Mandi yang Disunnahkan

(ditulis oleh: Al-Ustadz Muslim Abu Ishaq Al-Atsari)

Dalam edisi-edisi yang telah lalu kita telah membahas tentang beberapa mandi yang diwajibkan, baik pewajibannya disepakati di kalangan ulama maupun yang diperselisihkan. Kami telah pula menying-gung di awal pembahasan tentang mandi bahwa selain mandi yang diwajibkan ada pula yang mandi disunnahkan/disenangi untuk dilakukan oleh seorang muslim. Berikut ini beberapa mandi mustahab yang dapat kami sebutkan dengan dalil-dalilnya.

Mandi sebelum Mengerjakan Dua Shalat Id (Idul Fithri dan Idul Adhha)
Tentang mandi Id ini tidak ada dalil yang shahih dari Rasulullah n (tidak ada hadits marfu’ yang shahih1), yang ada hanyalah dari ucapan shahabat dan tabi’in sebagaimana berikut ini:
Al-Baihaqi meriwayatkan dari jalan Asy-Syafi’i dari Zadzan, ia berkata: “Sese-orang bertanya kepada ‘Ali bin Abi Thalib z tentang mandi, maka beliau menjawab:

“Mandi setiap hari bila engkau inginkan.” Orang itu berkata: “Tidak (bukan itu yang kumaksudkan), tapi aku bertanya tentang mandi yang merupakan mandi yang disyariatkan.” ‘Ali menjawab: “Mandi pada hari Jum’at, mandi pada hari ‘Arafah, mandi pada hari Nahr (Idul Adhha) dan Idul Fithri.” (Dishahihkan sanadnya oleh Asy-Syaikh Al-Albani t dalam Irwa`ul Ghalil, 1/176)
Asy-Syaikh Al-Albani t berkata: “Yang paling bagus untuk dijadikan sebagai dalil untuk menyatakan disenanginya mandi pada dua hari Id adalah riwayat Al-Baihaqi (di atas –pent.).” (Irwa`ul Ghalil, 1/176)
Nafi’ mengabarkan:

“Sungguh ‘Abdullah bin ‘Umar c mandi pada hari Idul Fithri sebelum berpagi-pagi berangkat menuju ke mushalla.” (Diriwayatkan oleh Al-Imam Malik 1/428, ‘Abdurrazzaq no. 5753 dengan sanad shahih)
Al-Firyabi meriwayatkan ucapan Sa’id ibnul Musayyab t berikut ini:

“Sunnah pada hari Idul Fitri ada tiga: berjalan menuju ke mushalla (lapangan tempat pelaksanaan shalat Id), makan sebelum keluar ke mushalla dan mandi.” (Dishahihkan sanadnya oleh Asy-Syaikh Al-Albani t dalam Irwa`ul Ghalil, ketika membahas hadits no. 636, 3/104)
Ketika mengomentari ucapan ‘Urwah bin Az-Zubair dan Sa’id ibnul Musayyab yang masing-masingnya menyatakan ucapan senada: “Mandi pada hari Idul Fitri dan Idul Adha adalah sunnah”, Al-Imam Asy-Syafi’i t menyatakan: “Madzhab Sa’id dan ‘Urwah tentang mandi pada hari dua Id adalah sunnah, (maksudnya) bahwa mandi tersebut lebih baik, lebih harum dan lebih bersih, bahkan mandi ini dilakukan oleh orang-orang yang shalih. Bukan maksudnya kepastian bahwa mandi tersebut merupakan Sunnah Rasulullah n.” (Al-Umm, kitab Shalatul ‘Idain, Al-Ghuslu lil Idain)
Al-Imam An-Nawawi t berkata: “Termasuk mandi yang disunnahkan adalah mandi untuk dua Id. Mandi ini sunnah bagi setiap orang menurut kesepakatan yang ada, sama saja baik bagi laki-laki, wanita maupun anak-anak. Karena yang diinginkan dengan mandi ini adalah untuk berhias, sedangkan setiap mereka (laki-laki, wanita dan anak-anak) adalah orang yang patut untuk berhias (ketika hari Id). Berbeda dengan mandi Jum’at, yang tujuannya adalah menghilangkan aroma yang tak sedap sehingga mandi Jum’at hanya dikhu-suskan bagi orang yang akan menghadiri shalat Jum’at, menurut pendapat yang shahih.” (Al-Majmu’, 2/232)
Al-Imam Ibnu Qudamah t berka-ta: “Disenangi untuk bersuci/membersihkan diri dengan mandi untuk hari Id. Adalah Ibnu ‘Umar c biasa mandi pada hari Idul Fithri. Mandi ini diriwayatkan (juga) dari ‘Ali z. Yang berpendapat sunnahnya hal ini di antaranya ‘Alqamah, ‘Urwah, ‘Atha`, An-Nakha’i, Asy-Sya’bi, Qatadah, Abuz Zinad, Malik, Asy-Syafi’i dan Ibnul Mundzir….” (Al-Mughni, kitab Ash-Shalah, bab Shalatul Idain, masalah Yusta-habbu An Yatathahhar bil Ghusl lil ‘Idain)

