Nabi dan rasul adalah dua kata yang sering kita dapatkan dalam nash-nash syariat. Tentu sebuah kewajaran ketika muncul pertanyaan, “Adakah perbedaan antara nabi dan rasul? Apakah keduanya memiliki makna yang sama atau berbeda?” Sebagian ulama berpendapat bahwa nabi dan rasul sama, tidak ada perbedaan di antara keduanya dari sisi makna. Namun, pendapat ini tidak diperkuat oleh dalil. Bahkan, tampak bahwa dalil-dalil dari al-Qur’an dan as-Sunnah tidak sejalan dengan pendapat ini. Pendapat yang benar adalah pendapat jumhur (mayoritas) ulama. Mereka menyatakan adanya perbedaan antara nabi dan rasul.
Pendapat ini diperkuat oleh dalil-dalil yang sahih dari al-Kitab dan as-Sunnah, termasuk hadits Abu Dzar dan Abu Umamah radhiyallahu ‘anhuma tentang jumlah nabi dan jumlah rasul. Asy-Syaikh al-Albani rahimahullah setelah menyebut hadits Abu Umamah radhiyallahu ‘anhu tentang jumlah nabi dan rasul—yang telah kita bahas bersama—berkata, “Ketahuilah, hadits Abu Umamah radhiyallahu ‘anhu yang baru saja kita sebut, demikian pula hadits-hadits lain yang telah kita ketengahkan sebelumnya, semua menunjukkan adanya perbedaan antara rasul dan nabi. Perbedaan ini ditunjukkan pula oleh al-Qur’an, seperti firman Allah Subhanahu wata’ala,
وَمَا أَرْسَلْنَا مِن قَبْلِكَ مِن رَّسُولٍ وَلَا نَبِيٍّ إِلَّا إِذَا تَمَنَّىٰ أَلْقَى الشَّيْطَانُ فِي أُمْنِيَّتِهِ فَيَنسَخُ اللَّهُ مَا يُلْقِي الشَّيْطَانُ ثُمَّ يُحْكِمُ اللَّهُ آيَاتِهِ ۗ وَاللَّهُ عَلِيمٌ حَكِيمٌ
“Dan Kami tidak mengutus sebelum kamu seorang rasul pun dan tidak (pula) seorang nabi, kecuali apabila ia mempunyai sebuah keinginan, setan pun memasukkan godaan-godaan terhadap keinginan itu. Allah menghilangkan apa yang dimasukkan oleh setan itu dan Allah menguatkan ayat-ayat-Nya. Allah Maha Mengetahui lagi Mahabijaksana.” (al-Hajj : 52)
Demikian pendapat yang diikuti seluruh ahli tafsir, seperti al-Imam Ibnu Jarir ath-Thabari, Ibnu Katsir, hingga yang terakhir dari ahli tafsir, al-Imam al-Alusi rahimahumullah. Pendapat ini pula yang dikuatkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah dalam banyak fatwa beliau. Beliau berkata,
“Semua rasul adalah nabi, namun tidak semua nabi adalah rasul.” (lihat Majmu’ Fatawa [10/ 209] dan [18/7]) Al-Imam al-Qurthubi rahimahullah dalam tafsirnya berkata bahwa al-Mahdawi menyatakan, “Inilah yang benar, seluruh rasul adalah nabi, namun tidak setiap nabi itu rasul.” (Tafsir al-Qurthubi [12/80])
Perbedaan antara Nabi dan Rasul
Mayoritas ulama menyatakan adanya perbedaan antara nabi dan rasul, sebagaimana pembahasan di atas. Tetapi, mengenai letak perbedaan antara nabi dan rasul, ada beberapa pendapat sebagai berikut.
1. Rasul adalah orang yang diturunkan kepadanya wahyu berupa syariat dan diperintahkan untuk menyampaikan kepada umat manusia. Adapun nabi, mereka adalah orang yang mendapatkan wahyu berupa syariat, namun tidak diperintah untuk menyampaikannya.
