Kedustaan di Balik Revolusi Iran

Banyak orang tertipu dengan revolusi Iran. Mereka menyangka itu adalah revolusi Islam. Revolusi Iran adalah kedustaan, seakan-akan memperjuangkan kemuliaan Islam melawan Amerika, antek Yahudi, namun sejatinya adalah revolusi untuk menyebarkan Syiah dan menancapkan kekuasaan Syiah di dunia.

Dengan lantang Khomeini meneriakkan slogan la syarqiyah wa la gharbiyah Islamiyah Islamiyah, (Tidak timur tidak barat, namun perjuangan Islam, perjuangan Islam). Bahkan, dengan lantang Khomeini berani mengatakan bahwa Amerika adalah setan besar.

Luar biasa, di saat negara-negara Islam tidak terdengar perlawanannya, dengan penuh keberanian Khomeini menantang Amerika.

Manusia terkagum-kagum hingga lupa hakikat Syiah Rafidhah yang demikian dengki dan licik dalam memusuhi Islam dan kaum muslimin. Manusia tersihir dengan bualan kosong Khomeini. Semua itu hanya kamuflase. Revolusi Syiah mengesankan bahwa Iran bermusuhan dengan Amerika, senyatanya ia adalah sekutu.

Sejenak kita renungkan, sejak revolusi 1979 hingga saat ini, pernahkah terjadi perang antara Amerika dan Iran? Pernahkah rudal nuklir Iran diarahkan kepada Amerika dan sekutunya? Tidak sama sekali. Semua ini adalah sandiwara dan kedustaan Syiah Rafidhah.

 

Hakikat Syiah Rafidhah

Jangan tertipu dengan sandiwara Rafidhah. Sesungguhnya mereka memiliki keyakinan-keyakinan kufur yang sangat bertolak belakang dengan Ahlus Sunnah. Secara resmi, Majelis Ulama Indonesia (MUI) menegaskan bahwa Syiah bukan sekadar kelompok biasa. Ia adalah aliran yang telah divonis sesat dan keluar dari akidah Islam oleh para ulama.

Majelis Ulama Indonesia dalam Rapat Kerja Nasional pada Jumadil Akhir 1404 H/Maret 1984 M merekomendasikan tentang paham Syiah sebagai berikut.

Paham Syiah sebagai salah satu paham yang terdapat dalam dunia Islam mempunyai perbedaan-perbedaan pokok dengan mazhab Sunni (Ahlus Sunnah wal Jamaah) yang dianut oleh Umat Islam Indonesia. Perbedaan itu di antaranya:

  1. Syiah menolak hadits yang tidak diriwayatkan oleh Ahlu Bait[1], sedangkan Ahlus Sunnah wal Jamaah tidak membeda-bedakan, asalkan hadits itu memenuhi syarat ilmu mustalah hadits.
  2. Syiah memandang “Imam” itu maksum (orang suci), sedangkan Ahlus Sunnah wal Jamaah memandangnya sebagai manusia biasa yang tidak luput dari kekhilafan (kesalahan).
  3. Syiah tidak mengakui ijma’ tanpa adanya “Imam”, sedangkan Ahlus Sunnah wal Jamaah mengakui ijma’ tanpa mensyaratkan ikut sertanya “Imam.”
  4. Syiah memandang bahwa menegakkan kepemimpinan/pemerintahan (imamah) adalah termasuk rukun agama, sedangkan Sunni (Ahlus Sunnah wal Jamaah) memandang dari segi kemaslahatan umum dengan tujuan keimamahan adalah untuk menjamin dan melindungi dakwah dan kepentingan umat.
  5. Syiah pada umumnya tidak mengakui kekhalifahan Abu Baar as-Shiddiq, Umar Ibnul Khaththab, dan Utsman bin Affan radhiallahu ‘anhum, sedangkan Ahlus Sunnah wal Jamaah mengakui keempat Khulafa’ Rasyidin (Abu Bakr, Umar, Usman, dan Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhum).

Mengingat perbedaan-perbedaan pokok antara Syiah dan Ahlus Sunnah wal Jamaah seperti tersebut di atas, terutama mengenai perbedaan tentang “Imamah (Pemerintahan)” Majelis Ulama Indonesia mengimbau kepada umat Islam Indonesia yang berpaham Ahlus Sunnah wal Jamaah agar meningkatkan kewaspadaan terhadap kemungkinan masuknya paham yang didasarkan atas ajaran Syiah.

