Menyelesaikan Perselisihan Keluarga

(ditulis oleh: Al-Ustadzah Ummu Ishaq al-Atsariyyah)

Dalam edisi yang lalu kita telah membahas keberadaan keluarga suami dan keluarga istri dalam kehidupan sepasang insan, serta apa yang semestinya dilakukan oleh masing-masing pada keluarganya maupun pada keluarga pasangannya. Bagaimana bila terjadi perselisihan antara suami dengan keluarganya, antara istri dengan keluarganya, antara suami dengan keluarga istri, atau antara istri dengan keluarga suami? Yang sering terjadi adalah pertikaian dengan keluarga pasangan hidup, seperti suami berselisih dengan ayah mertuanya atau dengan ibu mertuanya, ataupun istri yang bermasalah dengan ayah atau ibu suaminya.

Antara Suami dengan Keluarga Istri
Bila seorang istri menghadapi pertikaian antara suami dan keluarganya, dalam hal ini ayahnya, di pihak siapakah istri harus berada?
Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan hafizhahullah menerangkan, “Tidak diragukan bahwa seorang anak wajib memenuhi hak ayah, sebagai hak yang ditekankan. Dalam banyak ayat, Allah l memerintahkan anak untuk menaati ayah dalam hal yang ma’ruf dan berbuat baik kepadanya. Demikian pula, hak suami merupakan hak yang wajib dan ditekankan untuk dipenuhi oleh istri. Dari sini, ayah Anda punya hak terhadap Anda, demikian pula suami Anda punya hak terhadap Anda. Anda wajib memberikan hak kepada setiap yang memiliki hak.
Bila menghadapi pertikaian antara keduanya (ayah dan suami) sebagaimana Anda sebutkan dan Anda tidak tahu harus di pihak mana Anda berada, Anda wajib berpihak pada kebenaran. Apabila suami Anda berada di pihak yang benar dan ayah Anda salah, maka Anda wajib berpihak kepada suami Anda dan menasihati ayah Anda. Sebaliknya, bila ayah Andalah yang benar sedangkan suami Anda di pihak yang salah maka Anda wajib berpihak pada ayah Anda serta berupaya menasihati suami Anda. Dengan demikian, kewajiban Anda adalah berpihak kepada kebenaran dan menasihati yang salah di antara keduanya.
Demikianlah posisi Anda yang semestinya dalam menghadapi pertikaian antara suami dan ayah Anda. Upayakanlah untuk memperbaiki hubungan keduanya dan menyelesaikan permasalahan di antara keduanya semampu Anda. Jadilah Anda sebagai kunci kebaikan dan penghilang perpecahan serta kerusakan yang ada. Dengan begitu, Anda akan beroleh pahala karena memperbaiki hubungan sesama manusia, terlebih lagi hubungan karib kerabat. Hal ini termasuk amalan ketaatan yang paling besar.
Allah l berfirman:
“Tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisikan mereka kecuali bisikan orang yang memerintahkan untuk bersedekah, memerintahkan kepada yang ma’ruf, atau untuk memperbaiki hubungan di antara manusia.” (An-Nisa’: 114)
Nasihat yang hendak kami sampaikan kepada kedua belah pihak (yaitu ayah mertua dan anak menantu) adalah hendaknya keduanya bertakwa kepada Allah l dan bermuamalah dengan ukhuwah Islamiah, serta dengan hak kekerabatan dan hubungan mertua-menantu yang terjalin di antara keduanya. Hendaknya keduanya melupakan pertikaian yang terjadi, saling memaafkan satu dengan lainnya, karena demikianlah seharusnya sifat kaum muslimin. Hendaknya keduanya tidak menuruti hawa nafsu atau mengikuti setan. Bahkan, hendaknya mereka memohon perlindungan kepada Allah l dari bisikan setan yang hendak menyimpangkan manusia.” (al-Muntaqa min Fatawa asy-Syaikh al-Fauzan, 3/68)

Antara Ibu dan Istri
Misalnya, seorang suami memiliki ibu yang selalu bermasalah dengan istrinya. Ishlah antara keduanya sudah diusahakan, namun tidak membuahkan hasil. Sampai-sampai si istri memberi pilihan apakah memilih dia ataukah sang ibu. Si suami tidak bisa menentukan salah satunya. Tidak mungkin ia menceraikan istrinya karena ada anak-anak yang akan menjadi korban. Tidak mungkin pula ia menjauhkan sang ibu walau sempat ada usulan untuk memasukkan ibunya ke rumah jompo. Bagaimana jalan keluar dari permasalahan ini?
