(ditulis oleh: Al-Ustadz Ruwaifi bin Sulaimi, Lc.)
Pergaulan bebas adalah bahaya laten yang melanda umat. Dengan potret kehidupan bermasyarakat yang bebas, lepas sama sekali dari kewajiban, tuntutan, perasaan takut, dan berbagai aturan (termasuk syariat) yang ada, akan tercipta sebuah kehidupan yang amburadul, tidak terhalang, terganggu, dan sebagainya untuk bergerak, berbicara, dan berbuat dengan leluasa. Dalam kondisi semacam ini akhirnya hawa nafsu dituhankan, syariat Islam dicampakkan, dan rasa malu nyaris tak tersisakan. Dengan demikian, tak ubahnya kehidupan yang dijalani seperti kehidupan binatang ternak, bahkan lebih sesat darinya. Wallahul musta’an.
Memaknai Pergaulan Bebas
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) disebutkan bahwa kata pergaulan bermakna kehidupan bermasyarakat. Adapun kata bebas mempunyai beberapa makna, di antaranya adalah:
– Lepas sama sekali tidak terhalang, terganggu, dan sebagainya sehingga boleh bergerak berbicara, berbuat, dan sebagainya dengan leluasa.
– Lepas dari kewajiban, tuntutan, perasaan takut, dan sebagainya.
– Tidak terikat atau terbatas oleh aturan-aturan, dan sebagainya.
Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa pergaulan bebas adalah kehidupan bermasyarakat yang lepas sama sekali dari kewajiban, tuntutan, perasaan takut, dan berbagai aturan yang ada, sehingga tidak terhalang, terganggu, dan sebagainya untuk bergerak, berbicara, dan berbuat dengan leluasa.
Dari sini pula dapat disimpulkan bahwa pergaulan bebas hakikatnya tidak terbatas pada apa yang terjadi di antara para kawula muda pria dan wanita semata.
Topik pergaulan bebas mencakup semua bentuk kehidupan bermasyarakat yang bersifat bebas, lepas sama sekali dari kewajiban, tuntutan, perasaan takut, dan berbagai aturan yang ada.
Menilik dari Kacamata Syariat
Para pembaca yang mulia, tidak bisa dimungkiri bahwa kehidupan bermasyarakat secara bebas, lepas sama sekali dari kewajiban, tuntutan, perasaan takut, dan berbagai aturan (termasuk syariat) yang ada adalah fenomena yang terjadi pada sebagian manusia. Padahal apabila dirunut hakikat dan ihwalnya, tidak sepantasnya mereka memilih kehidupan yang bersifat bebas tersebut.
Betapa tidak. Dengan segala hikmah dan keadilan-Nya, Allah l menciptakan manusia sebagai makhluk yang dilingkupi oleh segala kelemahan dan keterbatasan. Ia mengawali kehidupannya dalam keadaan lemah, kemudian sesudah keadaan lemah itu menjadi kuat, kemudian sesudah kuat itu lemah (kembali) dan beruban. Allah l berfirman,
“Dan manusia diciptakan dalam keadaan (bersifat) lemah.” (an-Nisa’: 28)
“Allah, Dialah yang menciptakan kalian dari keadaan lemah, kemudian Dia menjadikan (kalian) sesudah keadaan lemah itu menjadi kuat, kemudian Dia menjadikan (kalian) sesudah kuat itu lemah (kembali) dan beruban. Dia menciptakan apa yang dikehendaki-Nya dan Dialah Yang Maha Mengetahui lagi Mahakuasa.” (ar-Rum: 54)
Sungguh, tanpa nikmat, karunia, pertolongan, dan kekuatan dari Allah l, tidak mungkin manusia bisa menjalani pahit getirnya kehidupan ini dengan selamat. Oleh karena itu, Allah l mengingatkan mereka dengan firman-Nya,
“Hai sekalian manusia, kalianlah yang amat butuh kepada Allah, dan Allah Dia-lah Yang Mahakaya (tidak memerlukan sesuatu) lagi Maha Terpuji.” (Fathir: 15)
Demikianlah manusia dengan segala kelemahan dan keterbatasannya. Semua hakikatnya dalam perjalanan menuju Rabb-nya, sedangkan kemampuan beramal sangat terbatas pada umur yang Dia l tentukan. Saat kematian tiba, tak seorang pun dapat menghindar atau tertangguhkan darinya. Allah l berfirman,
“Dan Allah sekali-kali tidak akan menangguhkan (kematian) seseorang apabila datang waktu kematiannya. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kalian kerjakan.” (al-Munafiqun: 11)
Ditinjau dari sudut keimanan, kehidupan dunia yang dijalani oleh manusia itu bukanlah akhir perjalanannya. Masih ada dua kehidupan berikutnya; di alam barzah (kubur) dan di alam akhirat. Di alam barzah (kubur), setiap manusia akan menghuninya seorang diri tanpa ditemani oleh kawan atau orang yang dicintainya. Segudang harta yang telah lama ditimbunnya di dunia tak lagi setia di sampingnya. Dengan hanya mengenakan kain kafan yang melilit tubuh, berbaring di atas seonggok tanah yang tak beralas di liang lahat yang sempit, masing-masing akan mendapatkan azab kubur atau nikmat kubur sesuai dengan perhitungannya di sisi Allah l.