Demikian pernyataan MUI dalam Rapat Kerja Nasional Jumadil Akhir 1404 H/Maret 1984. Pada bulan April 2013 MUI juga menerbitkan membagi-bagikan buku “Mengenal dan Mewaspadai Penyimpangan Syiah di Indonesia.”

Dalam Kata Pengantar buku tersebut hlm. 7, dikatakan, “Buku ini berjudul Mengenal dan Mewaspadai Penyimpangan Syiah, yang disusun berdasarkan referensi primer dan data yang valid, serta yang dapat diketahui dari aktivitas Syiah di Indonesia. Buku saku ini dimaksudkan untuk menjadi pedoman bagi umat Islam Indonesia dalam mengenal dan mewaspadai penyimpangan Syiah, sebagaimana yang terjadi di Indonesia, sebagai ‘Bayan’ resmi dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) dengan tujuan agar umat Islam tidak terpengaruh oleh paham Syiah dan dapat terhindar dari bahaya yang akan mengganggu stabilitas dan keutuhan NKRI.”

Kesesatan Syiah Rafidhah sejatinya perkara yang terang benderang dan tidak perlu diperdebatkan. Pernyataan MUI telah memberikan gambaran umum kepada masyarakat tentang bahaya Syiah Rafidhah.

Untuk lebih mengenal kekufuran kaum Syiah Rafidhah, berikut ini kita ulas kembali beberapa kesesatan mereka dan perbandingannya dengan keyakinan Ahlus Sunnah wal Jamaah.

 

Pertama: Tentang Al-Qur’an

Ahlus Sunnah wal Jamaah meyakini bahwa al-Qur’an adalah Kalamullah, al-Qur’an adalah kitab hidayah. Allah subhanahu wa ta’ala berjanji menjaga lafadz-lafadznya dari penambahan atau pengurangan, demikian pula menjaga maknanya hingga hari kiamat. Al-Qur’an dinukilkan kepada umat secara mutawatir. Allah subhanahu wa ta’ala mudahkan dada-dada kaum muslimin, bahkan anak-anak kecil, menghafalkannya. Allah subhanahu wa ta’ala menyiapkan para ulama yang gigih memperjuangkan dan menjaga al-Qur’an.

Ahlus Sunnah wal Jamaah meyakini bahwa al-Qur’an adalah kalam Allah subhanahu wa ta’ala, tidak ada sedikit pun kebatilan dalam al-Qur’an sebagai sumber utama dalam memahami Islam.

Adapun Rafidhah, keyakinan mereka terhadap al-Qur’an adalah keyakinan kufur. Mereka meyakini para sahabat telah mengubah al-Qur’an. Al-Qur’an yang ada sekarang ini bukan lagi wahyu Allah subhanahu wa ta’ala yang diturunkan, namun ayat-ayat yang telah ditambah dan dikurangi. Artinya, Allah subhanahu wa ta’ala tidak menjaga al-Qur’anul Karim.

Menurut mereka, al-Qur’an tidak bisa dijadikan sebagai hujah dan pegangan. Al-Qur’an bukan lagi kitab hidayah. Menurut mereka, al-Qur’an yang benar adalah al-Qur’an Fathimah yang disimpan Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu.

Keyakinan-keyakinan kufur ini bukan tuduhan tanpa bukti. Keyakinan ini tertera dalam kitab-kitab induk Syiah Rafidhah. Dalam kitab al-Kafi karya Abu Ja’far Muhammad bin Ya’qub al-Kulaini diriwayatkan bahwa Abu Abdullah Ja’far ash-Shadiq berkata, “Sesungguhnya al-Qur’an yang dibawa Jibril kepada Muhammad (ada) 17.000 ayat.” (al-Kafi [2/634])

Dari Abu Abdillah, ia berkata, “…Sesungguhnya di sisi kami ada mushaf Fathimah ‘alaihassalam. Mereka tidak tahu apa mushaf Fathimah itu.”

Abu Bashir berkata, “Apa mushaf Fathimah itu?”

