Menghadirkan Segenap Hati Dihadapan Ar-Rahman

Saudariku muslimah…

Allah Yang Maharahman telah berfirman dalam tanzil-Nya:

قَدۡ أَفۡلَحَ ٱلۡمُؤۡمِنُونَ ١ٱلَّذِينَ هُمۡ فِي صَلَاتِهِمۡ خَٰشِعُونَ ٢

“Sungguh beruntung orang-orang yang beriman, yaitu orang-orang yang khusyuk dalam shalat mereka.” (al-Mu’minun: 1—2)

Kata khusyuk ini sering kita dengar ataupun kita ucapkan namun sulit untuk kita wujudkan, padahal ia memiliki kedudukan yang sangat penting dalam ibadah kepada Allah Yang Maharahman, khususnya dalam shalat. Berapa banyak orang yang shalat, namun tidak ada ruh dalam shalatnya. Jasadnya ruku’ dan sujud, namun hatinya entah melayang ke mana. Wajar jika nilai shalat setiap orang tidak sama di hadapan Ar-Rahman. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri bersabda:

إِنَّ الْعَبْدَ لَيُصَلِّي الصَّلاَةَ مَا يُكْتَبُ لَهُ مِنْهَا إِلاَّ عُشُرُهَا، تُسُعُهَا، ثُمُنُهَا، سُبُعُهَا، سُدُسُهَا، خُمُسُهَا، رُبُعُهَا، ثُلُثُهَا، نِصْفُهَا

“Sesungguhnya seorang hamba menunaikan shalatnya, namun tidaklah dicatat dari shalatnya tersebut kecuali hanya sepersepuluhnya, sepersembilannya, seperdelapannya, sepertujuhnya, seper-enamnya, seperlimanya, seperempatnya, sepertiganya, dan setengahnya.” (HR. Ibnul Mubarak dalam az-Zuhd, Abu Dawud dan an-Nasa’i dengan sanad yang jayyid/bagus, kata asy-Syaikh al-Albani, dan beliau mensahihkan hadits ini dalam mukadimah Shifat Shalatin Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, cetakan pertama, hlm. 36)

Banyak kita lihat orang yang shalat namun ia tetap giat dalam maksiat kepada Ar-Rahman, sementara Dia telah berfirman:

إِنَّ ٱلصَّلَوٰةَ تَنۡهَىٰ عَنِ ٱلۡفَحۡشَآءِ وَٱلۡمُنكَرِۗ وَلَذِكۡرُ ٱللَّهِ أَكۡبَرُۗ

Sesungguhnya shalat itu mencegah dari perbuatan keji dan mungkar.” (al-‘Ankabut: 45)

Kenapa hal seperti ini bisa terjadi?

Salah satu penyebabnya adalah hilangnya ruh khusyuk dalam shalatnya. Hatinya tidaklah menghadap sepenuhnya kepada Allah ‘azza wa jalla dan dia tidak mengerti untuk apa dia shalat dan kenapa dia harus shalat.

Keutamaan Khusyuk

Saudariku muslimah…

Allah ‘azza wa jalla dalam Al-Qur’an banyak memuji hamba-hamba-Nya yang khusyuk. Di antaranya:

إِنَّهُمۡ كَانُواْ يُسَٰرِعُونَ فِي ٱلۡخَيۡرَٰتِ وَيَدۡعُونَنَا رَغَبٗا وَرَهَبٗاۖ وَكَانُواْ لَنَا خَٰشِعِينَ ٩٠

“Sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang selalu bersegera dalam (mengerjakan) perbuatan-perbuatan yang baik dan mereka berdoa kepada Kami dalam keadaan takut dan berharap, dan mereka khusyuk dalam menghadap kepada Kami.” (al-Anbiya: 90)

وَيَخِرُّونَ لِلۡأَذۡقَانِ يَبۡكُونَ وَيَزِيدُهُمۡ خُشُوعٗا۩ ١٠٩

“Dan mereka menyungkur di atas wajah-wajah mereka dalam keadaan mereka menangis, dan mereka bertambah khusyuk.” (al-Isra’: 109)

خَٰشِعِينَ لِلَّهِ لَا يَشۡتَرُونَ بِ‍َٔايَٰتِ ٱللَّهِ ثَمَنٗا قَلِيلًاۚ

“Mereka khusyuk kepada Allah, mereka tidaklah menjual ayat-ayat Allah dengan harga yang sedikit.” (Ali ‘Imran: 199)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga memuji khusyuk yang berbuah tangisan seorang hamba karena takut kepada Allah ‘azza wa jalla. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda:

