Ketika kita mendapatkan sebuah hasil yang baik, kadang terlintas dalam benak kita bahwa itu memang sudah semestinya. Itu adalah hak kita karena kita telah membuat perencanaan, pengorganisasian, lalu bekerja keras melakukannya. Benarkah seperti itu?
Sebab tidak datangnya pertolongan, hidayah, atau nikmat yang sempurna adalah karena seseorang sebagai media bertempatnya pertolongan tersebut memang tidak pantas mendapatkan pertolongan dan nikmat. Seandainya nikmat mendatanginya, ia akan mengatakan, “Ini memang hakku. Aku mendapatkannya karena aku memang pantas dan aku memang berhak.”
Hal ini seperti yang diceritakan oleh Allah subhanahu wa ta’ala,
قَالَ إِنَّمَآ أُوتِيتُهُۥ عَلَىٰ عِلۡمٍ عِندِيٓۚ
Qarun berkata, “Sesungguhnya aku hanya diberi harta itu karena ilmu yang ada padaku.” (al-Qashash: 78)
Maksudnya, aku mengetahui bahwa Allah subhanahu wa ta’ala memang tahu bahwa aku berhak dan pantas mendapatkannya.
Al-Farra` menerangkan bahwa maksudnya ialah, “Aku mendapatkannya karena aku memang punya kelebihan. Aku memang pantas dan berhak terhadap nikmat yang Engkau berikan kepadaku.”
Muqatil menerangkan, “(Maksudnya), itu karena kebaikan yang Allah subhanahu wa ta’ala ketahui ada pada diriku.”
Baca juga:
Abdullah bin al-Harits bin Naufal (seorang saleh yang sempat melihat Nabi shallallahu alaihi wa sallam saat kecilnya) menyebutkan tentang (Nabi) Sulaiman bin Dawud dan kerajaan yang diberikan kepada beliau. Lalu ia membaca ayat,
قَالَ ٱلَّذِي عِندَهُۥ عِلۡمٌ مِّنَ ٱلۡكِتَٰبِ أَنَا۠ ءَاتِيكَ بِهِۦ قَبۡلَ أَن يَرۡتَدَّ إِلَيۡكَ طَرۡفُكَۚ فَلَمَّا رَءَاهُ مُسۡتَقِرًّا عِندَهُۥ قَالَ هَٰذَا مِن فَضۡلِ رَبِّي لِيَبۡلُوَنِيٓ ءَأَشۡكُرُ أَمۡ أَكۡفُرُۖ وَمَن شَكَرَ فَإِنَّمَا يَشۡكُرُ لِنَفۡسِهِۦۖ وَمَن كَفَرَ فَإِنَّ رَبِّي غَنِيٌّ كَرِيمٌ
Berkatalah seorang yang mempunyai ilmu dari al-Kitab, “Aku akan membawa singgasana itu kepadamu sebelum matamu berkedip.” Tatkala Sulaiman melihat singgasana itu terletak di hadapannya, ia pun berkata, “Ini termasuk karunia Rabbku, untuk mencoba aku, apakah aku bersyukur atau mengingkari (akan nikmat-Nya). Dan barang siapa bersyukur, sesungguhnya dia bersyukur untuk (kebaikan) dirinya sendiri; dan barang siapa ingkar, sesungguhnya Rabbku Mahakaya lagi Mahamulia.” (an-Naml: 40)
Nabi Sulaiman tidak mengatakan, “Pemberian ini karena kemuliaanku.”
Baca juga:
Kemudian Abdullah bin al-Harits menyebutkan tentang Qarun dan firman Allah tentangnya,
قَالَ إِنَّمَآ أُوتِيتُهُۥ عَلَىٰ عِلۡمٍ عِندِيٓۚ
Qarun berkata, “Sesungguhnya aku hanya diberi harta itu karena ilmu yang ada padaku.” (al-Qashash: 78)
Maknanya, Nabi Sulaiman alaihis salam memandang bahwa apa yang Allah subhanahu wa ta’ala berikan kepadanya merupakan keutamaan Allah subhanahu wa ta’ala dan karunia-Nya kepada beliau. Beliau juga memandang bahwa dengan karunia itu Allah subhanahu wa ta’ala sedang mengujinya sehingga beliau mensyukurinya. Adapun Qarun, ia memandang bahwa pemberian itu karena dirinya sendiri. Ia juga merasa berhak mendapatkan pemberian itu.
