(ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Muhammad Harits)
Manusia itu berbeda-beda keadaannya, baik dalam hal bentuk fisik maupun sifat. Karena itulah, di antara manusia ada yang elok rupa dan perawakannya, ada pula yang tidak.
Ada di antara mereka yang tinggi, ada yang pendek. Ada yang sempurna anggota tubuhnya, ada pula yang cacat, demikian seterusnya. Begitu pula sifat dan kepribadian masing-masing. Ada yang tidak mempunyai kepribadian, akhlak, etika, perasaan halus, dan sebagainya, ada pula yang berwatak mulia, bercita-cita tinggi, tekad yang luhur, dan seterusnya.
Para nabi adalah golongan manusia yang memiliki berbagai kesempurnaan sebagai seorang manusia, baik jasmani maupun rohani. Mengapa? Karena Allah k memang memilih mereka untuk diri-Nya, sehingga sudah pasti memilih orang-orang yang paling baik dan sempurna; hati, akhlak, kepribadian, dan sebagainya.
Allah l berfirman:
“Allah lebih mengetahui di mana Dia menempatkan tugas kerasulan.” (al-An’am: 124)
Allah l berfirman:
“Rasul-rasul itu Kami lebihkan sebagian mereka atas sebagian yang lain. Di antara mereka ada yang Allah berkata-kata (langsung dengan dia) dan sebagiannya Allah meninggikannya beberapa derajat.” (al-Baqarah: 253)
Namun, bukan berarti kesempurnaan fisik para nabi dan rasul sebagai manusia, menunjukkan mereka berada dalam satu keadaan yang sama. Kesempurnaan yang ada pada mereka juga berbeda-beda. Itulah salah satu bukti keindahan karya dan kesempurnaan kekuasaan Allah Yang Maha Esa. Allah l berfirman:
“(Begitulah) perbuatan Allah yang membuat dengan kokoh tiap-tiap sesuatu.” (an-Naml: 88)
Artinya, Dia melakukan sesuatu dengan kekuasaan-Nya yang besar dan mengokohkan segala sesuatu yang telah diciptakan-Nya.
Rasulullah n pernah menceritakan tentang perawakan fisik sebagian nabi, di antaranya tentang Nabi Musa q, yang dikatakan beliau seperti laki-laki dari suku Himyar (Yaman), tinggi, dan berkulit gelap.1 Nabi ‘Isa q, seorang laki-laki yang bertubuh sedang, dengan rambut basah seolah-olah baru keluar dari kamar mandi.2
Para sahabat juga pernah menerangkan kepada kita tentang sebagian ciri-ciri Nabi n, kata mereka, “Beliau laki-laki yang paling gagah, rupawan, tidak terlalu tinggi, dan tidak pula pendek. Dadanya bidang, pipinya halus, rambutnya sangat hitam, dan sepasang matanya bercelak. Warna kulitnya cerah, tidak terlalu putih seperti bule dan tidak gelap (sawo matang). Rambutnya tidak terlalu keriting dan tidak pula lurus.”3
Adapun kesempurnaan sikap, kepribadian, watak, perasaan, dan sebagainya, mereka juga berada pada tingkatan paling sempurna sebagai manusia. Cukuplah pujian Allah k terhadap mereka dalam banyak ayat-Nya di dalam Al-Qur’an.
