Perjanjian Hudaibiyah (bagian 4)

(ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Muhammad Harits Abrar Thalib)

 

Perjanjian Hudaibiyah yang lahiriahnya tampak merugikan pihak kaum muslimin, akhirnya terbukti menjadi pintu kemenangan yang besar. Banyak hikmah yang bisa dipetik dari peristiwa ini.

Setelah perjanjian tersebut disepakati, para sahabat bertanya kepada Rasulullah n: “Wahai Rasulullah, (haruskah) kami setujui hal ini?” Beliau pun bersabda:
مَنْ أَتَاهُمْ مِنَّا فَأَبْعَدَهُ اللهُ، وَمَنْ أَتَانَا مِنْهُمْ فَرَدَدْنَاهُ إِلَيْهِمْ جَعَلَ اللهُ لَهُ فَرَجًا مَـخْرَجًا
“Barangsiapa yang datang kepada mereka dari pihak kita, (semoga) Allah l menjauhkannya. Dan barangsiapa dari (pihak) mereka yang datang kepada kita, lalu kita kembalikan kepada mereka, (semoga) Allah jadikan untuknya kelapangan dan jalan keluar.” (HR. Ahmad dan Abu Dawud)
Dan memang, Nabi n begitu mudahnya menerima ketentuan dari Suhail karena di dalamnya terdapat upaya-upaya pengagungan hurumatillah, dengan terjaganya darah. Apalagi beliau telah menegaskan:
وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَا يَسْأَلُونِي الْيَوْمَ خُطَّةً يُعَظِّمُونَ بِهَا حُرُمَاتِ اللهِ إِلَّا أَعْطَيْتُهُمْ إِيَّاهَا
“Demi Dzat yang jiwaku di Tangan-Nya, tidaklah mereka memintaku satu perkara yang mereka agungkan padanya kehormatan (hurumat) Allah melainkan aku berikan kepada mereka.”
Akhirnya, berlakulah perjanjian besar tersebut yang Allah l namakan sebagai Al-Fath (kemenangan). Kaum muslimin sendiri tidak senang dengan perjanjian tersebut ketika mengira dalam butir-butir perjanjian itu terkandung penghinaan terhadap kaum muslimin. Mereka tidak melihat adanya kemaslahatan besar di balik perjanjian itu.
Sahl bin Hunaif mengisahkan: “Curigailah akal (ra’yu) karena sungguh, aku lihat, dalam peristiwa Abu Jandal (anak Suhail bin ‘Amru) seandainya aku mampu membantah keputusan Rasulullah n pastilah sudah aku bantah.”
Perjanjian tersebut kemudian justru menjadi satu kemenangan, karena adanya kemaslahatan seperti keleluasaan bagi kaum muslimin untuk mendakwahkan Islam ke seluruh kabilah Arab. Bahkan kemenangan paling besar yang dengan sebab inilah semakin tersebarnya ajaran Islam. Dakwah berjalan tanpa gangguan, manusia pun mulai masuk Islam secara berbondong-bondong.
Padahal sebelumnya, kaum muslimin tidak mampu berdakwah di luar daerah yang penduduknya telah masuk Islam seperti kota Madinah dan sekitarnya. Sementara orang-orang yang masuk Islam dari penduduk Makkah dan wilayah musyrikin lainnya, selalu diintimidasi. Oleh karena itu pula, mereka yang masuk Islam, berjihad dan berinfaq sebelum Fathu Makkah lebih besar pahalanya dan lebih tinggi derajatnya dibandingkan mereka yang masuk Islam, berjihad, dan berinfaq sesudah perjanjian Hudaibiyah. Namun bagaimanapun juga, mereka semua dijanjikan surga oleh Allah l sebagaimana firman-Nya:
“Dan mengapa kamu tidak menafkahkan (sebagian hartamu) pada jalan Allah, padahal Allah-lah yang mempusakai (mempunyai) langit dan bumi? Tidak sama di antara kamu orang yang menafkahkan (hartanya) dan berperang sebelum penaklukan (Makkah). Mereka lebih tinggi derajatnya daripada orang-orang yang menafkahkan (hartanya) dan berperang sesudah itu. Allah menjanjikan kepada masing-masing mereka (balasan) yang lebih baik. Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (Al-Hadid: 10)
Ayat ini menegaskan betapa mulia kedudukan para sahabat g di mana Allah l persaksikan keimanan mereka dan menjanjikan surga bagi mereka. (Tafsir As-Sa’di hal. 839)
Sebuah keutamaan yang tidak mungkin didapatkan oleh orang-orang yang datang sesudah mereka, sehebat apapun amalan mereka. Bahkan Rasulullah n bersabda, menegaskan kemuliaan tersebut:
لَا تَسُبُّوا أَصْحَابِي، لَا تَسُبُّوا أَصْحَابِي، فَوَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَوْ أَنَّ أَحَدَكُمْ أَنْفَقَ مِثْلَ أُحُدٍ ذَهَبًا مَا أَدْرَكَ مُدَّ أَحَدِهِمْ وَلَا نَصِيفَهُ
“Janganlah kalian mencaci-maki para sahabatku. Janganlah kalian mencaci-maki para sahabatku. Demi Dzat yang jiwaku di Tangan-Nya, seandainya salah seorang dari kalian menginfakkan emas sebesar gunung Uhud, niscaya tidak mencapai satu mud (infaq) salah seorang dari mereka, bahkan tidak pula separuhnya.”
