(ditulis oleh: Al-Ustadz Abul ‘Abbas Muhammad Ihsan)
Generasi yang shalih dan shalihah adalah harapan dan cita-cita setiap individu muslim dan muslimah semenjak memutuskan untuk berumah tangga. Sehingga dia berusaha memilih calon pasangan hidup yang cocok dan sesuai dengan ketentuan syariat, dengan harapan Allah l akan mengaruniakan kepadanya keturunan baik yang diharapkan.
Allah l berfirman:
“Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran.” (Al-Baqarah: 221)
Rasulullah n bersabda:
تُنْكَحُ الْمَرْأَةُ لِأَرْبَعٍ؛ لِمَالِهَا، وَلِحَسَبِهَا، وَلِجَمَالِهَا، وَلِدِيْنِهَا، فَاظْفَرْ بِذَاتِ الدِّينِ، تَرِبَتْ يَدَاكَ
“Wanita itu dinikahi karena empat perkara, karena hartanya, keturunannya, kecantikannya, dan agamanya. Maka pilihlah wanita yang memiliki agama, kalau tidak niscaya kamu akan merugi.” (Muttafaqun ‘alaih, dari Abu Hurairah z)
Adapun usaha berikutnya adalah meminta dan berdoa kepada Allah l agar dikaruniai keturunan yang shalih dan shalihah. Allah l berfirman:
“Dan orang-orang yang berkata: ‘Ya Rabb kami, anugerahkanlah kepada kami istri-istri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa’.” (Al-Furqan: 74)
Rasulullah n bersabda:
لَوْ أَنَّ أَحَدَكُمْ إِذَا أَرَادَ أَنْ يَأْتِيَ أَهْلَهُ قَالَ: بِسْمِ اللهِ اللَّهُمَّ جَنِّبْنَا الشَّيْطَانَ وَجَنِّبِ الشَّيْطَانَ مَا رَزَقْتَنَا، فَإِنَّهُ إِنْ يُقَدَّرَ بَيْنَهُمَا وَلَدٌ فِي ذَلِكَ لَمْ يَضُرَّهُ الشَّيْطَانَ أَبَدًا
“Seandainya salah seorang kalian apabila hendak menggauli istrinya dia berdoa (yang artinya): Dengan menyebut nama Allah, ya Allah jauhkanlah kami dari setan, dan jauhkanlah setan dari apa yang Engkau karuniakan kepada kami; maka sesungguhnya apabila ditakdirkan mendapat keturunan melalui hubungan tersebut, setan tidak akan memudaratkannya selamanya.” (Muttafaqun ‘alaih, dari Ibnu ‘Abbas c)
Setelah Allah l karuniakan keturunan, maka bertambah banyak tanggung jawabnya: kewajiban memelihara, menafkahi, dan mendidik. Yang paling besar adalah tanggung jawab untuk mendidiknya. Allah l berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (At-Tahrim: 6)
Sufyan Ats-Tsauri berkata dari Manshur, dari ‘Ali z: “Didiklah mereka dan ajarilah mereka.” Mujahid t berkata: “Bertakwalah kalian kepada Allah l dan berwasiatlah (berilah nasihat) kepada keluarga kalian dengan takwa kepada Allah l.” (Tafsir Ibnu Katsir, 4/332)
Asy-Syaikh Abdurrahman As-Sa’di t berkata: “Seorang hamba tidak akan selamat (dari adzab-Nya) kecuali dia menegakkan perintah Allah l pada dirinya dan pada orang-orang yang ada di bawah tanggung jawabnya, seperti istri, anak, dan selain mereka.”