Di alam akhirat, masing-masing akan menghadap Allah l seorang diri pula guna mempertanggungjawabkan segala amal perbuatan yang dikerjakannya selama hidup di dunia. Ia akan diberi balasan yang setimpal oleh Allah l atas segala yang diperbuatnya itu. Allah lberfirman,
“Dan tiap-tiap mereka akan datang kepada Allah pada hari kiamat dengan sendiri-sendiri.” (Maryam: 95)
“Hai manusia, sesungguhnya kamu telah bekerja (berbuat) dengan penuh kesungguhan menuju Rabb-mu, maka pasti kamu akan menemui-Nya (untuk mempertanggungjawabkan segala perbuatan yang dilakukan).” (al-Insyiqaq: 6)
“Barang siapa yang mengerjakan kebaikan seberat zarrah (semut yang sangat kecil) pun, niscaya dia akan melihat balasannya. Dan barang siapa yang mengerjakan kejelekan seberat zarrah (semut yang sangat kecil) pun, niscaya dia akan melihat balasannya.” (az-Zalzalah: 7—8)
Jika demikian, tak diragukan lagi bahwa kehidupan bermasyarakat secara bebas, lepas sama sekali dari kewajiban, tuntutan, perasaan takut, dan berbagai aturan (termasuk syariat) yang ada hukumnya adalah haram. Oleh karena itu, dari sisi manakah uzur manusia untuk memilih kehidupan bermasyarakat secara bebas tersebut? Pantaskah perilaku buruk tersebut ditujukan kepada Allah l, Pencipta alam semesta ini?! Betapa naifnya manusia (siapa pun dia) apabila memilih kebebasan dalam kehidupan bermasyarakatnya dengan menuhankan hawa nafsu, melepaskan diri dari ikatan syariat Islam yang mulia, dan mencampakkan fitrah yang suci.
Mengapa Muncul Pergaulan Bebas?
Pergaulan bebas tidaklah terjadi begitu saja. Segala sesuatu ada sebab yang melatarbelakanginya. Adakalanya dilatarbelakangi oleh persepsi yang salah dalam memahami hakikat kehidupan. Bisa jadi, mereka berpandangan bahwa kehidupan itu tidak lain kehidupan di dunia saja dan tidak ada yang akan membinasakan selain masa. Dengan demikian, setelah tiba kematian, selesailah kehidupan tanpa ada pertanggungjawaban. Di samping itu, bisa jadi hal ini dilatarbelakangi oleh kurangnya ilmu dan iman. Adakalanya karena meniru budaya barat (baca: kafir) dan lainnya. Ujungnya, ayat-ayat Allah l dicampakkan dan hawa nafsu dituhankan hingga rasa malu tak tersisakan. Akhirnya, laju kehidupan tak terkendalikan.
Manakala sebuah kehidupan tak lagi mengindahkan rambu-rambu ilahi yang suci dan semakin nyata bentuk penentangan terhadap sang Pencipta Yang Mahakuasa, maka Allah l akan membiarkan pelakunya tersesat berdasarkan ilmu-Nya. Allah akan l mengunci mati pendengaran dan hatinya serta meletakkan tutupan atas penglihatannya. Allah l berfirman,
“Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya dan Allah membiarkannya berdasarkan ilmu-Nya dan Allah telah mengunci mati pendengaran dan hatinya serta meletakkan tutupan atas penglihatannya? Maka siapakah yang akan memberinya petunjuk sesudah Allah (membiarkannya sesat)? Maka mengapa kamu tidak mengambil pelajaran? Dan mereka berkata, ‘Kehidupan ini tidak lain hanyalah kehidupan di dunia saja, kita mati dan kita hidup dan tidak ada yang akan membinasakan kita selain masa,’ dan mereka sekali-kali tidak mempunyai pengetahuan tentang itu, mereka tidak lain hanyalah menduga-duga saja. Dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat Kami yang jelas, tidak ada bantahan mereka selain dari mengatakan, ‘Datangkanlah nenek moyang kami jika kalian adalah orang-orang yang benar.’ Katakanlah, ‘Allahlah yang menghidupkan kalian kemudian mematikan kalian, setelah itu mengumpulkan kalian pada hari kiamat yang tidak ada keraguan padanya; akan tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui’.” (al-Jatsiyah: 23—26)
Jadi, dapat disimpulkan bahwa kehidupan ini tak bisa dijalani begitu saja tanpa tatanan dan aturan yang harus diikuti. Sebagai pribadi muslim, tatanan dan aturan yang harus diikuti adalah syariat Islam yang dibawa oleh Rasulullah n, bukan hawa nafsu, adat istiadat, atau budaya suatu negeri.