Rasulullah n bersabda tentang para sahabat yang ikut dalam peristiwa Hudaibiyah:
لَا يَدْخُلُ النَّارَ أَحَدٌ مِمَّنْ بَايَعَ تَحْتَ الشَّجَرَةِ
“Tidak akan masuk neraka satu pun yang berbai’at di bawah pohon ini (bai’atur ridhwan).” (HR. Muslim, Abu Dawud, dan At-Tirmidzi)
Allah l juga menerangkan bahwa Dia ridha kepada mereka, mengetahui isi hati mereka serta memberikan kemenangan buat mereka.
Hikmah Perjanjian Hudaibiyah
Sesungguhnya yang paling pantas diperhatikan seorang muslim adalah amal yang berkesinambungan dengan mengikuti atsar-atsar Nabi n serta merealisasikannya dalam hidup dan kehidupannya, semampunya. Allah l berfirman:
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” (Al-Ahzab: 21)
Ayat ini sebagaimana kata Ibnu Katsir t, merupakan dasar yang kokoh dalam berteladan kepada Rasulullah n baik ucapan, perbuatan, dan keadaannya. Dan teladan ini hanya dijalani serta diberi taufiq untuk mengikutinya oleh orang-orang yang mengharapkan Allah l dan hari kemudian.
Sehingga orang yang beriman, takut kepada Allah l serta yang mengharap pahala-Nya, tentu semua ini akan mendorongnya untuk meneladani Rasulullah  n. Dan kemuliaan seorang mukmin diukur dengan sikap ittiba’-nya: semakin teguh dia berpegang dan mengamalkan As-Sunnah, semakin berhak dia memperoleh kedudukan mulia (di sisi Allah l).
Sebagaimana dimaklumi, perikehidupan Rasulullah n seluruhnya adalah teladan yang baik. Baik dalam keadaan safar, bermukim, berperang, damai, dan sebagainya.
Dan di dalam kisah Hudaibiyah, kita dapat memetik sejumlah pelajaran dan hikmah yang agung. Ibnu Qayyim Al-Jauziyah t memaparkan sebagian faedah atau pelajaran dari hikmah tersebut dalam kitabnya Zadul Ma’ad (3/303), di antaranya:
1. Orang-orang musyrik, ahli bid’ah, orang-orang yang jahat, pemberontak, dan orang-orang dzalim, apabila menuntut suatu perkara yang di dalamnya kehormatan Allah l diagungkan, maka tuntutan tersebut harus dipenuhi bahkan didukung, meskipun mereka menolak yang lain.
Jadi mereka dibantu untuk mengagungkan kehormatan Allah l, bukan kekafiran dan kejahatan mereka, siapapun adanya.
Inilah yang membuat gusar para sahabat kecuali Abu Bakr Ash-Shiddiq z. Dan ini sekaligus menampakkan keutamaan beliau, seolah-olah hati beliau bertumpu di atas hati Rasulullah n. Beliau z menjawab kegusaran Umar z dengan jawaban yang sama dengan jawaban yang diberikan Rasulullah n kepada Umar z padahal beliau tidak ada di tempat ketika itu.
2. Bolehnya imam atau pemimpin mendahului meminta damai dengan musuh bila hal itu mengandung maslahat bagi kaum muslimin.
3. Boleh bersabar atas kurang sopannya utusan orang-orang kafir di mana tidak membalas kekasaran karena terdapat maslahat yang umum.
4. Berdamai dengan kaum musyrikin, meskipun di dalamnya terdapat sedikit kerugian bagi kaum muslimin adalah boleh, demi kemaslahatan yang lebih kuat dan jelas.
Hal ini sering dilalaikan oleh orang-orang yang dangkal pikirannya, sehingga memandang bahkan memvonis bahwa perjanjian damai yang dilakukan sebagian pemerintahan muslimin dengan sebagian negara kafir adalah kekafiran yang nyata sehingga harus diperangi pelakunya.
Terlebih hanya dengan pertimbangan tersedotnya kekayaan negara muslim tersebut oleh orang-orang kafir. Tidaklah mereka melihat adanya kemaslahatan yang lebih besar dalam kesepakatan-kesepakatan damai tersebut? Terjaganya darah kaum muslimin, yang ini lebih berharga dari dunia dan seisinya. Bahkan satu jiwa yang mukmin lebih mulia di sisi Allah l daripada Ka’bah. Wallahul musta’an.
5. Perjanjian Hudaibiyah ini merupakan pendahuluan dari sebuah kemenangan yang lebih besar lagi. Di mana Allah l memuliakan –melalui kemenangan ini– Rasul n dan tentara-Nya.
Demikianlah biasanya Allah l dalam setiap persoalan besar, yang Dia tetapkan secara syar’i maupun takdiri; Dia berikan pengantar dan pendahuluan yang menunjukkan perkara tersebut.
6. Perjanjian damai ini termasuk kemenangan terbesar. Karena adanya jaminan keamanan kedua belah pihak. Kaum muslimin bergaul dengan orang-orang kafir, serta memperdengarkan Al-Qur`an kepada mereka.
Akhirnya teranglah apa-apa yang kabur tentang Islam, berimanlah orang-orang yang Allah l kehendaki untuk beriman. Karena itu pula, Allah l menamakannya “kemenangan yang nyata”.
Wallahu a’lam.