2. Rasul adalah orang yang mendapatkan wahyu berupa syariat baru. Adapun nabi diutus dengan membawa syariat rasul sebelumnya. Pendapat kedua ini menyatakan bahwa nabi dan rasul diperintahkan menyampaikan syariat kepada umatnya.
3. Rasul adalah orang yang mendapatkan kitab dan syariat tersendiri (baru). Adapun nabi tidak diturunkan padanya kitab, tetapi menyeru kepada syariat rasul sebelumnya.
Masih ada pendapat lain di kalangan ulama, kita cukupkan tiga pendapat di atas. Dari sekian pendapat para ulama, guru kami, asy-Syaikh Abdul Muhsin al-Abbad hafizhahullah mengatakan, “Mengenai perbedaan antara nabi dan rasul, yang masyhur (selama ini) bahwa nabi adalah orang yang mendapatkan wahyu berupa syariat dan tidak diperintahkan untuk menyampaikan kepada manusia. Adapun rasul adalah orang yang mendapatkan wahyu berupa syariat dan diperintahkan untuk menyampaikan. Namun, terdapat dalil yang menunjukkan tidak benarnya pendapat ini… Di antaranya firman Allah Subhanahu wata’ala,
إِنَّا أَنزَلْنَا التَّوْرَاةَ فِيهَا هُدًى وَنُورٌ ۚ يَحْكُمُ بِهَا النَّبِيُّونَ الَّذِينَ أَسْلَمُوا
“Sesungguhnya Kami telah menurunkan kitab Taurat. Di dalamnya (ada) petunjuk dan cahaya (yang menerangi), yang dengan kitab itu diputuskan perkara orang-orang Yahudi oleh nabi-nabi yang berserah diri kepada Allah.” (al-Maidah: 44)
Ayat ini menunjukkan bahwa para nabi bani Israil setelah Musa ‘Alaihissalam berhukum dengan Taurat dan menyeru manusia (berpegang dengan) Taurat. Atas dasar (ayat) ini, bisa kita katakan tentang perbedaan antara nabi dan rasul, bahwasanya rasul adalah orang yang mendapatkan wahyu berupa syariat dan diturunkan kepadanya al-Kitab. Adapun nabi, ia adalah orang yang mendapatkan wahyu untuk menyampaikan risalah rasul sebelumnya. Pendapat inilah yang sesuai dengan dalil-dalil….” (diringkas dari Qathfu Jana ad-Dani hlm. 110)
Nabi dan Rasul adalah Laki-Laki Merdeka
Nabi dan rasul semua adalah laki laki merdeka dan bukan budak. Tidak ada seorang nabi pun dari kalangan wanita. Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
وَمَا أَرْسَلْنَا قَبْلَكَ إِلَّا رِجَالًا نُّوحِي إِلَيْهِمْ ۖ فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِن كُنتُمْ لَا تَعْلَمُونَ
“Kami tiada mengutus rasul-rasul sebelum kamu (Muhammad) melainkan orang laki-laki yang Kami beri wahyu kepada mereka, maka tanyakanlah olehmu kepada orang-orang yang berilmu jika kamu tiada mengetahui.” (al-Anbiya: 7)
Dalam ayat yang lain, Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
وَمَا أَرْسَلْنَا مِن قَبْلِكَ إِلَّا رِجَالًا نُّوحِي إِلَيْهِم مِّنْ أَهْلِ الْقُرَىٰ ۗ
“Kami tidak mengutus sebelum kamu, kecuali orang laki-laki yang Kami berikan wahyu kepadanya di antara penduduk negeri.” (Yusuf: 109)
