Kedudukan Para Sahabat di Sisi Allah dan Rasul-Nya serta Kaum Mukminin

Sesungguhnya para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mempunyai kedudukan yang tinggi di sisi Allah ‘azza wa jalla dan Rasul-Nya serta di sisi kaum mukminin.

Allah ‘azza wa jalla telah memuji mereka dalam al-Qur’anul Karim, mengabarkan keridhaan-Nya kepada mereka dan keridhaan mereka kepada Allah ‘azza wa jalla.

 

Firman Allah ‘azza wa jalla,

          كُنتُمۡ خَيۡرَ أُمَّةٍ أُخۡرِجَتۡ لِلنَّاسِ تَأۡمُرُونَ بِٱلۡمَعۡرُوفِ وَتَنۡهَوۡنَ عَنِ ٱلۡمُنكَرِ وَتُؤۡمِنُونَ بِٱللَّهِۗ وَلَوۡ ءَامَنَ أَهۡلُ ٱلۡكِتَٰبِ لَكَانَ خَيۡرٗا لَّهُمۚ مِّنۡهُمُ ٱلۡمُؤۡمِنُونَ وَأَكۡثَرُهُمُ ٱلۡفَٰسِقُونَ ١١٠

        “Kalian adalah umat terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh yang ma’ruf, mencegah yang mungkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya ahli kitab beriman, tentu itu lebih baik bagi mereka; di antara mereka ada yang beriman, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik.” (Ali ‘Imran: 110)

 

          وَكَذَٰلِكَ جَعَلۡنَٰكُمۡ أُمَّةٗ وَسَطٗا لِّتَكُونُواْ شُهَدَآءَ عَلَى ٱلنَّاسِ وَيَكُونَ ٱلرَّسُولُ عَلَيۡكُمۡ شَهِيدٗاۗ

        “Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kalian (umat Islam), sebagai umat yang adil dan pilihan agar kalian menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas perbuatan) kalian.” (al-Baqarah: 143)

 

Al-Khathib al-Baghdadi rahimahullah berkata, “Lafadz ini (di atas) walaupun sifatnya umum, namun yang dimaksud adalah orang-orang tertentu (yaitu para sahabat). Ada yang berpendapat bahwa ini hanya berkaitan dengan para sahabat.”

لَّقَدۡ رَضِيَ ٱللَّهُ عَنِ ٱلۡمُؤۡمِنِينَ إِذۡ يُبَايِعُونَكَ تَحۡتَ ٱلشَّجَرَةِ فَعَلِمَ مَا فِي قُلُوبِهِمۡ فَأَنزَلَ ٱلسَّكِينَةَ عَلَيۡهِمۡ وَأَثَٰبَهُمۡ فَتۡحٗا قَرِيبٗا ١٨

        “Sesungguhnya Allah telah ridha terhadap orang-orang mukmin ketika mereka berjanji setia kepadamu di bawah pohon. Allah mengetahui apa yang ada di dalam hati mereka, lalu menurunkan ketenangan atas mereka dan memberi balasan kepada mereka dengan kemenangan yang dekat waktunya.” (al-Fath: 18)

 

وَٱلسَّٰبِقُونَ ٱلۡأَوَّلُونَ مِنَ ٱلۡمُهَٰجِرِينَ وَٱلۡأَنصَارِ وَٱلَّذِينَ ٱتَّبَعُوهُم بِإِحۡسَٰنٖ رَّضِيَ ٱللَّهُ عَنۡهُمۡ وَرَضُواْ عَنۡهُ

        “Orang-orang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang Muhajirin dan Anshar serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha pada mereka dan mereka pun ridha pada Allah.” (at-Taubah: 100)

 

          وَٱلسَّٰبِقُونَ ٱلسَّٰبِقُونَ ١٠  أُوْلَٰٓئِكَ ٱلۡمُقَرَّبُونَ ١١ فِي جَنَّٰتِ ٱلنَّعِيمِ ١٢

