Persyaratan antara Rahin dan Murtahin

1. Syarat antara rahin dan murtahin dalam rahn, syarat sah dan syarat fasid

Persyaratan yang terjadi antara kedua belah pihak pada barang gadaian dibagi menjadi dua, syarat yang sahih (benar) dan syarat yang fasid (rusak/batal).

Syarat sahih, misalnya, salah satunya memberikan syarat bahwa barang gadaian diamanatkan kepada seorang jujur yang dia tentukan, atau dua orang, atau sekelompok orang.

Atau ia mempersyaratkan, nanti yang menjualnya adalah orang yang jujur tersebut di saat jatuh tempo dan rahin tidak dapat membayar. Kata Ibnu Qudamah, “Kami tidak mengetahui adanya perbedaan pendapat tentang sahnya hal ini.” Atau, ia mensyaratkan bahwa yang menjualnya nanti adalah penggadai/ murtahin. Ini juga sah. Ini adalah pendapat Abu Hanifah dan Malik, ini pula yang dikuatkan oleh Ibnu Qudamah.

Sementara itu, asy-Syafi’i memandang tidak sah pada syarat yang terakhir ini. Yang rajih adalah pendapat pertama, dengan alasan bahwa selama boleh mewakilkan kepada selain murtahin, boleh pula mewakilkan kepada murtahin, sebagaimana penjualan barang-barang yang lain.

Syarat fasid, globalnya adalah semisal syarat yang bertolak belakang dengan maksud rahn. Contohnya:

  • Agar barang gadaian tidak dijual ketika jatuh tempo dan tidak bisa bayar.
  • Agar utang tidak dilunasi dengan nilai dari barang itu.
  • Tidak boleh dijual saat dikhawatirkan rusak.
  • Barang dijual berapa pun harganya.
  • Tidak dijual selain dengan harga yang diridhai oleh rahin.

Ini semua adalah syarat-syarat yang rusak karena menghilangkan tujuan pelunasan.

  • Agar rahin punya hak khiyar (pilih).
  • Akad rahn tidak menetap padanya.
  • Rahn dibatasi waktu tertentu.
  • Sehari menjadi barang gadaian, sehari tidak.
  • Rahn/barang gadaian harus berada di tangan rahin.
  • Rahin/pegadai boleh memanfaatkannya.
  • Murtahin/penggadai memanfaatkannya.
  • Apabila rusak, ditanggung murtahin.
  • Apabila rusak, ditanggung oleh orang yang diamanati.

Ini semua adalah syarat yang rusak, karena di antaranya ada syarat yang bertentangan dengan maksud akad pergadaian atau tidak sejalan dengan akad pergadaian, serta tidak memerhatikan maslahat barang gadaian tersebut.

Termasuk syarat yang rusak adalah apabila jatuh tempo dan rahin tidak mampu bayar, maka barang menjadi milik murtahin, dan telah dibahas sebelum ini.

Apabila terjadi persyaratan yang fasid, apakah akad pergadaiannya batal?

Yang rajih adalah tidak batal, hanya syaratnya yang batal. Ini adalah pendapat Abu Hanifah. (lihat al-Mughni, 6/505—507, 510)

2. Sepakat untuk menyerahkan rahn kepada seseorang yang dipercaya atau lebih

Ini termasuk kesepakatan yang diperbolehkan. Orang tersebut menjadi wakil murtahin dalammengqabdh barang gadaian tersebut. Ini adalah pendapat Atha’, Thawus, Malik, asy-Syafi’i, dan yang lain. Apabila diamanatkan kepada dua orang, keduanya harus menjaga rahn sesuai dengan amanat. Ketika orang yang diamanati menyatakan ketidaksanggupan, harus diterima. (al-Mughni, 6/470—472)

3. Sepakat untuk dijual olehnya saat tidak bisa bayar

Apabila kedua belah pihak juga sepakat bahwa orang yang diamanatilah yang menjual barang tersebut apabila telah jatuh tempo, ini adalah kesepakatan atau persyaratan yang sah menurut Abu Hanifah, Malik, dan asy-Syafi’i. Ini pula yang dikuatkan oleh Ibnu Qudamah.

Apabila pegadai membatalkan amanat, hal ini juga sah menurut asy-Syafi’i. (lihat al-Mughni, 6/473)

4. Apabila sekelompok orang menggadaikan sebuah barang Ibnu Hazm rahimahullah berkata, “Apabila sekelompok orang bergadai dan menggadaikan barangnya kepada seseorang, atau (sebaliknya) seseorang bergadai dan menggadaikan barangnya pada sekelompok orang, siapa saja dari kelompok tersebut yang melunasi utangnya, lepaslah bagiannya dari barang gadaian tersebut. Adapun bagian teman-temannya tetap menjadi barang gadaian sesuai dengan nilainya.

