Mengusap Kerudung

Dalam agama yang mulia ini ada pensyariatan mengusap di atas ‘imamah/sorban bagi laki-laki ketika berwudhu sebagai pengganti mengusap kepala. Yang menjadi pertanyaan, apakah wanita juga diperkenankan mengusap di atas kerudungnya bila ia mengenakan kerudung saat berwudhu?
Jawab:
Fadhilatusy Syaikh Muhammad ibnu Shalih Al-Utsaimin t memberikan jawaban terhadap permasalahan di atas. Beliau berkata, “Yang masyhur dalam madzhab Al-Imam Ahmad t adalah boleh bagi wanita mengusap di atas kerudungnya apabila kerudung itu dikaitkan di bawah tenggorokan1, karena adanya riwayat dari sebagian sahabiyyah (para wanita dari kalangan sahabat Rasulullah n)2, semoga Allah l meridhai mereka.
Bagaimana pun keadaannya, bila memang terdapat kesulitan/kepayahan, mungkin udara yang dingin atau sulit dilepas, maka pengizinan dalam kondisi semisal ini tidak apa-apa. Namun yang lebih utama adalah si wanita tidak mengusap di atas kerudungnya (tapi ia mengusap kepalanya saat berwudhu, pen.).
Wallahu a’lam. (Majmu’ Fatawa wa Rasa’il Fadhilatusy Syaikh, 11/171)
HUKUM WUDHU BAGI WANITA YANG BERKUTEKS
Sahkah wudhu wanita yang di kukunya terdapat kuteks?
Jawab:
Fadhilatusy Syaikh Muhammad ibnu Shalih Al-Utsaimin t menjawab, “Kuteks yang dipakai oleh wanita di kukunya memiliki lapisan/sisa cat yang menempel, sehingga tidak boleh dipakai bila ia hendak shalat karena menghalangi sampainya air ke bagian jarinya dalam wudhu. Segala sesuatu yang mencegah sampainya air ke anggota wudhu tidak boleh dipakai oleh orang yang berwudhu atau orang yang mandi wajib. Karena Allah l berfirman:
“…Maka cucilah wajah-wajah kalian dan tangan-tangan kalian.” (Al-Ma’idah: 6)
Kuteks yang dipakai oleh seorang wanita pada kukunya akan menghalangi air mengenai kuku/jarinya sehingga tidak bisa dikatakan ia telah mencuci tangannya. Dengan begitu ia telah meninggalkan satu kewajiban dari kewajiban-kewajiban wudhu atau mandi.
Adapun wanita yang sedang tidak shalat karena haid tidak mengapa memakai kuteks ini. Hanya saja memakai kuteks termasuk kekhususan wanita-wanita kafir. Karena alasan ini maka tidak boleh memakainya, agar tidak jatuh dalam perbuatan tasyabbuh (menyerupai) dengan orang-orang kafir.
Aku pernah mendengar sebagian orang berfatwa bahwa memakai kuteks bisa dikiaskan dengan memakai khuf (sementara ada pensyariatan mengusap di atas khuf dan ada ketentuan waktunya), dengan begitu seorang wanita boleh memakainya sehari semalam bila ia sedang tidak safar/bepergian dan tiga hari tiga malam bila ia musafir. Namun ini fatwa yang salah. Karena tidak setiap yang menutupi tubuh seseorang disamakan dengan memakai khuf. Kalau khuf dibolehkan oleh syariat untuk mengusapnya karena umumnya ada kebutuhan. Kedua telapak kaki ini butuh dihangatkan dan butuh ditutup karena keduanya langsung bersentuhan dengan tanah, kerikil, rasa dingin, dan selainnya, maka syariat pun mengkhususkan pengusapan di atas keduanya.
Terkadang mereka juga mengkiaskannya dengan sorban dan ini pun tidak benar. Karena sorban itu tempatnya di kepala, sementara kepala dari asalnya memang diringankan. Kepala hanya wajib diusap dalam amalan wudhu, beda halnya dengan tangan, kedua tangan harus dicuci. Karena itulah, Nabi n tidak memperkenankan wanita mengusap kaos tangannya ketika wudhu, padahal kaos tangan tersebut menutupi tangannya. Ini menunjukkan tidak bolehnya seseorang mengkiaskan segala penghalang/penutup yang menghalangi sampainya air ke anggota wudhu dengan sorban dan khuf.
