Rekam Jejak Aksi Terorisme di Bumi Nyiur Melambai

Secara tak resmi, gerakan Darul Islam/Negara Islam Indonesia atau yang lebih dikenal dengan DI/TII (Darul Islam/Tentara IslamIndonesia) sudah beroperasi sejak Mei 1948. Namun, baru diproklamirkan oleh Kartosoewirjo pada 7 Agustus 1949 di Cisampak, Kecamatan Cilugagar, Kabupaten Tasikmalaya. Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo adalah nama lengkapnya. Lahir di Cepu, 7 Januari 1907. Kartosoewirjo tak memiliki riwayat pendidikan agama. Pendidikan formalnya dihabiskan dalam sistem pendidikan Belanda. Ia menyelesaikan pendidikan lanjutan atas di ELS (Europeesche Legere School) di Bojonegoro. Tahun 1923 ia melanjutkan studi ke sekolah kedokteran NIAS (Nederlandsch Indische Artsan School) di Surabaya. Di NIAS ini ia masuk kelas persiapan program tiga tahun. Namun, baru setahun belajar di NIAS, Kartosoewirjo dikeluarkan lantaran didapati padanya buku-buku bacaan sosialis dan komunis.

Pada saat itu pemerintah kolonial Belanda sangat antipati dengan gerakan berbau komunis. Buku-buku tersebut ia dapatkan dari pamannya, Marko Kartodikromo, seorang wartawan dan sastrawan yang juga tokoh komunis. Melalui pamannya inilah jiwa politik Kartosoewirjo tumbuh. Bermula mengikuti gerakan Jong Java, sebuah organisasi pemuda Jawa, Kartosoewirjo berpetualang dalam kancah politik. Setelah itu beralih ke Jong Islamieten Bond (JIB), organisasi pemuda Islam Jawa. Melalui organisasi inilah Kartosoewirjo muda berkenalan dengan tokoh-tokoh politik, seperti Agus Salim dan Haji Oemar Said Tjokroaminoto. Keduanya termasuk pimpinan dalam Partai Syarikat Islam (PSI).

Sejak itulah ia mulai belajar Islam secara intens dan kemudian mengarahkannya untuk memasuki kancah perpolitikan dengan wadah organisasi PSI. Karena tak memahami bahasa Arab, Kartosoewirjo belajar Islam melalui bukubuku berbahasa Belanda. Pemahaman keislamannya bertambah mengental saat ia melakukan perawatan karena sakit beri-beri di Malangbong, Garut. Di tempat inilah Kartosoewirjo berinteraksi dengan para kyai Garut. Di antaranya, ia menimba ilmu dari Kyai Ardiwisastera, kelak menjadi mertuanya, Kyai Yusuf Tauziri, Kyai Mustofa Kamil, dan Kyai Ramli. Para kyai tersebut mengajarkan tarekat sufiyah (tasawuf). Mei 1948, ia memproklamirkan diri menjadi imam (pemimpin) Negara Islam Indonesia.

Proklamasi ini adalah babak baru peta perpolitikan di Indonesia saat itu. Apalagi setelah Negara Islam Indonesia diproklamasikan pada tanggal 7 Agustus 1949. Pemerintah Indonesia, saat itu berupaya melakukan langkah dialog dalam rangka membujuk Kartosoewirjo dan pasukannya agar mau kembali ke pangkuan pemerintah Republik Indonesia. Saat itu yang ditunjuk oleh pemerintah sebagai negosiator adalah Muhammad Natsir. Latar belakang Kartosoewirjo melakukan langkah pemberontakan ini disebabkan ketidakpuasannya terhadap langkah pemerintah Indonesia yang menurut anggapannya telah menghancurkan Negara Indonesia dengan menerima perjanjian-perjanjian dengan Belanda. Selain itu, Kartosoewirjo menuding pemerintah Indonesia telah dikuasai orang-orang komunis.