“Ada tujuh golongan yang Allah akan menaungi mereka dalam naungan-Nya pada hari tidak ada naungan kecuali naungan-Nya…”

Lalu beliau menyebut siapa mereka itu. Di antaranya:

“Seseorang yang mengingat Allah ‘azza wa jalla dalam keadaan sendirian lalu berlinang air matanya.” (Sahih, HR. al-Bukhari dan Muslim no. 1031)

Pengertian Khusyuk

Ibnu Rajab rahimahullah berkata bahwa inti dari khusyuk adalah lembutnya hati, lunak, tenang, tunduk, dan leburnya hati. Apabila hati ini khusyuk maka akan diikuti dengan khusyuknya anggota badan. (al-Khusyu’ fish Shalat, hlm. 17)

Khusyuk ini dapat tumbuh karena seorang hamba mengenal Rabb-nya dengan nama-nama dan sifat-sifat-Nya yang agung.

Kedudukan Khusyuk di dalam Shalat

Saudariku muslimah…

Ulama berbeda pendapat tentang hukum khusyuk di dalam shalat, ada yang berpendapat wajib, ada yang tidak. Al-Imam al-Qurthubi rahimahullah berkata, “Ulama terbagi menjadi dua pendapat tentang khusyuk, apakah ia termasuk kewajiban shalat atau sebatas keutamaan dan penyempurna shalat. Yang benar adalah pendapat pertama, yakni khusyuk termasuk kewajiban yang harus ditunaikan ketika seseorang mengerjakan shalat. Tempat khusyuk ini di hati dan ia merupakan ilmu pertama yang diangkat dari manusia. Demikian yang dikatakan ‘Ubadah bin ash-Shamit radhiallahu ‘anhu….” (al-Jami’ li Ahkamil Qur’an, 12/70)

Al-Imam an-Nawawi rahimahullah mengatakan, “Disunnahkan untuk khusyuk di dalam shalat, tunduk merendahkan diri dan mentadabburi bacaan shalat beserta zikir-zikirnya dan segala yang berkaitan dengannya. Disunnahkan pula untuk berpaling dari memikirkan perkara yang tidak ada kaitannya dengan shalat yang sedang ditunaikan. Seandainya seseorang di dalam shalatnya memikirkan perkara lain maka shalatnya tidaklah batal akan tetapi makruh, baik yang dipikirkan itu perkara yang mubah (dibolehkan) maupun perkara yang haram.” (al-Majmu’ Syarhul Muhadzdzab, 4/35)

Kemudian beliau rahimahullah membawakan dalil yang menunjukkan tidak batalnya shalat seseorang yang memikirkan selain perkara shalatnya. Di antaranya hadits Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu yang diriwayatkan al-Imam al-Bukhari dan Muslim (no. 127) dalam Shahih keduanya:

إِنَّ اللهَ تَجَاوَزَ لِأُمَّتِي مَا حَدَّثَتْ بِهِ أَنْفُسَهَا مَالَمْ يَتَكَلَّمُوا أَوْ يَعْمَلُوْا بِهِ

“Sesungguhnya Allah memaafkan bagi umatku apa yang terbetik dalam jiwanya selama mereka tidak mengucapkan atau mengerjakannya.”

Juga hadits:

صَلَّيْتُ وَرَاءَ النَّبِيِّ بِالْمَدِيْنَةِ الْعَصْرَ فَسَلَّمَ، ثُمَّ قَامَ مُسْرِعًا فَتَخَطَّى رِقَابَ النَّاسِ إِلىَ بَعْضِ حُجَرِ نِسَائِهِ، فَفَزِعَ النَّاسُ مِنْ سُرْعَتِهِ، فَخَرَجَ عَلَيْهِمْ فَرَأَى أَنَّهُمْ عَجِبُوا مِنْ سُرْعَتِهِ. فَقَالَ: ذَكَرْتُ شَيْئًا مِنْ تِبْرٍ عِنْدَنَا، فَكَرِهْتُ أَنْ يَحْبِسَنِي فأَمَرْتُ بِقِسْمَتِهِ

“Aku pernah shalat Ashar di belakang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di Madinah lalu beliau salam, kemudian bangkit dengan segera. Beliau melangkahi orang-orang yang ada menuju kamar salah satu istrinya. Orang-orang pun khawatir melihat ketergesaan beliau. Tak lama kemudian beliau keluar menemui mereka. Beliau melihat keheranan mereka dengan ketergesaan beliau. Beliau pun bersabda, ‘(Ketika shalat) aku sempat teringat emas yang ada pada kami, aku tidak suka emas itu menahanku[1] maka aku menyuruh orang untuk membaginya’.” (Sahih HR. al-Bukhari no. 851)