Asy-Syaikh Abdul Muhsin al-Abbad berkata, “Dalam ayat yang mulia ini ada keterangan bahwasanya rasul-rasul yang diutus oleh Allah l itu berasal dari kalangan laki-laki, bukan perempuan. Sebab, lelaki lebih sempurna daripada kaum perempuan.” (Majmu’ Rasail asy- Syaikh Abdul Muhsin al-Abbad [1/250])
Sebagian manusia beranggapan bahwa Sarah istri Ibrahim, ibu Nabi Musa, dan Maryam binti Imran adalah para nabi. Mereka berdalil bahwasanya malaikat Allah Subhanahu wata’ala memberikan kabar gembira kepada Sarah akan kelahiran Ishaq. Demikian pula malaikat memberikan kabar gembira kepada Maryam akan kelahiran Isa. Mereka berdalil pula dengan firman Allah Subhanahu wata’ala tentang ibu Nabi Musa ‘Alaihissalam,
وَأَوْحَيْنَا إِلَىٰ أُمِّ مُوسَىٰ أَنْ أَرْضِعِيهِ ۖ فَإِذَا خِفْتِ عَلَيْهِ فَأَلْقِيهِ فِي الْيَمِّ وَلَا تَخَافِي وَلَا تَحْزَنِي ۖ إِنَّا رَادُّوهُ إِلَيْكِ وَجَاعِلُوهُ مِنَ الْمُرْسَلِينَ
Kami ilhamkan kepada ibu Musa, “Susuilah dia, dan apabila kamu khawatir terhadapnya, hanyutkanlah dia ke sungai (Nil). Janganlah kamu khawatir dan janganlah (pula) bersedih hati, karena sesungguhnya Kami akan mengembalikannya kepadamu, dan menjadikannya (salah seorang) dari para rasul.” (al-Qashash: 7)
Namun, semua dalil tersebut tidak menunjukkan bahwa mereka adalah nabi. Wahyu yang dikatakan dalam kisah ibu Musa adalah ilham, sebagaimana Allah Subhanahu wata’ala memberikan wahyu kepada lebah, yakni ilham. Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Yang diyakini Ahlus Sunnah wal Jamaah, dan ini pula yang dinukilkan oleh asy-Syaikh Abul Hasan ‘Ali bin Isma’il al-Asy’ari, tidak ada seorang nabi pun dari kaum wanita. Yang ada adalah shiddiqah (derajat tertinggi di bawah nabi dan rasul, -pen.). Allah Subhanahu wata’ala mengabarkan tentang Maryam binti Imran dalam firman-Nya,
مَّا الْمَسِيحُ ابْنُ مَرْيَمَ إِلَّا رَسُولٌ قَدْ خَلَتْ مِن قَبْلِهِ الرُّسُلُ وَأُمُّهُ صِدِّيقَةٌ ۖ كَانَا يَأْكُلَانِ الطَّعَامَ ۗ
“Al-Masih putra Maryam hanyalah seorang rasul yang sesungguhnya telah berlalu sebelumnya beberapa rasul, dan ibunya seorang shiddiqah (yang sangat benar), keduanya biasa memakan makanan.” (al-Maidah: 75) (Tafsir Ibnu Katsir)
Nuh ‘Alaihissalam, Rasul yang Pertama
Di antara dalilnya adalah firman Allah Subhanahu wata’ala,
إِنَّا أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ كَمَا أَوْحَيْنَا إِلَىٰ نُوحٍ وَالنَّبِيِّينَ مِن بَعْدِهِ
“Sesungguhnya Kami telah memberikan wahyu kepadamu sebagaimana Kami telah memberikan wahyu kepada Nuh dan nabi-nabi yang setelahnya.” (an-Nisa: 163)
Lebih tegas dari ayat di atas adalah hadits syafaat yang panjang dalam Shahih Muslim, ketika manusia dikumpulkan di Mahsyar. Mereka berkata kepada Nuh ‘Alaihissalam, “Wahai Nuh, engkau adalah rasul pertama.”
Adakah Nabi dan Rasul dari Kalangan Jin?
