolak-balik buku sejarah manusia-manusia mulia, yakni para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan Anda belajar sunnah, tentu pernah melewati kisah sepasang anak manusia tersebut.

Ya, pasangan itu adalah Abu Thalhah yang bernama Zaid bin Sahl al-Khazraji al-Anshari dan Ummu Sulaim Rumaisha bintu Milhan al-Khazrajiyah al-Anshariyah[1], semoga Allah subhanahu wa ta’ala meridhai keduanya. Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu, putra Ummu Sulaim radhiallahu ‘anha dari suami pertamanya[2], menceritakan,

خَطَبَ أَبُوْ طَلْحَةَ أُمَّ سُلَيْمٍ فَقَالَتْ: وَاللهِ، مَا مِثْلُكَ يَا أَبَا طَلْحَةَ يُرَدُّ، وَلَكِنَّكَّ رَجُلٌ كَافِرٌ وَأَنَا امْرَأَةٌ مُسْلِمَةٌ، وَلاَ يَحِلُّ لِي أَنْ أَتَزَوَّجَكَ. فَإنْ أَسْلَمْتَ فَذَاكَ مَهْري، وَمَا أَسْأَلُكَ غَيْرَهُ. فَأَسْلَمَ فَكَانَ ذَاكَ مَهْرَهَا.

قَالَ ثَابِتٌ: فَمَا سَمِعْتُ بإمْرَأَةٍ قَطُّ أَكْرَمَ مَهْرًا مِنْ أُمِّ سُلَيْمٍ، الْإِسْلاَمَ. فَدَخَلَ بِهَا فَوَلَدَتْ لَهُ.

Abu Thalhah radhiallahu ‘anhu meminang Ummu Sulaim radhiallahu ‘anhu, maka Ummu Sulaim berkata, “Demi Allah! Orang sepertimu, wahai Abu Thalhah, tidak sepantasnya ditolak. Hanya saja engkau seorang yang kafir, sementara aku seorang muslimah. Tidak halal bagiku menikah denganmu. Apabila engkau mau masuk Islam, itulah maharku. Aku tidak akan meminta kepadamu selain itu.”

Akhirnya, Abu Thalhah masuk Islam, dan keislamannya menjadi mahar bagi Ummu Sulaim.

Tsabit, rawi yang mendengar hadits ini dari Anas, berkata, “Aku tidak pernah mendengar seorang wanita yang mahar pernikahannya lebih mulia daripada mahar Ummu Sulaim, yaitu Islam. Setelah menikah, Abu Thalhah ‘pengantinan’ dengan Ummu Sulaim. Ummu Sulaim kemudian melahirkan anak untuk Abu Thalhah.” (HR An- Nasa’i no. 3341, dinyatakan sahih dalam Shahih Sunan an-Nasa’i)

Dalam riwayat lain disebutkan Anas radhiallahu ‘anhu berkata, “Abu Thalhah radhiallahu ‘anhu menikahi Ummu Sulaim. Mahar pernikahan keduanya adalah keislaman (Abu Thalhah). Ummu Sulaim masuk Islam lebih dahulu sebelum Abu Thalhah[3]. Lalu Abu Thalhah melamar Ummu Sulaim, maka Ummu Sulaim berkata, ‘Aku telah berislam. Jika engkau mau masuk Islam, aku mau menikah denganmu.’ Masuk Islamlah Abu Thalhah, dan itulah mahar pernikahan keduanya.” (HR An-Nasa’i, no. 3340, dinyatakan sahih dalam Shahih Sunan an-Nasa’i)

Bukan hukum ‘menjadikan keislaman sebagai mahar’ yang ingin kita bahas di sini[4], melainkan bagaimana Abu Thalhah dan Ummu Sulaim—semoga Allah subhanahu wa ta’ala meridhai pasangan ini—membangun rumah tangganya sejak awal di atas fondasi iman. Tentu hal ini menjadi teladan bagi mereka yang ingin membangun rumah tangga.