Dari Ibnu ‘Umar c, dia berkata: Aku mendengar Rasulullah n bersabda:
كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْؤُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ، الْإِمَامُ رَاعٍ عَنْ رَعِيَّتِهِ وَمَسْؤُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ، وَالرَّجُلُ رَاعٍ فِي أَهْلِ بَيْتِهِ وَمَسْؤُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ، وَالْمَرْأَةُ رَاعِيَةٌ فِي بَيْتِ زَوْجِهَا وَمَسْؤُولَةٌ عَنْ رَعِيَّتِهَا، وَالْخَادِمُ رَاعٍ فِي مَالِ سَيِّدِهِ وَمَسْؤُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ، فَكُلُّكُمْ رَاعٍ وَمَسْؤُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
“Masing-masing kalian adalah pemimpin dan akan ditanya tentang kepemimpinannya. Pimpinan negara adalah pemimpin, dan akan ditanya tentang rakyatnya. Seorang kepala rumah tangga adalah pemimpin bagi keluarganya dan akan ditanya tentang rakyatnya. Seorang istri adalah pemimpin dalam rumah suaminya, dan akan ditanya tentang rakyatnya. Seorang pembantu adalah yang bertanggung jawab tentang harta tuannya dan akan ditanya tentang yang dipimpinnya. Maka masing-masing kalian adalah pemimpin dan akan ditanya tentang rakyatnya.” (Muttafaqun ‘alaih)
Dalil-dalil di atas menunjukkan bahwa tarbiyah dan pendidikan anak adalah tanggung jawab orangtua atau wali. Namun tatkala dihadapkan kepada realita keterbatasan ilmu, kemampuan, dan kesempatan yang dimiliki oleh orangtua atau wali, mereka menyerahkan tanggung jawab tarbiyah dan pendidikan tersebut kepada lembaga-lembaga tarbiyah yang telah tersedia, atau kepada para pendidik seperti ustadz dan ustadzah yang memiliki kemampuan dan tanggung jawab pendidikan. Tentunya juga harus didukung dengan lingkungan yang kondusif dan prasarana yang cukup.
Dari sinilah kita dapat menyatakan bahwa tarbiyah dan pendidikan itu akan berjalan dengan baik, insya Allah, jika ditopang oleh empat hal:
1. Kesadaran orangtua atau wali.
2. Pendidik atau lembaga tarbiyah yang berakidah dan bermanhaj yang benar, serta memiliki kesadaran tanggung jawab tarbiyah.
3. Lingkungan yang kondusif untuk tarbiyah.
4. Sarana dan prasarana.
Beberapa hal yang harus diperhatikan sebelum memasukkan anak ke sebuah lembaga tarbiyah adalah dengan memerhatikan keadaan lembaga tersebut serta para pendidiknya yang:
1. Berakidah dan bermanhaj yang benar (Ahlus Sunnah wal Jamaah).
2. Berilmu dan bertakwa kepada Allah l.
3. Berakhlak mulia dan sabar.
4. Bertanggung jawab terhadap tarbiyah anak.
5. Lingkungan yang baik.
Hal ini karena pendidikan anak (tarbiyatul aulad) adalah tanggung jawab orangtua atau wali, sehingga harus benar-benar diperhatikan. Karena Allah l berfirman:
“Dan orang-orang yang memelihara amanat-amanat (yang dipikulnya) dan janjinya.” (Al-Ma’arij: 32)
Sehingga orangtua atau wali seharusnya mencarikan teman duduk yang terbaik bagi anaknya, yaitu ustadz atau ustadzah, para pembantu pendidikan, serta teman-teman belajar yang baik.
Dari Abu Musa Al-Asy’ari z, bahwasanya Nabi n bersabda:
