Pakaian wanita saat mengerjakan shalat memiliki aturan tersendiri. Setiap wanita hendaknya memerhatikan pakaiannya ketika shalat, tidak boleh seenaknya, meski shalatnya dilakukan sendirian.
Di masa jahiliah, kata Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, wanita biasa thawaf di Ka’bah dalam keadaan tanpa busana. Yang tertutupi hanyalah bagian kemaluannya. Mereka thawaf seraya bersyair,
Pada hari ini tampak tubuhku sebagiannya ataupun seluruhnya
Maka apa yang tampak darinya tidaklah daku halalkan
Maka turunlah ayat,
يَٰبَنِيٓ ءَادَمَ خُذُواْ زِينَتَكُمۡ عِندَ كُلِّ مَسۡجِدٖ
“Wahai anak Adam, kenakanlah zinah (hiasan/pakaian)[1] kalian setiap kali menuju masjid.” (al-A’raf: 31) [Sahih, HR. Muslim no. 3028]
Al-Imam an-Nawawi rahimahullah berkata, “Dahulu orang-orang jahiliah thawaf di Ka’bah dalam keadaan telanjang. Mereka melemparkan pakaian mereka dan membiarkannya tergeletak di atas tanah terinjak-injak oleh kaki orang-orang yang lalu lalang. Mereka tidak lagi mengambil pakaian tersebut selamanya, hingga usang dan rusak. Demikian kebiasaan jahiliah ini berlangsung hingga kedatangan Islam dan Allah subhanahu wa ta’ala memerintahkan mereka untuk menutup aurat sebagaimana firman-Nya,
بَنِيٓ ءَادَمَ خُذُواْ زِينَتَكُمۡ عِندَ كُلِّ مَسۡجِدٖ
“Wahai anak Adam, kenakanlah hiasan kalian setiap kali shalat di masjid.” (al-A’raf: 31)
Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
لاَ يَطُوْفُ بِالْبَيْتِ عُرْياَنٌ
“Tidak boleh orang yang telanjang thawaf di Ka’bah.” (Sahih, HR. al-Bukhari no. 1622 dan Muslim no. 1347) [Shahih Muslim bi Syarhin Nawawi, 18/162—163]
Hadits di atas selain disebutkan oleh al-Imam al-Bukhari rahimahullah pada nomor di atas, pada Kitab al-Haj, Bab “Tidak boleh orang yang telanjang thawaf di Baitullah dan tidak boleh orang musyrik melaksanakan haji”, disinggung pula oleh beliau dalam Kitab ash-Shalah, bab “Wajibnya shalat dengan mengenakan pakaian.”
Al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani rahimahullah dalam syarahnya (penjelasan) terhadap hadits di atas dalam Kitab ash-Shalah berkata, “Sisi pendalilan hadits ini terhadap judul bab yang diberikan al-Imam al-Bukhari rahimahullah adalah apabila dalam thawaf dilarang telanjang, pelarangan hal ini di dalam shalat lebih utama lagi. Sebab, apa yang disyaratkan di dalam shalat sama dengan apa yang disyaratkan di dalam thawaf, bahkan dalam shalat ada tambahan. Jumhur berpendapat menutup aurat termasuk syarat shalat.” (Fathul Bari, 1/582)
Al-Imam asy-Syaukani rahimahullah berkata dalam Tafsir-nya, “Mereka diperintah untuk mengenakan zinah (hiasan) ketika datang ke masjid untuk melaksanakan shalat atau thawaf di Baitullah. Ayat ini dijadikan dalil untuk menunjukkan wajibnya menutup aurat di dalam shalat. Demikian pendapat yang dipegangi oleh jumhur ulama. Bahkan, menutup aurat hukumnya wajib dalam segala keadaan, sekalipun seseorang shalat sendirian, sebagaimana ditunjukkan oleh hadits-hadits yang sahih.” (Fathul Qadir, 2/200)
Ada perbedaan antara batasan aurat yang harus ditutup di dalam shalat dan aurat yang harus ditutup di hadapan seseorang yang tidak halal untuk melihatnya, sebagaimana ada perbedaan yang jelas antara aurat laki-laki di dalam shalat dan aurat wanita.
Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, “Mengenakan pakaian di dalam shalat adalah dalam rangka menunaikan hak Allah subhanahu wa ta’ala. Maka dari itu, seseorang tidak boleh shalat ataupun thawaf dalam keadaan telanjang, walaupun sendirian di malam hari. Dengan demikian, diketahuilah bahwa mengenakan pakaian di dalam shalat bukanlah karena ingin menutup tubuh (berhijab) dari pandangan manusia. Sebab, ada perbedaan antara pakaian yang dikenakan untuk berhijab dari pandangan manusia dan pakaian yang dikenakan ketika shalat.” (Majmu’ Fatawa, 22/113—114)
Perlu diperhatikan di sini, menutup aurat di dalam shalat tidaklah cukup dengan berpakaian ala kadarnya, yang penting menutup aurat, tidak peduli pakaian itu terkena najis, bau, dan kotor misalnya. Namun, perlu diperhatikan pula sisi keindahan dan kebersihan. Sebab, Allah subhanahu wa ta’ala dalam firman-Nya memerintahkan untuk mengenakan zinah (pakaian sebagai perhiasan) ketika shalat, sebagaimana ayat di atas. Jadi, seorang hamba sepantasnya shalat mengenakan pakaiannya yang paling bagus dan paling indah, karena dia akan bermunajat dengan Rabb semesta alam dan berdiri di hadapan-Nya.
Demikian secara makna dikatakan oleh Ibnu Taimiyah rahimahullah dalam al-Ikhtiyarat (hlm. 43), sebagaimana dinukil dalam asy-Syarhul Mumti’ ‘ala Zadil Mustaqni’ (2/145).
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin rahimahullah membawakan beberapa syarat pakaian yang dikenakan dalam shalat. Ringkasnya adalah sebagai berikut.
- Tidak menampakkan kulit tubuh yang ada di balik pakaian
- Bersih dari najis
- Bukan pakaian yang haram untuk dikenakan seperti sutera bagi laki-laki, atau pakaian yang melampaui/melebihi mata kaki bagi laki-laki (isbal)
- Pakaian tersebut tidak menimbulkan mudarat/bahaya bagi pemakainya. (Lihat pembahasan dan dalil-dalil masalah ini dalam asy-Syarhul Mumti’, 2/148—151)
Bagian Tubuh yang Harus Ditutup
Al-Khaththabi rahimahullah berkata, “Ulama berbeda pendapat tentang bagian tubuh yang harus ditutup oleh wanita merdeka (bukan budak) dalam shalatnya.
Al-Imam asy-Syafi’i dan al-Auza’i rahimahumallah berkata, ‘Wanita menutupi seluruh badannya ketika shalat kecuali wajah dan dua telapak tangannya.’ Diriwayatkan hal ini dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma dan ‘Atha rahimahullah.
Lain lagi yang dikatakan oleh Abu Bakr bin Abdirrahman bin al-Harits bin Hisyam radhiyallahu ‘anhu, ‘Semua anggota tubuh wanita merupakan aurat, sampaipun kukunya.’