Demikianlah bimbingan Allah l terhadap Rasul-Nya yang mulia, sebagaimana dalam firman-Nya,
“Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat (rincian aturan hidup yang harus dijalani) dari urusan (agama itu), maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu ikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui.” (al-Jatsiyah: 18)
Mengapa yang dijadikan sebagai tatanan dan aturan itu adalah syariat Islam yang dibawa oleh Rasulullah n, bukan hawa nafsu, adat istiadat, atau budaya suatu negeri?
Ya, karena syariat Islam yang dibawa oleh Rasulullah n itu selain sempurna dan memenuhi segala kebutuhan hidup umat manusia, ia pun sangat sesuai dengan fitrah yang suci. Syariat tersebut tidak memiliki kesempitan dan bukan belenggu yang memberatkan. Hal ini sebagaimana firman Allah l,
“Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kalian dalam agama suatu kesempitan.” (al-Hajj: 78)
Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz t dalam ceramah agama yang bertajuk asy-Syari’ah al-Islamiyyah wa Mahasinuha wa Dharuratu al-Basyar Ilaiha mengatakan, “Syariat ini dipenuhi oleh kemudahan, toleransi, kasih sayang, dan kebaikan. Selain itu, syariat ini juga dipenuhi oleh maslahat yang tinggi dan senantiasa memerhatikan berbagai sisi yang mengantarkan para hamba kepada kebahagiaan dan kehidupan yang mulia di dunia serta di akhirat.”
Dengan demikian, sangatlah berbeda kondisi orang-orang yang hidup di bawah naungan syariat Islam dengan orang-orang yang hatinya membatu. Allah l berfirman,
“Maka apakah orang-orang yang Allah lapangkan dadanya untuk (menerima) agama Islam lalu ia mendapat cahaya dari Rabbnya (sama dengan orang yang membatu hatinya)? Maka kecelakaan yang besarlah bagi mereka yang telah membatu hatinya untuk mengingat Allah, mereka itu dalam kesesatan yang nyata.” (az-Zumar: 22)
Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di t berkata, “Apakah orang yang Allah l melapangkan dadanya untuk menyambut agama Islam, siap menerima dan menjalankan segala hukum (syariat) yang dikandungnya dengan penuh kelapangan, bertebar sahaja, dan di atas kejelasan ilmu (inilah makna firman Allah l, ‘ia mendapat cahaya dari Rabbnya’), sama dengan selainnya? Yaitu, orang-orang yang membatu hatinya terhadap Kitabullah, enggan mengingat ayat-ayat-Nya, dan berat hatinya untuk menyebut (nama)-Nya. Bahkan, kondisinya selalu berpaling dari (ibadah kepada) Rabbnya dan mempersembahkan (ibadah tersebut) kepada selain Allah l. Merekalah orang-orang yang ditimpa oleh kecelakaan dan kejelekan yang besar.” (Taisir al-Karimirrahman, hlm. 668)
Betapa indahnya syariat Islam yang dibawa oleh Rasulullah n itu. Syariat yang memerhatikan hubungan antara hamba dengan Allah l, Sang Pencipta. Syariat yang memosisikan-Nya sebagai tumpuan dalam hidup ini, berserah diri kepada-Nya, tunduk dan patuh kepada-Nya, memurnikan ibadah hanya untuk-Nya, dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu pun. Di samping itu, syariat ini memerhatikan hubungan antara hamba dan sesamanya, dengan cara menghormati yang lebih tua dan menyayangi yang lebih muda, menyantuni yang lemah, membantu orang yang tertimpa musibah, menyambung tali silaturahim, menjaga hubungan baik dengan tetangga, memuliakan tamu, jujur dalam berbuat dan berkata, serta hal-hal lainnya. Syariat ini bersifat adil dan tepat, tidak berlebihan dan tidak bermudah-mudahan dalam segala aspeknya.
Atas dasar itu, setiap pribadi muslim wajib berpegang teguh dengan agama Islam dan syariatnya yang sempurna selama hayat masih dikandung badan. Setiap muslim seharusnya mengedepankannya di atas segala dorongan hawa nafsu, adat istiadat/budaya negerinya, dan yang selainnya. Selain itu, seorang muslim juga senantiasa menaati Rasulullah n dan tak menentangnya sedikit pun. Dengan demikian, ia akan terbimbing untuk masuk ke al-jannah (surga) dan diselamatkan dari azab Allah l yang amat pedih.