Jumhur ( mayoritas ) ulama berpendapat tidak ada nabi dan rasul dari kalangan jin, semua dari kalangan manusia. Demikian pendapat sahabat Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhuma. Di antara dalil jumhur adalah firman Allah Subhanahu wata’ala
اللَّهُ يَصْطَفِي مِنَ الْمَلَائِكَةِ رُسُلًا وَمِنَ النَّاسِ
“Allah memilih utusan-utusan (Nya) dari malaikat dan dari manusia….” (al-Hajj: 75)
Demikian pula firman Allah Subhanahu wata’alal tentang Nabi Ibrahim ‘Alaihissalam,
وَوَهَبْنَا لَهُ إِسْحَاقَ وَيَعْقُوبَ وَجَعَلْنَا فِي ذُرِّيَّتِهِ النُّبُوَّةَ وَالْكِتَابَ
“Dan Kami anugerahkan kepada Ibrahim, Ishaq, dan Yaqub, serta Kami jadikan kenabian dan al-Kitab pada keturunannya.” (al-Ankabut: 27)
Ulama mengatakan, berdasarkan ayat ini, semua nabi yang diutus setelah Ibrahim adalah dari keturunan beliau. Telah dimaklumi bahwa jin bukan dari keturunan Ibrahim ‘Alaihissalam. Demikianlah pendapat jumhur dan beberapa dalil yang mereka bawakan. Sebagian ulama berpendapat bahwa bisa jadi ada nabi dan rasul dari kalangan jin. Ada pula sekelompok ulama yang tawaqquf (tidak memberikan pendapat) dalam masalah ini, tidak menetapkan tidak pula meniadakan. Wallahu ta’ala a’lam.
Buah Mengimani Nabi dan Rasul
Iman kepada rasul-rasul Allah Subhanahu wata’ala membuahkan berbagai faedah yang agung, di antaranya:
1. Bertambahnya keimanan kepada Allah Subhanahu wata’ala dan cinta kepada-Nya ketika menyaksikan betapa besar kasih sayang Allah Subhanahu wata’ala kepada para hamba-Nya.
Allah Subhanahu wata’alamengutus para nabi dan rasul untuk membimbing manusia menuju kebahagiaan dua negeri: dunia dan akhirat. Allah Subhanahu wata’ala tidak membiarkan manusia hidup sia-sia dan terbengkalai.
2. Dengan beriman kepada rasul, seseorang akan menyaksikan betapa agungnya hikmah Allah Subhanahu wata’ala.
Allah Subhanahu wata’ala telah menetapkan syariat berupa perintah, larangan, atau hukum yang sesuai dengan keadaan setiap umat.
وَمَا أَرْسَلْنَا مِن رَّسُولٍ إِلَّا بِلِسَانِ قَوْمِهِ لِيُبَيِّنَ لَهُمْ
“Kami tidak mengutus seorang rasul pun, kecuali dengan bahasa kaumnya, supaya ia dapat memberi penjelasan dengan terang kepada mereka.” (Ibrahim: 4)
3. Iman kepada para rasul mendorong setiap insan untuk sering memuji Allah Subhanahu wata’ala dan bersyukur kepada-Nya atas nikmat-Nya yang sangat agung.
4. Iman kepada rasul-rasul Allah Subhanahu wata’ala adalah sebab yang mengantarkan seseorang ke dalam jannah, karena Allah Subhanahu wata’ala akan mengumpulkan seseorang bersama yang dicintainya.
Seandainya seseorang jujur dalam mencintai para nabi dan rasul, sungguh Allah Subhanahu wata’ala akan kumpulkan bersama mereka. Dalam hadits, Rasul Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
الْمَرْءُ مَعَ مَنْ أَحَبَّ
“Seseorang akan bersama dengan yang dicintainya.”
Ditulis oleh Al-Ustadz Abu Ismail Muhammad Rijal, Lc.