Samahatusy Syaikh Muhammad bin Ibrahim Alusy Syaikh t menjawab, “Istri punya hak, ibu pun punya hak. Hak ibu adalah si anak berbakti dan berbuat baik kepadanya, memuliakan dan melayaninya, serta menunaikan seluruh haknya sebagai balasan atas segala yang dilakukan dan kebaikannya. Allah l telah menekankan hak kedua orang tua dan menggandengkan hak keduanya dengan hak-Nya. Tidaklah Allah l memerintahkan hamba-Nya untuk beribadah kepada-Nya melainkan Allah l gandengkan dengan perintah berbuat baik kepada kedua orang tua. Allah l berfirman:
Dan Rabbmu telah memerintahkan agar kalian jangan beribadah selain kepada-Nya dan hendaklah kalian berbuat baik kepada kedua orang tua dengan sebaik-baiknya. Apabila salah seorang dari keduanya atau kedua-duanya sampai berusia lanjut dalam pemeliharaanmu, maka jangan sekali-kali kamu mengatakan kepada keduanya perkataan “ah”, dan janganlah kamu membentak keduanya dan ucapkanlah kepada keduanya perkataan yang mulia. Dan rendahkanlah dirimu terhadap keduanya dengan penuh kasih sayang dan ucapkanlah, “Wahai Rabbku, kasihilah mereka berdua, sebagaimana mereka berdua telah mendidikku waktu kecil.” (al-Isra: 23—24)
Berbuat baik kepada ibu merupakan sebab lembutnya hati, kuatnya iman, berkah pada rezeki dan umur, baiknya akibat yang diperoleh, dan menjadi sebab anak yang dimilikinya menjadi anak yang berbakti kepada ayah dan ibunya.
Demikian pula istri. Ia punya hak untuk Anda pergauli dengan baik, Anda memberinya nafkah berupa pakaian dan tempat tinggal, di samping Anda menunaikan haknya yang disyariatkan. Ini berdasarkan firman Allah l:
“Dan para istri memiliki hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf.” (al-Baqarah: 228)
Akan tetapi, seseorang terkadang ditimpa ujian dengan terjadinya perselisihan antara ibunya dan istrinya. Si anak (suami) harus bertakwa kepada Allah l, ia tidak boleh menzalimi ibunya untuk kemaslahatan istrinya. Sebaliknya, ia juga tidak boleh menzalimi istrinya untuk kemaslahatan ibunya. Seharusnya dia bersikap adil. Apabila ia jujur kepada Allah l dalam pergaulannya kepada kedua pihak ini, Allah l akan menolongnya. Jika istri memusuhi sang ibu, berbuat jelek dan menzaliminya, ia harus mencegah istrinya dari kezaliman tersebut. Ia harus menghalangi agar istrinya tidak berbuat zalim kepada Ibunya. Ia perlu menerangkan kepada si istri bahwa ibunya memiliki keutamaan yang besar dan bahwa beliau dikedepankan dalam segala sesuatu. Sebaliknya, bila ia melihat kesalahan ada pada ibunya dengan berbuat buruk kepada istrinya, ia menasihati ibunya dengan penuh adab, penghormatan, dan kelembutan. Ia mengingatkan sang ibu, “Dia adalah istri saya dan ibu dari anak-anak saya. Hendaknya ibu memperlakukannya dengan baik.” Seorang yang berakal tentu bisa bersikap adil, melihat siapa yang salah dan yang benar, di antara ibu dan istrinya.
