Perjanjian Hudaibiyah

Setelah orang-orang Yahudi Quraizhah ditumpas, gangguan ahli kitab yang dirasakan kaum muslimin mulai berkurang. Walaupun dimaklumi, mereka tentu masih menyimpan selaksa makar untuk menumpas Islam dan muslimin, kapan dan di mana pun. Wallahul Musta’an.

Islamnya Tsumamah bin Utsal

Menjelang bulan Dzulqa’dah tahun keenam hijriah, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam sempat beberapa kali mengirim pasukan kecil, bahkan ikut terjun sebagai panglima ke sejumlah daerah di Jazirah Arab. Di antaranya, beliau pernah mengirim pasukan berkuda ke arah Najd dan berhasil menangkap Tsumamah bin Utsal al-Hanafi, pemuka Bani Hanifah. Tsumamah kemudian diikat di salah satu tiang masjid.

Suatu kali Nabi shallallahu alaihi wa sallam melewatinya. Beliau bertanya, “Ada apa denganmu, ya Tsumamah?”

Dia pun berkata, “Hai Muhammad, kalau engkau membunuhku, engkau bunuh orang yang punya darah.[1] Kalau engkau memaafkanku, berarti engkau menyenangkan orang yang tahu berterima kasih. Kalau engkau butuh harta, mintalah. Pasti diberi apa pun yang engkau kehendaki.”

Beliau lantas meninggalkannya.

Kemudian, beliau melewatinya sekali lagi dan Tsumamah mengucapkan perkataan yang sama. Dia pun menjawabnya seperti yang pertama kali. Setelah itu, beliau melewatinya untuk ketiga kalinya. Kata beliau, “Bebaskan Tsumamah.”

Para sahabat lalu melepaskannya.

Baca juga: Najiskah Tubuh Orang Kafir?

Selanjutnya, Tsumamah beranjak menuju kebun kurma dekat masjid, kemudian mandi. Setelah itu, dia menemui Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dan masuk Islam, katanya, “Demi Allah. Dahulu tidak ada di muka bumi ini wajah yang paling kubenci daripada wajahmu. Sungguh, sekarang, wajah engkau adalah wajah yang paling aku cintai. Demi Allah, dahulu tidak ada di muka bumi ini ajaran (keyakinan) yang paling aku benci dibandingkan dengan ajaranmu. Sungguh, sekarang, dienmu adalah dien yang paling aku cintai. Sebenarnya, pasukan berkudamu menangkapku ketika aku hendak berangkat umrah.”

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam pun menggembirakannya dan memerintahnya untuk umrah.

Setelah dia mendatangi orang-orang musyrik Quraisy, mereka berkata, “Kau bertukar agama, hai Tsumamah?”

Katanya, “Tidak. Demi Allah. Akan tetapi, aku telah masuk Islam bersama Muhammad. Demi Allah, tidak akan pernah datang lagi kepada kalian butiran gandum dari Yamamah, sampai Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam mengizinkannya.”

Waktu itu, Yamamah adalah daerah penghasil makanan pokok yang menyuplai Makkah. Dia pun kembali ke negerinya dan melarang ekspor gandum ke Makkah hingga Quraisy mengalami kekurangan pangan. Mereka pun menulis surat kepada Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam meminta beliau dengan hubungan kasih sayang agar menulis surat kepada Tsumamah untuk membuka jalur pengiriman makanan kepada mereka. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam pun memenuhi permintaan mereka.

Beberapa Faedah dari Kisah Tsumamah

Dari kisah ini, kata al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah, dapat kita petik beberapa hal. Di antaranya:

  • Bolehnya mengikat tawanan kafir di dalam masjid.
  • Bolehnya berbuat baik kepada tawanan, memaafkan, dan melepaskannya tanpa imbalan.
  • Sikap lemah lembut terhadap tawanan yang diharapkan keislamannya, apalagi bila dia diikuti orang banyak.
  • Mandi ketika masuk Islam, dan sebagainya.