Al-Imam Ahmad rahimahullah sejalan dengan pendapat ini, beliau berkata, ‘Dituntunkan bagi wanita untuk melaksanakan shalat dalam keadaan tidak terlihat sesuatu pun dari anggota tubuhnya, tidak terkecuali kukunya’.” (Ma’alimus Sunan, 2/343)[2]
Sebenarnya dalam permasalahan ini tidak ada dalil yang jelas yang bisa menjadi pegangan, kata asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah. (asy-Syarhul Mumti’, 2/156)
Oleh karena itu, Ibnu Taimiyah rahimahullah berpendapat seluruh tubuh wanita merdeka itu aurat (di dalam shalatnya) kecuali bagian tubuh yang biasa tampak darinya ketika di dalam rumahnya, yaitu wajah, dua telapak tangan, dan telapak kaki. (Majmu’ Fatawa, 22/109—120)
Dengan demikian, ketika seorang wanita shalat sendirian atau di hadapan sesama wanita atau di hadapan mahramnya dibolehkan baginya untuk membuka wajah, dua telapak tangan, dan dua telapak kakinya. (Jami’ Ahkamin Nisa’, 1/333—334)
Walaupun yang lebih utama ialah ia menutup dua telapak kakinya. (Majmu’ Fatawa wa Rasa’il asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin)
Apabila ada laki-laki yang bukan mahramnya, ia menutup seluruh tubuhnya termasuk wajah.[3] (asy-Syarhul Mumti’, 2/157)
Pakaian Wanita di dalam Shalat
Di sekitar kita banyak dijumpai wanita shalat mengenakan mukena/rukuh yang tipis transparan, sehingga terlihat rambut panjangnya tergerai di balik mukena. Belum lagi pakaian yang dikenakan di balik mukena. Terlihat tipis, tanpa lengan, pendek dan ketat, menggambarkan lekuk-lekuk tubuhnya. Pakaian seperti ini jelas tidak bisa dikatakan menutup aurat.
Bila ada yang berdalih, “Saya mengenakan pakaian shalat yang seperti itu hanya di dalam rumah, sendirian di dalam kamar dan lampu saya padamkan!”, kita katakan bahwa pakaian shalat seperti itu (mukena ditambah pakaian minim di baliknya) tidak boleh dikenakan walaupun ketika shalat sendirian, tanpa ada seorang pun yang melihat. Sebab, pakaian itu tidak cukup untuk menutup aurat, padahal ketika shalat wanita tidak boleh terlihat bagian tubuhnya kecuali wajah, telapak tangan, dan telapak kaki. (Lihat ucapan Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ Fatawa sebagaimana dinukilkan di atas)
Terlebih lagi pelarangan—bahkan pengharamannya—ketika pakaian seperti ini dipakai keluar rumah untuk shalat di masjid atau di hadapan laki-laki yang bukan mahram.
Jika demikian, bagaimana sebenarnya pakaian yang boleh dikenakan oleh wanita di dalam shalatnya?
Masalah pakaian wanita di dalam shalat ini disebutkan dalam beberapa hadits yang marfu’. Namun, kedudukan hadits-hadits tersebut diperbincangkan oleh ulama.
Di antaranya, hadits Aisyah radhiyallahu ‘anha,
لاَ يَقْبَلُ اللهُ صَلاَةَ حَائِضٍ إِلاَّ بِخِمَارٍ
“Allah tidak menerima shalat wanita yang telah haid (baligh) kecuali apabila ia mengenakan kerudung (dalam shalatnya).” (HR. Abu Dawud no. 641 dan selainnya)
Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata dalam at-Talkhisul Habir (2/460), hadits ini dianggap cacat oleh ad-Daraquthni karena mauquf-nya (hadits yang berhenti hanya sampai sahabat).
Adapun al-Hakim menganggapnya mursal (hadits yang terputus antara tabi’in dan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam).
Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha pernah bertanya kepada Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, “Apakah wanita boleh shalat dengan mengenakan dira’[4] dan kerudung tanpa izar[5]?”
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam menjawab,
إِذَا كَانَ الدِّرْعُ سَابِغًا يُغَطِّي ظُهُوْرَ قَدَمَيْهِ
“(Boleh), apabila dira’nya itu luas/lapang hingga menutupi punggung kedua telapak kakinya.” (HR. Abu Dawud no. 640)
Hadits Ummu Salamah radhiyallahu ‘anha ini tidak sahih sanadnya, baik secara marfu’ maupun mauquf, karena hadits ini berporos pada Ummu Muhammad bin Zaid, padahal dia adalah rawi yang majhul (tidak dikenal). Demikian diterangkan oleh asy-Syaikh al-Albani rahimahullah dalam Tamamul Minnah (hlm. 161).