Ia (Abu Abdillah) berkata, “Mushaf tiga kali lipat dari apa yang terdapat di dalam mushaf kalian. Demi Allah, tidak ada padanya satu huruf pun dari al-Qur’an kalian….” (al-Kafi 1/239—240, dinukil dari kitab asy-Syi’ah wal-Qur’an, hlm. 31—32, karya Ihsan Ilahi Zhahir)

Abu Abdillah berkata, “Surat al-Ahzab membuka keburukan-keburukan wanita Quraisy. Surat itu lebih panjang daripada surat al-Baqarah, tetapi oleh para sahabat dikurangi dan diubah.” (Bihar al-Anwar, 89/50)

Bahkan, ahli hadits mereka, Husain bin Muhammad at-Taqi an-Nuri ath-Thabrisi menyempurnakan kekafiran kaum Syiah Rafidhah dengan menulis sebuah kitab berjudul Fashlul Khithab fi Itsbati Tahrifi Kitabi Rabbil Arbab. Kitab yang dikarang pada 1292 H itu mengumpulkan sekian banyak riwayat dusta dari para imam mereka yang maksum (menurut mereka), yang menetapkan bahwa al-Qur’an yang ada ini telah diubah dan menyimpang.

Keyakinan ini sesungguhnya merupakan celaan dan tikaman terhadap Ali bin Abi Thalib dan ahlul bait, bahkan merupakan celaan kepada Allah subhanahu wa ta’ala.

Adapun celaan kepada Ali, karena mereka telah menuduh Ali berkhianat kepada umat dengan menyembunyikan al-Qur’an yang benar. Bukankah beliau ketika itu menjadi khalifah? Mengapa Ali takut kepada manusia untuk menampakkan al-haq? Mengapa al-Hasan dan al-Husain tidak menampakkan al-Qur’an yang benar menurut versi mereka?

Mereka juga mencela Allah subhanahu wa ta’ala dengan keyakinan tersebut. Sebab, makna ucapan mereka adalah Allah subhanahu wa ta’ala telah berdusta dan tidak memenuhi janji untuk menjaga al-Qur’an. Allah subhanahu wa ta’ala lemah, tidak bisa menghadapi manusia yang mengubah-ubah al-Qur’an. Wahai Syiah Rafidhah, tidakkah kalian berakal?

Wahai Syiah Rafidhah, di mana al-Qur’an Fathimah yang kalian sangka itu? Empat belas abad lamanya disembunyikan oleh ahlul bait? Bukankah menurut akidah kalian—yang batil—mereka maksum (terbebas dari dosa)? Apakah menyembunyikan al-Qur’an bukan dosa yang besar? Menyembunyikan al-Qur’an artinya membiarkan manusia dalam kesesatan, tidak punya pegangan hidup.

Mana Imam Mahdi kalian yang bersembunyi di Sirdab? Apakah ia tidak berani keluar untuk segera menyampaikan al-Qur’an Fathimah itu setelah berabad-abad manusia dalam keadaan tidak tahu kitab Rabb mereka? Bukankah sekarang kalian sudah punya Negara Iran dengan nuklirnya yang bisa melindungi al-Mahdi kalian?

Sungguh, ini adalah celaan kalian kepada Ali bin Abi Thalib, al-Hasan, dan al-Husain, serta ahlul bait! Bahkan, celaan kepada Allah subhanahu wa ta’ala.

 

Kedua: Metode Memahami Al-Qur’an

Dalam memahami al-Qur’an, Ahlus Sunnah selalu berpegang dengan kaidah-kaidah yang telah ditetapkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya. Ahlus Sunnah menjauhi jalan orang-orang yang berbicara tanpa ilmu. Ahlus Sunnah mengembalikan tafsir al-Qur’an kepada hadits-hadits Rasul yang sahih dan pemahaman salaful ummah. Ahlus Sunnah sangat jauh dari jalan-jalan Yahudi dan Nasrani yang selalu mengubah ayat-ayat Allah subhanahu wa ta’ala.

Berbeda halnya dengan Syiah Rafidhah, mereka seperti Yahudi dan Nasrani. Menambah lafadz dan menguranginya. Mereka juga lancang menafsirkan ayat al-Qur’an sekehendak akal dan hawa nafsu mereka.