Adapun mengambil jalan keluar dari masalah ini dengan menitipkan ibunya ke panti jompo demi mencari keridhaan istri, ini adalah perbuatan yang amat jelek dan akhlak yang tercela. Perbaiki diri Anda, wahai penanya, jika Anda memiliki sifat tersebut! Bahkan, yang semestinya dilakukan adalah berbakti kepada ibu (bukan membuangnya ke panti jompo). Ketika ia butuh pelayanan, Anda seharusnya melayaninya. Jangan Anda bebankan pelayanan Anda terhadap ibu Anda kepada istri Anda. Bila istri Anda melihat bakti Anda kepada ibu Anda, diharapkan ia terdorong untuk berbuat baik kepadanya. Anda, wahai saudaraku, wajib bertakwa kepada Allah l dalam urusan ibu Anda dan tidak boleh melupakan kebaikannya.” (Fatawa wa Rasail Samahatusy Syaikh Muhammad ibnu Ibrahim, 10/190)

Bila yang Salah adalah Pihak Istri
Pernah pula muncul permasalahan lain terkait perselisihan istri dengan ibu mertuanya. Si suami berkata, “Istri saya kerap bertikai dengan ibu saya, sampai-sampai ibu saya menghendaki saya menceraikannya. Saya berada dalam kebimbangan antara memenuhi keinginan ibu saya ataukah keadaan anak-anak saya kelak bila sampai saya bercerai dengan ibu mereka (istri saya). Saya sendiri, alhamdulilah, adalah pemuda yang berpegang dengan agama. Saya tidak ingin membuat Allah l murka dengan menceraikan istri saya, ataupun membuat marah ibu saya yang Allah l telah memerintahkan saya untuk menaatinya. Saya pernah membaca sebuah hadits dari Abdullah ibnu Umar c yang maknanya, ‘Ibnu Umar memiliki seorang istri yang dicintainya namun ibunya menginginkan agar dia menceraikan istrinya. Ibnu Umar pun pergi menemui Rasulullah n, maka beliau memerintahkannya agar menceraikan istrinya.’ Oleh karena itu, kami mengharapkan jawaban atas permasalahan ini. Semoga Allah l memberi balasan kepada Anda.”
Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan hafizhahullah menjawab sebagai berikut.
1. Kejadian Ibnu Umar c itu bukan bersama ibunya, tetapi dengan ayahnya, Umar ibnul Khaththab z.
Masalah yang Anda sebutkan tentang keadaan istri Anda bersama ibu Anda, yaitu istri Anda sering bertikai dengan ibu Anda dan ibu Anda menuntut Anda agar menceraikannya, yang tampak dari pernyataan Anda bahwa istri Andalah yang menyakiti ibu Anda. Kalau seperti itu, tentunya tidak boleh Anda membiarkan istri Anda melakukannya. Apabila Anda bisa menasihatinya dan mencegahnya dari memusuhi ibu Anda, serta memperbaiki hubungan ibu Anda dan istri Anda, itulah yang semestinya Anda lakukan. Jangan terburu-buru memutuskan untuk bercerai. Atau, bila mungkin Anda menempatkan istri Anda di rumah yang berbeda dengan ibu Anda, ini juga jalan keluar yang lain. Akan tetapi, bila semua saran yang disebutkan di sini tidak dapat Anda lakukan, sedangkan istri Anda tetap berlaku buruk terhadap ibu Anda dan membencinya, tidak ada jalan untuk melepaskan diri dari perceraian dalam rangka menaati ibu Anda dan menghilangkan kemudaratan darinya. Siapa yang meninggalkan sesuatu karena Allah l, niscaya akan Allah l menggantinya dengan yang lebih baik.
Bagaimana pun keadaannya, upayakanlah untuk menyelesaikan masalah-masalah yang ada semampu Anda. Mudah-mudahan Allah l memperbaiki urusan Anda. Jangan Anda jadikan talak sebagai jalan keluar, melainkan alternatif terakhir jika Anda sudah tidak mampu mencari penyelesaian yang lain. (al-Muntaqa min Fatawa asy-Syaikh al-Fauzan, 3/67)

Ibu Suami Ingin Memisahkan Sang Istri dari Suaminya
Seorang istri pernah mengeluh, tadinya ia hidup berbahagia dengan suaminya selama 2,5 tahun pernikahan mereka. Keadaan kemudian tiba-tiba berubah tanpa ia mengerti sebabnya. Akhirnya, ia mengetahui bahwa ternyata ibu mertuanya menjelek-jelekkannya di hadapan suaminya dan menuntut suaminya meninggalkan dirinya. Suaminya ternyata terpengaruh ucapan ibunya, sampai-sampai ketika si suami ini bepergian ke negeri lain, ia hanya menghubungi keluarganya. Ia sama sekali tidak mau menghubungi (berbicara via telepon dengan) istrinya. Si istri merasa amat tersakiti sampai hingga ia terus-menerus menangis. Jiwanya merasa sempit. Akhirnya, ia tidak menemukan jalan selain mengabari keluarganya tentang apa yang telah menimpa dirinya. Apa jalan keluar masalah ini?