Allah l berfirman tentang Khalil-Nya Ibrahim q:
“Sesungguhnya Ibrahim itu benar-benar seorang yang penyantun lagi pengiba, dan suka kembali kepada Allah.” (Hud: 75)
Allah l berfirman menceritakan pujian anak perempuan laki-laki saleh di Madyan tentang pribadi Nabi Musaq:
“Wahai ayah, ambillah ia sebagai orang yang bekerja (pada kita), karena sesungguhnya orang yang paling baik yang engkau ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya.” (al-Qashash: 26)
Namun, kesempurnaan itu hanya tinggal sebagai cerita yang dibaca. Banyak di antara manusia yang tidak menempatkan kesempurnaan itu pada tempatnya. Ada yang melampaui batas, hingga menjadikan pemilik kesempurnaan itu sederajat dengan Zat yang memberi kesempurnaan tersebut, yaitu Allah k. Artinya, kesempurnaan itu menjadi alasan bagi mereka untuk menyerahkan peribadatan kepada para nabi dan rasul. Mereka meminta syafaat, berkah, keselamatan, kemuliaan, kesehatan, dan rezeki kepada para nabi dan rasul. Ada pula yang menyembelih korban, shalat, puasa, sedekah, nazar, dan sebagainya untuk para nabi tersebut. Subhanallah.
Sebaliknya, ada pula yang tidak peduli, hingga merendahkan para nabi tersebut, seperti tindakan orang-orang kafir dari kalangan ahli kitab (Yahudi dan Nasrani). Kalau kita membalik lembaran-lembaran kitab mereka, tentu kita akan melihat kitab yang mereka katakan sebagai pedoman hidup itu, penuh dengan tuduhan-tuduhan keji yang dialamatkan kepada para nabi tersebut. Hampir tidak satu pun nabi yang selamat dari kata-kata mereka yang tidak senonoh. Tak hanya itu, Allah l yang telah menciptakan dan menyelamatkan mereka dari kehinaan, juga tidak luput dari ejekan mereka.
Allah l berfirman:
“Sesungguhnya Allah telah mendengar perkataan orang-orang yang mengatakan, ‘Sesungguhnya Allah miskin dan kami kaya’.” (Ali ‘Imran: 181)
Juga firman Allah l:
“Orang-orang Yahudi berkata, ‘Tangan Allah terbelenggu’, sebenarnya tangan merekalah yang dibelenggu dan merekalah yang dilaknat disebabkan apa yang telah mereka katakan itu.” (al-Maidah: 64)
Inilah beberapa kejelekan yang dituduhkan oleh ahli kitab kepada para nabi dan rasul yang pernah hidup bersama mereka.
1. Mereka menuduh Nabi Harun q membuatkan patung anak sapi lalu disembah oleh Bani Israil (Kitab Keluaran 32:1). Padahal, Al-Qur’an dengan tegas mengungkapkan bahwa yang membuat patung anak sapi adalah Samiri. Nabi Harun q justru menentang perbuatan mereka, sampai-sampai mereka hampir membunuh beliau.
2. Nabi Ibrahim q menyerahkan istrinya Sarah kepada Pharao (Fir’aun) sehingga memperoleh hadiah (Kitab Kejadian 12:14). Sementara itu, Rasulullah n mengisahkan kepada kita, Nabi Ibrahim q memasuki Mesir yang ketika itu diperintah oleh seorang raja zalim, yang tidak pernah membiarkan seorang wanita cantik yang bersuami, melainkan membunuh suaminya lalu merampas wanita itu untuk dirinya. Setelah Nabi Ibrahim q ditanya tentang Sarah, beliau mengatakan bahwa itu adalah saudaranya, yakni saudara se-Islam. Rasulullah n menerangkan pula bahwa Allah l memelihara Sarah ketika dibawa kepada raja tersebut, hingga dia tidak dapat didekati sama sekali oleh raja zalim tersebut.
3. Mereka menuduh Nabi Luth q meminum tuak sampai mabuk lalu menyetubuhi kedua putrinya (Kitab Kejadian 19:30). Mahasuci Allah, tidak mungkin Nabi Luth q berbuat demikian. Beliaulah yang sepanjang hidupnya selalu mengajak kepada kemuliaan dan memerangi perbuatan hina kaumnya. Akan tetapi, kedengkian kaum Yahudi mendorong mereka menutup-nutupi kemuliaan yang beliau miliki.
4. Tuduhan mereka terhadap Nabi Ya’qub q, bapak moyang mereka sendiri, sebagai pencuri ternak dari kandangnya, lantas membawa keluarganya tanpa memberitahu (Kitab Kejadian 31:17).
