Larangan Memakai Mu’ashfar

Laki-laki tidak diperbolehkan memakai pakaian mu’ashfar, yaitu pakaian yang dicelup dengan bahan nabati khusus bernama ‘ushfur yang menghasilkan warna kuning oranye. Dari Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam pernah melihat aku mengenakan dua baju mu’ashfar, beliau pun bersabda,

إِنَّ هَذِهِ مِنْ ثِيَابِ الْكُفَّارِ فَلاَ تَلْبَسْهَا

‘Ini adalah pakaian orang kafir, jangan kamu pakai!’.” (Shahih Muslim no. 2077)

Dalam lafadz lain beliau bersabda,

أَأُمُّكَ أَمَرَتْكَ بِهَذَا؟

“Apakah ibumu yang menyuruhmu memakai baju ini?” Abdullah berkata, “Biar saya cuci saja.” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam menegaskan,

بَلْ أَحْرِقْهُمَا

“Tidak, bakar saja dua baju tersebut!”

Makna hadits di atas, mu’ashfar termasuk pakaian wanita, model, dan tabiat mereka. Tentang perintah membakar baju tersebut, ada yang berpendapat bahwa hal itu sebagai hukuman dan hardikan keras terhadap beliau dan yang lainnya atas tindakan seperti itu. Demikian penjelasan al-Imam Yahya an-Nawawi rahimahullah dalam Syarh Shahih Muslim (14/47).

Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu juga menyatakan,

أَنَّ رَسُولَ اللهِ نَهَى عَنْ لُبْسِ الْقَسِّيِّ وَالْمُعَصْفَرِ

“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam melarang memakai qassi (pakaian sutra bergaris, -pen.) dan mu’ashfar.” (HR. Muslim no. 2078, at-Tirmidzi no. 264)

Adapun kaum wanita, mereka diperbolehkan memakai pakaian mu’ashfar walaupun berwarna mencolok. Bahkan, pakaian ini adalah kekhususan bagi mereka, sebagaimana penjelasan an-Nawawi rahimahullah di atas. Al-Imam Abu Bakr Ibnu Abi Syaibah rahimahullah  dalam kitabnya al-Mushannaf (8/371—372) meriwayatkan dari Ibnu Abi Mulaikah, dia berkata, “Aku pernah melihat Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha memakai gamis wanita dan (kain luar yang menutup badan, -pen.) yang dicelup dengan ‘ushfur.”

Dari al-Qasim bin Muhammad bin Abi Bakr ash-Shiddiq rahimahullah  bahwa ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha memakai pakaian mu’ashfar ketika beliau dalam keadaan ihram. Dari Fathimah binti Mundzir rahimahullah, Asma radhiyallahu ‘anha memakai pakaian mu’ashfar ketika beliau sedang ihram. Dari Sa’id bin Jubair rahimahullah, dia pernah melihat sebagian istri Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam thawaf di Ka’bah mengenakan pakaian mu’ashfar. (lihat Jilbab al-Mar’atul Muslimah hlm.122—123, al-Albani)

Adapun pakaian warna merah bagi lelaki, pendapat yang rajih adalah boleh. Ini adalah pendapat ulama mazhab Maliki dan Syafi’i, dengan dasar hadits al-Bara’ bin ‘Azib radhiyallahu ‘anhu  yang telah disebutkan pada awal pembahasan (lihat hlm. 17 majalah ini).

Adapun hadits yang dijadikan hujah oleh pendapat yang memakruhkannya adalah dhaif. Di antaranya adalah hadits Abdullah bin ‘Amr riwayat Abu Dawud (no. 4069).

Pada sanadnya ada Abu Yahya al-Qaffat, seorang yang dhaif, Israil meriwayatkan darinya. Al-Imam Ahmad rahimahullah berkata, “Israil meriwayatkan dari Abu Yahya al-Qaffat banyak hadits yang sangat mungkar.” (Tahdzibut Tahdzib)

Adapun hadits al-Bara’ bin Azib radhiyallahu ‘anhu, dia berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan kami tujuh perkara…. dan melarang kami dari…. (di antaranya:):

الْمَيَاثِرِ الْحَمَْرة .”

(HR. al-Bukhari no. 5849 dan Muslim no. 2066)

Kata مَيَاثِرُ adalah bentuk jamak dari مِيْثَرَةٌ , artinya bantal kecil berwarna merah yang orang ‘ajam (Persia/Romawi) menjadikannya sebagai alas duduk pada saat berkendaraan.

Ditulis oleh Al-Ustadz Muhammad Afifuddin

Mu'ashfar