Fadhilatusy Syaikh Muhammad ibnu Shalih al-Utsaimin t menjawab, “Sungguh banyak masalah yang muncul di antara suami-istri di masa ini, karena masing-masing pihak tidak berpegang dengan perintah Allah l, yaitu bergaul dengan baik. Satu pihak berbuat jelek kepada pasangannya, dan berikutnya terjadilah problem dan musibah.
Terkadang, pemicu masalah datang dari pihak selain suami-istri. Semua ini disebabkan kelemahan iman kepada Allah l dan tidak adanya rasa takut kepada-Nya. Apabila setiap insan berhenti di atas batasannya, berpegang dengan hukum-hukum Allah l, menunaikan kewajibannya, serta tidak melampaui batas terhadap orang lain, niscaya problem itu tidak akan terjadi.
Berkaitan dengan masalah yang ditanyakan, nasihat yang pertama kali kami tujukan kepada ibu si suami. Kami nasihatkan agar ia bertakwa kepada Allah k dan takut kepada-Nya, serta takut akan adanya hari penghisaban. Perbuatannya yang melampaui batas terhadap menantunya dengan menjelek-jelekkannya di hadapan suaminya—bila memang benar yang diadukan oleh si penanya—merupakan hal yang diharamkan. Perbuatan ini termasuk namimah (mengadu domba) yang dicela oleh Allah l dalam firman-Nya:
“Janganlah kamu ikuti setiap orang yang banyak bersumpah lagi hina, yang banyak mencela, yang kian kemari menghambur fitnah.” (al-Qalam: 10—12)
Nabi n bersabda tentang pelaku namimah:
لاَ يَدْخُلُ الْجَنَّةَ قَتَّاتٌ
“Qattat tidak akan masuk surga.”
Qattat adalah pelaku namimah.
Dalam ash-Shahihain disebutkan bahwasanya Rasulullah n melewati dua kuburan yang penghuninya sedang diazab. Beliau n lalu bersabda:
أَمَّا أَحَدُهُمَا فَكَانَ لاَ يَسْتَبْرِئُ مِنَ الْبَوْلِ، وَأَمَّا الْآخَرُ فَكَانَ يَمْشِي بِالنَّمِيْمَةِ
“Adapun salah satunya, ia tidak membersihkan diri dari kencing, sedangkan yang lainnya berjalan menyebarkan namimah.”
Ini menunjukkan bahwa namimah merupakan sebab azab kubur dan terhalangnya seseorang masuk surga. Terlebih lagi dalam keadaan seperti ini, yang mengakibatkan terpisahnya suami dengan istrinya. Hendaklah si ibu bertakwa kepada Allah l dalam urusan putranya dan istri putranya.
Sebab perkara dominan yang mendorong wanita (dalam hal ini ibu) berbuat demikian adalah rasa cemburu. Bila ia melihat putranya mencintai istrinya, ia pun cemburu dengan istri putranya. Seakan-akan menantunya tersebut adalah madunya yang menjadi tandingannya dalam menarik hati putranya. Tentu hal ini merupakan kesalahan dan kebodohan.