Bersiap-Siap Umrah

Pada tahun keenam hijriyah, bulan Dzulqa’dah, bertolaklah 1.500 orang dari Madinah dipimpin oleh Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam untuk menunaikan umrah. Demikian diceritakan Jabir radhiallahu anhuma dalam riwayat al-Bukhari dan Muslim.

Rombongan berangkat tanpa menyandang senjata layaknya hendak berperang. Mereka membawa serta beberapa ekor ternak untuk dikorbankan.

Setibanya mereka di Dzul Hulaifah, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam menggantungkan dan memberi tanda di leher ternaknya serta melakukan ihram untuk umrah. Beliau pun mengirim seorang pengintai dari Khuzaah untuk mencari kabar tentang Quraisy.

Ketika rombongan mendekati daerah Ghadir Asythath dekat Usfan, datanglah pengintai tersebut. Katanya, “Saya tinggalkan Kaab bin Luai, mereka telah mengerahkan pasukan gabungan untuk menyerangmu dan menghalangi engkau dari Baitullah.”

Nabi shallallahu alaihi wa sallam bermusyawarah dengan para sahabatnya. Beliau bertanya kepada mereka, “Apakah menurut kalian kita beralih kepada anak keturunan mereka yang membantu orang-orang musyrik lalu menyerang mereka? Kalau mereka berhenti, mereka berhenti dalam keadaan berduka. Kalau mereka datang, jadilah seperti leher yang diputus oleh Allah. Atau menurut kalian kita tetap menuju Baitullah. Siapa yang menghalangi kita, maka kita perangi dia?”

Abu Bakr berkata, “Allah dan Rasul-Nya lebih tahu. Wahai Nabi Allah, kita datang hanya untuk umrah, bukan memerangi siapa pun. Akan tetapi, siapa yang menghalangi kita dari Baitullah, kita perangi dia.”

Baca juga: Asal Usul Zamzam dan Manasik Haji

Mendengar saran ini, Nabi shallallahu alaihi wa sallam berkata tegas, “Kalau begitu berangkatlah.”

Mereka pun mulai bertolak.

Dalam riwayat ini (dalam Musnad Imam Ahmad) disebutkan pula oleh az-Zuhri dari Abu Hurairah radhiallahu anhu bahwa tidak ada manusia yang paling sering bermusyawarah dengan para sahabatnya daripada Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam.

Setibanya di sebagian jalan, Nabi shallallahu alaihi wa sallam berkata, “Sesungguhnya, Khalid bin al-Walid ada di sekitar al-Ghamim dalam rombongan pasukan berkuda Quraisy sebagai pengintai. Ambillah jalan ke kanan.”

Demi Allah. Khalid tidak menyadari keberadaan mereka sampai tiba-tiba mereka melihat debu bekas pasukan. Dia pun memacu kudanya memberitahu orang-orang Quraisy.

Nabi shallallahu alaihi wa sallam tetap berjalan hingga tiba di Tsaniyah dan mereka singgah di sana. Tiba-tiba, kendaraan beliau berlutut. Orang-orang berseru, “Hall, hall.” Namun, ia tetap demikian.

Para sahabat berkata, “Al-Qushwa bebal (ndableg, jw). Al-Qushwa bebal.”

Nabi shallallahu alaihi wa sallam membantah, “Al-Qushwa tidak bebal. Itu bukan perangainya. Ia ditahan oleh Yang menahan tentara bergajah.”

Baca juga: Kapan dan di Mana Rasulullah Dilahirkan?

Kemudian beliau berkata, “Demi Yang jiwaku di Tangan-Nya. Tidaklah mereka memintaku satu perkara yang mereka agungkan padanya kehormatan Allah, kecuali aku berikan kepada mereka.”

Beliau menghardik al-Qushwa. Ia pun melompat lalu berbelok hingga sampai di pedalaman Hudaibiyah, di telaga yang sedikit airnya. Rombongan hanya mengambil sedikit demi sedikit. Tidak lama kemudian, mereka pun sudah meninggalkannya.

Mereka mengeluh kehausan kepada Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Beliau lalu mengambil panah dari kantungnya dan memerintahkan agar meletakkannya di tempat air yang tinggal sedikit itu. Akhirnya, demi Allah, pasukan itu tetap dalam keadaan segar sampai mereka meninggalkan tempat itu.