Petikan Kisah Abu Thalhah dan Ummu Sulaim Alkisah, tersebutlah Ummu Sulaim dan putranya Anas dengan sebutan yang manis di tengah manusia. Ibu dan anak, dua sosok yang mengagumkan. Ummu Sulaim adalah sosok wanita jelita yang cerdas.

Allah subhanahu wa ta’ala kumpulkan pada dirinya keilmuan, kefaqihan, keikhlasan, kebersihan jiwa, kedermawan, dan keberanian. Dialah wanita yang keimanan menghunjam kalbunya pada awal kali pertama dia mendengar Kitabullah dan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Lewat asuhan dan didikannya, setelah taufik dari Rabbnya, terlahirlah seorang anak yang luar biasa, yang kelak memenuhi lembaran kitab ilmu dengan keharuman hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Siapa di antara kita yang tidak kenal dengan sang putra, Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu?

Abu Thalhah termasuk yang mendengar tentang mereka. Mulailah hati Abu Thalhah terpaut dan dipenuhi kekaguman. Abu Thalhah pun memberanikan diri untuk mewujudkan asanya mempersunting ibunda Anas yang hidup menjanda.

Sebagai orang yang paling banyak hartanya di kalangan Anshar, tidak berat bagi Abu Thalhah untuk menawarkan kepada Ummu Sulaim mahar yang mahal. Namun, betapa terkejutnya Abu Thalhah dan sungguh kelu lisannya tatkala Ummu Sulaim menolak semua kemewahan tersebut.

Dengan penuh kemuliaan jiwa Ummu Sulaim berkata, “Aku tidak boleh menikah dengan lelaki musyrik seperti Anda. Tidakkah Anda tahu, wahai Abu Thalhah, sungguh sesembahan kalian itu dipahat oleh seorang budak di keluarga Fulan. Sungguh, apabila kalian menyalakan api pada sesembahan tersebut, niscaya akan terbakar.”[5]

Bisa dibayangkan, bagaimana perasaan seorang lelaki yang mengagumi dan mencintai seorang wanita dengan mendalam, namun si wanita menolak cintanya?

Nah, demikian kira-kira perasaan Abu Thalhah. Dia pulang ke rumahnya dengan rasa tidak percaya terhadap apa yang didengar dan dilihatnya. Namun, Abu Thalhah tidak berputus asa. Cintanya membawanya untuk kembali ke kediaman Ummu Sulaim, menawarkan mahar yang lebih tinggi daripada yang kemarin agar Ummu Sulaim bersedia menjadi istrinya. Tidak cukup hanya itu, Abu Thalhah menjanjikan kesenangan hidup dan kemegahan bila nantinya Ummu Sulaim menjadi istrinya.

Akan tetapi, Ummu Sulaim bukanlah wanita yang seleranya tertambat kepada dunia. Dia bukanlah wanita yang silau dengan harta dan kedudukan. Bahkan, pohon keimanan demikian tertancap kuat dalam kalbunya, mengalahkan seluruh iming-iming kenikmatan dunia.

Dengan penuh adab, Ummu Sulaim berkata, “Orang sepertimu sebenarnya tidak pantas untuk ditolak, wahai Abu Thalhah. Hanya saja, Anda seorang yang kafir, sementara saya seorang muslimah. Saya tidak boleh menikah denganmu karena perbedaan ini.”

“Bagaimana dengan apa yang telah kupersiapkan untukmu?” tanya Abu Thalhah.

“Memangnya apa yang telah anda siapkan untukku?” Ummu Sulaim balik bertanya.

“Harta berupa emas dan perak,” jawab Abu Thalhah.

“Aku tidak menginginkan emas dan perak. Yang aku inginkan darimu adalah keislaman. Masuk Islamlah!” Pinta Ummu Sulaim.[6]

Akhirnya, masuk Islam-lah Abu Thalhah dengan dakwah Ummu Sulaim. Tentu kita harus berbaik sangka dengan para sahabat, dalam hal ini kepada Abu Thalhah bahwa keislamannya ketika itu benar tulus dari hatinya, bukan semata agar dapat mempersunting Ummu Sulaim.

