Al-Ustadzah Ummu Ishaq al-Atsariyah
Allah ‘azza wa jalla berfirman,
“Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kalian adalah orang yang paling bertakwa.” (al-Hujurat: 13)
Demikianlah standar kemuliaan di sisi Allah ‘azza wa jalla, Sang Pencipta manusia, menyelisihi pandangan mayoritas manusia yang melihat seseorang karena statusnya, kekayaan, kedudukan, dan keturunannya. Bisa jadi, seseorang yang “berkantong tebal”, berkedudukan, dari kelas bangsawan, demikian mulia di mata mereka, walaupun dari sisi agama si orang “mulia” tersebut kosong melompong, jauh dari kesalehan dan ketakwaan.
Sebaliknya, bisa jadi ada seseorang yang tidak bernilai di mata mereka, ibarat manusia buangan atau pinggiran, karena kemiskinannya atau karena fisiknya yang mengundang cela. Padahal karena takwa yang ada dalam kalbunya sebenarnya berderajat mulia di langit sana.
Ada satu kisah di masa nubuwwah tentang seorang perempuan hitam yang mungkin di mata manusia dia tidak ‘berharga’ karena fisiknya dan sakitnya.
Atha bin Abi Rabah rahimahullah berkisah sebagai berikut. Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma pernah berkata kepadaku, “Maukah aku tunjukkan kepadamu seorang perempuan yang termasuk penduduk surga?”
“Tentu,” jawabku.
Kata Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma, “Perempuan yang berkulit hitam itu. Dia pernah datang menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam seraya mengeluh, ‘Saya menderita kesurupan (ash-shar’), kalau sedang kambuh tersingkap auratku. Karena itu, doakanlah kepada Allah ‘azza wa jalla agar menyembuhkanku.”
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda memberi pilihan kepadanya, “Apabila mau, engkau bersabar dan ganjaranmu adalah surga. Namun, apabila engkau tetap ingin sembuh dari sakitmu, aku akan memohon kepada Allah ‘azza wa jalla untuk menyembuhkanmu.”
Si perempuan menjawab, “Aku pilih bersabar.” Kemudian dia melanjutkan ucapannya, “Namun, auratku tersingkap saat kambuh. Karena itu, doakanlah kepada Allah ‘azza wa jalla agar auratku tidak terbuka.”
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian mendoakannya. (HR. al-Bukhari dan Muslim)
Subhanallah! Sebuah pilihan yang luar biasa, memilih bersabar dalam derita di dunia demi meraih kebahagiaan di negeri sana. Betapa besarnya keyakinan si perempuan atas janji yang diberikan,
“Apabila mau, engkau bersabar dan ganjaranmu adalah surga.” Dengan pilihannya untuk bersabar menunjukkan si perempuan termasuk orang yang beroleh syahadah atau dipersaksikan dan diberi kabar gembira oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan surga.
Terkait dengan hadits di atas, perlulah kita ketahui bahwa syahadah sebagai penghuni surga itu ada dua macam:
- Syahadah ‘ammah atau persaksian yang umum, yaitu orang yang dipersaksikan masuk surga dengan menyebut sifat-sifat mereka.
Siapakah mereka? Mereka adalah semua orang yang beriman dan bertakwa. Allah ‘azza wa jalla berfirman tentang surga,
“(Surga itu) telah disediakan bagi orang-orang yang bertakwa.” (Ali Imran: 133)
Jadi, setiap mukmin yang bertakwa dan beramal saleh kita persaksikan termasuk penduduk surga. Namun, kita tidak menyebut nama-nama tertentu, “Si A”, atau “Si B”, karena kita tidak tahu akhir keadaan seseorang ketika menutup umurnya dan kita tidak tahu apakah batinnya sama dengan lahiriahnya. Karena itu, apabila ada seorang yang baik meninggal dunia, kita katakan, “Kita berharap dia termasuk penghuni surga.” Adapun memastikan dengan mempersaksikan, “Dia pasti masuk surga,” ini tidak diperbolehkan.
- Syahadah khashah atau persaksian yang khusus, yaitu mereka yang dipersaksikan dengan ta’yin (menyebut namanya).
