Perbedaan Hukum Bersuci dari Hadats & dari Najis

Bismillah. Pada Asy-Syariah edisi 94 halaman 42 dinyatakan,

apabila lupa terkena najis, dimaafkan dan shalatnya sah. Akan

tetapi, apabila lupa berwudhu, tidak dimaafkan dan shalat wajib

diulang. Apa yang membedakan kedua hukum ini padahal

penyebabnya sama, yaitu lupa syarat shalat? Apakah ada lupa

yang dimaafkan dan yang tidak? Mohon penjelasan.

Dijawab oleh al-Ustadz Abu Abdillah Muhammad as-Sarbini

Bersuci dari hadats besar dan kecil adalah syarat sahnya shalat. Ibnul Mundzir rahimahullah telah menukil ijma’ ulama mengenai hal ini selama ada jalan untuk bersuci dari hadats. Begitu pula an-Nawawi rahimahullah telah menukil ijma’ dalam masalah ini. Dalilnya adalah hadits Ibnu ‘Umar radhiallahu ‘anhuma dengan lafadz,

“Shalat tidak akan diterima tanpa bersuci dari hadats.” (HR. Muslim)

Demikian pula hadits Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu dengan lafadz,

“Shalat orang yang berhadats tidak akan diterima hingga dia berwudhu.” (Muttafaq ‘alaih)

Pada riwayat al-Bukhari rahimahullah ada tambahan lafadz,

Seorang pria dari Hadramaut berkata, “Wahai Abu Hurairah, apakah hadats itu?” Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu menjawab, “Buang angin tanpa bunyi atau buang angin dengan bunyi.”

Apa yang disebutkan oleh Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu hanya contoh, karena hadats kecil tidak terbatas dengan buang angin saja.

Ini adalah nash yang sangat gamblang bahwa bersuci dari hadats adalah syarat sahnya shalat. Oleh karena itu, tidak dimaafkan karena tidak tahu atau lupa. Apabila seseorang lupa mandi atau wudhu lantas shalat, ia wajib mengulang shalat-shalat yang telah dilaksanakan tanpa bersuci itu. Apabila shalat tanpa mandi atau wudhu karena tidak tahu hukum, seseorang wajib mengulang shalat yang masih tersisa waktunya saat itu, tidak meliputi shalat-shalat sebelumnya yang telah lewat waktunya.

Adapun hukum bersuci dari najis yang mengenai tubuh, pakaian, dan tempat shalat, terdapat silang pendapat yang cukup kuat di antara ulama. Jumhur (mayoritas) ulama berpendapat wajib sebagai syarat sahnya shalat, tetapi mereka berbeda pendapat apakah shalatnya diulang atau tidak apabila terjadi karena lupa atau tidak tahu. Yang benar, pendapat yang mengatakan dimaafkan jika lupa atau tidak tahu.

Ini adalah riwayat yang terkuat dan termasyhur dari Malik, pendapat lama asy-Syafi’i, dan salah satu riwayat dari Ahmad. Pendapat ini yang dirajihkan oleh Ibnul Mundzir dan an-Nawawi dari kalangan fuqaha mazhab Syafi’i, serta Ibnu Taimiyah, as-Sa’di, dan Ibnu ‘Utsaimin dari kalangan fuqaha mazhab Hanbali.

Di antara dalil-dalil yang menunjukkan kewajiban bersuci dari najis adalah:

  • Seluruh hadits yang mewajibkan istinja (cebok dengan air) dan istijmar (bersuci dengan batu atau semisalnya) dari najis yang keluar melalui qubul (lubang kemaluan depan) dan dubur (lubang kemaluan belakang), yang hal itu bertujuan untuk membersihkan tempat keluarnya najis. Hadits-hadits tersebut dalam Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim.
  • Hadits Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhuma mengenai dua penghuni kubur yang disiksa dalam kuburnya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Adapun salah satunya, ia disiksa karena tidak memerhatikan kesucian dirinya dari air kencingnya (tidak peduli terkena air kencingnya dan tidak membersihkan air kencing yang mengenainya).” (Muttafaq ‘alaih)

  • Hadits Abu Sa’id al-Khudri radhiallahu ‘anhu,

Tatkala Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat bersama para sahabat, tiba-tiba beliau melepaskan kedua sendal yang dikenakannya dan meletakkannya di samping kirinya. Ketika para sahabat melihat hal itu, serta-merta mereka ikut melepaskan sendal-sendal mereka. Seusai shalat, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepada mereka, “Mengapa kalian melepaskan sendal-sendal kalian?”