إِنَّمَا مَثَلُ الْجَلِيسِ الصَّالِحِ وَالْجَلِيسِ السُّوءِ كَحَامِلِ الْمِسْكِ وَنَافِخِ الْكِيْرِ، فَحَامِلُ الْمِسْكِ إِمَّا أَنْ يَحْذِيَكَ وَإِمَّا أَنْ تَبْتَاعَ مِنْهُ وَإِمَّا أَنْ تَجِدَ مِنْهُ رِيْحًا طَيِّبَةً، وَنَافِخِ الْكِيْرِ إِمَّا يَحْرِقُ ثِيَابَكَ وَإِمَّا أَنْ تَجِدَ مِنْهُ رِيْحًا مُنْتِنَةً
“Hanya saja permisalan teman duduk yang baik dan teman duduk yang jelek seperti orang yang membawa minyak wangi (misik) dan orang yang meniup tungku (untuk membakar besi). Orang yang membawa misik, mungkin akan memberimu misik tersebut, atau mungkin engkau akan membelinya dari dia, atau engkau akan mendapatkan bau wangi darinya. Adapun peniup tungku (untuk membakar besi) mungkin akan membakar pakaianmu (dengan percikan api), atau mungkin engkau akan mendapatkan bau tak sedap darinya.” (Muttafaqun ‘alaih)
Lingkungan memiliki andil yang besar dalam tarbiyah. Lihatlah bimbingan seorang yang berilmu kepada orang yang telah membunuh seratus orang tatkala ia ingin bertaubat:
انْطَلِقْ إِلَى أَرْضِ كَذَا وَكَذَا فَإِنَّ بِهَا أُنَاسًا يَعْبُدُونَ اللهَ تَعَالَى فَاعْبُدِ اللهَ مَعَهُمْ وَلاَ تَرْجِعْ إِلَى أَرْضِكَ فَإِنَّهَا أَرْضٌ سُوءٌ
“Pergilah ke negeri demikian dan demikian, karena di sana ada orang-orang yang beribadah kepada Allah l, maka beribadahlah kepada Allah bersama mereka, dan jangan kembali ke negerimu karena negerimu adalah negeri yang buruk.” (Muttafaqun ‘alaih, dari Abu Sa’id Al-Khudri z)
Muhammad bin Sirin t berkata:
إِنَّ هَذَا الْعِلْمَ دِيْنٌ فَانْظُرُوا عَمَّنْ تَأْخُذُونَ دِيْنَكُمْ
“Sesungguhnya ilmu ini adalah agama, maka perhatikanlah dari siapa kalian mengambil agama kalian.”
Peran Seorang Pendidik
Seorang pendidik (ustadz atau ustadzah) memiliki peran yang sangat besar dalam membentuk dan mencetak anak-anak didiknya, terutama anak didik yang belum berakal dan belum baligh. Mereka akan senantiasa memerhatikan dan berusaha meniru apa yang dilakukan oleh pendidiknya. Bahkan sering kita dengar dari mereka ketika dinasihati orangtua atau walinya, atau terjadi perbedaan pendapat di antara mereka, mereka mengatakan: “Ustadz/ ustadzahku berkata demikian” atau “melakukan demikian.” Oleh karena itulah, para pendidik wajib menyadari akan kedudukannya dalam pandangan anak didiknya, yaitu sebagai pengganti orangtua atau walinya, yang akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah l. Allah l berfirman:
“Hendaklah kamu menjadi orang-orang rabbani, karena kamu selalu mengajarkan Al-Kitab dan disebabkan kamu tetap mempelajarinya.” (Ali ‘Imran: 79)
Rasulullah n bersabda:
فَكُلُّكُمْ رَاعٍ وَمَسْؤُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
“Masing-masing kalian adalah pemimpin, dan masing-masing kalian akan dimintai pertanggungjawaban tentang kepemimpinannya.”
Dari Abu Hurairah z, Rasulullah n bersabda:
إِنَّمَا أَنَا لَكُمْ مِثْلُ الْوَالِدِ أُعَلِّمُكُمْ
“Hanya saja kedudukanku bagi kalian seperti orangtua, maka aku ajari kalian.” (HR. An-Nasa`i no. 40 dan Ibnu Majah no. 313)
Beberapa hal yang seharusnya dilakukan oleh seorang pendidik dalam rangka pendidikan adalah:
1. Menjadi teladan yang baik dalam ilmu dan amal.
Allah l mengisahkan perkataan Nabi Syu’aib q kepada kaumnya:
“Dan aku tidak berkehendak menyalahi kamu (dengan mengerjakan) apa yang aku larang. Aku tidak bermaksud kecuali (mendatangkan) perbaikan selama aku masih berkesanggupan.” (Hud: 88)
Dari Abu ‘Amr Jabir bin Abdillah z, dari Nabi n, beliau bersabda:
مَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْءٌ، وَمَنْ سَنَّ فِي الْإِسْلَامِ سُنَّةً سَيِّئَةً كَانَ عَلَيْهِ وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ بَعْدِهِ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَيْءٌ
“Barangsiapa memberikan contoh yang baik dalam Islam, maka dia akan mendapatkan pahalanya, dan pahala sebesar pahala orang yang mengamalkannya, tanpa mengurangi pahala-pahala mereka sedikitpun. Dan barangsiapa yang memberikan contoh yang jelek, dia akan mendapatkan dosanya dan dosa sebesar dosa orang yang mengikuti dia, tanpa mengurangi dosa-dosa mereka sedikitpun.” (HR. Muslim)
Sehingga, seorang pendidik harus terus berusaha agar perbuatannya tidak menyelisihi ucapannya, terutama di hadapan anak-anak didiknya. Karena hal ini akan menjatuhkan kewibawaannya dan menghilangkan barakah ilmunya, serta bisa membinasakan dirinya. Allah l berfirman:
ﮤ ﮥ ﮦ ﮧ ﮨ ﮩ ﮪ ﮫﮬ ﮭ ﮮ ﮯ
“Mengapa kamu suruh orang lain (mengerjakan) kebajikan, sedang kamu melupakan diri (kewajiban) mu sendiri, padahal kamu membaca Al-Kitab (Taurat)? Maka tidakkah kamu berpikir?” (Al-Baqarah: 44)
Dari Abu Zaid Usamah bin Zaid c, dia berkata: Aku mendengar Rasulullah n bersabda:
يُؤْتَى بِالرَّجُلِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَيُلْقَى فِي النَّارِ فَتَنْدَلِقُ أَقْتَابُ بَطْنِهِ فَيَدُورُ بِهَا كَمَا يَدُورُ الْحِمَارُ بِالرَّحَى فَيَجْتَمِعُ إِلَيْهِ أَهْلُ النَّارِ فَيَقُولُونَ :يَا فُلَانُ، مَا لَكَ أَلَمْ تَكُنْ تَأْمُرُ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَى عَنْ الْمُنْكَرِ؟ فَيَقُولُ: بَلَى، قَدْ كُنْتُ آمُرُ بِالْمَعْرُوفِ وَلَا آتِيهِ وَأَنْهَى عَنْ الْمُنْكَرِ وَآتِيهِ
“Didatangkan seseorang pada hari kiamat kemudian dilemparkan ke dalam neraka, maka isi perutnya keluar kemudian dia berputar-putar padanya sebagaimana keledai berputar di penggilingan. Maka penghuni neraka berkumpul (melihatnya) lalu mereka berkata: ‘Wahai fulan, kenapa kamu? Bukankah kamu memerintahkan yang ma’ruf dan melarang dari yang mungkar?’ Dia menjawab: ‘Ya. Aku menyuruh yang ma’ruf namun aku tidak melakukannya. Aku melarang dari yang mungkar namun aku melakukannya’.” (Muttafaqun ‘alaih)
2. Materi pendidikan yang diberikan kepada anak didik ditekankan pada akidah dan akhlak atau adab, dengan cara menunjukkan dalil-dalilnya bila mampu. Karena dengan demikian, pendidik melatih anak didiknya untuk bersikap ilmiah dalam beragama.
Allah l berfirman tentang Luqman Al-Hakim:
“Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: ‘Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan (Allah), sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar’.” (Luqman: 13)
Allah l juga berfirman:
“Dan Kami tidak mengutus seorang rasulpun sebelum kamu, melainkan Kami wahyukan kepadanya: ‘Bahwasanya tidak ada Ilah (yang hak) melainkan Aku, maka sembahlah olehmu sekalian akan Aku’.” (Al-Anbiya`: 25)
Dari Mu’adz z, dia berkata:
بَعَثَنِي رَسُولُ اللهِ n قَالَ: إِنَّكَ تَأْتِي قَوْمًا مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ فَادْعُهُمْ إِلَى شَهَادَةِ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَأَنِّي رَسُولُ اللهِ –وفي رواية- أَنْ يُوَحِّدُوا اللهَ
“Rasulullah n mengutusku ke Yaman. Beliau bersabda: ‘Sungguh kamu akan mendakwahi suatu kaum dari ahli kitab. Maka dakwahilah mereka untuk mengucapkan syahadat bahwa tidak ada sesembahan yang berhak disembah kecuali Allah, dan bahwasanya aku adalah utusan Allah’.”
Dalam riwayat yang lain: “Agar mereka mentauhidkan Allah.” (Muttafaqun ‘alaih)
Metode atau cara yang dituntunkan oleh para imam salaf seperti Asy-Syaikh Muhammad bin Abdulwahhab t di dalam kitab Al-Ushul Ats-Tsalatsah bagus sekali. Alangkah bagusnya kalau anak didik disuruh menghafal kemudian dijelaskan sesuai dengan tingkat pemahaman mereka. Sedikit demi sedikit. Ini dalam permasalahan akidah.