Pemahaman takfir ( mudah mengafirkan orang di luar kelompoknya) pada Kartosoewirjo bisa dilihat saat menyikapi Kyai Yusuf Tauziri. Walaupun Kyai Yusuf adalah gurunya dan telah berinteraksi selama hampir dua puluh tahun, namun ketika Kyai Yusuf tak menyetujui langkah politiknya dengan melakukan pemberontakan terhadap pemerintah dan mendeklarasikan DI/ TII, Sang Imam murka. Kyai Yusuf Tauziri pun dinyatakan murtad, halal darahnya dan boleh diperangi. Karena sikap takfirnya inilah, pondok pesantren Cipari milik Kyai Yusuf diserang. Pasukan bersenjata DI/TII menggempur pesantren Kyai Yusuf berulang kali. Dalam periode tahun 1949 hingga 1958 pesantren tersebut diserang hingga puluhan kali. Gempuran demi gempuran dengan senjata api menyalak berakibat hancurnya gedung pesantren tersebut.

Kyai Yusuf sendiri selalu selamat saat penyerangan itu. Pada 4 Juni 1962, di lembah antara Gunung Sangkar dengan Gunung Geber, sekitar Bandung Selatan, Kartosoewirjo dikepung tiga peleton pasukan TNI. Saat itulah Kartosoewirjo berhasil ditangkap. Penangkapan ini mengakhiri petualangan politik memberontak terhadap pemerintah selama tiga belas tahun. Selama melakukan huru-hara bersenjata, banyak infrastruktur masyarakat Jawa Barat yang rusak berat dan hancur. Produksi pertanian pun merosot tajam. Terjadi pengungsian masyarakat secara besar-besaran dan tentu saja korban jiwa yang tidak sedikit.

Walau Kartosoewirjo tertangkap, diadili lalu dieksekusi mati pada 1962, dan sebagian para tokoh DI/TII ditangkap dan dijebloskan ke penjara, tak berarti gerakan takfir ‘Sang Imam’ berakhir. Bahkan, setelah melakukan pernyataan ikrar kesetiaan terhadap Negara Republik Indonesia, beberapa tokoh tersebut, setelah menghirup udara alam bebas, melakukan konsolidasi terhadap para mantan anggota DI/TII. Mereka melakukan perekrutan kembali terhadap para mantan anggota pasukan DI/TII lalu membentuk wadah yang disebut Komando Jihad. Belum seumur jagung, gerakan mereka terendus oleh pihak aparat. Mereka pun digulung. Di antara pimpinan Komando Jihad yang ditangkap adalah Danu Muhammad Hasan, Dodo Muhammad Darda, Haji Ismail Pranoto (Hispran), dan Gaos Taufik. Mereka ditangkap beserta 700 anggota lainnya.

Sementara itu, tokoh Komando Jihad lainnya, seperti Aceng Kurnia dan Adah Djaelani, berhasil lolos. Mereka lalu melakukan “hijrah” ke satu tempat yang dirahasiakan. “Hijrah” ala DI/TII adalah sebuah konsep perjuangan Kartosoewirjo yang digulirkan sejak masih aktif di Partai Syarikat Islam (PSI). Tahun 1970-an para mantan anggota DI/TII terus berupaya melakukan konsolidasi. Dibuatlah struktur kepengurusan baru untuk melakukan program “jihad” mereka. Dengan itu perjuangan jihad terus berlanjut. Walau pun mereka pernah menyerah kepada aparat keamanan, namun itu dianggap sebagai fase “Hudaibiyah”.

Sebuah fase yang mereka “nukil” dari perjalanan sejarah, yang Nabi n pernah melakukan perjanjian dengan kaum musyrikin Quraisy yang kemudian dikenal dengan Perjanjian Hudaibiyah. Pernyataan semacam itulah yang terucap dari Kartosoewirjo saat ditangkap aparat. Kata Kartosoewirjo, “Tah ieu teh Hudaibiyah jang urang mah (Inilah Hudaibiyah bagi kita).” Dengan kalimat ini, para pengikut DI/ TII senantiasa terinspirasi untuk terus melanjutkan perjuangan menegakkan Negara Islam Indonesia.