        “Dan orang-orang yang paling dahulu beriman, merekalah yang paling dahulu (masuk al-jannah). Mereka itulah orang yang didekatkan (kepada Allah). Dalam al-jannah yang penuh dengan kenikmatan.” (al-Waqi’ah: 1012)

 

          يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّبِيُّ حَسۡبُكَ ٱللَّهُ وَمَنِ ٱتَّبَعَكَ مِنَ ٱلۡمُؤۡمِنِينَ ٦٤

        “Hai Nabi, cukuplah Allah (menjadi pelindung) bagimu dan bagi orang-orang mukmin yang mengikutimu.” (al-Anfal: 64)

 

          لِلۡفُقَرَآءِ ٱلۡمُهَٰجِرِينَ ٱلَّذِينَ أُخۡرِجُواْ مِن دِيَٰرِهِمۡ وَأَمۡوَٰلِهِمۡ يَبۡتَغُونَ فَضۡلٗا مِّنَ ٱللَّهِ وَرِضۡوَٰنٗا وَيَنصُرُونَ ٱللَّهَ وَرَسُولَهُۥٓۚ أُوْلَٰٓئِكَ هُمُ ٱلصَّٰدِقُونَ ٨

وَٱلَّذِينَ تَبَوَّءُو ٱلدَّارَ وَٱلۡإِيمَٰنَ مِن قَبۡلِهِمۡ يُحِبُّونَ مَنۡ هَاجَرَ إِلَيۡهِمۡ وَلَا يَجِدُونَ فِي صُدُورِهِمۡ حَاجَةٗ مِّمَّآ أُوتُواْ وَيُؤۡثِرُونَ عَلَىٰٓ أَنفُسِهِمۡ وَلَوۡ كَانَ بِهِمۡ خَصَاصَةٞۚ وَمَن يُوقَ شُحَّ نَفۡسِهِۦ فَأُوْلَٰٓئِكَ هُمُ ٱلۡمُفۡلِحُونَ ٩

        “(Juga) bagi para orang-orang faqir yang berhijrah yang diusir dari kampung halaman dan dari harta benda mereka (karena) mencari karunia dari Allah dan keridhaan(Nya), mereka menolong Allah dan Rasul-Nya. Mereka itulah orang-orang yang benar.

Dan orang-orang yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman (Anshar) sebelum (kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka mencintai orang yang berhijrah kepada mereka. Dan mereka tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (orang Muhajirin); dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin) atas diri mereka sendiri, sekalipun mereka memerlukan (apa yang mereka berikan itu). Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (al-Hasyr: 89)

 

Ayat-ayat lainnya cukup banyak tentang keutamaan dan kedudukan mereka.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri telah memuji para sahabat dan menjelaskan keutamaan mereka dalam banyak haditsnya. Di antaranya adalah sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam,

        خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِيْ، ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ، ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُوْنَهُمْ، ثُمَّ يَجِيئُ قَوْمٌ تَسْبِقُ شَهَادَةُ أَحَدِهِمْ يَمِيْنَهُ وَيَمِيْنُهُ شَهَادَتَهُ

“Sebaik-baik manusia (generasi) adalah yang hidup di abadku, kemudian generasi berikutnya, kemudian generasi berikutnya. Setelah itu akan datang suatu kaum yang persaksiannya mendahului sumpahnya dan sumpahnya mendahului persaksiannya.” (HR. al-Bukhari no. 3650 dari ‘Imran bin Hushain radhiallahu ‘anhu, dan Muslim no. 4533 dari Ibnu Mas’ud, ‘Imran bin Hushain, dan Abu Hurairah radhiallahu ‘anhum)

 

لاَ تَسُبُّوا أَصْحَابِيْ، لاَ تَسُبُّوا أَصْحَابِيْ، فَوَالَّذِيْ نَفْسِيْ بِيَدِهِ، لَوْ أَنْفَقَ أَحَدُكُمْ مِثْلَ أُحُدٍ ذَهَبًا مَا أَدْرَكَ مُدَّ أَحَدِهِمْ وَلاَ نَصِيْفَهُ

