Ada sebagian orang yang membolehkan taklid. Namun, ternyata hujah mereka sangat lemah.
Seandainya ada yang mengatakan bahwa sebagian ulama membolehkan taklid dengan dalil dari al-Qur’an, sesungguhnya pendapat itu juga sudah dibantah oleh ulama yang lain, bahkan menjelaskan kerusakan taklid ini. Berikut ini kami sebutkan keterangan dari al-Imam ash-Shan’ani rahimahullah tentang masalah ini.
Beliau mengatakan, “Adapun dalil mereka yang membolehkan taklid ini di antaranya adalah firman Allah subhanahu wa ta’ala,
فَسَۡٔلُوٓاْ أَهۡلَ ٱلذِّكۡرِ إِن كُنتُمۡ لَا تَعۡلَمُونَ ٤٣
“Maka bertanyalah kepada orang yang berilmu jika kamu tidak mengetahui!” (an-Nahl: 43)
Mereka menyatakan bahwa dalam ayat ini Allah subhanahu wa ta’ala memerintah mereka yang tidak mengetahui supaya bertanya kepada orang yang lebih mengetahui.
Jawabnya: Pertama, kita katakan bahwasanya mengikuti satu mazhab imam tertentu dan menerima seluruh pendapatnya—yang tidak boleh seseorang keluar dari pendapat itu sedikit pun—adalah perbuatan bid’ah. Setiap bid’ah adalah sesat. Maka, apa artinya berdalil dengan satu kebid’ahan?
Perbuatan ini dikatakan sebagai satu kebid’ahan karena para muqallid (orang yang taklid, red.) tidak mungkin dapat menyebutkan satu orang di zaman para sahabat yang mengikuti atau taklid kepada sahabat lainnya dalam segala tindak-tanduk dan pendapatnya, atau menggugurkan pendapat sahabat yang lain, atau menakwil ayat-ayat dan hadits agar sesuai dengan pendapat serta keyakinan orang yang diikutinya.
Hal ini jelas diketahui oleh siapa pun bahwa tidak pernah terjadi demikian di kalangan para sahabat, bahkan di zaman tiga generasi terbaik umat ini, seperti yang telah dinyatakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
خَيْرُ النَّاسِ قَرْنِي* ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُونَهُمْ ثُمَّ يَفْشُو الْكَذِبُ
“Sebaik-baik generasi adalah generasiku (yang aku hidup pada masanya), kemudian (generasi) berikutnya, dan berikutnya, kemudian (mulai) tersebarlah kedustaan.” (HR. at-Tirmidzi dari Umar ibnul Khaththab radhiyallahu ‘anhu)
Bid’ah taklid ini baru muncul sesudah tiga abad pertama ini. Adapun ayat yang mereka jadikan sebagai dalil, maka sesungguhnya Allah subhanahu wa ta’ala memerintah orang yang tidak berilmu untuk bertanya kepada ahli dzikr (ulama). Yang dimaksud dengan adz-Dzikr adalah al-Qur’an dan as-Sunnah sebagaimana juga dinyatakan oleh Allah subhanahu wa ta’ala dalam firman-Nya,
وَٱذۡكُرۡنَ مَا يُتۡلَىٰ فِي بُيُوتِكُنَّ مِنۡ ءَايَٰتِ ٱللَّهِ وَٱلۡحِكۡمَةِ
“Dan ingatlah apa yang dibacakan di rumah kalian dari ayat-ayat Allah dan hikmah (Sunnah Nabimu)!” (al-Ahzab: 34)
Juga firman-Nya,
هُوَ ٱلَّذِي بَعَثَ فِي ٱلۡأُمِّيِّۧنَ رَسُولٗا مِّنۡهُمۡ يَتۡلُواْ عَلَيۡهِمۡ ءَايَٰتِهِۦ وَيُزَكِّيهِمۡ وَيُعَلِّمُهُمُ ٱلۡكِتَٰبَ وَٱلۡحِكۡمَةَ
“Dialah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang rasul dari kalangan mereka sendiri, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, menyucikan mereka, serta mengajarkan kepada mereka al-Kitab (al-Qur’an) dan al-Hikmah (as-Sunnah).” (al-Jumu’ah: 2)
Dengan demikian, perintah Allah subhanahu wa ta’ala dalam ayat ini adalah perintah kepada orang yang jahil (bodoh) supaya bertanya kepada orang yang mengerti tentang al-Qur’an dan hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenai hal-hal yang terdapat pada keduanya. Apabila ulama sudah menerangkan keduanya kepada yang bertanya, wajib bagi si penanya untuk mengikuti keterangan yang disampaikan ulama tersebut.