Dalam masalah akhlak atau adab, bisa diambilkan dari kitab Riyadhush Shalihin. Dalil-dalilnya dihafalkan dan dijelaskan pula sesuai dengan kemampuan mereka.
Materi fiqih bisa diambil dari ‘Umdatul Ahkam dengan metode yang sama. Hal ini insya Allah lebih bermanfaat bagi anak didik. Selain pula sebagai sebuah upaya untuk mengenalkan dan menanamkan kecintaan dalam diri anak didik terhadap para imam salaf dan cara mereka dalam memahami agama
3. Memberi beban hafalan atau materi pelajaran lainnya sesuai dengan kemampuan mereka, sehingga anak didik merasa senang dan semangat belajar.
Allah l berfirman:
“Serulah (manusia) kepada jalan Rabbmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik.” (An-Nahl: 125)
“Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.” (Al-Baqarah: 185)
Dari Anas z, dari Nabi n, beliau bersabda:
يَسِّرُوا وَلَا تُعَسِّرُوا وَبَشِّرُوا وَلَا تُنَفِّرُوا
“Mudahkanlah dan jangan kalian persulit. Berilah kabar gembira dan jangan kalian membuat (mereka) lari (dari dakwah).” (Muttafaqun ‘alaih)
Ketika ada anak didik mendapatkan kesulitan dalam menghafal atau materi pelajaran lainnya, hendaknya pendidik berusaha membantunya dan menjelaskan sejelas-jelasnya, dengan sabar dan berulang-ulang. Nabi n bersabda:
فَإِنْ كَلَّفْتُمُوهُمْ فَأَعِينُوهُمْ
“Bila kalian memberi beban kepada mereka, maka bantulah mereka.” (Muttafaqun ‘alaih dari Abu Dzar z)
Hendaknya pendidik tidak memberikan beban hafalan atau pelajaran yang tidak dimampu oleh anak didik. Beban hafalan atau pelajaran di luar kemampuan mereka akan menyebabkan mereka malas belajar dan putus asa, tidak mau belajar lagi. Hal ini haram hukumnya. Allah l berfirman:
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.” (Al-Baqarah: 286)
Dari Aisyah x, dari Nabi n, beliau berdoa:
اللَّهُمَّ مَنْ وَلِيَ مِنْ أَمْرِ أُمَّتِي شَيْئًا فَشَقَّ عَلَيْهِمْ فَاشْقُقْ عَلَيْهِ وَمَنْ وَلِيَ مِنْ أَمْرِ أُمَّتِي شَيْئًا فَرَفَقَ بِهِمْ فَارْفُقْ بِهِ
“Ya Allah, barangsiapa mengurus sebagian dari urusan umatku kemudian dia menyusahkan mereka, maka jadikanlah dia susah. Dan barangsiapa yang mengurus sebagian urusan umatku kemudian bersikap lemah lembut terhadap mereka, maka lemah lembutlah kepadanya.” (HR. Muslim)
Dari Jabir c, dia berkata:
صَلىَّ مُعَاذٌ بِأَصْحَابِهِ الْعِشَاءَ فَطَوَّلَ عَلَيْهِمْ فَقَالَ n: أَتُرِيْدُ أَنْ تَكُونَ يَا مُعَاذُ فَتَّانًا؟ إِذَا أَمَّمْتَ النَّاسَ فَاقْرَأْ {وَالشَّمْسِ وَضُحَاهَا} وَ {سَبِحِ اسْمَ رَبِّكَ الْأَعْلَى} وَ {اقْرَأْ بِسْمِ رَبِّكَ} وَ {وَاللَّيْلِ إِذَا يَغْشَى}
“Mu’adz mengimami shalat Isya bagi para sahabatnya, lalu dia memanjangkan (shalat) hingga memberatkan mereka. Maka beliau n bersabda: ‘Apakah engkau ingin menjadi orang yang menimbulkan fitnah, wahai Mu’adz? Apabila engkau mengimami orang-orang, bacalah Wasy-syamsi wa dhuhaha, atau Sabbihisma rabbikal a’la, atau Iqra` bismi rabbika, atau Wal-laili idza yaghsya’.” (Muttafaqun ‘alaih)
4. Sabar menghadapi berbagai karakter, tingkah laku dan tingkat kecerdasan anak-anak didiknya. Karena, itu semuanya adalah ujian dan cobaan dari Allah l. Allah l berfirman:
“Dan Kami jadikan sebagian kamu cobaan bagi sebagian yang lain. Maukah kamu bersabar?” (Al-Furqan: 20)
Memang fitrah manusia akan mencintai anak yang penurut, pandai, cerdas dan berakhlak baik. Namun kecintaan itu tidak boleh menghalanginya untuk mendidik dengan adab yang benar atau justru membawanya berbuat tidak adil terhadap anak didiknya yang lain, misalnya dalam pemberian atau hibah.