Al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqalani rahimahullah menyebutkan beberapa faedah yang bisa diambil dari hadits di atas. Di antaranya beliau mengatakan, “Memikirkan (sejenak) perkara lain yang tidak ada kaitannya dengan shalat tatkala sedang mengerjakan shalat tidaklah merusak shalat tersebut dan tidak pula mengurangi kesempurnaannya[2].” (Fathul Bari, 2/411)

Pendapat yang dibawakan al-Imam an-Nawawi rahimahullah di atas merupakan pendapat jumhur ulama. Wallahu a‘lam, inilah yang rajih (kuat) dari dua pendapat yang ada.

Saudariku muslimah…

Karena pentingnya kedudukan khusyuk di dalam shalat, banyak hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mengandungi anjuran untuk khusyuk. ‘Aisyah radhiallahu ‘anha mengabarkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِذَا أُقِيْمَتِ الصَّلاَةُ وَحَضَرَ الْعَشَاءُ فَابْدَؤُوْا بِالْعَشَاءِ

“Apabila telah dikumandangkan iqamat untuk shalat sementara makan malam telah dihidangkan, maka dahulukanlah makan malam.” (Sahih, HR. al-Bukhari no. 671, 672, 5465 dan Muslim no. 557)

Ketika datang waktu shalat sementara makanan telah dihidangkan maka dituntunkan untuk makan terlebih dahulu, setelah itu mengerjakan shalat. Bila tidak, makanan tadi akan mengganggu pikiran orang yang sedang shalat sehingga membuatnya tidak khusyuk dalam shalatnya. Alasan menghilangkan kekhusyukan ini tidak disebutkan dalam hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, namun dipahami hal ini dari ucapan sebagian sahabat. (Subulus Salam, 1/235)

Jumhur ulama berpendapat perintah untuk mendahulukan makan malam dalam hadits di atas bukanlah perintah yang wajib, namun perintah yang sunnah. Mereka kemudian berbeda pendapat dalam keadaan bagaimana seseorang disunnahkan untuk makan terlebih dahulu.

Di antara mereka ada yang berpendapat bila orang tersebut berhajat untuk makan. Pendapat ini yang masyhur di sisi asy-Syafi‘iyyah.

Di antara mereka ada yang berpendapat mendahulukan makan malam ini umum, sama saja baik orang itu berhajat terhadap makanan yang disajikan atau tidak. Ini merupakan pendapat ats-Tsauri, Ahmad, dan Ishaq (Fathul Bari, 2/197). Sama saja baik makanan tersebut dikhawatirkan basi maupun tidak, dan makanan itu ringan maupun tidak. (Subulus Salam, 1/235)

Ibnu ‘Umar radhiallahu ‘anhuma berkata, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِذَا كَانَ أَحَدُكُمْ عَلَى الطَّعَامِ فَلَا يَعْجَلُ حَتَّى يَقْضِيَ حَاجَتَهُ مِنْهُ وَإِنْ أُقِيْمَتِ الصَّلاَةُ

“Apabila salah seorang dari kalian sedang makan maka janganlah ia tergesa-gesa hingga ia selesai menunaikan kebutuhannya dari makanan tersebut, sekalipun iqamat untuk shalat telah dikumandangkan.” (HR. al-Bukhari no. 674 dan Muslim no. 559)

Al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqalani rahimahullah dalam penjelasannya terhadap hadits di atas, mengatakan, “Hadits ini menunjukkan keutamaan khusyuk di dalam shalat lebih dari keutamaan shalat pada awal waktu.” (Fathul Bari, 2/199)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:

لاَ صَلاَةَ بِحَضْرَةِ طَعَامٍ، وَلاَ وَهُوَ يُدَافِعُهُ الْأَخْبَثَانِ

“Tidak ada shalat apabila makanan telah dihidangkan serta tidak ada shalat dalam keadaan seseorang ingin buang air besar dan kecil.” (Sahih, HR. Muslim no. 560)

Al-Imam an-Nawawi rahimahullah berkata, “Hadits-hadits ini menunjukkan dimakruhkannya shalat bagi seseorang sementara makanan yang ingin disantapnya telah dihidangkan. Karena hal itu akan menyibukkan hati dan menghilangkan kesempurnaan khusyuk. Dimakruhkan pula shalat dalam keadaan tengah menahan buang air kecil dan besar. Termasuk dalam hal ini adalah segala hal yang serupa dengannya, yang dapat menyibukkan hati dan menghilangkan kesempurnaan khusyuk.” (Syarah Shahih Muslim, 5/46)