Hari-hari setelah keislamannya membuktikan kejujuran imannya, sungguh bagus islamnya Abu Thalhah! Sungguh harum dan heroik kisahnya di medan jihad bersama sang Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kita pun bergumam, “Memang Abu Thalhah sekufu dengan Ummu Sulaim!”

Membangun Rumah Tangga dengan Landasan Keimanan

Demikian seharusnya orang yang ingin membangun rumah tangga. Dia jadikan keimanan sebagai fondasinya. Oleh sebab itu, dituntunkan kepada lelaki yang ingin menikah agar memilih wanita yang salihah, yang baik agamanya, sebagai teman hidupnya dan calon ibu bagi anak-anaknya.

Demikian pula sebaliknya, wanita disuruh memilih lelaki yang salih sebagai penyuntingnya, dalam hal ini dia dibantu oleh walinya untuk memilihkan lelaki yang diridhai agama dan akhlaknya.

Ummu Sulaim telah mencontohkan kepada kita, bagaimana beliau mempersyaratkan keislaman Abu Thalhah bila mau diterima pinangannya. Melihat kadar Ummu Sulaim, kita maklumi bahwa yang dituntutnya dari Abu Thalhah tidak semata-mata masuk Islam mengucapkan dua kalimat syahadat, tapi menjalankan konsekuensi dari keimanan tersebut.

Asa Ummu Sulaim pun tercapai. Terbukti di belakang hari Abu Thalhah merupakan salah satu sahabat yang kokoh membela Islam, siap mengorbankan jiwa, raga, dan hartanya untuk kemuliaan Islam.

Dalam Perang Uhud, Abu Thalhah menunjukkan kecintaannya kepada sang Rasul dengan melindungi beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam agar tidak terkena lemparan anak panah musuh.

Ketika mendengar ayat,

لَن تَنَالُواْ ٱلۡبِرَّ حَتَّىٰ تُنفِقُواْ مِمَّا تُحِبُّونَۚ وَمَا تُنفِقُواْ مِن شَيۡءٖ فَإِنَّ ٱللَّهَ بِهِۦ عَلِيمٞ ٩٢

“Kalian tidak akan mencapai kebajikan (yang sempurna) hingga kalian menginfakkan dari harta yang kalian cintai.” (Ali Imran: 92)

Abu Thalhah berkata kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Sungguh hartaku yang paling aku cintai adalah Bairaha[7]. Aku jadikan harta tersebut sebagai sedekah karena Allah subhanahu wa ta’ala. Aku berharap kebaikannya dan pahalanya. Silakan wahai Rasulullah! Anda tempatkan harta tersebut sesuai dengan apa yang Allah subhanahu wa ta’ala tunjukkan kepadamu.”

Mendengar hal tersebut, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Bakh![8] Itu adalah harta yang memberi keuntungan. Itu adalah harta yang memberi keuntungan….(HR. al-Bukhari no. 1461 dan Muslim no. 2313)

Ujian dalam Rumah Tangga

Dunia adalah darul ibtila’ wal imtihan, negeri tempat ujian dan cobaan. Apakah ujian dan cobaan itu berupa kesulitan ataukah berupa kesenangan.

وَنَبۡلُوكُم بِٱلشَّرِّ وَٱلۡخَيۡرِ فِتۡنَةٗۖ

“Agar Dia (Allah) menguji kalian dengan kejelekan dan kebaikan sebagai cobaan….” (Al-Anbiya: 35)

Allah subhanahu wa ta’ala hendak menunjukkan siapa kita dengan ujian tersebut. Apakah kita orang yang bersabar dan bersyukur ataukah kita orang yang suka berkeluh kesah dan kufur? Apakah kita sungguh-sungguh dalam keimanan ataukah kita hanya berpura-pura dan ikut-ikutan? Wallahul musta’an.