Meski demikian, ada riwayat-riwayat yang sahih dari para sahabat dalam pemasalahan ini sebagaimana akan kita baca berikut ini.
Abdur Razzaq ash-Shan‘ani rahimahullah meriwayatkan dari jalan Ummul Hasan, ia berkata, “Aku melihat Ummu Salamah istri Nabi shallallahu alaihi wa sallam, shalat dengan mengenakan dira’ dan kerudung.” (al-Mushannaf, 3/128)[6]
Ubaidullah al-Khaulani, anak asuh Maimunah radhiyallahu ‘anha mengabarkan bahwa Maimunah shalat dengan memakai dira’ dan kerudung tanpa izar. (Diriwayatkan oleh al-Imam Malik dalam al-Muwaththa’ dan Ibnu Abi Syaibah dalam al-Mushannaf)[7]
Masih ada atsar lain dalam masalah ini, yang semuanya menunjukkan bahwa shalat wanita dengan mengenakan dira’ dan kerudung adalah perkara yang biasa serta dikenal di kalangan para sahabat, dan ini merupakan pakaian yang mencukupi bagi wanita untuk menutupi auratnya di dalam shalat.
Apabila wanita itu ingin lebih sempurna dalam berpakaian ketika shalat, ia bisa menambahkan izar atau jilbab pada dira’ dan kerudungnya. Ini yang lebih sempurna dan lebih utama, kata asy-Syaikh al-Albani rahimahullah. Dalilnya ialah riwayat dari Umar ibnul Khaththab radhiyallahu ‘anhu, ia berkata, “Wanita shalat dengan mengenakan tiga pakaian yaitu dira‘, kerudung, dan izar.” (Riwayat Ibnu Abi Syaibah dengan isnad yang sahih, lihat Tamamul Minnah, hlm. 162)
Jumhur ulama sepakat, pakaian yang mencukupi bagi wanita dalam shalatnya adalah dira’ dan kerudung. (Bidayatul Mujtahid, hlm. 100)
Ibnu Qudamah rahimahullah mengatakan, “Disenangi bagi wanita untuk shalat mengenakan dira’—pakaian yang sama dengan gamis, namun lebar dan panjang sampai menutupi kedua telapak kaki—kemudian mengenakan kerudung yang menutupi kepala dan lehernya, dilengkapi dengan jilbab yang diselimutkan ke tubuhnya di atas dira’. Demikian yang diriwayatkan dari ‘Umar, putra beliau (Ibnu ‘Umar), ‘Aisyah, Abidah as-Salmani, dan ‘Atha. Ini juga merupakan pendapat al-Imam asy-Syafi’i rahimahullah. Beliau berkata, ‘Kebanyakan ulama bersepakat untuk pemakaian dira’ dan kerudung, apabila ditambahkan pakaian lain, itu lebih baik dan lebih menutup’.” (al-Mughni, 1/351)
Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Disenangi bagi wanita untuk shalat dengan mengenakan tiga pakaian: dira’, kerudung, dan jilbab yang digunakan untuk menyelubungi tubuhnya, kain sarung di bawah dira’, atau sirwal (celana panjang yang lapang dan lebar) karena lebih utama daripada sarung.
Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata, ‘Wanita shalat dengan mengenakan dira’, kerudung, dan milhafah.’
‘Aisyah radhiyallahu ‘anha pernah shalat dengan mengenakan kerudung, izar, dan dira’. Ia memanjangkan izar-nya untuk berselubung dengannya. Ia pernah berkata, ‘Wanita yang shalat harus mengenakan tiga pakaian apabila ia mendapatkannya, yaitu kerudung, izar, dan dira’.’ (Syarhul ‘Umdah, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, 4/322)
Bolehkah Shalat dengan Satu Pakaian?