Rasulullah n bersabda,
كُلُّ أُمَّتِي يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ إِلَّا مَنْ أَبَى. قَالُوا: يَا رَسُولَ اللهِ، وَمَنْ يَأْبَى؟ قَالَ: مَنْ أَطَاعَنِي دَخَلَ الْجَنَّةَ، وَمَنْ عَصَانِي فَقَدْ أَبَى
“Semua umatku akan masuk ke dalam al-Jannah (surga) kecuali yang enggan.” Para sahabat berkata, “Wahai Rasulullah, siapakah orang yang enggan itu?” Rasulullah menjawab, “Barang siapa yang taat kepadaku pasti masuk ke dalam al-jannah (surga), dan barang siapa menentangku maka dialah orang yang enggan.” (HR. al-Bukhari no. 7280 dari sahabat Abu Hurairah z)
Dampak Pergaulan Bebas Bagi Masyarakat
Para pembaca yang mulia, pergaulan bebas dengan pengertian di atas sangat berdampak bagi masyarakat. Betapa tidak, manakala sebuah masyarakat menuhankan hawa nafsu, sementara itu syariat dicampakkan begitu saja dan tak berbekas dalam kalbu, setiap individu mereka akan hidup tanpa rambu-rambu, tidak terhalang untuk bergerak dan berbicara serta leluasa berbuat segala sesuatu tanpa rasa malu. Akhirnya, kehidupan masyarakat yang seperti itu tak ubahnya seperti kehidupan binatang ternak, bahkan lebih sesat darinya.
Hal ini sebagaimana firman Allah l,
ﯮ ﯯ ﯰ ﯱ ﯲ ﯳ ﯴ ﯵ ﯶ ﯷ ﭑ ﭒ ﭓ ﭔ ﭕ ﭖ ﭗﭘ ﭙ ﭚ ﭛ ﭜﭝ ﭞ ﭟ ﭠ ﭡ ﭢ
“Tidakkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya. Maka apakah kamu dapat menjadi pemelihara atasnya? Atau apakah kamu mengira bahwa kebanyakan mereka itu mendengar atau memahami. Mereka itu tidak lain hanyalah seperti binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat jalannya (dari binatang ternak itu).” (al-Furqan: 43—44)
Bisa dibayangkan, betapa hancurnya sebuah masyarakat manakala kehidupannya sama dengan kehidupan binatang ternak, bahkan lebih sesat darinya. Di antara mereka ada yang bergelimang dalam kesyirikan, ada yang tenggelam dalam kebid’ahan, ada yang berbuat zina, minum minuman keras (miras), narkoba, berjudi dengan segala modelnya, pornoaksi, pornografi, dan berbagai kemaksiatan lainnya. Sementara itu, pembunuhan, perampokan, penjambretan, pencurian, korupsi, penipuan, dan berbagai tindakan kriminalitas lainnya menjamur di mana-mana.
Di antara contoh kasus dari dampak pergaulan bebas itu adalah apa yang terjadi pada para pemuda dan pemudi yang tergabung dalam kelompok punk. Sebuah kelompok yang ekstrem mengampanyekan hidup secara bebas. Perhatikanlah kehidupan mereka! Mereka tak pernah memerhatikan kebersihan dan kesehatan diri sendiri, apalagi lingkungan sekitarnya. Dengan penampilan rambut yang khas, tubuh yang kotor, dan pakaian yang lusuh, bebas bergerak ke sana dan kemari, dari satu kota ke kota lainnya tanpa memedulikan norma-norma agama, bimbingan orang tua, dan aturan pemerintah. Mereka berkumpul, bahkan tidur di perempatan-perempatan jalan, campur baur antara lelaki dan perempuan secara bebas tanpa ada rasa malu.
Sebuah realitas kehidupan yang menyedihkan. Padahal para pemuda dan pemudi itu adalah aset utama setiap umat. Merekalah generasi penerus bangsa dan pemeran utama dalam banyak lini kehidupan bermasyarakat. Apabila kondisi para pemuda dan pemudinya seperti itu, bisa dibayangkan betapa buruknya kondisi suatu umat, generasi, dan bangsa. Berdasarkan hal ini, dapat diketahui bahwa pergaulan bebas adalah bahaya laten yang harus selalu diwaspadai oleh setiap pribadi muslim. Keberadaannya di tengah umat sangat berdampak bagi kehidupan masyarakatnya.
Akhir kata, semoga sajian “Manhaji” kali ini dapat bermanfaat bagi kita semua, menyinari jiwa yang gelap karena belenggu hawa nafsu, melunakkan hati yang membatu karena karat-karat dosa, dan menyejukkan pandangan para pencari kebenaran.
Amin, ya Rabbal ‘alamin.