Mendengar berita bahwa kaum muslimin ternyata telah singgah mendekati wilayah mereka, orang-orang Quraisy pun terkejut.

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bermaksud mengutus salah seorang sahabatnya kepada mereka. Beliau memanggil Umar bin al-Khaththab untuk diutus kepada mereka. Namun, katanya, “Wahai Rasulullah, di Makkah tidak ada lagi Bani Kaab yang membelaku bila aku disakiti. Utuslah Utsman bin Affan, karena di sana ada familinya. Dia akan menyampaikan apa yang Anda inginkan.”

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam pun memanggil Utsman dan mengutusnya kepada Quraisy. Kata beliau, “Sampaikan kepada mereka bahwa kita datang bukan untuk berperang, melainkan hanya untuk umrah. Ajak mereka kepada Islam.”

Beliau juga memerintah Utsman untuk menemui beberapa orang mukmin di Makkah, laki-laki dan perempuan, menyampaikan berita gembira berupa kemenangan. Allah subhanahu wa ta’ala akan memenangkan dien-Nya di Makkah hingga tidak ada lagi yang harus menyembunyikan keimanannya di sana.

Utsman Diutus ke Makkah

Tibalah Utsman di Makkah. Dia melewati rombongan Quraisy di Baldah. Kata mereka, “Mau ke mana kamu?”

Katanya, “Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam mengutusku mengajak kalian kepada Allah dan kepada Islam. Aku sampaikan juga kepada kalian bahwa kami datang bukan untuk berperang, melainkan hanya untuk umrah.”

Kata mereka, “Kami sudah dengar apa yang kau katakan. Teruskan keperluanmu.”

Kemudian, bangkitlah Aban bin Said bin al-Ash mengucapkan selamat datang kepadanya dan menyodorkan pelana kudanya lalu membawa Utsman di atas kuda itu serta menjaga keselamatannya. Aban memboncengnya hingga tiba di Makkah.

Sebelum Utsman tiba kembali di rombongan kaum muslimin, sebagian mereka (kaum muslimin) menduga bahwa Utsman sudah bebas thawaf di Ka’bah sebelum mereka. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam menepis anggapan itu, “Aku tidak yakin dia thawaf di Ka’bah, sementara kita terhalang.”

Kata mereka, “Apa yang menghalanginya, wahai Rasulullah, sementara dia sudah bebas?”

Beliau mengatakan, “Itulah dugaanku kepadanya, dia tidak akan thawaf di Ka’bah sampai kita pun thawaf bersamanya.”

Memang. Mungkin saja akan muncul dugaan seperti ini, dan ini wajar. Akan tetapi, benarkah dugaan mereka? Pantaskah bagi Dzun Nurain (Utsman) menikmatinya, sementara kekasihnya (Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam) terhalang? Di sinilah kita lihat, betapa besar kesetiaan dan kecintaan para sahabat Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam kepada beliau.

Baca juga: Hak-Hak Rasulullah atas Umat Manusia

Kita tentu masih ingat Khubaib bin Adi radhiallahu anhu yang gugur di Bi’r Maunah. Dia ditawari bebas oleh Quraisy, asal Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam menggantikan posisinya sebagai tawanan mereka. Apa jawabnya?

Kata Khubaib, “Demi Allah, seandainya aku sedang bersenang-senang di rumahku bersama keluargaku, aku tidak rela Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam mengalami kesusahan meskipun hanya duri yang menusuk beliau.”

Kecintaan mereka bukan sekadar hiasan bibir, melainkan tampak dari sikap dan perilaku mereka dalam hidup dan kehidupan mereka. Tidak ada yang lebih mereka cintai daripada Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam.

Syahdan, terjadi juga keributan antara kaum muslimin dan musyrikin tentang masalah perdamaian. Salah seorang dari dua kelompok ini melempar salah seorang dari barisan lain. Mereka saling panah dan melempar dengan bebatuan. Sampailah kabar kepada Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bahwa Utsman terbunuh. Beliau pun menyerukan baiat. Akhirnya kaum muslimin segera mendekati Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam yang ada di bawah sebatang pohon.