5. Mereka menuduh Dawud q berzina dengan istri prajuritnya, kemudian melakukan tipudaya agar membunuh laki-laki itu. Akhirnya prajurit itu tewas, dan Dawud menikahi wanita tersebut hingga melahirkan Sulaiman (Kitab Samuel II 11:1).
6. Mereka menuduh Sulaiman q murtad di akhir usianya dan menyembah berhala serta membangun kuil-kuil peribadatan (Kitab Raja-Raja I 11:5).
7. Yesus bersaksi bahwa nabi-nabi yang sebelum dia di kalangan Bani Israil adalah perampok dan pencuri. (Injil Yohannes, 10:8)
Itulah sebagian perbuatan hina yang dinisbatkan oleh bangsa yang paling dilaknat ini kepada para nabi Allah l yang suci. Mahasuci Allah dari apa yang mereka ada-adakan. Namun, kebusukan jiwa membuat mudah menisbatkan kehinaan itu kepada manusia pilihan Allah l, agar mudah pula bagi mereka melakukan perbuatan dosa sesuai dengan selera mereka.
Tidak sampai di situ, bahkan ada pula yang mereka bunuh.
Nabi Musa q, salah seorang nabi dan rasul paling mulia yang diutus memimpin mereka, tak luput dari ejekan mereka. Mereka pernah mengatakan kepada beliau agar membuatkan satu sesembahan untuk mereka, seperti dalam firman Allah l:
“Bani Israil berkata, ‘Wahai Musa, buatlah untuk kami sebuah sesembahan, sebagaimana mereka mempunyai beberapa sesembahan’.” (al-A’raf: 138)
Atau mengatakan, “Kami tidak akan beriman kepadamu sampai kami melihat Allah dengan terang-terangan.” Sebagaimana Allah l ceritakan:
“Dan (ingatlah), ketika kamu berkata, ‘Wahai Musa, kami tidak akan beriman kepadamu sebelum kami melihat Allah dengan terang’, karena itu kamu disambar halilintar, sedangkan kamu menyaksikannya.” (al-Baqarah: 55)
Atau berkata kepada beliau, “Pergilah engkau bersama Rabbmu, dan berperanglah kamu berdua. Sungguh, kami akan duduk di sini (menunggu).”
Abu Hurairah z berkata, Rasulullah n bersabda:
إِنَّ مُوسَى كَانَ رَجُلاً حَيِيًّا سِتِّيرًا لاَ يُرَى مِنْ جِلْدِهِ شَيْءٌ اسْتِحْيَاءً مِنْهُ فَآذَاهُ مَنْ آذَاهُ مِنْ بَنِي إِسْرَائِيلَ فَقَالُوا: مَا يَسْتَتِرُ هَذَا التَّسَتُّرَ إِلاَّ مِنْ عَيْبٍ بِجِلْدِهِ، إِمَّا بَرَصٌ وَإِمَّا أُدْرَةٌ وَإِمَّا آفَةٌ. وَإِنَّ اللهَ أَرَادَ أَنْ يُبَرِّئَهُ مِمَّا قَالُوا لِمُوسَى فَخَلاَ يَوْمًا وَحْدَهُ فَوَضَعَ ثِيَابَهُ عَلَى الْحَجَرِ ثُمَّ اغْتَسَلَ فَلَمَّا فَرَغَ أَقْبَلَ إِلَى ثِيَابِهِ لِيَأْخُذَهَا وَإِنَّ الْحَجَرَ عَدَا بِثَوْبِهِ فَأَخَذَ مُوسَى عَصَاهُ وَطَلَبَ الْحَجَرَ فَجَعَلَ يَقُولُ: ثَوْبِي حَجَرُ، ثَوْبِي حَجَرُ. حَتَّى انْتَهَى إِلَى مَلَأٍ مِنْ بَنِي إِسْرَائِيلَ فَرَأَوْهُ عُرْيَانًا أَحْسَنَ مَا خَلَقَ اللهُ وَأَبْرَأَهُ مِمَّا يَقُولُونَ وَقَامَ الْحَجَرُ فَأَخَذَ ثَوْبَهُ فَلَبِسَهُ وَطَفِقَ بِالْحَجَرِ ضَرْبًا بِعَصَاهُ، فَوَاللهِ إِنَّ بِالْحَجَرِ لَنَدَبًا مِنْ أَثَرِ ضَرْبِهِ ثَلاَثًا أَوْ أَرْبَعًا أَوْ خَمْسًا، فَذَلِكَ قَوْلُهُ: يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لاَ تَكُونُوا كَالَّذِينَ آذَوْا مُوسَى فَبَرَّأَهُ اللهُ مِمَّا قَالُوا وَكَانَ عِنْدَ اللهِ وَجِيهًا
