Seandainya kalbu:
1) merenungi kefanaan kehidupan dunia dan tidak langgengnya kesenangan-kesenangan yang ada padanya, dan akan berakhirnya berbagai kenikmatan yang ada di dalamnya, sambil menghadirkan kesempurnaan kenikmatan dan kelezatan akhirat, keabadian kehidupan padanya;
2) merenungi pula kelebihan dan keutamaan kenikmatan akhirat atas kenikmatan dunia; dan meyakini dengan pasti tentang benarnya kedua pengetahuan ini, maka renungannya akan menghasilkan pengetahuan yang ketiga:
Akhirat dengan kenikmatannya yang sempurna dan kekal abadi tentu lebih pantas diutamakan oleh setiap orang yang berakal daripada kehidupan dunia yang fana dan menipu.
Dalam hal pengetahuan tentang akhirat, ada dua keadaan manusia:
- Dia mendengar pengetahuan itu dari orang lain dalam keadaan kalbunya tidak benar-benar yakin terhadap akhirat dan tidak mau bersungguh-sungguh memahami hakikatnya.
Ini adalah keadaan kebanyakan manusia. Ada tarik-menarik antara dua kutub di dalam dirinya. Daya tarik yang pertama memikatnya untuk lebih mengutamakan dunia, dan inilah yang terkuat dalam dirinya. Sebab, dunia bisa disaksikan dan dirasakan langsung oleh pancaindra.
Adapun daya tarik yang kedua, yakni akhirat, lemah karena pengetahuan tentangnya hanya dari pendengaran saja (belum bisa dirasakan oleh pancaindra). Hatinya belum benar-benar meyakininya, dia pun tidak bersungguh-sungguh merenunginya.
Apabila ia mengutamakan akhirat dengan mengorbankan dunianya, jiwanya berbisik bahwa dirinya telah meninggalkan sesuatu yang pasti dan nyata, menuju sesuatu yang abstrak dan hanya berdasarkan prasangka. Seolah-olah jiwanya menyeru, “Tentu aku tidak boleh melepaskan sebiji jagung yang jelas terlihat di depan mata, demi mendapatkan sebuah berlian yang baru sekedar janji.”
Penyakit inilah yang menghalangi jiwa-jiwa manusia untuk mempersiapkan dirinya menghadapi akhirat, beramal dan berusaha bersungguh-sungguh untuk menyongsongnya. Ini terjadi karena lemahnya ilmu dan keyakinan tentang negeri akhirat.
Seandainya jiwanya meyakini kehidupan akhirat seyakin-yakinnya, tanpa ada celah keraguan di kalbunya, tentu dia tidak akan meremehkannya. Pasti dia akan bersungguh-sungguh mempersiapkan bekal menuju akhirat.
Oleh karena itu, jika dihidangkan makanan yang paling lezat lagi nikmat kepada seseorang dan dia sedang kelaparan, lalu ada yang memberitahu bahwa makanan itu beracun, tentu ia tidak akan menyantapnya. Sebab, dia tahu bahwa bahaya makanan tersebut melampaui kelezatan menyantapnya.
(Jika dalam hal makanan saja demikian) mengapa keimanan seseorang terhadap akhirat tidak tertanam seperti itu dalam hatinya? Ini tidak lain karena lemah dan tidak terhunjamnya pohon ilmu dan iman terhadap kehidupan akhirat dalam hatinya.
Begitu pula saat ia akan melewati suatu jalan. Dia lalu diberitahu bahwa di ujung jalan ada perampok dan begal yang membunuhi orang yang melintas lalu merampas barang-barangnya. Orang itu tidak akan melewati jalan tersebut, kecuali apabila dirinya:
1) tidak percaya kepada yang memberitahunya, atau
2) percaya diri akan kesanggupannya untuk melawan dan mengalahkan mereka.
Kalau saja dia memercayai berita itu sepenuhnya dan merasa tidak sanggup melawan para perampok tersebut, pasti dia tidak akan menempuh jalan itu.
Sekiranya kedua pengetahuan ini telah ada pada diri seseorang, tentu dia tidak akan mengutamakan dunia dan syahwatnya daripada akhirat.
Jadi, dapat dipahami bahwa mengutamakan urusan dunia dan tidak mempersiapkan diri untuk negeri akhirat, tidak akan terjadi pada orang yang imannya benar-benar jujur.
- Dia benar-benar yakin tanpa ragu sedikit pun bahwa akan ada kehidupan yang pasti dia menetap di dalamnya setelah kehidupan di dunia ini.
Dia yakin ada tempat kembali yang telah dipersiapkan untuknya, dan dunia ini hanyalah jalan yang akan mengantarkannya ke tempat kembalinya tersebut. Dunia ini hanya sekadar tempat persinggahan. Bersamaan dengan itu dia yakin bahwa negeri akhirat tersebut kekal. Nikmat dan azabnya juga tidak akan sirna.