Siapa saja yang membaca tafsir Syiah Rafidhah, akan mendapati bahwa pengubahan terhadap agama Allah subhanahu wa ta’ala dan al-Qur’an yang mereka lakukan lebih parah daripada yang dilakukan oleh Yahudi dan Nasrani.

Pada kesempatan ini kita coba ketengahkan beberapa contoh penyimpangan tafsir Rafidhah sekaligus menjelaskan tentang beberapa ushul tafsir Syiah Rafidhah dan perubahan yang telah mereka lakukan terhadap al-Qur’an.

Di awal surat al-Baqarah, Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

الٓمٓ ١ ذَٰلِكَ ٱلۡكِتَٰبُ لَا رَيۡبَۛ فِيهِۛ هُدٗى لِّلۡمُتَّقِينَ ٢

“Alif Laam Mim. Itulah kitab yang tidak ada keraguan di dalamnya sebagai petunjuk bagi orang-orang yang bertakwa.” (al-Baqarah: 1—2)

Orang-orang yang bertakwa, mereka tafsirkan sebagai ‘pengikut Ali radhiallahu ‘anhu’ yakni kaum Syiah Rafidhah! Selain Syiah Rafidhah, kafir!

Masih dalam surat al-Baqarah, Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

          إِنَّ ٱللَّهَ لَا يَسۡتَحۡيِۦٓ أَن يَضۡرِبَ مَثَلٗا مَّا بَعُوضَةٗ فَمَا فَوۡقَهَاۚ

“Sesungguhnya Allah tiada segan membuat perumpamaan berupa nyamuk atau yang lebih rendah dari itu.” (al-Baqarah: 26)

Mereka mengatakan yang dimaksud nyamuk adalah Ali radhiallahu ‘anhu, sedangkan yang lebih rendah dari nyamuk adalah Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Ali radhiallahu ‘anhu mereka anggap seperti nyamuk, dan Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam lebih rendah dari itu. Ini termasuk perbuatan zindiq sekaligus dan cercaan terhadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Sungguh mengherankan penafsiran mereka. Terkadang Ali radhiallahu ‘anhu dianggap sebagai binatang yang melata di muka bumi. Terkadang Ali adalah bintang, terkadang matahari, terkadang langit, sedangkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai buah Tin dan Ali radhiallahu ‘anhu sebagai buah zaitun, para imam (mereka) sebagai bukit Sinai.

Masih dalam surat al-Baqarah, Allah subhanahu wa ta’ala berfirman tentang kisah Musa dan kaumnya,

وَإِذۡ قَالَ مُوسَىٰ لِقَوۡمِهِۦٓ إِنَّ ٱللَّهَ يَأۡمُرُكُمۡ أَن تَذۡبَحُواْ بَقَرَةٗۖ

Dan (ingatlah), ketika Musa berkata kepada kaumnya, “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyembelih seekor sapi betina.” (al-Baqarah: 67)

Syiah Rafidhah mengatakan bahwa yang dimaksud dengan sapi betina yang diperintahkan untuk disembelih adalah Aisyah binti Abu Bakr ash-Siddiq radhiallahu ‘anha.

Penafsiran al-Qur’an mereka benar-benar mencapai puncak kekufuran. Dengan penafsiran itulah mereka mengubah-ubah al-Qur’an, lebih keji daripada perbuatan Yahudi dan Nasrani. Semua ayat tentang tanda-tanda kemunafikan, kekufuran, siksaan, ayat-ayat celaan dan ancaman, diterapkan kepada para sahabat, terkhusus Abu Bakr radhiallahu ‘anhu. Mereka meyakini bahwa Abu Bakr akan disiksa dengan siksaan yang paling keras, seperti Iblis. Penyebutan setan dalam ayat-ayat al-Qur’an mereka tafsirkan dengan Umar bin al-Khaththab.

Ayat-ayat tentang Hari Kebangkitan dan Hari Pembalasan, menurut mereka adalah keluarnya sang penegak hukum, yakni Imam Mahdi versi mereka! Dan berbagai macam penyelewengan yang tak terhitung banyaknya terhadap kitab Allah.