‘Aisyah radhiallahu ‘anha memberitakan:

أَنَّ النَّبِيَ صَلَّى فِي خَمِيْصَةٍ لَهَا أَعْلاَمٌ فَنَظَرَ إِلَى أَعْلاَمِهَا نَظْرَةً، فَلَمَّا انْصَرَفَ قَالَ: اذْهَبُوْا بِخَمِيْصَتِي هَذَا إِلَى أَبِي جَهْمٍ وَائْتُوْنِي بِأََنْبِجَانِيَّةِ أَبِي جَهْمٍ، فَإِنَّهَا أَلْهَتْنِي آنِفًا عَنْ صَلاَتِي

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat dengan mengenakan pakaian yang bergambar. Beliau lantas melihat dengan sekali pandangan ke arah gambar pakaian tersebut. Ketika selesai shalat, beliau bersabda, ‘Pergilah kalian membawa pakaianku ini ke Abu Jahm[3] dan berikan untukku pakaian anbijaniyah[4] Abu Jahm, karena pakaian ini menyibukkan (melalaikan) aku dari shalatku tadi’.” (Sahih, HR. al-Bukhari no. 373, 752, 5817 dan Muslim no. 556)

Ibnu Daqiqil ‘Ied rahimahullah setelah membawakan hadits di atas, menyatakan, “Dalam hadits ini ada dalil dituntutnya kekhusyukan dalam shalat, menghadapkan hati sepenuhnya, dan menghilangkan segala perkara yang dapat menyibukkan pikiran dari amalan shalat yang sedang dilakukan.” (Ahkamul Ah-ham Syarhu ‘Umdatil Ahkam, 1/325)

Dipahami pula dari hadits ini akan makruhnya shalat di atas hamparan/permadani dan sajadah yang penuh gambar berwarna-warni, serta makruhnya menghiasi masjid dengan ukiran-ukiran atau yang semisalnya. (Subulus Salam, 1/240)

Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu mengatakan, “Aisyah memiliki tirai tipis yang terbuat dari wol berwarna-warni. Digunakannya tirai tersebut untuk menutupi sisi rumahnya. Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada ‘Aisyah:

أَمِيْطِي عَنَّا قِرَامِكِ هَذَا، فَإِنَّهُ لاَ تَزَالُ تَصَاوِيْرُهُ تَعْرِضُ فِي صَلاَتِي

“Hilangkan gordenmu ini dari tempat kita, karena gambar-gambarnya terus menerus menganggu (menghalangi kekhusyukan) shalatku.” (Sahih HR. al-Bukhari no. 374, 5959)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah ditanya tentang menoleh di dalam shalat tanpa ada keperluan[5], maka beliau bersabda:

“Menoleh itu adalah sambaran yang dilakukan dengan cepat oleh setan dari shalat seorang hamba.” (Sahih, HR. al-Bukhari no. 287)

Al-Imam an-Nawawi rahimahullah menyatakan, disunnahkan menundukkan pandangan ketika sedang shalat dari perkara yang dapat melalaikan dan pandangan tersebut hanya diarahkan sebatas apa yang ada di hadapan mata, sehingga dimakruhkan untuk menoleh ke arah lain. (al-Majmu’, 3/275)

Ketika hari sangat panas, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menuntunkan untuk menunda shalat Dhuhur sampai agak dingin (Sahih, HR. al-Bukhari no. 533, 534), tujuannya juga untuk menjaga kekhusyukan. Sebagaimana dikatakan al-Imam Ibnul Qayyim rahimahullah, “Shalat ketika hari sangat panas akan menghalangi seseorang dari khusyuk dan dari menghadirkan hatinya, dia akan melakukan ibadah dengan enggan dan gelisah. Karena itulah termasuk hikmah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau memerintahkan mereka untuk mengakhirkan shalat Dhuhur sampai suhu tidak begitu panas. Dengan begitu seorang hamba dapat melaksanakan shalat dengan menghadirkan hatinya sehingga tercapailah maksud dari shalatnya itu berupa kekhusyukan dan menghadapkan hati kepada Allah ‘azza wa jalla.” (al-Wabilush Shayyib, hlm. 16)

(Fatawa asy-Syaikh Muhammad Shalih al-‘Utsaimin, 2/898, Fatawa al-Mar’ah al-Muslimah, 2/578)

CARA UNTUK KHUSYUK

Saudariku muslimah…

Setelah kita mengetahui arti pentingnya khusyuk, mungkin timbul pertanyaan di benak kita bagaimana cara menghadirkan khusyuk di dalam shalat? Dalam permasalahan ini, ulama kita memberikan beberapa bimbingan. Di antaranya:

  • Meminta perlindungan (isti‘adzah) kepada Allah ‘azza wa jalla dari gangguan dan godaan setan.
  • Meletakkan sutrah (pembatas) dan memandang hanya ke tempat sujud.
  • Mengosongkan hati dari kesibukan-kesibukan lainnya. Bila terlintas pikiran lain di benak kita, maka segera ditampik dan tidak diindahkan. Bila ada kesibukan atau keinginan maka segera dituntaskan sebelum shalat, seperti bila lapar maka makan terlebih dahulu, bila hendak buang air maka segera ditunaikan, dsb.
  • Berupaya menghadirkan hati dan terus mengingat-ingat bahwa sekarang kita sedang berdiri di hadapan Raja Diraja (Malikul Mulk) Yang Maha Mengetahui segala perkara yang tersembunyi, baik yang samar maupun rahasia dari orang yang sedang bermunajat kepada-Nya, dan kita terus mengingat bahwasanya amalan shalat ini nantinya (di hari akhir) akan ditampakkan kepada kita.
  • Menenangkan anggota badan dengan tidak melakukan sesuatu perkara yang dapat mengganggu kekhusyukan, seperti memilin-milin rambut, menggerak-gerakkan cincin, dsb.
  • Berusaha memahami, merenung-kan, memerhatikan, dan memikirkan bacaan-bacaan shalat dan zikir-zikirnya, karena yang demikian itu akan menyempurnakan kekhusyukan. (al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah, 19/118, Taisirul ‘Allam, 1/292)

Khusyuk yang Tercela

Di antara sifat khusyuk ini ada khusyuk yang tercela. Menurut al-Imam al-Qurthubi rahimahullah, khusyuk yang tercela adalah khusyuk yang dibuat-buat dan dipaksakan. Ketika shalat di hadapan manusia, ia memaksakan diri untuk khusyuk dengan menundukkan kepalanya dan berpura-pura menangis, sebagaimana hal ini banyak diperbuat oleh orang-orang bodoh. Ini jelas merupakan tipu daya setan terhadap anak manusia. (al-Mausu’ah al-Fiqhiyyah, 19/119)

Kita memohon kepada Allah ‘azza wa jalla agar menganugerahkan kepada kita kekhusyukan hati tatkala bermunajat kepada-Nya dan kita berlindung kepada-Nya dari khusyuk yang tercela. Amin…

Wallahu ta‘ala a‘lam bish-shawab.

Ditulis oleh al-Ustadzah Ummu Ishaq al-Atsariyyah


[1] Yakni menyibukkan aku dari mengarahkan dan menghadapkan diri kepada Allah ázza wa jalla karena memikirkannya. (Fathul Bari, 2/411)

[2] Dan pikiran ini tidak terus diikuti namun segera dihalau untuk kembali menghadapkan hati kepada shalat yang sedang dikerjakan.

[3] Karena Abu Jahm-lah yang menghadiahkan pakaian tersebut kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

[4] Anbijaniyah adalah pakaian yang tebal yang tidak bergambar. Ibnu Baththal mengatakan, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam meminta ganti dari Abu Jahm pakaian yang selain itu untuk memberitahukan kepadanya bahwa beliau tidaklah menolak hadiahnya karena meremehkannya.” (Fathul Bari, 1/604)

[5] Adapun menoleh karena ada keperluan maka dibolehkan seperti yang pernah dilakukan Abu Bakr ash-Shiddiq radhiallahu ‘anhu. Sahl bin Sa’d as-Sa’idi radhiallahu ‘anhu berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pergi ke tempat Bani ‘Amr bin Auf untuk mendamaikan perkara di antara mereka. Tibalah waktu shalat maka muadzin mendatangi Abu Bakr seraya berkata, “Apakah engkau mau mengimami manusia? Bila mau, aku akan menyerukan iqamat.” Abu Bakr menjawab, “Ya.” Maka majulah Abu Bakr sebagai imam. Ketika mereka sedang shalat, datanglah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau lalu masuk ke dalam shaf hingga berdiri di shaf yang pertama.

Orang-orang yang menyadari kehadiran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam segera memberi isyarat kepada Abu Bakr dengan menepuk tangan mereka. Sementara Abu Bakr tidak menoleh dalam shalatnya. Namun ketika semakin banyak orang yang memberi isyarat, ia pun menoleh dan melihat keberadaan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Rasulullah kemudian memberi isyarat kepada Abu Bakr agar tetap di tempatnya…” Demikian seterusnya dari hadits yang panjang diriwayatkan al-Imam al-Bukhari no. 684.