Di dalam shalat, wanita dituntunkan untuk menutup seluruh tubuhnya kecuali bagian yang boleh terlihat, walaupun ia hanya mengenakan satu pakaian yang menutupi kepala, dua telapak tangan, dua telapak kaki, dan seluruh tubuhnya kecuali wajah.
Seandainya ia berselimut dengan satu kain sehingga seluruh tubuhnya tertutupi kecuali muka, dua telapak tangan dan telapak kakinya maka ini mencukupi baginya, menurut pendapat yang mengatakan dua telapak tangan dan telapak kaki tidak termasuk bagian tubuh yang wajib ditutup. (asy-Syarhul Mumti’, 2/165)
Ikrimah rahimahullah berkata, “Seandainya seorang wanita shalat dengan menutupi tubuhnya dengan satu pakaian/kain maka hal itu dibolehkan.” (Shahih al-Bukhari, “Kitab ash-Shalah bab Berapa Pakaian yang Boleh Dikenakan Wanita Ketika Shalat”)
Al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani rahimahullah menyatakan, “Setelah menghikayatkan pendapat jumhur bahwa wajib bagi wanita untuk shalat memakai dira’ dan kerudung, Ibnul Mundzir rahimahullah berkata, ‘Yang diinginkan dengan pendapat tersebut adalah ketika shalat seorang wanita harus menutupi tubuh dan kepalanya. Seandainya pakaian yang dikenakan itu lapang/lebar lalu ia menutupi kepalanya dengan sisa/kelebihan pakaiannya maka hal itu dibolehkan.’
Ibnul Mundzir juga berkata, ‘Apa yang kami riwayatkan dari Atha’ rahimahullah bahwasanya ia berkata, [Wanita shalat dengan mengenakan dira’, kerudung, dan izar], demikian pula riwayat yang semisalnya dari Ibnu Sirin rahimahullah dengan tambahan milhafah, maka aku menyangka hal ini dibawa pemahamannya kepada istihbab[8].” (Fathul Bari, 1/602—603)
Mujahid dan ‘Atha rahimahumallah pernah ditanya tentang wanita yang memasuki waktu shalat sementara ia tidak memiliki kecuali satu baju, apa yang harus dilakukannya?
Mereka menjawab, “Ia berselimut dengannya.”
Demikian pula yang dikatakan Muhammad bin Sirin rahimahullah. (Mushannaf Ibnu Abi Syaibah, 2/226)
Demikian apa yang dapat kami nukilkan dalam permasalahan ini untuk pembaca. Semoga memberi manfaat!
Wallahu ta‘ala a‘lam bish-shawab.
Ditulis oleh al-Ustadzah Ummu Ishaq al-Atsariyyah
[1] Zinah (hiasan) adalah sesuatu yang dikenakan untuk berhias/memperindah diri (Mukhtarush Shihah, hlm. 139), seperti pakaian.
[2] Sebagaimana dinukil dalam Jami’ Ahkamin Nisa’ (1/321).
[3] Bagi yang berpendapat wajibnya menutup wajah. (-red.)
[4] Dira’’ adalah pakaian lebar/lapang yang menutupi sampai kedua telapak kaki, kata asy-Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah. (asy-Syarhul Mumti’, 2/164)
[5] Izar adalah milhafah (al-Qamushul Muhith, hlm. 309). Makna milhafah sendiri diterangkan dalam al-Qamush (hlm. 767) adalah pakaian yang dikenakan di atas seluruh pakaian (sehingga menutup/menyelubungi seluruh tubuh seperti abaya dan jilbab. (Lihat asy-Syarhul Mumti’, 2/164—165)
[6] Isnadnya sahih, kata asy-Syaikh al-Albani rahimahullah dalam Tamamul Minnah (hlm. 162).
[7] Isnadnya sahih, kata asy-Syaikh al-Albani rahimahullah dalam Tamamul Minnah (hlm. 162).
[8] Yakni satu pakaian yang menutupi seluruh tubuh sebenarnya sudah mencukupi, namun disenangi apabila ditambah dengan pakaian-pakaian yang disebutkan.