 

Ketiga: Penetapan Sifat Rububiyah bagi Imam Mereka

Ahlus Sunnah wal Jamaah mentauhidkan Allah subhanahu wa ta’ala dalam rububiyah, uluhiyah, serta dalam nama-nama dan sifat-Nya. Terhadap para nabi dan orang-orang saleh, Ahlus Sunnah mencintai, menghormati, dan memuliakan mereka sesuai dengan koridor syariat. Ahlus Sunnah tidak mengultuskan dan mengangkat derajat mereka lebih dari yang semestinya, apalagi memberikan sifat-sifat Allah subhanahu wa ta’ala untuk mereka.

Adapun Syiah Rafidhah memiliki keyakinan syirik. Sifat khusus bagi Allah subhanahu wa ta’ala mereka berikan untuk imam-imam mereka. Mereka meyakini bahwa para imam mengetahui perkara yang gaib. Di samping itu, mereka menetapkan kemaksuman untuk seluruh imam mereka. Keyakinan ini tertera dalam literatur-literatur utama Syiah Rafidhah dan terucap dari lisan tokoh-tokoh mereka.

Salah satu kalimat kekufuran terlontar dari tokoh besar Syiah Rafidhah, Khomeini. Dia berkata, “Kami bangga bahwa para imam kami adalah para imam yang maksum, sejak ‘Ali bin Abu Thalib hingga Penyelamat Umat manusia, al-Imam al-Mahdi, sang penguasa zaman—baginya dan bagi nenek moyangnya beribu-ribu penghormatan dan salam—yang dengan kehendak Allah Yang Mahakuasa, ia hidup (pada saat ini) seraya mengawasi perkara-perkara yang ada.” (al-Washiyah al-Ilahiyah, hlm. 5, dinukil dari Firaq Mu’ashirah, 1/192)

 

Keempat: Tentang Taqiyah

Taqiyah adalah berkata atau berbuat sesuatu yang berbeda dengan keyakinan, dalam rangka kemunafikan, dusta, dan menipu umat manusia. (Lihat Firaq Mu’ashirah, 1/195 dan asy-Syiah al-Itsna ‘Asyariyah, hlm. 80)

Tokoh mereka, Khomeini mendefinisikan keyakinan sesatnya, “Taqiyah maknanya berkata sesuatu yang menyelisihi kenyataan, atau mengamalkan amalan yang menyelisihi timbangan syariat (agama Syiah Rafidhah). Itu semua dilakukan untuk menjaga darah, kehormatan, dan harta.” (Kasyful Asrar hlm. 147)

Akidah ini sangat bermanfaat bagi penganut agama Syiah Rafidhah. Apabila bersendiri di tengah-tengah Ahlus Sunnah, mereka berpura-pura bersama Ahlus Sunnah. Mereka berkata dan berbuat sesuatu yang tidak mereka yakini, sembari mencari celah untuk memasukkan kerancuan-kerancuan agama dan kesesatan mereka.

Taqiyah hakikatnya adalah kemunafikan, seperti firman Allah subhanahu wa ta’ala,

          وَإِذَا لَقُواْ ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ قَالُوٓاْ ءَامَنَّا وَإِذَا خَلَوۡاْ إِلَىٰ شَيَٰطِينِهِمۡ قَالُوٓاْ إِنَّا مَعَكُمۡ إِنَّمَا نَحۡنُ مُسۡتَهۡزِءُونَ ١٤

Dan bila mereka berjumpa dengan orang-orang yang beriman, mereka mengatakan, “Kami telah beriman.” Dan bila mereka kembali kepada setan-setan mereka, mereka mengatakan, “Sesungguhnya kami sependirian dengan kamu, kami hanyalah berolok-olok.” (al-Baqarah: 14)

Adapun Ahlus Sunnah wal Jamaah berusaha menetapi perintah Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya untuk selalu jujur dan bersama dengan orang-orang yang jujur. Ahlus Sunnah jujur dalam mengucapkan kalimat tauhid, jujur dalam beramal, jauh dari kemunafikan, riya, dan kesyirikan. Ahlus Sunnah menegakkan amar ma’ruf nahi munkar. Ahlus Sunnah mengatakan bahwa yang hak adalah hak dan yang batil adalah batil.