Pada 1976, mereka mulai menyusun aksi-aksi teror. Diharapkan aksi-aksi tersebut memberi dampak nasional dan internasional. Gaos Taufik langsung membentuk tim untuk mewujudkan rencana tersebut. Di antara aksinya, melakukan pembajakan pesawat, peledakan-peledakan di berbagai tempat, perampasan senjata, fai’ yaitu melakukan perampokan guna mendanai gerakan mereka (inilah ajaran fai’ yang menyalahi diselewengkan). Aksi perampokan pertama yang mereka lakukan ialah di perkebunan karet di Marbu Selatan,

Sumatra Utara, Juni 1976. Selain itu, mereka pun menggarong di Batang Sereh, Belawan. Aksi teror lainnya, mengebom Rumah Sakit Imanuel di Bukit Tinggi, Gereja Methodis, dan Perguruan Budi Murni, Medan. Di Padang kelompok ini pun meledakkan Masjid Nurul Iman, lalu melakukan pelemparan granat saat diselenggarakan Musabaqah Tilawatil Qur’an (MTQ). Aksi teror berlanjut dengan meledakkan tempat hiburan Bioskop Ria dan Bar Apolo di Medan. Setelah melakukan pengeboman Masjid Nurul Iman, mereka membuat selebaran gelap atas nama Angkatan Muda Kristen Indonesia. Tujuannya, memancing kerusuhan yang lebih dahsyat, konflik horinsontal dengan mengungkit sentimen agama.

Dengan alasan membiayai operasional perjuangan, maka Tim Fai’ dimasukkan dalam struktur organisasi sebagai pasukan khusus (pasus). Adah Djaelani pun memerintahkan untuk melakukan penggalangan dana dengan sistem fai’ ini. Diperintahkan kepada anak buahnya agar mengaktifkan para pelarian anggota DI dari Sumatra. Di antara nama yang disebut adalah Warman, yang dijuluki Macan Haruman. Dalam pelarian, Warman ditunjuk menjadi camat DI di Gunung Haruman. Dengan senjata apinya, ia dikenal kerap membunuh aparat atau penduduk desa yang berkhianat. Pihak aparat menyebut aksi-aksi Warman dan kawan-kawannya dengan istilah “Teror Warman”. Bukti keganasan Warman, ia beserta anggota DI lainnya, yaitu Hasan Bauw, Abdullah Umar, dan Farid Ghazali melakukan aksi pembunuhan terhadap Rektor Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta, Dr. Parmanto, MA, pada 1979. Pembunuhan tersebut dilatari oleh pemaparan Sang Rektor kepada aparat terkait dengan jaringan Darul Islam atau Jamaah Islamiyah.

Selain itu, Sang Rektor adalah orang yang paling bertanggung jawab atas penangkapan Abdullah Sungkar dan Abu Bakar Ba’asyir oleh petugas keamanan. Setelah peristiwa ini, aparat melakukan pengejaran. Akhirnya, terbongkarlah tempat persembunyian salah satu pelaku yang bernama Farid Ghazali. Saat upaya penangkapan, Farid Ghazali mencoba lari dari sergapan petugas. Namun, timah panas aparat lebih cepat dari ayunan kakinya. Farid pun terbunuh. Selang dua hari, Warman mendatangi Hasan Bauw. Pemuda Papua ini dituduh membocorkan persembunyian Farid Ghazali kepada petugas. Atas tuduhan ini, Hasan Bauw harus merasakan balasan dari Warman. Peluru pun menembus tubuh anak muda ini. Dia jatuh terkapar dan mati.

Aksi terbesar pasukan khusus ini adalah melakukan perampokan kantor dinas P & K (Pendidikan dan Kebudayaan) di Kecamatan Banjarsari, Kabupaten Ciamis. Aksi perampokan itu berhasil menuai uang sejumlah hampir 20 juta rupiah. Uang tersebut semula akan dibayarkan untuk menggaji para guru. Ini terjadi pada Mei 1980. Setelah melakukan berbagai aksi, Warman menjadi target buruan petugas. Saat bersembunyi di daerah Soreang, Kabupaten Bandung, petugas melakukan penyergapan malam hari 23 Juli 1981. Saat itu ia bersama istrinya. Saat petugas memerintahkan untuk menyerah, Warman malah mencoba lari. Aparat pun dengan sigap memuntahkan peluru ke tubuh Warman. Laki-laki itu langsung roboh dengan tubuh bersimbah darah. Pada tubuhnya bersarang banyak peluru.