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

لِيَمِيزَ ٱللَّهُ ٱلۡخَبِيثَ مِنَ ٱلطَّيِّبِ

“Agar Allah memisahkan (dengan ujian tersebut) yang buruk dari yang baik.” (Al-Anfal: 37)

Dalam berumah tangga di dunia ini pun pasti ada ujiannya. Seorang yang agamanya baik, tentunya lebih baik keadaannya ketika datang ujian. Kebaikan agamanya membawanya untuk bersabar ketika menghadapi kesulitan dan musibah, serta bersyukur saat beroleh kenikmatan.

Berbeda halnya seseorang yang lemah agamanya, apalagi yang tidak memiliki pijakan agama sama sekali, keadaannya amat berbahaya tatkala datang ujian.

Dari sini kita maklumi hikmah memilih teman hidup yang bagus agamanya. Karena hari-hari setelah ijab qabul adalah hari-hari yang panjang, insya Allah, banyak cerita dan kejadian yang akan bergulir, tangis dan tawa akan datang bergantian, suka dan duka sudah pasti menyapa.

Teman hidup yang bagus agamanya akan mengingatkan untuk bersyukur saat beroleh nikmat dan mengingatkan untuk bersabar ketika ditimpa kesulitan. Bisa diajak kerjasama dalam kebaikan, menasihati di kala lalai dan menguatkan di kala lemah.

Ummu Sulaim radhiallahu ‘anha kembali memberikan teladan kepada kita dalam ujian berumah tangga. Mungkin pembaca sudah pernah mendengarnya? Setelah pernikahan Abu Thalhah dan Ummu Sulaim, keduanya hidup bahagia. Kebahagiaan mereka bertambah tatkala Ummu Sulaim mengandung dan melahirkan seorang anak lelaki nan rupawan. Abu Umair, demikian kunyah bocah yang memenuhi relung kalbu kedua orangnya dengan kecintaan.

Allah subhanahu wa ta’ala berkehendak untuk menguji kedua orang tua yang berbahagia tersebut dengan si anak. Si bocah Abu Umair jatuh sakit. Abu Thalhah selalu menyempatkan diri untuk memeriksa keadaan putra kesayangannya tersebut. Setelah pulang dari pekerjaannya berburu, Abu Thalhah selalu menanyakan keadaan putranya kepada istrinya.

Suatu hari saat Abu Thalhah keluar rumah, Allah subhanahu wa ta’ala berkehendak mengambil kembali titipan-Nya. Meninggallah si kecil Abu Umair. Ummu Sulaim menerima musibah tersebut dengan ketabahan yang luar biasa. Dia bersabar, tetap tsabat, serta ridha dengan ketetapan dan takdir Allah subhanahu wa ta’ala. Kita biarkan Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu menceritakan kejadian tersebut.

Putra Abu Thalhah dari Ummu Sulaim, meninggal dunia. Berkatalah Ummu Sulaim kepada orang-orang di rumahnya, “Jangan kalian beri tahu Abu Thalhah tentang kematian putranya ini. Biar aku sendiri yang akan menyampaikan kepadanya.”

Datanglah Abu Thalhah. Ummu Sulaim menyiapkan makan malam untuk suaminya ini. Abu Thalhah pun makan dan minumlah. Setelahnya, Ummu Sulaim berdandan dengan dandanan yang paling bagus, belum pernah sebelumnya dia bersolek secantik malam itu. Melihat hal ini, Abu Thalhah pun terdorong untuk menggauli istrinya.

Ketika Ummu Sulaim melihat suaminya telah puas, dia berkata, “Wahai Abu Thalhah, apa pendapatmu andai suatu kaum meminjamkan barang kepada satu keluarga lalu suatu ketika kaum tersebut meminta kembali barang yang dipinjamkan. Apakah boleh keluarga tersebut menolak mengembalikannya?”

“Tentu saja tidak boleh,” jawab Abu Thalhah.