Faedah
Ulama berbeda pendapat tentang waktu mandi Id, apakah dilakukan sebelum terbit fajar atau setelahnya?
Alasan ulama yang berpendapat bahwa mandi itu dilakukan setelah terbit fajar dan tidak boleh sebelumnya adalah karena mandi tersebut dilakukan untuk hari Id. Sehingga bila dilakukan sebelum masuk hari Id maka tidak teranggap, sebagai pengkiasan terhadap mandi Jum’at.
Sedangkan ulama yang membolehkan mandi sebelum fajar beralasan disunnah-kannya berpagi-pagi mengerjakan shalat Id. Dan hal itu secara umum tidak bisa direali-sasikan kecuali dengan mandi sebelum terbit fajar agar dapat berpagi-pagi menuju ke mushalla setelah mengerjakan shalat shubuh. (Al-Hawil Kabir, 2/483)
Namun karena tidak ada dalil yang menguatkan dalam masalah ini maka perkaranya lapang. Boleh mandi sebelum fajar ataupun setelahnya. Namun lebih utama kalau dikerjakan sebelum fajar. Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.
Al-Baji dalam Al-Muntaqa (1/316) berkata: “Bila seseorang menyegerakan mandi tersebut sebelum terbit fajar maka ada toleransi karena itu juga dekat dengan shalat Id. Juga karena mandi yang dilaku-kan sebelum fajar itu tidak hilang bekas-bekasnya dan tidak berubah kebersihannya.”
Al-Imam An-Nawawi membolehkan mandi Id dilakukan sebelum ataupun setelah fajar. Namun timbul permasalahan lain bila mandi itu dilakukan sebelum fajar: Apakah boleh dilakukan sepanjang malam itu atau pada tengah malam saja? Al-Imam An-Nawawi menguatkan pendapat yang menyatakan mandi tersebut hanya boleh dilakukan setelah lewat tengah malam, tidak boleh sebelum itu. (Al-Majmu’, 1/233-234)

Mandi setiap Selesai Senggama
Bila seorang suami selesai ‘menda-tangi’ istrinya, kemudian ingin meng-ulanginya (dengan istri tersebut ataupun dengan istrinya yang lain), maka disenangi baginya untuk berwudhu sebelumnya. Dalilnya hadits Rasulullah n:

“Apabila salah seorang dari kalian ‘mendatangi’ istrinya, kemudian ingin mengulanginya, hendaklah ia berwudhu [di antara kedua senggama tersebut] (dalam satu riwayat: sebagaimana wudhu untuk menger-jakan shalat) karena yang demikian lebih menyemangatkan dalam pengu-langan].” (HR. Muslim dalam Shahih-nya no. 705, namun tambahan yang ada dalam kurung [ ] adalah dari riwayat Abu Nu’aim dalam Ath-Thibb, 2/12/1. Lihat Adabuz Zafaf, hal. 35)
Namun bila ia mandi maka itu lebih utama, berdasarkan hadits Abu Rafi’ z. Ia mengisahkan bahwa Nabi n dalam satu malam pernah ‘mendatangi’ seluruh istrinya, dan beliau mandi setiap kali selesai dengan seorang istrinya. Abu Rafi’ berkata: “Aku pun bertanya kepada beliau:

