(ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Muhammad Harits)
Kekejaman Fir’aun dan bangsa Qibthi (Mesir) ketika itu membuat Nabi Musa q harus berangkat meninggalkan tanah kelahirannya. Dengan pertolongan Allah l yang senantiasa mengawasi hamba-Nya, sampailah beliau di negeri Madyan.
Perjalanan panjang dan sangat menyulitkan. Dalam keadaan tanpa persiapan bekal, hanya bersandar kepada Allah Yang Maha melindungi.
Beliau pun beristirahat di dekat sebuah sumber air yang tengah ramai didatangi para penggembala ternak yang sedang memberi minum gembalaan mereka.
Allah l berfirman:
“Dan tatkala ia menghadap ke arah negeri Madyan ia berdoa (lagi): ‘Mudah-mudahan Rabbku memimpinku ke jalan yang benar.’ Dan tatkala ia sampai di sumber air negeri Madyan ia menjumpai di sana sekumpulan orang yang sedang meminumkan (ternaknya), dan ia menjumpai di belakang orang banyak itu, dua orang wanita yang sedang menghambat (ternaknya). Musa berkata: ‘Apakah maksud kalian (dengan berbuat begitu)?’ Kedua wanita itu menjawab: ‘Kami tidak dapat meminumkan (ternak kami) sebelum penggembala-penggembala itu memulangkan (ternaknya), sedang ayah kami adalah orang tua yang telah lanjut umurnya.’
Maka Musa memberi minum ternak itu untuk (menolong) keduanya, kemudian dia kembali ke tempat yang teduh lalu berdoa: ‘Wahai Rabbku, sesungguhnya aku sangat memerlukan sesuatu kebaikan yang Engkau turunkan kepadaku.’
Kemudian datanglah kepada Musa salah seorang dari kedua wanita itu berjalan dengan malu-malu, ia berkata: ‘Sesungguhnya ayahku memanggilmu agar ia memberi balasan terhadap (kebaikan)mu memberi minum (ternak) kami.’ Maka tatkala Musa mendatangi ayah mereka dan menceritakan kepadanya cerita (mengenai dirinya). Dia berkata: ‘Janganlah kamu takut. Kamu telah selamat dari orang-orang yang zalim itu.’
Salah seorang dari kedua wanita itu berkata: ‘Wahai ayahku, ambillah ia sebagai orang yang bekerja (pada kita), karena sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya.’
Berkatalah dia: ‘Sesungguhnya aku bermaksud menikahkan kamu dengan salah seorang dari kedua anakku ini, atas dasar bahwa kamu bekerja denganku delapan tahun dan jika kamu cukupkan sepuluh tahun maka itu adalah (suatu kebaikan) dari kamu, maka aku tidak hendak memberati kamu. Dan kamu insya Allah akan mendapatiku termasuk orang-orang yang baik’.” (Al-Qashash: 22-27)
Firman Allah l:
Dan tatkala ia sampai, yakni tiba di sumber air negeri Madyan.
Ia menjumpai di sana sekumpulan orang, yang sedang memberi minum ternak-ternak mereka.
Dan ia menjumpai di belakang orang banyak itu, dua orang wanita yang sedang menghambat (ternaknya), yang menahan kambing-kambing mereka dari kerumunan orang banyak.
Siang itu sangat panas.
Setelah selesai memberi minum ternak kedua wanita itu, Nabi Musa q segera berteduh di bawah sebatang pohon dan berdoa:
“Wahai Rabbku, sesungguhnya aku sangat memerlukan sesuatu kebaikan yang Engkau turunkan kepadaku.”
Sebuah permintaan melalui ungkapan tentang keadaan diri beliau. Permintaan melalui keadaan yang dialami, lebih sempurna daripada meminta dengan ucapan lisan. Sehingga dengan keadaan dirinya itu, seseorang senantiasa berdoa kepada Allah l.
Ucapan ini terdengar oleh kedua wanita tersebut. Mereka pun segera pulang menemui ayah mereka.
Sang ayah terheran-heran, karena tidak biasanya kedua putrinya pulang secepat itu. Mengetahui keheranan ayahanda mereka, keduanya menceritakan apa yang terjadi.
Mendengar cerita puterinya, orang tua itu tergerak ingin memberi balasan atas kebaikan Musa q yang telah membantu mereka. Maka dia pun mengutus salah seorang putrinya.
Allah l berfirman:
“Kemudian datanglah kepada Musa salah seorang dari kedua wanita itu berjalan dengan malu-malu,” sambil menutupi wajahnya dengan sebagian pakaiannya. Ini menunjukkan kesempurnaan iman dan kemuliaan dirinya, bukan wanita yang “berani” (jalang), suka keluar masuk kepada laki-laki.
Sedangkan sifat malu pada seorang manusia, terlebih pada seorang wanita, merupakan sifat yang paling luhur dan sangat agung. Rasulullah n bersabda:
الْحَيَاءُ لَا يَأْتِي إلَّا بِخَيْرٍ
“Rasa malu itu tidaklah datang melainkan dengan membawa kebaikan.”1
Dalam hadits lain, beliau n menyatakan bahwa:
الْحَيَاءُ مِنَ الْإِيْمَانِ
“Rasa malu itu adalah bagian dari iman.”2
Malu yang sesuai syariat adalah malu yang mendorong seseorang menjaga batas-batas hukum dan apa-apa yang diharamkan oleh Allah l. Bahkan seringnya, rasa malu ini menuntut adanya sikap wara’ dan menjaga diri dari berbagai syubhat.
Allah l berfirman:
Ia berkata: “Sesungguhnya ayahku memanggilmu agar ia memberi balasan terhadap (kebaikan)mu memberi minum (ternak) kami.”