Baca juga:
Demikian pula seperti terdapat dalam firman Allah subhanahu wa ta’ala,
وَلَئِنۡ أَذَقۡنَٰهُ رَحۡمَةً مِّنَّا مِنۢ بَعۡدِ ضَرَّآءَ مَسَّتۡهُ لَيَقُولَنَّ هَٰذَا لِي وَمَآ أَظُنُّ ٱلسَّاعَةَ قَآئِمَةً وَلَئِن رُّجِعۡتُ إِلَىٰ رَبِّيٓ إِنَّ لِي عِندَهُۥ لَلۡحُسۡنَىٰۚ فَلَنُنَبِّئَنَّ ٱلَّذِينَ كَفَرُواْ بِمَا عَمِلُواْ وَلَنُذِيقَنَّهُم مِّنۡ عَذَابٍ غَلِيظٍ
Jika Kami merasakan kepadanya sesuatu rahmat dari Kami sesudah dia ditimpa kesusahan, pastilah dia berkata, “Ini adalah hakku, dan aku tidak yakin bahwa hari kiamat itu akan datang. Jika aku dikembalikan kepada Rabbku, sesungguhnya aku akan memperoleh kebaikan pada sisi-Nya.” Maka Kami benar-benar akan memberitakan kepada orang-orang kafir apa yang telah mereka kerjakan dan akan Kami rasakan kepada mereka azab yang keras. (Fushshilat: 50)
Maksudnya, “Aku berhak mendapatkannya dan aku pantas. Jadi, hakku terhadapnya seperti hak seorang pemilik barang terhadap barangnya.”
Adapun seorang mukmin, ia memandang bahwa itu merupakan milik Rabbnya. Karunia itu adalah kebaikan dari Allah subhanahu wa ta’ala yang Dia berikan kepada hamba-Nya, tanpa hamba tersebut memiliki hak terhadapnya. Bahkan, itu merupakan sedekah yang Allah subhanahu wa ta’ala berikan kepada hamba-Nya.
Baca juga:
Apabila Allah subhanahu wa ta’ala berkehendak, merupakan hak-Nya untuk tidak menyedekahkannya. Seandainya Dia menghalangi sedekah tersebut darinya, tidak berarti Allah subhanahu wa ta’ala menghalanginya dari sesuatu yang ia berhak mendapatkannya. Apabila ia tidak memiliki perasaan demikian, ia akan merasa bahwa dirinya pantas dan berhak. Akibatnya, ia akan merasa takjub dengan dirinya.
Dengan nikmat itu, ia menjadi melampaui batas dan sombong serta lancang terhadap yang lain. Karunia itu membuatnya senang dan bangga. Hal ini seperti yang Allah subhanahu wa ta’ala ceritakan,
وَلَئِنۡ أَذَقۡنَا ٱلۡإِنسَٰنَ مِنَّا رَحۡمَةً ثُمَّ نَزَعۡنَٰهَا مِنۡهُ إِنَّهُۥ لَئَُوسٌ كَفُورٌ ٩ وَلَئِنۡ أَذَقۡنَٰهُ نَعۡمَآءَ بَعۡدَ ضَرَّآءَ مَسَّتۡهُ لَيَقُولَنَّ ذَهَبَ ٱلسَّئَِّاتُ عَنِّيٓۚ إِنَّهُۥ لَفَرِحٌ فَخُورٌ
Jika Kami rasakan kepada manusia suatu rahmat (nikmat) dari Kami, kemudian rahmat itu Kami cabut darinya, pastilah dia menjadi putus asa lagi tidak berterima kasih. Jika Kami rasakan kepadanya kebahagiaan sesudah bencana yang menimpanya, niscaya dia akan berkata, “Telah hilang bencana-bencana itu dariku.” Sesungguhnya dia sangat gembira lagi bangga. (Hud: 9—10)
Allah subhanahu wa ta’ala mencelanya karena sikap putus asa dan ingkarnya saat mendapatkan ujian berupa kesusahan. Allah subhanahu wa ta’ala juga mencelanya karena sikap senang dan bangganya saat ditimpa ujian berupa nikmat. Orang itu mengganti pujian, syukur, dan sanjungannya kepada Allah saat Allah lepaskan dirinya dari cobaan dengan mengucapkan, “Musibah telah hilang dariku.”