“Wahai Rasulullah! Mengapa engkau tidak menjadikan mandi (janabahmu) hanya sekali mandi saja (yakni selesai dari semua senggama –pent.)? “ Beliau menjawab: “Mandi (setiap selesai senggama) ini lebih mensucikan, lebih bagus dan lebih bersih.” (HR. Abu Dawud dalam Sunan-nya no, 219, An-Nasa`i dalam ‘Isyratun Nisa` no. 152 dan selain keduanya. Dihasankan oleh Asy-Syaikh Al-Albani t dalam Shahih Abi Dawud)
Penulis ‘Aunul Ma’bud ‘ala Sunan Abi Dawud berkata: “Hadits Abu Rafi’ z ini menunjukkan disunnahkannya mandi sebelum mengulang senggama, dan tidak ada perbedaan pendapat dalam hal ini. An-Nasa`i berkata: ‘Tidak ada pertentangan antara hadits ini dengan hadits Anas bin Malik z2, karena Nabi n melakukan keduanya. Beliau melakukan hal ini dan melakukan pula yang selainnya.’ An-Nawawi berkata dalam Syarhu Muslim: ‘Beliau melakukan dua perkara tersebut dalam dua waktu yang berbeda.’ Apa yang dikatakan oleh An-Nasa`i dan An-Nawawi bagus sekali dan tidak ada pertentangan antara kedua hadits tersebut. Karena suatu waktu Rasulullah n meninggalkan mandi (ketika hendak mengulangi senggama) untuk menerangkan bahwa hal itu dibolehkan dan untuk memberikan keringanan pada umat beliau. Dan pada kesempatan yang lain beliau melakukan mandi di setiap pengulangan karena yang demikian itu lebih mensucikan dan lebih bersih.” (‘Aunul Ma’bud, kitab Ath-Thaharah, bab Fil Wudhu Liman Arada An Ya’uda)

Mandi sebelum Berihram untuk Haji atau Umrah
Seseorang yang hendak berihram untuk haji atau umrah disunnahkan untuk mandi, sebagaimana hal ini merupakan pandangan jumhur ulama (Ad-Darari, hal. 43). Dalilnya hadits Zaid bin Tsabit z:

“Ia pernah melihat Nabi n melepas pakaian (yang dikenakan sebelum berihram, untuk kemudian mengenakan pakaian ihram –pent.) untuk ihlal3 beliau dan mandi.” (HR. At-Tirmidzi no. 8304. Dihasankan dalam Irwa`ul Ghalil no. 149)
Di antara yang mendukung hadits di atas adalah riwayat yang diriwayatkan oleh Ad-Daraquthni, Al-Hakim dan Al-Baihaqi dari Ya’qub bin ‘Atha` dari bapaknya dari Ibnu ‘Abbas c, ia berkata: “Rasulullah n mandi, kemudian mengenakan pakaian (ihram)nya. Ketika tiba di Dzul Hulaifah, beliau shalat dua rakaat, kemudian duduk di atas untanya….”
Ucapan Ibnu ‘Umar c berikut ini pun menjadi pendukung bagi hadits di atas, di mana beliau menyatakan:

“Termasuk sunnah adalah seseorang mandi bila hendak berihram dan bila hendak masuk ke Makkah.” (Diriwayatkan oleh Ad-Daraquthni dan Al-Hakim. Dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani t dalam Irwa`ul Ghalil no. 149)5
Asy-Syaikh Al-Albani t berkata: “Riwayat di atas –sekalipun mauquf6– namun ucapan Ibnu ‘Abbas c: ‘Termasuk sunnah’, menunjukkan bahwa yang beliau maksudkan adalah Sunnah Rasulullah n, sebagaimana hal ini ditetapkan dalam ilmu ushul fiqih. Karena itu, hadits (Zaid bin Tsabit) di atas dengan dua pendukungnya shahih, insya Allah I.” (Irwa`ul Ghalil, 1/179)
Al-Imam Al-Mawardi t berkata: “Disenangi bagi orang yang ingin ihram untuk haji dan umrah untuk mandi dari tempat miqatnya berdasarkan riwayat Jabir bin Zaid bin Tsabit dari ayahnya, bahwa-sanya Rasulullah n mandi untuk ihlalnya. Ja’far bin Muhammad meriwayatkan dari ayahnya g dari Jabir, ia berkata: ‘Ketika kami tiba di Dzul Hulaifah, Asma` bintu ‘Umais melahirkan Muhammad bin Abi Bakr, maka Nabi n memerintahkannya mandi untuk ihlalnya7.’ Sunnah mandi ketika hendak berihram ini berlaku umum, baik bagi laki-laki, wanita, orang/wanita yang suci maupun yang haid, karena Nabi n memerintahkan Asma` untuk mandi, padahal ia dalam keadaan nifas. Namun mandi ini tidaklah wajib hukumnya sehingga dianggap berdosa orang yang meninggal-kannya. Mandi ini hanyalah istihbab (mustahab) dan ikhtiyar (diberi pilihan untuk melakukan atau meninggalkannya).” (Al-Hawil Kabir, 4/73)
Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin t menyatakan bahwa setiap orang yang ingin melaksanakan ibadah haji dan umrah, hendaklah mandi, baik laki-laki, wanita, orang yang junub, yang tidak junub, wanita haid, nifas, anak kecil ataupun orang tua. Dan mandi di sini –karena disebut secara mutlak– yang dimaukan seperti mandi janabah. (Asy-Syarhul Mumti’, 3/181)

Mandi ketika Hendak Masuk ke Kota Makkah
Nafi’ t mengabarkan:

“Adalah Ibnu ‘Umar c bila masuk daerah paling rendah dari tanah Haram (Makkah), beliau berhenti dari talbiyah, kemudian beliau bermalam di Dzi Thuwa8. Lalu beliau mengerjakan shalat subuh di tempat tersebut dan mandi. Beliau menyam-paikan bahwa Nabi n dahulu melakukan hal itu.” (HR. Al-Bukhari no. 1573)
Atsar Ibnu ‘Umar c yang telah disebutkan ketika membahas mandi sebelum ihram9 juga menjadi dalil tentang sunnahnya mandi sebelum masuk Makkah.
Ibnul Mundzir t berkata, sebagaimana dinukil oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-’Asqalani t: “Mandi sebelum masuk Makkah adalah mustahab menurut pendapat seluruh ulama. Namun bila meninggalkannya (tidak mandi) tidaklah ada kewajiban membayar fidyah. Mayoritas mereka mengatakan: ‘Cukup baginya berwudhu’.” (Fathul Bari, 3/549)
Al-Imam Asy-Syaukani t berkata setelah membawakan hadits riwayat Al-Bukhari di atas: “Hadits ini menunjukkan istihbab mandi untuk masuk Makkah.” (Nailul Authar, 2/336)

Mandi pada Hari Arafah bagi Jamaah Haji yang akan Wuquf di Arafah
Yang menjadi dalil dalam hal ini adalah atsar dari ‘Ali bin Abi Thalib z yang telah disebutkan dalam pembahasan tentang mandi sebelum shalat Id10.
Al-Imam An-Nawawi t menyebut-kan disyariatkannya mandi ini bagi yang akan wuquf di Arafah. (Al-Majmu’, 8/114)
Mandi setelah Memandikan Mayat
Setelah memandikan jenazah, disunnahkan untuk mandi bagi yang memandikannya, menurut pendapat jumhur ulama11 (Al-Majmu’, 5/144). Dalilnya adalah sabda Nabi n:

“Siapa yang memandikan jenazah maka hendaklah ia mandi dan siapa yang memikul jenazah hendaklah ia berwudhu.”  (HR. Abu Dawud no. 3161 dan At-Tirmidzi no. 993, dishahihkan dalam Shahih Abu Dawud dan Shahih At-Tirmidzi)
Perintah Rasulullah n dalam hadits di atas tidaklah bermakna wajib. Hal ini sebagaimana diterangkan oleh atsar berikut:
1. Ibnu ‘Abbas c berkata:

“Tidak ada kewajiban mandi bagi kalian apabila kalian memandikan orang yang meninggal di antara kalian, karena mayat tidaklah najis. Cukup bagi kalian mencuci tangan-tangan kalian.” (Riwayat Ad-Dara-quthni, Al-Hakim dan Al-Baihaqi. Bila riwayat ini disandarkan atau di-rafa’-kan kepada Rasulullah n maka dhaif. Yang benar riwayat ini mauquf sampai Ibnu ‘Abbas c (yakni ucapan beliau). Lihat pembahasan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Adh-Dha’ifah no. 6302)
2. Atsar dari Ibnu ‘Umar c, ia menyatakan:
“Kami dulunya memandikan mayat, di antara kami ada yang mandi dan ada yang tidak mandi.” (HR. Ad-Daraquthni no. 191, Al-Khathib dalam Tarikh-nya, 5/424, dengan sanad yang shahih sebagaimana dinyatakan Al-Hafizh, kata Asy-Syaikh Al-Albani dalam Ahkamul Jana`iz hal. 72)
Al-Imam Asy-Syaukani t berkata: “Yang berpendapat wajibnya mandi ini adalah Abu Hurairah, Al-Imamiyyah dan satu riwayat dari An-Nashir. Adapun jumhur ulama berpendapat mustahab (sunnah). Mereka mengatakan: ‘Perintah yang disebut-kan dalam hadits yang terdahulu12 dipaling-kan dari hukum wajib (kepada hukum sunnah) dengan dua hadits di atas13. Dan juga fatwa shahabat kepada Asma` bintu ‘Umais, istri Abu Bakar z, ketika selesai memandikan jenazah suami-nya. Ia berkata kepada para shahabat: ‘Hari ini sangat dingin dan aku sedang puasa. Apakah aku wajib mandi?’ Mereka menjawab: ‘Tidak.’ Diriwayatkan Al-Imam Malik dalam Al-Muwaththa`.” (Ad-Darari, hal. 42)

Mandi setelah Menguburkan Mayat Musyrik/Kafir
‘Ali bin Abi Thalib z mengabarkan bahwa ia mendatangi Nabi n untuk memberi kabar meninggalnya Abu Thalib. Nabi pun memerintahkannya:

“Pergilah untuk menguburkannya.” ‘Ali berkata: “Ia mati dalam keadaan musyrik.” Nabi mengulangi perintahnya: “Pergilah untuk menguburkannya.” Kata ‘Ali: “Tatkala selesai menguburkannya, aku  menemui Nabi maka beliau berkata kepadaku: ‘Mandilah’.” (HR. Ahmad, 1/97, Abu Dawud no. 3214, dan An-Nasa`i no. 2006. Dishahihkan dalam Shahih Sunan Abi Dawud dan Shahih Sunan An-Nasa`i)
Dalam hal ini ada yang berpandangan bahwa mandi ‘Ali bin Abi Thalib z yang disebutkan dalam hadits di atas adalah karena ia telah memandikan jenazah ayahnya Abu Thalib, sehingga mandinya disyariatkan karena sebab memandikan jenazah bukan karena menguburkan jenazah. Terlebih lagi pada akhir hadits ini ada tambahan dalam riwayat Ahmad dan lainnya:

“Adalah ‘Ali bila selesai memandikan mayat, ia pun mandi.”
Asy-Syaikh Al-Albani t menjawab: “Orang bisa mengatakan bahwa dzahir hadits ini justru menunjukkan disyariat-kannya mandi setelah menguburkan jenazah. Dan tentunya ini tidaklah bertentangan dengan lafadz tambahan yang ada pada akhir hadits. Karena tambahan tersebut adalah kalimat yang baru/terpisah dari kalimat sebelumnya, tidak ada hubungannya. Aku maksudkan, tidak ada dalil dalam hadits tersebut yang menunjukkan bahwa ‘Ali mandi hanyalah karena selesai memandikan jenazah berdasarkan perintah Nabi n kepada ‘Ali untuk mandi dalam hadits tersebut. Bahkan ini (mandi karena memandikan jenazah –pent.) adalah perkara lain sedangkan itu (mandi karena menguburkan jenazah –pent.) perkara yang lain lagi.” (Ahkamul Jana`iz, hal. 171)

Mandi setelah Siuman dari Pingsan
‘Ubaidullah bin Abdillah bin ‘Utbah mengisahkan:
“Aku pernah masuk menemui ‘Aisyah x, lalu aku berkata: ‘Tidakkah engkau mau mengabarkan kepadaku tentang sakit Rasulullah n?”

‘Aisyah menjawab: ‘Tentu. Saat Nabi n merasakan sakit yang parah, beliau bertanya: ‘Apakah orang-orang telah mengerjakan shalat?’ Kami menjawab: ‘Be-lum, mereka menantimu.’ Beliau bersabda: ‘Letakkan untukku air dalam bejana.’ ‘Aisyah berkata: ‘Kami pun menunaikan permintaan beliau, lalu beliau mandi. Beliau berupaya bangkit dengan susah payah hingga beliau pingsan. Kemudian beliau siuman dan bertanya: ‘Apakah orang-orang telah mengerjakan shalat?’ Kami menjawab: ‘Be-lum, mereka menanti-mu wahai Rasulullah.’ Beliau kembali me-minta: ‘Letakkan untukku air dalam bejana.’ ‘Aisyah berka-ta: ‘Beliau pun duduk lalu mandi. Kemudian beliau berupaya bangkit dengan susah payah hingga beliau pingsan. Beliau siuman dan bertanya: ‘Apakah orang-orang telah mengerjakan shalat?’ Kami menjawab: ‘Belum, mereka menantimu wahai Rasu-lullah.’ Beliau berkata: ‘Letakkan air untukku dalam bejana.’ Beliau pun duduk lalu mandi, kemudian kembali berupaya bangkit dengan susah payah, namun beliau pingsan lagi. Setelah siuman, beliau bertanya: ‘Apakah orang-orang telah mengerjakan shalat?’ Kami menjawab: ‘Belum, mereka menantimu wahai Rasulullah….” (HR. Al-Bukhari no. 687 dan Muslim no. 935)
Al-Imam An-Nawawi t berkata: “Ucapan ‘Aisyah x menukil sabda Rasulullah n: , kata ‘Aisyah: ‘Kami pun melakukannya lalu beliau mandi’, ini merupakan dalil sunnahnya mandi karena pingsan. Apabila seseorang pingsan berulang-ulang maka disenangi pula untuk mengulangi mandi setiap kali siuman. Namun bila seseorang tidak mandi kecuali setelah pingsan beberapa kali, maka hal itu cukup baginya (yakni dengan sekali mandi tersebut).
Al-Qadhi ‘Iyadh membawa pengertian  di sini kepada wudhu, karena pingsan itu membatalkan wudhu. Namun yang benar bahwa mandi yang dimaukan di sini adalah memandikan seluruh tubuh, kare-na demikianlah yang ditunjukkan oleh dzahir lafadz dan tidak ada penghalang yang mencegah dari pengertian seperti ini, sehingga mandi itu disenangi/ mustahab karena pingsan. Bahkan sebagian orang dalam madzhab kami mengatakan bahwa mandi ini wajib. Namun pendapat ini syadz/ganjil, dhaif/lemah.” (Al-Minhaj Syarhu Shahih Muslim, 4/357)
Al-Imam Asy-Syaukani t setelah membawakan hadits di atas menyatakan: “Penulis membawakan hadits ini di sini sebagai dalil disunnahkannya mandi bagi orang yang siuman dari pingsan. Sungguh Nabi n telah melakukannya sebanyak tiga kali14, sementara beliau menderita sakit yang parah. Hal ini menunjukkan ditekankannya sunnah mandi ini.” (Nailul Authar, 1/340)
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.