Syiah Rafidhah justru berkeyakinan bahwa taqiyah (kedustaan dan kemunafikan) adalah bagian dari agama. Bahkan, mereka meyakini bahwa taqiyah adalah sembilan per sepuluh dari agama.

Al-Kulaini meriwayatkan dari Abu Abdillah, ia berkata kepada Abu Umar al-A’jami, “Wahai Abu ‘Umar, sesungguhnya 9/10 dari agama ini adalah taqiyah. Tidak ada agama bagi siapa saja yang tidak ber-taqiyah.” (al-Kafi 2/175, dinukil dari Firaq Mu’ashirah, 1/196)

Lebih keji lagi, mereka menisbatkan taqiyah (baca: kedustaan dan kemunafikan) kepada imam-imam mereka.

Ketika Syiah Rafidhah ditanya, “Mengapa Ali bin Abi Thalib tidak terang-terangan menampakkan keyakinannya? Mengapa beliau tidak mengeluarkan al-Qur’an Fathimah, justru mendiamkan para sahabat mengubah al-Qur’an? Mengapa beliau membiarkan umat dalam kesesatan?”

Syiah Rafidhah akan menjawab bahwa Ali melakukan hal itu karena taqiyah, menyembunyikan hakikat keyakinan beliau. Artinya, Ali berbuat kemunafikan di hadapan seluruh manusia dan berpura-pura bersama yang lain. Beliau melakukan itu karena takut terancam harta, jiwa, dan kehormatannya dengan sebab kezaliman Abu Bakr, Umar, dan Utsman yang ketika itu menjadi khalifah.

Allahu akbar! Celaan yang luar biasa terhadap Ali radhiallahu ‘anhu.

Syiah telah menyematkan sifat pendusta kepada Ali radhiallahu ‘anhu dan menuduhnya sebagai penakut. Padahal beliau orang yang sangat pemberani. Beliaulah orang yang dengan berani menggantikan posisi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di Makkah ketika Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam hijrah, siap untuk dibunuh. Beliaulah pembawa bendera Perang Khaibar sekaligus penakluk benteng Khaibar.

Kemudian kita tanyakan lagi kepada Syiah Rafidhah, “Wahai Syiah Rafidhah, setelah Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu menjadi khalifah, mengapa beliau tetap saja berdusta kepada umat, tidak menyatakan bahwa Abu Bakr, Umar, dan Utsman radhiallahu ‘anhum telah berkhianat merebut kekhalifahan dari Ali dan mengubah al-Qur’an? Mengapa pula al-Qur’an Fathimah masih tetap beliau pegang?”

Demikianlah keadaan Syiah Rafidhah. Agama mereka dibangun di atas kedustaan. Oleh karena itu, ketika ditanya tentang mereka, al-Imam Malik rahimahullah berkata, “Jangan kamu berbincang dengan mereka. Jangan pula meriwayatkan dari mereka. Sebab, sungguh mereka itu selalu berdusta.”

Demikian pula al-Imam asy-Syafi’i rahimahullah, beliau berkata, “Aku belum pernah tahu ada yang melebihi Rafidhah dalam hal persaksian palsu.” (Mizanul I’tidal, 2/27—28, karya al-Imam adz-Dzahabi rahimahullah)

 

Kelima: Tentang Raj’ah (Reinkarnasi)

Di antara keyakinan sesat Syiah Rafidhah adalah keyakinan raj’ah. Raj’ah adalah keyakinan bahwa orang-orang yang telah meninggal akan hidup kembali di dunia.

Tentang surat al-Qashash ayat 85,

          إِنَّ ٱلَّذِي فَرَضَ عَلَيۡكَ ٱلۡقُرۡءَانَ لَرَآدُّكَ إِلَىٰ مَعَادٖۚ

“Sesungguhnya yang mewajibkan atasmu (melaksanakan hukum-hukum) al-Qur’an, benar-benar akan mengembalikan kamu ke tempat kembali.”

‘Ahli tafsir’ mereka, al-Qummi berkata, “Yang dimaksud oleh ayat tersebut adalah raj’ah (hidup kembali di dunia setelah kematian).”