Kepada si suami kami nasihatkan agar ia melihat masalah yang terjadi. Bila istrinya terlepas dari tuduhan yang dilemparkan ibunya, hendaknya ia meninggalkan dan tidak menganggap ucapan ibunya. Hendaklah ia tetap hidup berbahagia dengan istrinya. Walaupun ia harus tinggal bersama istrinya di rumah tersendiri yang terpisah dari sang ibu, dia boleh melakukannya, karena bila seperti yang digambarkan oleh penanya, berarti ibunya telah berlaku zalim dan melampaui batas.” (Fatawa Manarul Islam, 3/33)

Bolehkah Tidak Mengunjungi Rumah Keluarga karena Mereka Sering Memicu Masalah?
Bila pihak keluarga sering menjadi sebab terjadinya masalah antara seorang suami dan istrinya, serta sering ikut campur dalam urusan keduanya, tidak apa-apa keduanya tidak mengunjungi rumah kerabat tersebut. Misalnya, kerabat istri sering memengaruhi si istri saat ia berkunjung ke rumah mereka agar dia menuntut macam-macam kepada suaminya. Atau, kerabat istri tersebut mencari-cari kesalahan si suami lalu menjelek-jelekkannya di hadapan si istri. Bila seperti ini, sang suami berhak melarang istrinya mengunjungi keluarganya dalam rangka menutup jalan menuju kerusakan. Adapun untuk menyambung silaturahim, si istri bisa melakukannya tanpa mendatangi mereka. Bisa dengan menulis surat atau telepon, jika cara ini tidak berdampak negatif. Allah l berfirman:
“Bertakwalah kalian kepada Allah semampu kalian.” (at-Taghabun: 16)
Ada hadits yang berisi ancaman keras bagi orang yang merusak hubungan seorang istri dengan suaminya. Abu Hurairah z menyampaikan sabda Rasulullah n:
لَيْسَ مِنَّا مَنْ خَبَّبَ امْرَأَةً عَلَى زَوْجِهَا
“Bukan termasuk golongan kami, orang yang merusak akhlak istri terhadap suaminya dan menjadi sebab nusyuz si istri.” (HR. Abu Dawud no. 2175, disahihkan dalam Shahih Abi Dawud)
Dalam Aunul Ma’bud dijelaskan bahwa bukan termasuk pengikut Rasulullah n, orang yang merusak pikiran seorang istri dengan menghias-hiasi sikap permusuhan kepada suaminya. Misalnya, menceritakan kejelekan si suami di hadapan istrinya, atau menyebutkan kebaikan/memuji-muji lelaki lain di depan si istri. (Kitab ath-Thalaq, bab Fi Man Khabbaba Imra’atan ‘ala Zaujiha)
Tidak mengunjungi keluarga yang suka merusak hubungan istri dengan suaminya atau sebaliknya ini, tidak berarti memutus hubungan dengan mereka sama sekali, atau tidak mau tahu keadaan mereka sebagai kerabat. Ketika bertemu semestinya tetap diucapkan salam kepada mereka, hak mereka dipenuhi dan hubungan tetap dijalin selain dengan berkunjung, hingga mereka berhenti dari perbuatan mereka yang buruk.
Ketika Asy-Syaikh Shalih al-Fauzan hafizhahullah ditanya tentang hukum melarang istri bersilaturahim kepada keluarganya, beliau memberikan arahan, “Silaturahim itu wajib, sehingga seorang suami tidak boleh melarang istrinya menyambung hubungan rahimnya. Memutus silaturahim termasuk dosa besar. Seorang istri tidak boleh menaati suaminya dalam hal seperti ini, karena tidak boleh taat kepada makhluk dalam bermaksiat kepada Al-Khaliq. Si istri hendaknya tetap menyambung rahimnya dengan hartanya sendiri, atau mengirim surat kepada keluarganya dan mengunjungi mereka, kecuali bila kunjungan itu berakibat buruk kepada hak suami. Misalnya, suami mengkhawatirkan kerabat istrinya akan merusak hubungan istrinya dengannya. Bila seperti ini, ia berhak melarang istrinya mengunjungi keluarganya. Akan tetapi, si istri tetap menyambung hubungan dengan keluarganya tanpa mengunjungi mereka, dalam hal-hal yang tidak mengandung mafsadah. Wallahu a’lam.” (al-Muntaqa, 3/180)
Demikianlah bimbingan ulama seputar hubungan suami istri dengan karib kerabat mereka dan solusi atas problem yang mungkin terjadi.
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.