Demikian pula apabila satu orang yang bergadai tersebut melunasi utangnya kepada sebagian kelompok tersebut namun belum kepada yang lainnya, hak orang yang dilunasi atas barang gadaian tersebut berarti hilang. Dengan demikian, senilai itu pula hak kembali kepada pegadai, sedangkan yang lain masih tetap sebagai barang yang tergadai pada para penggadai tersebut.” (al-Muhalla, 8/107)

5. Apabila pegadai/rahin atau penggadai/murtahin meninggal dunia

Para fuqaha berpendapat bahwa akad pergadaian tidak terbatalkan dengan kematian salah satu dari kedua orang yang berakad setelah barang gadaian itu tetap statusnya sebagai barang gadaian.

Apabila pegadai meninggal dunia, ahli warisnya mewakilinya dan barang tersebut tetap di tangan murtahin atau ahli warisnya. Barang gadaian tidak lepas melainkan dengan dilunasinya utang atau dilepaskannya oleh penggadai/ murtahin, maka murtahin lebih berhak atas barang gadaian itu dan harganya apabila dijual selama masa hidup rahin atau setelah wafatnya. (al-Mausu’ah al-Fiqhiyyahal-Kuwaitiyyah, melalui program asy-Syamilah 7/32)

Namun, tampaknya Ibnu Hazm menyelisihi mereka. Beliau mengatakan, “Apabila rahin atau murtahin meninggal dunia, akad pergadaian menjadi batal, dan barang gadaian tersebut wajib dikembalikan kepada rahin atau ahli  warisnya….” (al-Muhalla, 8/100)

6. Apabila terjadi perbedaan antara rahin dan murtahin

Al-Imam al-Bukhari rahimahullah membuat bab dalam masalah ini dengan judul “Bab apabila rahin dan murtahin berselisih dan semacamnya, bukti-bukti adalah kewajiban pendakwa dan sumpah adalah kewajiban terdakwa yang mengingkari.”

Maksudnya, apabila pendakwa memiliki bukti yang dapat diterima secara syar’i, hal itu menjadi patokan dalam menentukan hukum. Namun, apabila pendakwa tidak dapat mendatangkan bukti dan terdakwa ingin mengingkarinya, terdakwa cukup bersumpah. Lalu beliau menyebutkan hadits dari Ibnu Abi Mulaikah,

كَتَبْتُ إِلَى ابْنِ عَبَّاسٍ فَكَتَبَ إِلَيَّ أَنَّ النَّبِيَّ -صل الله عليه وسلم- قَضَى أَنَّ الْيَمِينَ عَلَى الْمُدَّعَى عَلَيْهِ

“Aku menulissuratkepada Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma. Beliau menulis pula (jawabannya) kepadaku bahwa Nabi Shalallahu ‘alaihi wasallam memutuskan bahwa sumpah itu kewajiban orang yang tertuduh.”

Demikian pula hadits Abu Wail, bahwa Abdullah radhiyallahu ‘anhu mengatakan,

مَنْ حَلَفَ عَلَى يَمِينٍ يَسْتَحِقُّ بِهَا مَالاً وَهْوَ فِيهَا فَاجِرٌ، لَقِيَ اللهَ وَهْوَ عَلَيْهِ غَضْبَانُ، فَأَنْزَلَ اللهُ تَصْدِيقَ ذَلِكَ {إِنَّ الَّذِينَ يَشْتَرُونَ بِعَهْدِ اللهِ وَأَيْمَانِهِمْ ثَمَنًا قَلِيلاً –فَقَرَأَ إِلَى– عَذَابٌ أَلِيمٌ{

Barangsiapa bersumpah dengan sebuah sumpah yang menjadikan dirinya berhak atas suatu harta padahal sumpahnya palsu, dia akan berjumpa dengan Allah dalam keadaan Allah marah kepadanya. Lalu Allah menurunkan ayat yang membenarkannya (artinya), ‘Sesungguhnya orang -orang yang menukar janji (nya dengan) Allah dan sumpah-sumpah mereka dengan harga yang sedikit, mereka itu tidak mendapat bagian (pahala) di akhirat, dan Allah tidak akan berkata-kata kepada mereka, tidak akan melihat kepada mereka pada hari kiamat, dan tidak (pula) akan menyucikan mereka. Bagi mereka azab yang pedih’.” (Ali Imran: 77)

