Lelaki menikahi anak hasil zinanya sendiri

Tolong jelaskan hukumnya dengan dalil yang lengkap. Seseorang berzina kemudian punya anak perempuan. Setelah anak itu dewasa mau dinikahi oleh si bapak tersebut, soalnya ada dalil yang membolehkannya, katanya.

Jay—Denpasar

Dijawab oleh al-Ustadz Muhammad as-Sarbini al-Makassari

Hal itu tidak benar. Satu-satunya dalil yang bisa dijadikan hujah untuk membolehkan hal itu adalah hadits:
لاَ يُحَرِّمُ الْحَرَامُ، إِنَّمَا يُحَرِّمُ مَا كَانَ بِنِكَاحٍ حَلاَلٍ.
“Percampuran yang haram tidaklah mengharamkan. Sesungguhnya yang mengharamkan hanyalah pernikahan yang halal (sah).” (HR. ath-Thabarani dalam al-Mu’jam al-Ausath, Ibnu ‘Adi dalam al-Kamil, Ibnu Hibban dalam adh-Dhu’afa’, ad-Daraquthni, dan al-Baihaqi)
Namun, hadits ini dihukumi sebagai hadits yang batil oleh al-Imam al-Muhaddits al-Albani dalam adh-Dha’ifah, karena pada sanadnya terdapat:
• Utsman bin ‘Abdirrahman al-Waqqashi yang kadzdzab (pendusta) sebagaimana kata Ibnu Ma’in.
• Al-Mughirah bin Isma’il yang majhul (tidak dikenal) sebagaimana kata adz-Dzahabi.
Kata al-Albani dalam adh-Dha’ifah, “Fuqaha mazhab Syafi’i dan lainnya berdalil dengan hadits ini untuk menghalalkan seorang lelaki menikahi anak perempuan hasil zinanya, padahal Anda telah mengetahui bahwa hadits ini dha’if (lemah) sehingga tidak ada hujah dalam hal ini.”
Sebaliknya, sebagian ulama yang berpendapat bahwa hal itu tidak boleh juga berdalil dengan hadits yang tidak ada asal usulnya, yaitu hadits:
مَا اجْتَمَعَ الْحَلاَلَ وَالْحَرَامَ إِلاَّ غَلَبَ الْحَرَامُ.
“Tidaklah berkumpul antara yang halal dan yang haram melainkan yang haram menang.”
Kata al-Albani dalam adh-Dha’ifah, “Hadits ini tidak ada sumbernya. Hal ini dinyatakan oleh al-Hafizh al-‘Iraqi pada kitab Takhrij al-Minhaj, kemudian dinukil oleh al-Munawi pada kitab Faidhul Qadir dan ia menyetujuinya. Hadits ini dijadikan dalil tentang haramnya seorang lelaki menikahi anak perempuan hasil zinanya, dan ini adalah pendapat fuqaha mazhab Hanafi. Meskipun pendapat ini benar ditinjau dari sisi makna, tetapi tidak boleh berdalilkan dengan hadits batil semisal ini.”
Berikutnya, al-Albani berkata dalam adh-Dha’ifah, “Masalah ini telah diperselisihkan di kalangan salaf. Setiap pihak tidak memiliki nash sebagai dalilnya, tetapi tinjauan makna dan qiyas (analogi) menuntut haramnya hal itu. Ini adalah mazhab Ahmad dan selainnya, serta dirajihkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah.”1
Pendapat ini juga yang dikuatkan oleh al-Imam al-Faqih Ibnu ‘Utsaimin. Pendapat ini dinisbatkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah kepada jumhur (mayoritas) ulama, dan inilah yang benar. Tinjauan makna dan qiyas (analogi) menuntut haramnya hal itu.
Adapun tinjauan makna, hal itu haram karena anak itu adalah darah dagingnya sendiri yang berasal dari air maninya sehingga merupakan anaknya secara hukum kauni qadari (ketetapan takdir Allah l), meskipun secara hukum syar’i (ketentuan syariat) anak itu bukan anaknya karena lahir di luar pernikahan yang sah.
Adapun tinjauan secara qiyas (analogi), hal itu haram seperti haramnya seorang lelaki menikahi anak susuannya yang disusui oleh istrinya. Jika anak susuan seseorang haram atasnya, padahal faktornya hanyalah karena anak itu meminum air susu istrinya yang terproduksi dengan sebab digauli olehnya sehingga hamil dan melahirkan, tentulah seorang anak zina yang berasal dari air maninya, yang merupakan darah dagingnya sendiri, lebih pantas untuk dinyatakan haram atasnya. Wallahu a’lam.2