Kemudian dia menukil dari Husain bin ‘Ali bahwa ia berkata tentang ayat ini, “Nabi kalian dan Amirul Mukminin (‘Ali bin Abu Thalib) serta para imam ‘alaihimus salam akan kembali kepada kalian.” (Dinukil dari kitab Atsarut Tasyayyu’ ‘alar Riwayatit Tarikhiyah, hlm. 32, karya Dr. Abdul ‘Aziz Nurwali)

Mereka meyakini bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan imam-imam mereka akan datang lagi dan hidup di dunia. Di antara yang mereka yakini, kelak pada zaman Imam Mahdi (versi Syiah Rafidhah) Abu Bakr dan Umar akan dibangkitkan lalu disalib pada tiang salib, karena kekufuran keduanya dan perampasan hak imamah dari Ali bin Abi Thalib. (al-Khuthuth al-‘Aridhah)

 

Keenam: Tentang al-Bada’

Ahlus Sunnah wal Jamaah meyakini bahwa Allah subhanahu wa ta’ala memiliki sifat ilmu. Ilmu Allah Mahasempurna. Ilmu Allah subhanahu wa ta’ala meliputi segala sesuatu: yang belum terjadi, yang sedang terjadi, dan yang akan terjadi. Allah juga Maha Mengetahui apa-apa yang tidak akan terjadi. Tidak ada sedikit pun yang tersembunyi di hadapan Allah subhanahu wa ta’ala. Tidak ada yang baru bagi Allah subhanahu wa ta’ala, yang sebelumnya Allah subhanahu wa ta’ala tidak tahu kemudian menjadi tahu.

Adapun Syiah Rafidhah memiliki keyakinan kufur tentang Allah subhanahu wa ta’ala, yaitu al-Bada’.

Al-Bada’ maknanya mengetahui sesuatu yang sebelumnya tidak diketahui. Artinya, mereka menetapkan sifat jahil (bodoh) bagi Allah subhanahu wa ta’ala. Akidah kufur ini sebelumnya telah diyakini oleh Yahudi.

Mereka benar-benar melampaui batas dalam hal menetapkan akidah al-Bada’. Al-Kulaini meriwayatkan dari Abu Abdillah, “Tidak ada pengagungan kepada Allah subhanahu wa ta’ala yang melebihi al-Bada’.” (al-Kafi 1/111, dinukil dari Firaq Mu’ashirah, 1/252)

Apa manfaat akidah ini bagi Syiah Rafidhah? Akidah ini sangat penting untuk menolak semua nas (dalil-dalil tegas) syariat yang tidak sesuai dengan kesesatan mereka.

Sebagai contoh, Ahlus Sunnah wal Jamaah meyakini bahwa Abu Bakar ash-Shiddiq, Umar bin al-Khaththab, Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, dijamin masuk jannah (surga), sebagaimana dikabarkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits yang sahih. Akan tetapi, Rafidhah meyakini bahwa Abu Bakr, Umar, dan Utsman adalah kafir, kekal dalam neraka dan mendapatkan azab yang terpedih sebagaimana halnya Iblis.

Ketika Ahlus Sunnah mengatakan kepada mereka, “Apakah kalian tidak percaya wahyu Allah subhanahu wa ta’ala bahwa mereka dijamin masuk surga?”

Syiah Rafidhah mengatakan, “Kita yakin degan firman Allah subhanahu wa ta’ala dan sabda Rasul-Nya. Hanya saja, sebelumnya Allah subhanahu wa ta’ala memberi jaminan jannah, kemudian Allah subhanahu wa ta’ala baru mengetahui bahwa mereka lebih pantas untuk kekal di dalam neraka. Allah subhanahu wa ta’ala lalu mengubah keputusan-Nya sesuai dengan ilmu yang baru saja Allah subhanahu wa ta’ala ketahui.”

Ditulis oleh al-Ustadz Abu Ismail Muhammad Rijal, Lc

[1] Ahlul Bait yang dimaksud tentu saja menurut versi Syiah Rafidhah yang menyimpang. Di antara penyimpangan Rafidhah dalam masalah ahlul bait, mereka mengeluarkan istri-istri Nabi dari lingkaran ahlul bait, bahkan mengatakan bahwa istri-istri Rasul adalah pezina dan kafir. Wal ‘iyadzubillah.

syi'ah