Catatan Kaki:

1 Adapun hadits Ibnu ‘Abbas c yang bunyinya:

“Sesungguhnya Nabi n biasa mandi pada hari Idul Fithri dan Idul Adha.” (HR. Ibnu Majah no. 1315)
Kata Asy-Syaikh Al-Albani t, hadits ini dha’if, tidak tsabit. Lihat Irwa`ul Ghalil (1/175).
Demikian pula hadits Al-Fakah bin Sa’d:

“Sesungguhnya Rasulullah n biasa mandi mandi pada hari Jum’at, hari Arafah, hari Idul Fithri dan hari Nahar (Idul Adha).”  (HR. Ibnu Majah no. 1316. Asy-Syaikh Al-Albani t berkata: “Bahkan sanadnya maudhu’ (palsu).”)
2 Yaitu hadits:

“Sesungguhnya Nabi n berkeliling kepada istri-istri beliau (mendatangi mereka di kediaman masing-masing untuk jima’ –pent.) dengan satu kali mandi (di akhir jima’).” (HR. Muslim no. 706)
3 Ihlal adalah mengangkat/mengeraskan suara dengan mengucapkan talbiyah. (An-Nihayah)
4 Al-Imam At-Tirmidzi t setelah membawakan hadits di atas mengatakan: “Sekelompok ahlul ilmi menyenangi mandi ketika hendak berihram. Demikian Al-Imam Asy-Syafi’i berpendapat.” (Sunan At-Tirmidzi, kitab Al-Hajj ‘an Rasulillah n, bab Ma Ja`a fil Ightisal ‘Indal Ihram)
5 Al-Bazzar t dalam Kasyful Astar (juz 2, hal. 11) juga meriwayatkan riwayat Ibnu ‘Umar c di atas dengan lafadz:

“Termasuk sunnah adalah seseorang mandi bila hendak berihram.”
Asy-Syaikh Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i t berkata tentang hadits ini: “Hadits ini hasan, para perawinya adalah rijal shahih, kecuali Al-Fadhl bin Ya’qub Al-Jazari, kata Abu Hatim: ‘Tempatnya ash-shidq.’ Al-Khathib berkata: ‘Ia shaduq’.” (Al-Jami’ Ash-Shahih Mimma Laisa fish Shahihain, 2/343)
6 Yakni ucapan shahabat.
7 Diriwayatkan oleh Al-Imam Muslim dalam Shahih-nya dari hadits Jabir dan ‘Aisyah c.
8 Wadi yang terkenal, dekat dengan kota Makkah.
9 Yaitu atsar yang menyebutkan:
“Termasuk sunnah adalah seseorang mandi bila hendak berihram dan bila hendak masuk ke Makkah.”
10 ‘Ali z menyebutkan mandi yang disyariatkan ketika ada seseorang yang bertanya tentang mandi: “Mandi pada hari Jum’at, mandi pada hari ‘Arafah, mandi pada hari Nahr (Idul Adha) dan Idul Fithri.”
11 Karena memang ada perbedaan pendapat di kalangan ulama dalam masalah ini.
12 Yaitu hadits:
“Siapa yang memandikan jenazah maka hendaklah ia mandi, dan siapa yang memikul jenazah hendaklah ia berwudhu.”
13 Al-Imam Asy-Syaukani menyebutkan lafadznya.
14 Atau empat kali sebagaimana tersebut dalam hadits di atas