Penentuan awal Ramadhan dan 1 Syawal selalu menjadi topik hangat yang dibicarakan kalangan masyarakat kita. Acap muncul perdebatan sengit di antara sebagian kaum muslimin. Penjelasan Syaikh al-Albani rahimahullah tentang hal tersebut insya Allah akan menambah ilmu dan wawasan kita.
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
الصَّوْمُ يَوْمَ تَصُومُونَ، وَالْفِطْرُ يَوْمَ تُفْطِرُونَ، وَاْلأَضْحَى يَوْمَ تُضَحُّونَ
“Puasa adalah hari ketika manusia berpuasa, dan berbuka (yakni Idul Fitri) adalah hari ketika manusia berbuka, dan Idul Adha adalah hari ketika manusia menyembelih (hewan kurban).”
Syaikh al-Albani rahimahullah berkata setelah menyebutkan takhrij hadits ini dalam ash-Shahihah (no. hadits 224),
-
At-Tirmidzi rahimahullah berkata mengomentari hadits ini,
“Sebagian ulama menafsirkan hadits ini dengan mengatakan, ‘Tidak lain makna hadits ini adalah bahwa puasa dan berbuka (yakni Idul Fitri) bersama jamaah dan kebanyakan manusia’.”
-
Ash-Shan’ani rahimahullah berkata dalam Subulus Salam (2/72),
“Dalam hadits ini terdapat dalil bahwa yang teranggap sebagai waktu id adalah kesepakatan manusia. Orang yang sendirian mengetahui masuknya Id dengan rukyah wajib menyesuaikan diri dengan yang lain. Dia harus mengikuti ketentuan mereka dalam masalah shalat, berbuka (yakni Idul Fitri), dan melaksanakan penyembelihan (hewan kurban).”
-
Ibnul Qayyim rahimahullah menyebutkan makna hadits ini dalam Tahdzib as-Sunan (3/214).
“(Di antara makna hadits ini) disebutkan bahwa hadits ini memuat bantahan terhadap orang yang berpendapat bahwa barang siapa mengetahui munculnya bulan (hilal) melalui hisab tempat-tempat bulan, dia boleh berpuasa dan berbuka (yakni masuk Idul Fitri) tidak bersama-sama dengan orang yang tidak tahu.
Dikatakan juga (di antara makna hadits ini), orang yang sendirian menyaksikan munculnya hilal, tetapi hakim tidak menganggap persaksiannya, maka rukyah hilalnya itu tidaklah menjadikan dia berpuasa. Demikian juga, rukysahnya tidak menyebabkan orang berpuasa.”
-
Abul Hasan As-Sindi dalam Hasyiyah beliau terhadap Sunan Ibnu Majah berkata setelah menyebutkan hadits Abu Hurairah radhiyallahu anhu yang diriwayatkan at-Tirmidzi ini,
“Yang tampak, maknanya adalah bahwa tidak boleh bagi individu untuk masuk dan menyendiri dalam hal-hal ini (yakni mulai berpuasa, masuk Idul Fitri, dan Idul Adha). Urusan ini dikembalikan kepada pemerintah (penguasa) dan al-jama’ah. Setiap pribadi wajib mengikuti pemerintah dan al-jama’ah.
Berdasarkan hal ini, apabila ada orang yang melihat hilal dan persaksiannya ditolak penguasa, dia tidak sepantasnya menetapkan (sendiri) urusan ini (yakni mulai berpuasa, masuk Idul Fitri, dan Idul Adha) sedikit pun. Dia wajib mengikuti al-jama’ah dalam hal ini.”
Saya (Syaikh al-Albani rahimahullah) mengatakan,
“Ini adalah makna yang secara langsung dipahami dari hadits tersebut. Hal ini diperkuat dengan perbuatan Aisyah radhiyallahu anha yang berhujah dengan hadits ini terhadap perbuatan Masruq. Masruq tidak berpuasa pada hari Arafah karena khawatir bahwa hari itu adalah Idul Adha. ‘Aisyah radhiyallahu anha menjelaskan kepada Masruq bahwa rukyahnya (terhadap hilal) tidaklah teranggap dan dia wajib mengikuti al-jamaah.