Umar menggenggam tangan beliau untuk baiat, sedangkan Ma’qil bin Yasar menjauhkan ranting pohon dari beliau. Mereka pun berbaiat untuk tidak akan lari.

Yang pertama berbaiat adalah Abu Sinan al-Asadi. Salamah bin al-Akwa’ berbaiat tiga kali, di kelompok pertama, pertengahan, dan terakhir.

Selanjutnya, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam menggenggam tangannya satu sama lain, seraya berkata, “Ini (baiat) untuk Utsman.”

Semuanya berbaiat kecuali al-Jadd bin Qais.

Baca juga: Menepati Janji

Setelah selesai berbaiat, Utsman kembali ke tengah-tengah kaum muslimin. Mereka berkata kepadanya, “Sudah puaskah engkau, wahai Abu Abdillah (kuniah Utsman bin Affan), bisa thawaf di Ka’bah?”

Utsman tersentak dan segera menukas, “Alangkah buruknya dugaan kalian kepadaku. Demi Yang jiwaku di Tangan-Nya, seandainya aku menetap di sana selama setahun, sedangkan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam tinggal di Hudaibiyah, aku tidak akan thawaf di Ka’bah selamanya sampai Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam juga thawaf di Ka’bah. Memang, Quraisy mengundangku thawaf di Ka’bah, tetapi aku tidak mau.”

Mereka pun berkata, “Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam memang yang paling tahu di antara kita tentang Allah subhanahu wa ta’ala dan lebih baik sangkaannya daripada kita.”

Datangnya Delegasi Quraisy

Saat mereka dalam keadaan demikian, tiba-tiba datanglah Budail bin Warqa al-Khuza’i bersama rombongan Bani Khuzaah. Mereka adalah tempat menyimpan amanah dan rahasia Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam dari penduduk Tihamah.

Budail mengatakan, “Saya tinggalkan Kaab bin Luai dan Amir bin Luai dalam keadaan sudah turun di aliran air daerah Hudaibiyah.[2] Mereka membawa unta-unta yang penuh ambing susunya, dan diikuti anak-anaknya. Quraisy sudah bersiap untuk menyerang dan menghalangi engkau dari Baitullah.”

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam berkata,

“Sesungguhnya, kami tidak datang untuk berperang, tetapi untuk umrah. Sebetulnya, orang-orang Quraisy itu sudah dilumpuhkan oleh peperangan, itu membahayakan mereka. Kalau mereka mau aku beri waktu mereka (tidak berperang antara kami dan mereka, -ed.), dan biarkanlah aku dengan bangsa Arab lainnya.

Jika aku dikalahkan, ini sudah menenangkan mereka. Kalau aku menang, dan mereka mau, mereka bisa masuk ke dalam apa yang dianut oleh orang banyak (Islam, –ed.). Kalau tidak, mereka sudah bersatu padu.

Akan tetapi, kalau mereka tidak mau juga selain berperang, demi Yang jiwaku di Tangan-Nya, sungguh pasti aku perangi mereka karena urusanku ini (Islam) sampai aku mati, atau betul-betul Allah laksanakan ketetapan-Nya.”

(Simak lanjutannya di sini)


Catatan Kaki

[1] Maknanya diperselisihkan, ada yang berpendapat bahwa punya darah ialah kalau orang membunuhnya akan memperoleh kedudukan karena yang dibunuhnya adalah seorang pemuka, atau semakna dengan itu. Lihat Syarah an-Nawawi terhadap Shahih Muslim tentang hadits ini. Wallahu a’lam.

[2] Ini mengisyaratkan bahwa di Hudaibiyah itu sebetulnya airnya banyak. Namun, karena orang-orang Quraisy sudah lebih dahulu turun di Hudaibiyah di sebelah hulu, mereka menahan aliran airnya sehingga kaum muslimin kekurangan air. Lihat Fathul Bari tentang penjelasan hadits ini. Wallahu a’lam.

(Ustadz Abu Muhammad Harits Abrar Thalib)

baiathudaibiyahperjanjiansirah nabawiyah