Perkataan gadis itu menepis berbagai dugaan yang mungkin timbul akibat kedatangannya. Hal ini juga menunjukkan kesempurnaan rasa malu dan pemeliharaan dirinya.
Nabi Musa q menyambut juga undangan itu walaupun bukan untuk mengharapkan upah, tetapi ingin bertemu dengan orang tua yang mengundangnya. Mereka pun berangkat menuju ke rumah lelaki tua yang shalih itu.
Beliau memerintahkan gadis itu berjalan di belakangnya dan agar memberi isyarat dengan lemparan batu ke arah mana yang dituju untuk sampai di rumahnya.
Sesampainya di rumah lelaki shalih itu, Nabi Musa q menceritakan keadaan dirinya. Orang tua itu mendengarkan, lalu berkata:
“Janganlah kamu takut. Kamu telah selamat dari orang-orang yang zalim itu.”
Kondisi rumah yang tidak ada tenaga laki-laki yang kuat dalam membantu menggembalakan kambing, mendorong salah seorang putri laki-laki shalih itu untuk berkata: “Wahai ayah, jadikanlah dia sebagai orang yang bekerja untuk kita.”
Maksudnya, untuk menggembalakan kambing. Kemudian, anak gadis itu memuji Nabi Musa q bahwasanya beliau adalah seorang laki-laki yang kuat dan dapat dipercaya.
Orang tua yang shalih itu merasa cemburu. Heran, dari mana putrinya mengetahui keadaan ‘laki-laki asing ini’? Itulah kecemburuan yang pada tempatnya. Bukan kebiasaan putrinya untuk bercampur-baur dengan kaum laki-laki. Bukan pula watak mereka untuk memerhatikan laki-laki yang bukan mahram mereka. Sebagai ayah, beliau tidak suka bila melihat putrinya melanggar batas yang telah ditetapkan oleh Allah l. Meskipun dia percaya kepribadian putrinya, beliau tetap menanyakan dari mana putrinya tahu keadaan laki-laki asing itu.
Putrinya menerangkan: “Dia sanggup mengangkat batu penutup perigi tempat minum para gembala seorang diri. Padahal batu itu hanya bisa diangkat paling sedikit sepuluh orang laki-laki. Itulah kekuatannya.3 Sedangkan amanahnya, ketika saya berjalan di depannya, dia memerintahkan saya agar berjalan di belakang dan memberi isyarat ke arah mana yang dituju.”
Demikianlah yang diriwayatkan dari sebagian salaf, seperti ‘Umar, Ibnu ‘Abbas, Syuraih Al-Qadhi, Qatadah, dan lainnya.
Kata Ibnu Mas’ud z: “Manusia yang paling tepat firasatnya ada tiga. Yaitu anak perempuan laki-laki shalih dalam kisah Nabi Musa ini, pembesar yang membeli Nabi Yusuf dan mengatakan (dalam ayat):
‘Berikanlah kepadanya tempat (dan layanan) yang baik.’
dan Abu Bakr Ash-Shiddiq z ketika mengangkat ‘Umar bin Al-Khaththab z sebagai khalifah.”
Lelaki tua itu gembira, dugaannya terhadap putrinya tidak salah, demikian pula terhadap Nabi Musa q. Lantas, dia pun berkata, sebagaimana dalam firman Allah l:
“Sesungguhnya aku bermaksud menikahkan kamu dengan salah seorang dari kedua anakku ini.”
Alangkah ironisnya kenyataan yang kita lihat di sekitar kita. Ketika cemburu dari para ayah dan suami atau saudara laki-laki sudah pupus. Tidak tergerak hati mereka untuk menegur atau menampakkan kemarahan kepada orang-orang yang berada di bawah kepemimpinan mereka, ketika mereka melanggar batas-batas hukum yang ditetapkan oleh Allah k.
Sebagian mereka menyibukkan diri dengan ibadah tetapi lupa atau sengaja membiarkan anak istrinya tidak shalat. Sengaja membiarkan anak-anak gadisnya atau istrinya keluar tanpa menutup aurat mereka. Atau membiarkan mereka berbicara dengan santainya bersama laki-laki yang bukan mahram atau suaminya.
Mereka membiarkan bahkan memfasilitasi anak perempuan dan istri mereka untuk ikhtilath (bercampur baur) dengan kaum laki-laki.4
Ingatlah peringatan dari Rasulullah n yang tidak berbicara melainkan berdasarkan wahyu yang diturunkan kepada beliau. Manusia yang paling penyayang kepada sesamanya. Beliau bersabda:
لاَ يَدْخُلُ الْجَنَّةَ دَيُّوثٌ
“Tidak akan masuk surga seorang dayyuts.”5
(Insya Allah bersambung)
1 HR. Al-Bukhari (10/433) dan Muslim (no. 37) dari ‘Imran bin Hushain z.
2 HR. Al-Bukhari (no. 5653) dan Muslim (no. 163).
3 Demikian dinukil oleh Ibnu Abi Syaibah t dalam Mushannaf-nya.
4 Lihat lebih lanjut pembahasan masalah cemburu ini dalam lembar Sakinah edisi 29 majalah kita ini.
5 Dayyuts ialah orang yang melihat cela pada istri (keluarga)nya tapi tidak merasa cemburu. Atau seorang wali (pemimpin) yang membiarkan kemaksiatan dilakukan oleh orang-orang yang ada di bawah kepemimpinannya. Wallahu a’lam. Hadits ini lemah, diriwayatkan oleh Abu Dawud Ath-Thayalisi (no. 3189) dari ‘Ammar, tetapi mempunyai penguat dalam Musnad Ahmad (9/272 no. 5372) dari sahabat Ibnu ‘Umar c.