“Janganlah mencela para sahabatku, janganlah mencela para sahabatku! Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya (Demi Allah), kalaul salah seorang dari kalian berinfak emas sebesar Gunung Uhud, niscaya tidak akan menyamai infak salah seorang dari mereka (para sahabat) yang hanya sebesar cakupan tangan atau setengahnya.” (HR. al-Bukhari no. 3673 dan Muslim no. 2540, dari Abu Sa’id al-Khudri radhiallahu ‘anhu)

 

Abdullah bin ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma berkata, “Janganlah kalian mencela para sahabat Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sungguh, keberadaan salah seorang dari mereka bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam walau sesaat, lebih baik daripada ibadah salah seorang dari kalian sepanjang hidupnya.” (Syarh ath-Thahawiyyah hlm. 532, asy-Syaikh al-Albani rahimahullah berkata, “Sahih”)

 

Abdullah bin Mas’ud radhiallahu ‘anhu berkata, “Sesungguhnya Allah ‘azza wa jalla melihat kepada hati segenap hamba-Nya. Didapatilah hati Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai hati yang terbaik di antara hati para hamba. Oleh karena itu, Allah ‘azza wa jalla memilih dan mengutusnya untuk mengemban risalah-Nya.

Kemudian Allah ‘azza wa jalla melihat kepada hati para hamba, maka didapatilah hati para sahabat Nabi sebagai hati-hati terbaik (setelah hati Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam), sehingga Allah ‘azza wa jalla jadikan mereka sebagai para pembela Nabi-Nya, siap bertempur di atas agamanya. Segala yang dipandang baik oleh para sahabat, maka di sisi Allah subhanahu wa ta’ala adalah baik; dan segala yang dipandang buruk oleh mereka, buruk pula di sisi Allah subhanahu wa ta’ala.” (Syarh ath-Thahawiyyah, hlm. 532, asy-Syaikh al-Albani rahimahullah berkata bahwa hadits ini hasan mauquf, diriwayatkan oleh ath-Thayalisi, Ahmad, dan yang lainnya dengan sanad yang hasan, dinyatakan sahih oleh al-Hakim dan disepakati oleh adz-Dzahabi)

 

Al-Imam ath-Thahawi rahimahullah (ketika menjelaskan prinsip Ahlus Sunnah wal Jamaah) berkata, “Kami mencintai para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, tidak berlebihan dalam mencintai salah seorang dari mereka, dan tidak pula berlepas diri (bara’) terhadap siapa pun dari mereka.

Kami membenci siapa saja yang membenci para sahabat dan yang menjelek-jelekkan mereka. Tidaklah kami menyebut mereka kecuali dengan kebaikan.

Kecintaan kepada mereka adalah bagian dari agama, iman, dan ihsan. Adapun kebencian terhadap mereka adalah kekufuran, kemunafikan, dan perbuatan yang melampaui batas.” (Syarh ath-Thahawiyyah, hlm. 528)

 

Setelah menyebutkan ayat-ayat dan hadits-hadits seputar kedudukan dan keutamaan para sahabat, al-Khathib al-Baghdadi rahimahullah berkata, “Hadits-hadits yang semakna dengan ini cukup banyak. Semuanya sesuai dengan apa yang terdapat di dalam al-Qur’an. Semua itu membuktikan tentang kesucian para sahabat, kepastian keadilan dan kebersihan mereka.

Dengan adanya rekomendasi untuk mereka dari Allah subhanahu wa ta’ala, Dzat Yang Maha Mengetahui segala yang tersembunyi, sungguh tidak seorang pun dari mereka yang butuh rekomendasi siapa pun dari makhluk di muka bumi ini.

 

Para sahabat akan senantiasa berada dalam posisi yang mulia ini. Kecuali apabila salah seorang dari mereka benar-benar terbukti melakukan kemaksiatan dengan sengaja, gugurlah keadilan (rekomendasi) tersebut.