Mereka berkata, “Kami melihat Anda melepaskan sendal, lantas kami pun melepaskannya.”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya Jibril mendatangiku dan mengabarkan kepadaku bahwa pada kedua telapak sandalku ada najis yang menempel,” lalu beliau bersabda, “Jika salah seorang dari kalian datang ke masjid, hendaklah dia memeriksa kedua telapak sendalnya. Apabila dia melihat ada najis yang menempel, hendaklah dia menggosokkannya (pada riwayat Ahmad: hendaklah dia menggosokkannya ke tanah), kemudian shalat dengannya.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, al-Hakim, dan lainnya, dinyatakan sahih oleh al-Hakim menurut syarat Muslim, disetujui oleh adz-Dzahabi, al-Albani, dan al-Wadi’i)1[1]

  • Hadits Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu tentang seorang a’rabi (Arab badui) yang buang air kecil dalam masjid Nabawi dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

“Biarkan dia dan guyurkan di atas kencingnya setimba air, karena sesungguhnya kalian diutus untuk memberi kemudahan dan tidak diutus untuk memberi kesulitan.” (HR. al-Bukhari)

Hadits ini juga diriwayatkan oleh Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu (Muttafaq ‘alaih).

Dalil-dalil di atas menunjukkan wajibnya membersihkan tubuh, pakaian, dan tempat shalat dari najis, yaitu tempat diletakkannya anggota tubuh dan yang bersentuhan dengan pakaian dalam shalat.

Barang siapa sengaja melaksanakan shalat dalam keadaan ada najis di tubuh, pakaian, atau tempat shalatnya, shalatnya tidak sah. Sebab, hal itu adalah perintah khusus dalam shalat, dan melalaikannya berarti melaksanakan shalat dengan sifat yang menyelisihi apa yang diperintahkan Allah ‘azza wa jalla dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam, sedangkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda pada hadits ‘Aisyah radhiallahu ‘anha,

“Barang siapa mengamalkan suatu amalan yang tidak ada tuntunannya dari kami, hal itu tertolak.” (HR. Muslim)

Akan tetapi, jika terjadi tanpa sengaja karena lupa atau tidak tahu, hal itu adalah uzur yang dimaafkan dan shalatnya sah. Dalilnya adalah hadits Abu Sa’id al-Khudri radhiallahu ‘anhuma di atas yang menunjukkan bahwa hal itu dimaafkan jika terjadi karena tidak tahu lantaran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tetap melanjutkan shalatnya, tidak mengulanginya dari awal. Begitu pula halnya jika terjadi karena lupa berdasarkan kesamaan makna antara tidak tahu dan lupa secara metode qiyas (analogi).

Perbedaan masalah ini dengan bersuci dari hadats dari segi makna adalah karena bersuci dari hadats sifatnya perintah melakukan sesuatu, yaitu kewajiban bersuci dari hadats. Adapun bersuci dari najis sifatnya perintah menghindari sesuatu yang terlarang, yaitu haramnya shalat dengan terkena najis pada tubuh, pakaian, ataupun tempat shalat. Dengan demikian, keduanya tidak dapat disamakan hukumnya.

Adapun pendapat yang dipilih oleh asy-Syaukani dalam Nailul Authar dan ad-Darari bahwa hukumnya wajib tetapi shalat tetap sah dengan melalaikannya—meskipun pelakunya berdosa—ini adalah pendapat yang lemah. Sebab, hal itu adalah perintah khusus dalam shalat, dan melalaikannya berarti melaksanakan shalat dengan sifat yang menyelisihi apa yang diperintahkan oleh Allah ‘azza wa jalla dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Lebih-lebih lagi riwayat ketiga dari Malik bahwa hukumnya hanya sunnah, ini jelas-jelas lemah dan bertentangan dengan perintah Allah ‘azza wa jalla dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk bersuci dari najis dalam shalat.[2]

Wallahu a’lam


[1] Lihat kitab Irwa’ al-Ghalil (no. 284) dan al-Jami’ ash-Shahih (1/459—460)

[2] Lihat kitab al-Ijma’ (no. 1), al-Muhalla (no. 343 & 344), Bidayah al-Mujtahid (1/116—117), al-Majmu’ (3/139—140, 163), al-Mughni (2/464—466), al-Ikhtiyarat (hlm. 66—67), Nailul Authar (“Kitab ash-Shalah”, Bab “Ijtinab an-Najasat fi ash-Shalah”), ad-Darari (hlm. 57), al-Mukhtarat al-Jaliyyah (hlm. 34), dan asy-Syarh al-Mumti’ (2/90—91, 219—221, 228—230).

bersuci dari hadatsbersuci dari najis