Seandainya bisa dibandingkan antara kenikmatan dan azab di dunia dengan yang ada di akhirat, hanyalah seperti mencelupkan jari ke laut, lalu jari itu diangkat lagi: Air yang membasahi jari itulah permisalan dunia, sedangkan air laut itulah akhirat.
Pengetahuan ini tentu mendorong seseorang untuk mengutamakan, mencari, dan bersungguh-sungguh mempersiapkan diri menghadapi kehidupan akhirat.
Bacalah perlahan dan renungilah firman Allah subhanahu wa ta’ala,
ٱعۡلَمُوٓاْ أَنَّمَا ٱلۡحَيَوٰةُ ٱلدُّنۡيَا لَعِبٞ وَلَهۡوٞ وَزِينَةٞ وَتَفَاخُرُۢ بَيۡنَكُمۡ وَتَكَاثُرٞ فِي ٱلۡأَمۡوَٰلِ وَٱلۡأَوۡلَٰدِۖ كَمَثَلِ غَيۡثٍ أَعۡجَبَ ٱلۡكُفَّارَ نَبَاتُهُۥ ثُمَّ يَهِيجُ فَتَرَىٰهُ مُصۡفَرّٗا ثُمَّ يَكُونُ حُطَٰمٗاۖ وَفِي ٱلۡأٓخِرَةِ عَذَابٞ شَدِيدٞ وَمَغۡفِرَةٞ مِّنَ ٱللَّهِ وَرِضۡوَٰنٞۚ وَمَا ٱلۡحَيَوٰةُ ٱلدُّنۡيَآ إِلَّا مَتَٰعُ ٱلۡغُرُورِ ٢٠
سَابِقُوٓاْ إِلَىٰ مَغۡفِرَةٖ مِّن رَّبِّكُمۡ وَجَنَّةٍ عَرۡضُهَا كَعَرۡضِ ٱلسَّمَآءِ وَٱلۡأَرۡضِ أُعِدَّتۡ لِلَّذِينَ ءَامَنُواْ بِٱللَّهِ وَرُسُلِهِۦۚ ذَٰلِكَ فَضۡلُ ٱللَّهِ يُؤۡتِيهِ مَن يَشَآءُۚ وَٱللَّهُ ذُو ٱلۡفَضۡلِ ٱلۡعَظِيمِ ٢١
“Ketahuilah, sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah permainan dan sesuatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah-megah di antara kalian serta berbangga-bangga tentang banyaknya harta dan anak. Seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani. Kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning lalu menjadi hancur. Dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras, begitu pula ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya. Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu.
Berlomba-lombalah kamu kepada ampunan dari Rabb-mu dan surga yang luasnya seluas langit dan bumi. (Surga yang) disediakan bagi orang-orang yang beriman kepada Allah dan rasul-rasul-Nya. Itulah karunia yang Allah berikan kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya. Dan Allah mempunyai karunia yang besar.” (al-Hadid: 20—21)
يَسَۡٔلُونَكَ عَنِ ٱلسَّاعَةِ أَيَّانَ مُرۡسَىٰهَا ٤٢ فِيمَ أَنتَ مِن ذِكۡرَىٰهَآ ٤٣ إِلَىٰ رَبِّكَ مُنتَهَىٰهَآ ٤٤ إِنَّمَآ أَنتَ مُنذِرُ مَن يَخۡشَىٰهَا ٤٥ كَأَنَّهُمۡ يَوۡمَ يَرَوۡنَهَا لَمۡ يَلۡبَثُوٓاْ إِلَّا عَشِيَّةً أَوۡ ضُحَىٰهَا ٤٦
“(Orang-orang kafir) bertanya kepadamu (Muhammad) tentang hari kebangkitan. Kapankah terjadinya? Siapakah kamu (sehingga) dapat menyebutkan (waktunya)? Kepada Rabb-mulah dikembalikan kesudahannya (ketentuan waktunya). Kamu hanyalah pemberi peringatan bagi siapa yang takut kepadanya (hari berbangkit). Pada hari mereka melihat hari berbangkit itu, mereka merasa seakan-akan tidak tinggal (di dunia) kecuali hanya (sebentar saja) di waktu sore atau pagi hari.” (an-Nazi’at: 42—46)
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَا أَنَا فِي الدُّنْيَا إِلاَّ كَرَاكِبٍ اسْتَظَلَّ تَحْتَ شَجَرَةٍ ثُمَّ رَاحَ وَتَرَكَهَا
“Tidaklah aku hidup di dunia ini melainkan seperti seorang musafir yang sedang istirahat berteduh di bawah naungan pohon. Kemudian musafir tersebut pergi meninggalkannya.” (HR. at-Tirmidzi, Ibnu Majah, dan dihukumi sahih oleh asy-Syaikh al-Albani)
Semoga Allah subhanahu wa ta’ala menggolongkan kita sebagai hamba-hamba-Nya yang jujur keimanannya dan senantiasa mengutamakan akhirat di atas dunia. Amin.
(Miftah Daris Sa’adah 1/542, dengan beberapa penambahan)
Ditulis oleh al-Ustadz Abu Muhammad Abdul Jabbar