Perhatikanlah Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, bagaimana dia bertanya kepada para sahabat yang lain tentang apa yang diucapkan dan dikerjakan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Demikian pula bagaimana para sahabat bertanya kepada para istri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang hal-hal yang luput dari penglihatan mereka, khususnya kepada ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha. Demikian pula keadaan para tabi’in dan tabi’ut tabi’in, mereka bertanya kepada yang lain tentang ucapan dan perbuatan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Dalil kedua mereka adalah hadits tentang seorang pekerja yang berzina dengan istri majikannya. Ayah pekerja ini mengatakan, “Saya bertanya kepada ahli ilmu dan mereka menerangkan bahwa anakku harus dihukum cambuk 100 kali serta diasingkan selama satu tahun dan istri orang ini harus dirajam.” Hadits ini diriwayatkan oleh al-Bukhari rahimahullah, dan mereka mengatakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengingkari taklid kepada orang yang lebih berilmu daripada orang tersebut.
Jawabnya: Orang ini bertanya kepada ahli ilmu dan mereka memberi fatwa dengan Sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenai ketetapan (sunnah) tersebut dalam masalah itu. Hadits ini merupakan pendukung bagi ayat tersebut, karena yang dimaksud dengan bertanya kepada ahli dzikr adalah bertanya tentang al-Kitab (al-Qur’an) dan as-Sunnah, bukan tentang pendapat mereka pribadi.
Dalil mereka berikutnya, seperti disebutkan dalam firman Allah subhanahu wa ta’ala,
وَمَا كَانَ ٱلۡمُؤۡمِنُونَ لِيَنفِرُواْ كَآفَّةٗۚ فَلَوۡلَا نَفَرَ مِن كُلِّ فِرۡقَةٖ مِّنۡهُمۡ طَآئِفَةٞ لِّيَتَفَقَّهُواْ فِي ٱلدِّينِ وَلِيُنذِرُواْ قَوۡمَهُمۡ إِذَا رَجَعُوٓاْ إِلَيۡهِمۡ لَعَلَّهُمۡ يَحۡذَرُونَ ١٢٢
“Tidak sepatutnya bagi orang-orang yang mukmin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.” (at-Taubah: 122)
Mereka menyatakan, wajibnya menerima peringatan yang disampaikan itu, dan ini berarti taklid kepada mereka.
Jawabnya: Ini menunjukkan ketidaktahuan mereka tentang pengertian lafadz indzar (memberi peringatan). Seseorang baru dikatakan memberi peringatan apabila dia menyampaikannya dengan hujah (dalil) yang jelas. Adapun orang yang memberi peringatan tanpa hujah atau dalil, dia belumlah dikatakan memberi peringatan.
Dengan demikian, pengertian “memberi peringatan” dalam ayat ini adalah memberi keterangan kepada mereka dengan hujah dan bukti sesuai dengan apa yang telah mereka pahami dari hukum-hukum Islam ini.
Bukankah sudah jelas bagi kita bagaimana para malaikat penjaga neraka berkata kepada para penghuni neraka, seperti dalam firman Allah,
أَلَمۡ يَأۡتِكُمۡ نَذِيرٞ ٨ قَالُواْ بَلَىٰ قَدۡ جَآءَنَا نَذِيرٞ فَكَذَّبۡنَا وَقُلۡنَا مَا نَزَّلَ ٱللَّهُ مِن شَيۡءٍ إِنۡ أَنتُمۡ إِلَّا فِي ضَلَٰلٖ كَبِيرٖ ٩ وَقَالُواْ لَوۡ كُنَّا نَسۡمَعُ أَوۡ نَعۡقِلُ مَا كُنَّا فِيٓ أَصۡحَٰبِ ٱلسَّعِيرِ ١٠
“Apakah belum pernah datang kepada kamu seorang pemberi peringatan?” Mereka menjawab, “Benar ada. Sesungguhnya telah datang kepada kami seorang pemberi peringatan, lalu kami dustakan dia dan kami katakan, ‘Allah tidak menurunkan sesuatu pun, kamu tidak lain hanyalah di dalam kesesatan yang besar’.” Dan mereka berkata pula, ‘Seandainya kami mau mendengar atau memikirkannya niscaya kami tidak akan menjadi penghuni neraka yang menyala-nyala’.” (al-Mulk: 8—10)
Mereka mengakui bahwa memang sudah datang seorang pemberi peringatan kepada mereka. Peringatan tersebut tidak lain adalah dengan hujjah atau dalil. Namun, mereka mendustakan peringatan tersebut dengan sikap menentang. Kemudian Allah subhanahu wa ta’ala menyatakan,
فَٱعۡتَرَفُواْ بِذَنۢبِهِم
“Mereka pun mengakui dosa mereka.” (al-Mulk: 11)
Akhirnya mereka berkata dengan penuh penyesalan seperti yang disebutkan dalam ayat tersebut. (Seandainya kami mau mendengar) yakni seandainya kami mau mengamalkan apa yang kami dengar, (atau memikirkannya) artinya seandainya kami beramal dengan apa yang kami pahami. Kalau bukan demikian, sebagaimana sudah dimaklumi bahwa sesungguhnya mereka mendengar dan memahami namun mereka tidak mengamalkannya. Ini menunjukkan seolah-olah mereka tidak mempunyai pendengaran dan pikiran.
Inilah sekelumit jawaban atas alasan atau dalil orang-orang yang membolehkan taklid.
Wallahu a’lam bish-shawab.
Ditulis oleh al-Ustadz Idral Harits