Aisyah radhiyallahu anha berkata,
النَّحْرُ يَوْمَ يَنْحَرُ النَّاسُ، وَالْفِطْرُ يَوْمَ يُفْطِرُ النَّاسُ
“An-Nahr (yakni Idul Adha) adalah hari ketika manusia menyembelih (hewan kurban). Adapun berbuka (yakni Idul Fitri) adalah hari ketika manusia berbuka.”
Saya (Syaikh al-Albani rahimahullah) mengatakan,
“Inilah yang sesuai dengan syariat (Islam) yang mudah ini. Di antara tujuan syariat adalah mengumpulkan manusia, menyatukan barisan mereka, dan menjauhkan mereka dari setiap pendapat pribadi yang memecah belah persatuan. Syariat ini tidak menganggap sah pendapat pribadi—meskipun benar menurut sisi pandangnya—dalam urusan ibadah yang dilakukan bersama-sama, seperti puasa, hari raya, dan shalat jamaah.
Tidakkah engkau lihat para sahabat radhiyallahu anhum, sebagian mereka tetap shalat bermakmum di belakang sebagian yang lain? Di antara mereka ada yang berpendapat bahwa menyentuh wanita, menyentuh kemaluan, dan keluarnya darah merupakan pembatal wudhu. Sebagian yang lain tidak berpendapat seperti itu. Di antara mereka ada yang tetap shalat secara sempurna (tidak qashar) ketika safar, ada pula yang shalat secara qashar.
Perbedaan pendapat di kalangan mereka ini tidaklah menghalangi mereka untuk bersatu dalam shalat di belakang satu imam. Mereka menganggap shalat tersebut sah. Sebab, mereka mengetahui bahwa berpecah belah dalam agama lebih buruk daripada perbedaan dalam sebagian pendapat.
Sampai-sampai dalam masalah tidak menganggap sah pendapat yang menyelisihi pendapat penguasa dalam perkumpulan terbesar seperti di Mina, sebagian sahabat sama sekali tidak mengamalkan pendapat pribadi mereka. Mereka melakukannya untuk menghindari terjadinya kejelekan karena mengamalkan pendapat pribadi.
Baca juga: Hukum Ringkas Puasa Ramadhan
Imam Abu Dawud rahimahullah meriwayatkan (1/307),
Utsman radhiyallahu anhu shalat di Mina empat rakaat. Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu anhu berkata, “Aku shalat bersama Nabi shallallahu alaihi wa sallam dua rakaat, bersama Abu Bakr juga dua rakaat, demikian pula bersama Umar dua rakaat, bahkan bersama Utsman di awal pemerintahannya. Namun, setelah itu Utsman menyempurnakan shalatnya (yakni shalat empat rakaat). Kemudian jalan menjadi terpecah belah bagi kalian. Aku sangat berharap bahwa aku mempunyai dua rakaat yang diterima (oleh Allah) daripada empat rakaat.”
Namun, setelah itu Ibnu Mas’ud shalat empat rakaat!
Ditanyakan kepadanya, “Engkau menyalahkan Utsman, tetapi engkau tetap shalat empat rakaat?”
Ibnu Mas’ud menjawab, “Perselisihan itu jelek.”
Sanad kisah di atas sahih. Diriwayatkan pula oleh Imam Ahmad (5/155) seperti riwayat di atas dari sahabat Abu Dzar radhiyallahu anhu.
Maka dari itu, hendaknya hadits dan atsar ini benar-benar dijadikan bahan renungan oleh orang-orang yang berpecah-belah dalam urusan shalat mereka. Demikian pula menjadi bahan renungan bagi orang yang tidak mau bermakmum kepada imam masjid tertentu, khususnya shalat witir pada bulan Ramadhan, dengan dalih beda mazhab.
Demikian pula orang-orang yang berpuasa dan berbuka sendiri, baik mendahului mayoritas kaum muslimin maupun mengakhirkannya dengan dalih mengerti ilmu falak, tanpa peduli harus berseberangan dengan mayoritas kaum muslimin.
Hendaklah mereka semua mau merenungkan ilmu yang telah kami sampaikan ini. Semoga ini bisa menjadi obat bagi kebodohan dan kesombongan yang ada pada diri mereka. Kita berharap agar mereka selalu dalam satu barisan bersama saudara-saudara mereka kaum muslimin, karena tangan Allah subhanahu wa ta’ala bersama al-jama’ah.”
(Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah 2/444—445)