Akan tetapi, Allah subhanahu wa ta’ala telah membersihkan diri mereka dari perbuatan tersebut, bahkan mengangkat derajat mereka di sisi-Nya. Kalaulah nash-nash pujian dari Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya untuk mereka ini tidak ada, amalan-amalan mereka, seperti hijrah, jihad, membela agama Allah subhanahu wa ta’ala, mengorbankan nyawa dan harta, siap bertempur melawan orang tua dan anak mereka (karena agama), saling menasihati dalam urusan agama, serta kuatnya iman dan keyakinan mereka, sudah menunjukkan secara yakin tentang keadilan dan kesucian mereka serta menjadi bukti bahwa mereka lebih utama dari semua pemberi rekomendasi dari generasi yang setelah mereka selama-lamanya. Inilah pendapat keseluruhan ulama dan fuqaha yang diperhitungkan ucapannya.” (al-Kifayah, hlm. 96)

 

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Di antara prinsip Ahlus Sunnah wal Jamaah adalah bersihnya hati dan lisan mereka terhadap para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hal ini sebagaimana yang Allah ‘azza wa jalla sebutkan dalam firman-Nya,

          وَٱلَّذِينَ جَآءُو مِنۢ بَعۡدِهِمۡ يَقُولُونَ رَبَّنَا ٱغۡفِرۡ لَنَا وَلِإِخۡوَٰنِنَا ٱلَّذِينَ سَبَقُونَا بِٱلۡإِيمَٰنِ وَلَا تَجۡعَلۡ فِي قُلُوبِنَا غِلّٗا لِّلَّذِينَ ءَامَنُواْ رَبَّنَآ إِنَّكَ رَءُوفٞ رَّحِيمٌ ١٠

        “Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshar), mereka berdoa, ‘Ya Rabb kami, beri ampunlah kami dan sudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman. Ya Rabb kami, sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang’.” (al-Hasyr: 10)

 

Juga menaati Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabdanya, ‘Janganlah mencela para sahabatku, janganlah mencela para sahabatku! Demi Dzat yang jiwaku berada di tangan-Nya (Allah), kalaulah salah seorang dari kalian berinfak emas sebesar Gunung Uhud, niscaya tidak akan menyamai infak salah seorang dari mereka (para sahabat) yang hanya sebesar cakupan dua telapak stangan atau setengahnya’, menerima segala yang terdapat dalam al-Qur’an, as-Sunnah dan ijma’ tentang keutamaan dan martabat mereka, berlepas diri dari prinsip Syi’ah Rafidhah yang membenci dan mencela mereka, serta dari prinsip Nawashib yang menyakiti Ahlul Bait (keluarga Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam) dengan perkataan dan perbuatannya.

 

Ahlus Sunnah Wal Jamaah menahan diri dari apa yang terjadi di antara para sahabat (berupa fitnah), dengan mengatakan, Sesungguhnya riwayat-riwayat tentang kejelekan mereka ada yang palsu, ada yang ditambah dan dikurangi, serta diubah-ubah dari yang sebenarnya.

Adapun yang terjadi dengan sebenarnya, mereka mendapatkan uzur dalam permasalahan tersebut. Di antara mereka ada yang berijtihad dan benar ijtihadnya, ada pula yang berijtihad, namun keliru ijtihadnya.

 

Barang siapa memerhatikan perjalanan hidup mereka dan segala keutamaan yang Allah subhanahu wa ta’ala karuniakan kepada mereka dengan ilmu dan bashirah, pasti dia akan mengetahui dengan penuh keyakinan bahwa mereka adalah makhluk terbaik setelah para nabi. Tidak ada yang menyamai mereka, baik dahulu maupun di masa yang akan datang.

Mereka adalah generasi pilihan umat ini, sebaik-baik umat dan yang paling mulia di sisi Allah ‘azza wa jalla.” (al-‘Aqidah al-Wasithiyyah, hlm. 142151)

 

(Diterjemahkan dari kitab Matha’in Sayyid Quthb fi Ash-habi Rasulillah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “al-Fashluts Tsani: Makanatu Ashhabir Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam ‘indallahi wa Rasulihi wal Mu’minin,” hlm. 5256, karya Prof. Dr. Rabi’ bin Hadi al-Madkhali, oleh al-Ustadz Ruwaifi’ bin Sulaimi)

 

Buah karya asy-Syaikh Rabi’ bin Hadi al-Madkhali