Siapakah mereka? Mereka adalah orang-orang yang dinyatakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai penghuni surga dengan menyebut namanya atau menunjuk orangnya, seperti para sahabat yang digelari al-Asyrah al-Mubasysyarina bil Jannah, yaitu Abu Bakr ash-Shiddiq, Umar ibnul Khaththab, Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Said bin Zaid, Sa’d ibnu Abi Waqqash, Abdurrahman bin Auf, Thalhah bin Ubaidillah, Abu Ubaidah Amir ibnul Jarrah, dan az-Zubair ibnul Awwam radhiallahu ‘anhum.
Contoh yang lain, Tsabit bin Qais bin Syammas, Sa’d bin Mu’adz, Abdullah bin Salam, Bilal bin Rabah, dan selain mereka radhiallahu ‘anhum. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memastikan bahwa mereka penghuni surga, maka tanpa ragu kita mengatakan, “Abu Bakr radhiallahu ‘anhu masuk surga”, “Umar ibnul Khaththab radhiallahu ‘anhu masuk surga”, dan seterusnya.
Termasuk pula perempuan hitam yang disebutkan dalam hadits di atas, kita yakin dia pasti termasuk penduduk surga.
Perempuan berkulit hitam mungkin tidak bernilai dalam pandangan manusia. Apalagi ia memiliki penyakit dan tersingkap auratnya saat penyakitnya kambuh. Karena itu, dia menginginkan kesembuhan dengan meminta Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mendoakan kesembuhannya. Akan tetapi, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menawarkan sesuatu yang jauh lebih nikmat apabila bisa bersabar, yaitu ‘masuk surga’.
Siapakah yang tidak ingin masuk surga?
Si perempuan hitam itu pun memilih bersabar walau harus menanggung derita di dunia dengan penyakit shar’nya[1].
Demikianlah hadits ini berbicara tentang seorang wanita yang di mata manusia bisa jadi tidak bernilai, dipandang hina dan direndahkan, apatah lagi dengan saki rahimahullah yang dideritanya. Namun, ternyata menurut pandangan syariat dia begitu bernilai, karena kuatnya keyakinannya kepada Allah ‘azza wa jalla, keimanannya akan janji surga dan kesabarannya menanggung derita di dunia demi sebuah asa yang paling tinggi; masuk surga. Bagaimana dengan kita? Tentunya kita harus yakin bahwa kesabaran itu pasti berbuah kebaikan di dunia dan terlebih lagi di akhirat.
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawwab.
(Faedah dari penjelasan Fadhilatusy Syaikh Muhammad ibnu Shalih al-Utsaimin rahimahullah terhadap hadits ini dalam kumpulan hadits pada kitab Riyadhush Shalihin, 1/131—134)
[1] Penyakit ash-shar’ (mengamuk seperti yang dialami orang yang kesurupan atau gila) ada dua macam:
Karena gangguan saraf. Penyakit ini bisa diobati, dengan izin Allah ‘azza wa jalla, oleh para dokter dengan memberikan obat kepada penderitanya sehingga bisa menenangkannya atau membuat sakitnya hilang sama sekali.
Karena gangguan jin/setan. Setan merasuki tubuh si penderita sehingga dia kesurupan dan kehilangan kesadarannya.
Untuk macam yang kedua (kesurupan karena gangguan jin) ini, apabila belum menimpa seseorang, perlu dilakukan pencegahan; dan apabila sudah telanjur terkena, perlu dilakukan pengobatan untuk menghilangkannya.
Pencegahan dilakukan dengan senantiasa mengamalkan wirid-wirid harian: pagi dan petang. Demikian pula membaca ayat kursi pada malam hari sebelum tidur, karena siapa yang mengamalkannya niscaya Allah ‘azza wa jalla terus memberikan penjagaan kepadanya dan setan pun tidak dapat mendekatinya hingga pagi hari. Termasuk pula membaca surah al-Ikhlash dan al-Mu`awwidzatain (al-Falaq dan an-Nas).
Pengobatan dilakukan dengan meruqyah penderita, yaitu membacakan padanya al-Qur’an dan doa-doa yang ma’tsur (ada atsarnya).