Kemudian, Asy’ats bin Qais keluar menemui kami lalu berkata, “(Abdullah) Abu Abdurrahman menyebutkan hadits apa kepada kalian?” Kami pun menyebutkannya. Beliau mengatakan,

صَدَقَ، لَفِيَّ وَاللهِ أُنْزِلَتْ، كَانَتْ بَيْنِي وَبَيْنَ رَجُلٍ خُصُومَةٌ فِي بِئْرٍ فَاخْتَصَمْنَا إِلَى رَسُولِ اللهِ -صل الله عليه وسلم-: فَقَالَ رَسُولُ اللهِ  -صل الله عليه وسلم-  شَاهِدُكَ أَوْ يَمِينُهُ قُلْتُ: إِنَّهُ إِذًا يَحْلِفُ وَلاَ يُبَالِي. فَقَالَ رَسُولُ اللهِ-صل الله عليه وسلم- مَنْ حَلَفَ عَلَى يَمِينٍ يَسْتَحِقُّ بِهَا مَالاً  هُوَ فِيهَا فَاجِرٌ، لَقِيَ اللهَ وَهْوَ عَلَيْهِ غَضْبَانُ.  فَأَنْزَلَ اللهُ تَصْدِيقَ ذَلِكَ، ثُمَّ اقْتَرَأَ هَذِهِ الآيَةَ: {إِنَّ الَّذِينَ يَشْتَرُونَ بِعَهْدِ اللهِ وَأَيْمَانِهِمْ ثَمَنًا قَلِيلاً – إِلَى – وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ{

“Benar beliau. Dalam urusanku -demi Allah- ayat ini turun. Dahulu antara aku dan seseorang ada pertikaian dalam urusan sebuah sumur. Kami mengadukannya kepada Rasululah Shalallahu ‘alaihi wasallam, maka beliau mengatakan,‘Saksimu atau sumpahnya.’ Aku menjawab,‘Kalau begitu, dia akan bersumpah dan tidak akan peduli.’ Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wasallam berkata,‘Barangsiapa bersumpah dengan sebuah sumpah yang menyebabkan dirinya berhak atas sebuah harta padahal sumpahnya palsu, ia akan berjumpa dengan Allah Subhanahu wata’ala  dalam keadaan Allah Subhanahu wata’ala marah kepadanya.’ Allah Subhanahu wata’ala lalu menurunkan ayat yang membenarkan hal itu.” Lalu beliau membacaayat ini (artinya), “Sesungguhnya orang-orang yang menukar janji (nya dengan) Allah dan sumpah-sumpah mereka dengan harga yang sedikit, mereka itu tidak mendapat bagian (pahala) diakhirat, dan Allah tidak akan berkata-kata kepada mereka, tidak akan melihat kepada mereka pada hari kiamat, dan tidak (pula) akan menyucikan mereka. Bagi mereka azab yang pedih.” (Ali Imran: 77)

Maksud al-Bukhari rahimahullah adalah memahamkan hadits ini sesuai dengan keumumannya, menyelisihi pendapat yang mengatakan bahwa perbedaan dalam hal pergadaian, yang diterima adalah pendapat murtahin selama (nilai utang yang diklaimnya) tidak melebihi nilai barang gadaian. Demikian kata Ibnu Hajar rahimahullah. (Fathul Bari, 5/145)

Dengan demikian, kaidah pemutusan perselisihan dalam hal ini secara garis besar sama dengan perselisihan dalam masalah lain. Untuk melihat pendapatpendapat para ulama secara lebih luas bisa dirujuk pada kitab al-Mughni (6/524).

7. Apabila rahin tidak lagi diketahui orangnya atau tempat tinggalnya.

Abul Harits menukil dari al-Imam Ahmad rahimahullah tentang masalah barang gadaian yang ada dalam kekuasaannya selama bertahun-tahun. Ia telah putus asa untuk mengetahui para pemiliknya. Kata al-Imam Ahmad rahimahullah, “Ia menjualnya dan menyedekahkan sisanya.” Tampak dari riwayat ini bahwa penggadai mengambil haknya terlebih dahulu. (al-Mughni: 6/534-535)

Ada pula riwayat lain dari beliau yang dipahami bahwa murtahin tidak mengambil haknya. Adapun apabila dia membawa urusannya kepada hakim lalu hakim menjualnya dan memberikan haknya kepadanya, itu pun boleh. (al-Mughni, 6/535)

Ditulis oleh  al-Ustadz Qomar Suaidi, Lc

gadaipengadaian