Islam acap diidentikkan dengan kemiskinan dan keterbelakangan. Stigma ini demikian membekas terlebih kita memang disuguhi fakta bahwa sebagian besar kaum muslimin hidup di negara-negara yang tidak dikategorikan sebagai negara “maju”.
Yang demikian ini semestinya menggugah kita bahwa sebenarnya umat sangat perlu diberdayakan. Lahan beramal, menyalurkan harta -yang mengandung hak orang miskin- masih sedemikian luas. Karena sesungguhnya tidak sedikit dari kaum muslimin yang diberi karunia dengan harta berlebih. Artinya, jika kalangan Islam sendiri mau mengelola potensinya serta menerapkan syariat secara utuh, sesungguhnya banyak solusi yang diberikan Islam atas beragam masalah yang membelit umat.
Zakat, misalnya. Jika perzakatan dikelola secara benar kemudian didistribusikan secara tepat sasaran, problem kemiskinan setidaknya akan terkurangi. Potensi zakat yang demikian besar dari kalangan Islam yang mampu sering tidak tersalurkan karena minimnya lembaga atau amil zakat yang amanah. Diakui atau tidak, ada lembaga zakat yang telah ditumpangi kepentingan tertentu, entah karena fanatisme ormas, kelompok, atau kedekatan dengan parpol tertentu. Selain itu, peruntukan zakat yang tidak syar’i menjadi sebab kenapa potensi zakat ini belum bisa dimanfaatkan secara maksimal. Ada dana zakat yang justru disalurkan untuk membangun masjid, diberikan kepada pegawai/guru tidak tetap, dan sebagainya.
Namun demikian, sejatinya ada problem mendasar terkait zakat yang dihadapi umat. Keimanan yang tipis serta pengaruh gaya hidup materialis membuat sebagian manusia lebih banyak berhitung matematis tanpa dilambari dengan telaah keimanan. Ini diperparah dengan keberadaan pihak-pihak tertentu yang justru mereduksi makna zakat sehingga menganggap zakat tak lebih dari pungutan bernama pajak.
Selain itu, banyak kaum muslimin yang masih bingung dalam menyikapi berbagai harta yang dimilikinya, apakah dikenai zakat atau tidak. Keawaman masyarakat pada jenis-jenis harta yang dikenai zakat tentu saja berimbas pada besarnya zakat yang dihimpun.
Umat sendiri malah dihadapkan pada satu atau beberapa jenis zakat yang sebenarnya tidak dikenal dalam Islam. Seperti zakat profesi yang mengabaikan nishab dan haul, juga zakat kendaraan, rumah, bahkan perabot rumah yang dipakai sehari-hari, bukan untuk dijualbelikan.
Itu semua tentu menjadi tantangan kita dalam mengentaskan umat dari kemiskinan namun tentunya harus dilakukan dengan cara-cara yang bisa dibenarkan secara syariat. Sudah mafhum, miskin harta yang diiringi miskin iman menjadi sasaran empuk praktik-praktik pemurtadan yang dilakukan kalangan non-muslim.
Namun demikian, kemiskinan tidaklah bisa serta-merta dituding sebagai sumber dari segala sumber penyakit umat. Banyak dahulu dari sahabat, tabi’in, tabi’ut tabi’in, dan para salafush shalih yang jika dilihat dari kacamata sekarang hidup di bawah garis kemiskinan. Namun demikian, kala itu, dengan keimanan yang kokoh, mereka justru mampu menyinari dunia dengan kemuliaan Islam. Dengan keimanan, mereka memiliki kewibawaan, sehingga tidak bisa didikte oleh orang-orang di luar Islam, apalagi sampai membebek dengan gaya hidup mereka.
Problem sesungguhnya yang dihadapi umat adalah akidah umat yang demikian rapuh. Kala akidah ini keropos, syariat Islam pun ibarat awang-awang. Jangankan diterapkan secara utuh, diterapkan sebagian saja masih terhitung “lumayan.” Tidak usah jauh-jauh, di sekitar kita saja, tidak sedikit orang yang beragama Islam namun tidak menjalankan shalat, tidak menunaikan puasa, terlebih membayar zakat.
Makanya perbaikan akidah (tauhid) umat ini mesti menjadi perhatian. Jika akidah umat telah terbangun, niscaya setiap orang, dengan keimanan yang tegak di qalbu, mau menunaikan zakat serta syariat Islam lainnya. Sehingga tak sekadar slogan, namun “muslim taat bayar zakat” benar-benar mampu diwujudkan di tengah umat!