Rasulullah n sangat mencintai Hasan bin ‘Ali c. Namun tatkala dia hendak makan kurma shadaqah (dan shadaqah adalah haram bagi ahlil bait), beliau n pun mencegahnya. Dari Abu Hurairah z, dia berkata:
أَخَذَ الْحَسَنُ بْنُ عَلِيٍّ c تَمْرَةً مِنْ تَمْرِ الصَّدَقَةِ فَجَعَلَهَا فِي فِيهِ فَقَالَ النَّبِيُّ n: كَخْ كَخْ. لِيَطْرَحَهَا ثُمَّ قَالَ: أَمَا شَعَرْتَ أَنَّا لَا نَأْكُلُ الصَّدَقَةَ؟
“Hasan bin ‘Ali c mengambil sebutir kurma shadaqah kemudian dia masukkan ke mulutnya. Maka Nabi n berkata: ‘Kakh, kakh,’ agar Hasan membuangnya. Lalu beliau n bersabda: ‘Tidakkah engkau mengerti bahwa kita (ahlul bait) tidak makan shadaqah?’ (Muttafaqun ‘alaih)
Rasulullah n juga sangat mencintai Fathimah x, namun beliau n bersabda:
وَأَيْمُ اللهِ، لَوْ أَنَّ فَاطِمَةَ بِنْتَ مُحَمَّدٍ سَرَقَتْ لَقَطَعَ مُحَمَّدٌ يَدَهَا
“Demi Allah, bila Fathimah bintu Muhammad mencuri, sungguh Muhammad (n) akan memotong tangannya.” (Muttafaqun ‘alaih, dari sahabat Usamah bin Zaid c)
Rasulullah n juga bersabda:
فَاتَّقُوا اللهَ وَاعْدِلُوا بَيْنَ أَوْلَادِكُمْ
“Bertakwalah kepada Allah, dan bersikap adillah terhadap anak-anakmu.” (Muttafaqun ‘alaih, dari sahabat An-Nu’man bin Basyir c)
Bila pendidik mendapati anak didik yang bandel, kurang beradab, tidak cerdas atau banyak tingkah, maka kebenciannya tidak boleh menyeretnya untuk berbuat zalim. Allah l berfirman:
“Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (Al-Ma`idah: 8)
Upaya pembenahan dan perbaikan terhadap anak yang bandel atau banyak tingkah bisa diusahakan tanpa pukulan. Bisa dengan nasihat secara lisan, atau dibentak, atau ditakut-takuti tanpa berlebihan sehingga tidak menimbulkan sikap minder pada anak. Hal itu dilakukan terlebih dahulu disertai dengan doa, karena Rasulullah n bersabda:
إِنَّ الرِّفْقَ لَا يَكُونُ فِي شَيْءٍ إِلَّا زَانَهُ وَلَا يُنْزَعُ مِنْ شَيْءٍ إِلَّا شَانَهُ
“Sesungguhnya kelemahlembutan itu tidaklah ada dalam suatu perkara kecuali akan menjadikannya bagus, dan tidaklah kelemahlembutan itu dicabut dari sesuatu kecuali akan menjadikannya jelek.” (HR. Muslim, dari ‘Aisyah x)
Dari ‘Aisyah x, dia berkata:
مَا خُيِّرَ رَسُولُ اللهِ n بَيْنَ أَمْرَيْنِ إِلَّا أَخَذَ أَيْسَرَهُمَا مَا لَمْ يَكُنْ إِثْمًا
“Tidaklah Rasulullah n diberi pilihan antara dua perkara kecuali beliau akan memilih yang paling mudah atau ringan, selama bukan dosa.” (Muttafaqun ‘alaih)
Dari ‘Aisyah x, dia berkata:
مَا ضَرَبَ النبي n قَطُّ بِيَدِهِ وَلَا امْرَأَةً وَلاَ خَادِمًا إِلَّا أَنْ يُجَاهِدَ فِي سَبِيلِ اللهِ
“Nabi n tidak pernah memukul dengan tangannya kepada istri maupun pembantu, kecuali dalam jihad di jalan Allah.” (HR. Muslim)
5. Bersikap pemaaf dan tawadhu’ (rendah hati)