Sesungguhnya Musa adalah seorang pemalu, menutup rapat tubuhnya hingga tidak terlihat kulitnya sedikitpun karena malu. Karena itulah beberapa orang dari Bani Israil menyakiti beliau, kata mereka, “Dia menutup diri seperti itu, tidak lain karena cacat pada kulitnya, entah itu sopak (belang), udrah4, atau penyakit lain.”
Dan sesungguhnya Allah k ingin membersihkan beliau dari tuduhan yang mereka lontarkan kepada Musa. Pada suatu hari, beliau menyepi sendirian dan meletakkan pakaiannya di atas sebuah batu, lalu mandi.
Setelah selesai, beliau mendekati batu itu untuk memungut pakaiannya. Ternyata, batu itu berlari membawa pakaian beliau. Nabi Musa q pun mengambil tongkatnya mengejar batu itu sambil berseru, ‘Pakaianku, hai batu! Pakaianku, hai batu!’ sampai di dekat sekumpulan orang-orang Bani Israil. Akhirnya, mereka pun melihat beliau dalam keadaan tidak berpakaian dan tubuh yang paling bagus. Allah k membersihkan beliau dari ejekan yang pernah mereka ucapkan.
Batu itu pun berhenti dan Nabi Musa q segera mengenakan pakaiannya, kemudian mulai memukul batu itu dengan tongkatnya. Demi Allah, masih ada bekas tiga, empat, atau lima pukulan pada batu tersebut.
Itulah yang Allah l firmankan:
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menjadi seperti orang-orang yang menyakiti Musa; maka Allah membersihkannya dari tuduhan-tuduhan yang mereka katakan. Dan adalah dia seorang yang mempunyai kedudukan terhormat di sisi Allah.”5 (al-Ahzab: 69)
Akan tetapi, demikianlah watak orang-orang Yahudi.
Ketika Nabi Musa q sendirian, lalu keluar dari dalam air, beliau tidak melihat bajunya yang diletakkan di atas sebongkah batu. Beliau pun mengejar batu tersebut agar tidak terlihat oleh seorang pun bahwa beliau dalam keadaan tidak berpakaian. Namun, ternyata ada sekelompok Bani Israil duduk-duduk di sekitar situ, maka terpaksa beliau melewati mereka.
Melihat keadaan Nabi Musa q itu, mereka pun menyadari ketidakbenaran tuduhan mereka. Ternyata, Nabi Musa q memiliki tubuh yang sempurna tanpa cacat.
Walhamdu lillah.
Catatan Kaki:
1 HR. al-Bukhari no. 3394 dan Muslim no. 172 & 178.
2 HR. al-Bukhari no. 3394.
3 HR. al-Bukhari (3547, 3548) dan Muslim (2347), lihat juga Shahihul Jami’ (4/199).
4 Udrah, pembengkakan scrotum (kemaluan) –red.
5 HR. al-Imam al-Bukhari no. 278, 3404, dan 4799, Muslim (1/183) dari Abu Hurairah z.