Peringatan
Pada kesempatan ini kami hendak mengingatkan kesalahan sebagian orang yang menisbatkan kepada al-Imam asy-Syafi’i t bahwa beliau hanya berpendapat makruh (tidak haram).
Kata al-Imam al-Albani dalam kitab Tahdzir as-Sajid (hlm. 37), “Benar-benar telah keliru orang yang menisbatkan kepada al-Imam asy-Syafi’i bahwa beliau berpendapat bolehnya seorang lelaki menikahi anak perempuan hasil zinanya dengan hujah bahwa al-Imam asy-Syafi’i telah menegaskan makruhnya hal itu, sedangkan hukum makruh yang bersifat tanzih (untuk membersihkan diri dari hal-hal yang dibenci tetapi tidak haram) tidaklah berkontradiksi dengan hukum mubah (boleh).”
Al-Albani kemudian menukil ucapan Ibnul Qayyim t dari kitab I’lam al-Muwaqqi’in, “Asy-Syafi’i menegaskan bahwa makruh (dibenci) bagi seorang lelaki menikahi anak perempuan hasil zinanya. Beliau sama sekali tidak mengatakan bahwa hal itu boleh (mubah/ja’iz). Yang selaras dengan kemuliaan dan keimaman serta kedudukan yang disandangnya dalam agama ini, yang beliau maksud dengan makruh (dibenci) di sini adalah makruh yang bersifat haram. Beliau memutlakkan kata makruh (menggunakannya secara lepas) dalam masalah ini, karena di sisi Allah l dan Rasul-Nya perkara yang haram itu adalah sesuatu yang makruh. Allah l berfirman menyebutkan hal-hal yang haram mulai dari ayat:
“Dan Rabb-mu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia.” (al-Isra’: 23)
Sampai firman Allah l:
“Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya), melainkan dengan suatu (alasan) yang benar.” (al-Isra’: 33)
Sampai firman Allah l:
“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya.” (al-Isra’: 36)
Sampai akhir ayat ke-37, kemudian Allah l berfirman:
“Semua itu kejelekannya amat dibenci (makruh) di sisi Rabb-mu.” (al-Isra’: 38)
Dalam kitab ash-Shahih3 Rasulullah n bersabda:
إِنَّ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ كَرِهَ لَكُمْ ثَلاَثاً: قِيْلَ وَقاَلَ، وَكَثْرَةَ السُّؤَالِ، وَإِضَاعَةَ الماَلِ.
“Sesungguhnya Allah membenci tiga perkara untuk kalian: ucapan ini dan itu (ucapan sia-sia), banyak meminta dan bertanya, serta membuang harta dengan sia-sia.”
Jadi, kaum salaf terbiasa menggunakan kata makruh (dibenci) dengan makna yang digunakan dalam ucapan Allah l dan Rasul-Nya. Akan tetapi, orang-orang belakangan menjadikan kata makruh sebagai istilah untuk masalah yang tidak haram tetapi sebaiknya ditinggalkan. Kemudian ada di antara mereka yang menggiring ucapan imam-imam Islam ke makna yang sesuai dengan istilah baru tersebut sehingga dia pun keliru karenanya.
Yang lebih parah kesalahannya daripada ini adalah yang menggiring kata ‘makruh’ dan ‘la yanbaghi’ (tidak sepantasnya) dari ucapan Allah l dan Rasul-Nya ke makna yang sesuai dengan istilah baru tersebut.”4
Wal ‘ilmu ‘indallah.

Catatan Kaki:

1 Lihat kitab adh-Dha’ifah (1/565—566).
2 Lihat kitab Majmu’ Fatawa (32/134—137, 138—140), al-Akhbar al-‘Ilmiyyah min al-Ikhtiyarat al-Fiqhiyyah hlm. 303, asy-Syarhul Mumti’ (5/170).

3 Maksudnya Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim (muttafaq ‘alaih) dari sahabat al-Mughirah bin Syu’bah z. Hadits ini memiliki syahid (penguat) dari hadits Abu Hurairah z yang dikeluarkan oleh Muslim.
4 Lihat kitab I’lam al-Muwaqqi’in (2/80—81, cetakan Dar Ibnil Jauzi).