Dua perkara ini memiliki pengaruh yang besar dalam tarbiyah dan pendidikan. Karena, ketika anak didik mendapati ustadz atau ustadzahnya memiliki jiwa pemaaf dan tawadhu’, hal itu akan menambah kewibawaan di hadapan anak didik. Sehingga berbagai macam nasihat dan bimbingan akan lebih mudah mereka terima. Dari Abu Hurairah z, bahwa Rasulullah n bersabda:
مَا نَقَصَتْ صَدَقَةٌ مِنْ مَالٍ وَمَا زَادَ اللهُ عَبْدًا بِعَفْوٍ إِلَّا عِزًّا وَمَا تَوَاضَعَ أَحَدٌ لِلهِ إِلَّا رَفَعَهُ اللهُ
“Tidaklah shadaqah itu mengurangi harta, dan tidaklah Allah menambah seorang hamba dengan pemaafannya kecuali izzah (kewibawaan). Dan tidaklah seseorang bersikap rendah hati (tawadhu’) karena Allah, kecuali Allah akan meninggikan derajatnya.” (HR. Muslim)
6. Berusaha menggunakan kata-kata yang baik dan banyak mendoakan kebaikan bagi anak didiknya. Karena Rasulullah n bersabda:
وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ
“Barangsiapa beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaknya dia berkata yang baik atau diam (bila tidak mampu).” (Muttafaqun ‘alaih, dari sahabat Abu Hurairah z)
Dari Abu Hurairah z, bahwa Nabi n bersabda:
وَالْكَلِمَةُ الطَّيِّبَةُ صَدَقَةٌ
“Dan kalimat yang baik itu shadaqah.” (Muttafaqun ‘alaih)
Dari ‘Adi bin Hatim z, dia berkata: Rasulullah n bersabda:
اتَّقُوا النَّارَ وَلَوْ بِشِقِّ تَمْرَةٍ فَإِنْ لَمْ تَجِدْ فَبِكَلِمَةٍ
“Berlindunglah kalian dari neraka, walaupun dengan menyedekahkan separuh kurma. Barangsiapa yang tidak mendapatkannya, maka dengan kata-kata yang baik.” (Muttafaqun ‘alaih)
Di antara kalimat yang baik adalah doa kebaikan untuk anak didiknya. Sebagaimana Rasulullah n mendoakan kebaikan bagi Ibnu ‘Abbas, Hasan bin ‘Ali, dan para sahabat yang lainnya g:
اللَّهُمَّ فَقِّهْهُ فِي الدِّينِ وَعَلِّمْهُ التَّأْوِيلَ
“Ya Alah, pahamkanlah dia (Ibnu ‘Abbas) dalam agama, dan ajarilah dia tafsir.” (HR. Ath-Thabarani, dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani t dalam Ash-Shahihah no. 2589)
اللَّهُمَّ إِنِّي أُحِبُّهُ فَأَحِبَّهُ
“Ya Allah, sesungguhnya aku mencintainya (Hasan bin ‘Ali), maka cintailah dia.” (Muttafaqun ‘alaih)
Para ulama pun mencontohkan untuk mendoakan kebaikan bagi murid-muridnya. Misalnya dengan ucapan rahimakallah (semoga Allah merahmatimu), hadakallah (semoga Allah memberimu hidayah), ashlahakallah (semoga Allah memperbaikimu), dan lainnya.
Mudah-mudahan dengan berbagai daya dan upaya tersebut, Allah l memberikan barakah terhadap usaha-usaha tarbiyah dan pendidikan anak-anak kita. Sehingga muncul dari mereka para ulama dan da’i yang berjalan di atas akidah dan manhaj Ahlus Sunnah. Amin. Allahumma taqabbal du’a`.