Yang wajib dilakukan oleh seorang muslim adalah mencurahkan segala kesungguhan dan upayanya untuk mengetahui al-haq serta janganlah berfatwa melainkan dalam keadaan ia menyadari bahwa Allah l kelak akan menanyakan kepadanya tentang fatwa tersebut (meminta pertanggungjawabannya), karena ia memberikan penggambaran tentang syariat Allah k. Allah l lah yang memberi taufik, yang membimbing kepada ash-shirath al-mustaqim. (Majmu’ Fatawa wa Rasa’il Fadhilatusy Syaikh, 11/148-149)
HUKUM MENGHILANGKAN RAMBUT
DI TANGAN DAN KAKI
Bolehkah seseorang menghilangkan rambut yang tumbuh di kedua lengan dan kakinya?
Jawab:
Fadhilatusy Syaikh Muhammad ibnu Shalih Al-Utsaimin t menjawab, “Bila rambut yang tumbuh itu banyak/di luar kewajaran, tidak apa-apa menghilangkannya, karena keberadaannya menjelekkan penampilan seseorang. Kalau rambut itu biasa/masih wajar maka sebagian ahlul ilmi ada yang berpendapat tidak boleh menghilangkannya, karena termasuk perbuatan mengubah ciptaan Allah k. Di antara ahlul ilmi ada yang mengatakan boleh dihilangkan karena termasuk perkara yang didiamkan Allah l, sementara Rasulullah n bersabda:
ماَ سَكَتَ اللهُ عَنْهُ فَهُوَ عَفْوٌ
“Apa yang Allah diamkan berarti pemaafan.”
Maksudnya tidak diharuskan bagi kalian dan tidak pula haram. Mereka ini mengatakan, “Rambut-rambut yang tumbuh di badan terbagi tiga macam:
Pertama: Rambut yang diharamkan oleh syariat untuk dihilangkan.
Kedua: Rambut yang dituntut oleh syariat untuk dihilangkan.
Ketiga: Rambut yang didiamkan.
Rambut yang diharamkan oleh syariat untuk dihilangkan, tidaklah boleh dihilangkan, seperti jenggot bagi laki-laki, mencabut rambut alis bagi wanita dan lelaki.
Rambut yang dituntut oleh syariat untuk dihilangkan maka harus dihilangkan, tidak boleh dibiarkan, seperti rambut ketiak, rambut kemaluan, dan kumis bagi laki-laki.
Apa yang didiamkan, tidak dilarang dan tidak pula ada perintah untuk menghilangkannya, berarti perkaranya dimaafkan. Karena bila Allah l tidak menghendaki keberadaannya, niscaya Dia perintahkan untuk dihilangkan. Bila Allah menginginkan rambut itu tetap ada, niscaya Dia akan memerintahkan untuk membiarkannya. Tatkala Allah l diam, tidak menyebut salah satunya, berarti pekaranya kembali pada keinginan/pilihan manusia, bila mau ia hilangkan dan bila mau ia biarkan. Allah l lah yang memberi taufik. (Majmu’ Fatawa wa Rasa’il Fadhilatusy Syaikh, 11/134)

1 Tidak diletakkan begitu saja di kepala, karena yang seperti ini tidak sulit melepaskannya. (Asy-Syarhul Mumti’, 1/240)
2 Ibnu Abi Syaibah t dalam Mushannaf-nya, kitab Ath-Thaharah, fil Mar’ah Tamsahu ‘ala Khimariha, no. 249 dari Al-Hasan Al-Bashri t, dari Ummu Salamah x disebutkan ia mengusap di atas kerudungnya.
Ali ibnul Madini t berkata, “Al-Hasan melihat Ummu Salamah, namun tidak mendengar hadits darinya.” (Jami’ut Tahshil, hal. 163) [Lihat ta’liq Asy-Syarhul Mumti, 1/239, Dar Ibnil Jauzi, cet. pertama, Dzulqa’dah 1422 H]