“Kalau begitu bersabarlah dan harapkan pahala, karena putramu telah diambil Pemiliknya,” kata Ummu Sulaim.

Marahlah Abu Thalhah dan dia  berkata, “Kamu biarkan saya sampai saya junub seperti ini baru kamu beritahu tentang putraku?”

Keesokan harinya Abu Thalhah menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menceritakan kejadian yang menimpanya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berdoa, “Semoga Allah memberkahi malam kalian berdua tersebut.”

Ummu Sulaim pun mengandung dari “hubungan” malam mubarak tersebut dan melahirkan seorang anak yang diberi nama Abdullah oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.[9]

Seseorang dari kalangan Anshar mempersaksikan bahwa Abdullah ini memiliki tujuh anak yang semuanya hafal al-Qur’an. Duhai besarnya ganjaran di dunia bagi orang yang bersabar dalam menghadapi musibah! Belum lagi pahala yang menanti di akhirat!

Ketabahan Ummu Sulaim yang kehilangan buah hatinya diganti oleh Allah subhanahu wa ta’ala dengan yang lebih baik. Alangkah bahagianya dia….

Satu lagi kebahagiaan luar biasa untuk wanita yang beriman ini. Jabir bin Abdillah radhiallahu ‘anhu menyampaikan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda,

 … أُريْتُ الْجَنَّةَ فَرَأَيْتُ امْرَأَةَ أَبِي طَلْحَةَ

“Ditampakkan padaku surga, maka aku melihat istri Abu Thalhah….” (HR Muslim no. 6271)

Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu, sang putra juga membawakan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang berisi bisyarah untuk sang ibunda. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

.دَخَلْتُ الْجَنَّةَ فَسَمِعْتُ خَشْفَةُ، فَقُلْتُ: مَنْ هَذَا؟ قَالُوا: هَذَا الْغُمَيْصَاءُ بِنْتُ مِلْحَانَ أُمُّ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ

Aku masuk ke dalam surga, aku mendengar ada suara langkah kaki. Aku pun berkata, “Siapa itu?”

Mereka menjawab, “Al-Ghumaisha bintu Milhan, ibu Anas bin Malik.” (HR. Muslim no. 6270)

Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.

Ditulis oleh al-Ustadzah Ummu Ishaq al-Atsariyah


[1]Diperselisihkan nama Ummu Sulaim ini, ada beberapa nama yang disandarkan kepadanya, yaitu Sahlah, Unaifah, Rumaitsah al-Ghumaisha atau ar-Rumaisha. Wallahu a’lam.

[2] Namanya Malik bin an-Nadhr, mati terbunuh dalam keadaan kafir.

[3] Keislaman Ummu Sulaim pada awal pertama cahaya islam menerangi kota Madinah.

[4] Ibnu Hazm dalam al-Muhalla mengisyaratkan tentang pendalilan dengan hadits ini bahwa peristiwa yang tersebut dalam hadits terjadi beberapa waktu sebelum hijrahnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam karena Abu Thalhah radhiallahu ‘anhu termasuk orang Anshar yang terdahulu masuk Islam dan saat itu belum turun ayat yang mewajibkan pemberian mahar bagi wanita yang dinikahi.

[5] Ath-Thabaqat, karya Ibnu Sa’d (8/312) dan al-Ishabah, karya al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani (8/243)

[6] Lihat haditsnya yang panjang dari pengumpulan semua riwayatnya dalam Ahkam al-Janaiz, karya al-Imam al-Albani, hlm. 25—28.

[7] Bairaha adalah nama kebun, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa masuk ke dalamnya dan minum dari airnya yang segar.

[8] Kalimat ini diucapkan orang Arab saat memuji suatu perbuatan, menganggapnya besar, dan diucapkan karena kagum. (al-Minhaj, 7/87)

[9]  Potongan hadits yang diriwayatkan oleh Muslim dalam Shahihnya.

Kisah sahabatmahar nikah