Baca juga:
Kisah Qarun: Pelajaran Penting untuk Para Hartawan (3)
Seandainya ia mengatakan, “Allah telah menghilangkan musibah dariku dengan rahmat dan karunia-Nya,” tentu Allah subhanahu wa ta’ala tidak akan mencelanya. Dia justru terpuji dengan ucapan seperti itu. Namun, ia telah lalai dari Sang Pemberi nikmat yang mengangkat musibahnya. Dia juga menganggap bahwa musibah itu hilang dengan sendirinya sehingga ia berbangga dan senang.
Apabila Allah subhanahu wa ta’ala telah mengetahui hal semacam ini dari seorang hamba, itu merupakan sebab terbesar dia akan terabaikan dari pertolongan Allah dan ketidakpedulian-Nya. Sebab, nikmat yang sempurna tak pantas bertempat padanya. Hal ini sebagaimana firman Allah subhanahu wa ta’ala,
إِنَّ شَرَّ ٱلدَّوَآبِّ عِندَ ٱللَّهِ ٱلصُّمُّ ٱلۡبُكۡمُ ٱلَّذِينَ لَا يَعۡقِلُونَ ٢٢ وَلَوۡ عَلِمَ ٱللَّهُ فِيهِمۡ خَيۡرًا لَّأَسۡمَعَهُمۡۖ وَلَوۡ أَسۡمَعَهُمۡ لَتَوَلَّواْ وَّهُم مُّعۡرِضُونَ
“Sesungguhnya binatang (makhluk) yang seburuk-buruknya pada sisi Allah ialah orang-orang yang pekak dan tuli yang tidak mengerti apa-apa. Sekiranya Allah mengetahui kebaikan ada pada mereka, tentulah Allah menjadikan mereka dapat mendengar. Jikalau Allah menjadikan mereka dapat mendengar, niscaya mereka pasti berpaling juga, sedangkan mereka memalingkan diri (dari apa yang mereka dengar itu).” (al-Anfal: 22—23)
Baca juga:
Allah subhanahu wa ta’ala memberitakan bahwa diri mereka—sebagai media bertempatnya nikmat—tidak dapat menerima nikmat tersebut. Di samping tidak bisa menerima, mereka juga memiliki penghalang lain yang menghambat sampainya nikmat itu kepada mereka, yaitu mereka berpaling dari kebaikan tersebut apabila mereka benar-benar mengetahuinya.
Di antara hal yang perlu diketahui bahwa sebab-sebab seseorang diabaikan dari pertolongan atau hidayah—selain tetapnya jiwa pada penciptaan asalnya, lalu dia biarkan terus berada pada keadaan yang demikian—memang ada dari dan dalam dirinya.
Sementara itu, sebab datangnya taufik dari Allah subhanahu wa ta’ala adalah karena Dia subhanahu wa ta’ala menciptakan diri hamba tersebut siap untuk menerima nikmat. Jadi, sebab-sebab mendapatkan taufik itu berasal dari Allah subhanahu wa ta’ala dan karunia dari-Nya. Dialah penciptanya. Allah Mahahikmah lagi Mahatahu.