Di tempat persembunyian, petugas menemukan uang, amunisi, jimat bertuliskan huruf Arab, serta beberapa barang lainnya milik sang “Macan Haruman” yang telah tewas. Selain aksi “Teror Warman”, pada 11 Maret 1981 dini hari terjadi penyerangan oleh 14 anggota Komando Jihad terhadap empat polisi di Kosekta 65 Cicendo, Bandung. Keempat orang anggota kepolisian tersebut dibantai hingga meninggal. Namun, tak selang berapa lama para pelaku penyerangan tersebut berhasil ditangkap. Penangkapan terhadap para pelaku penyerangan Kosekta 65 Cicendo, Bandung ternyata bukan akhir dari kisah teror Komando Jihad. Buntut penangkapan membawa implikasi terjadinya pembajakan pesawat DC-9 Woyla milik Garuda pada 28 Maret 1981. Pesawat ini rencananya melayani jalur penerbangan Palembang-Medan. Di tengah perjalanan pesawat dibajak oleh sekawanan teroris. Di bawah komandan Imran bin Muhammad Zein, yang sekaligus sebagai penggagas pembajakan, empat orang pembajak lainnya mengarahkan pesawat menuju Kolombo.

Namun, karena bahan bakar habis, pesawat terpaksa mendarat di Bandar Udara Don Muang, Bangkok, Muang Thai (Thailand). Para pembajak menuntut pembebasan teman-teman mereka yang ditahan dalam kasus Cicendo. Selain itu, mereka meminta tebusan 1,5 juta dolar dan disiapkan pesawat untuk menerbangkan mereka ke Timur Tengah. Jika tuntutan tidak dipenuhi, pesawat akan diledakkan. Namun, rupanya pemerintah tak mau kompromi dengan para pembajak. Hanya dalam tiga hari drama pembajakan tersebut berakhir. Tanggal 31 Maret 1981, pemerintah langsung menurunkan pasukan antiteror dari Kesatuan Parakomando Kopassandha (sekarang Kopassus, -red.). Pembajakan berakhir dengan korban meninggal pilot pesawat tersebut dan seorang anggota Kopassandha.

Adapun para teroris berhasil ditembak mati, sedangkan Imran bin Muhammad Zein berhasil ditangkap yang kemudian dijatuhi hukuman mati. Selain aksi-aksi teror yang dilakukan pasukan khusus, mereka pun melakukan perekrutan anggota baru. Di Medan, Gaos Taufik berhasil merekrut para aktivis Pelajar Islam Indonesia (PII), seperti Timsar Zubil dan kawankawan. Di kemudian hari, Timsar Zubil divonis hukuman mati karena aksi-aksi teror berupa peledakan Bioskop Ria dan Bar Apolo. Di Bandung berhasil direkrut tokoh-tokoh Gerakan Pemuda Islam (GPI), seperti Aja Jarul dan Edi Raidin. Direkrut pula anggota Pemuda Muhammadiyah, seperti Mursalin Dahlan, Udin Wahyudin, dan Hari Riyadi. Di Jawa Tengah, Haji Ismail Pranoto (Hispran, pejuang pertama DI/TII bersama Kartosoewirjo) merekrut Haji Faleh, mantan pengurus Partai Masyumi di Kudus; Abdullah Sungkar dan Abu Bakar Ba’asyir, keduanya adalah pengasuh pesantren Al-Mukmin Ngruki, Grogol, Sukoharjo. Seiring waktu, berbagai perekrutan lainnya dilakukan di berbagai daerah.

Kader-kader baru hasil perekrutan DI ini selanjutnya menjadi agen perekrutan massa. Melalui BPMI (Badan Pembangunan Muslimin Indonesia), Mursalin Dahlan melakukan program pesantren kilat, yaitu kegiatan pelatihan agama dalam waktu singkat yang menumbuhkan ghirah (semangat) berislam. Melalui BPMI ini pula, salah satu kadernya yang pindah ke Malang, berhasil merekrut Muhammad Achwan yang kelak menjadi orang penting di Majelis Mujahidin Indonesia (MMI). Muhammad Achwan lantas ditunjuk sebagai ketua BPMI Cabang Malang. Pada tahun 1982, Mursalin Dahlan melakukan konsolidasi dengan tokohtokoh pesantren kilat di Bandung. Hasil konsolidasi tersebut disepakati bahwa seluruh jaringan BPMI serta pesantren kilat di Jawa Barat dan Jawa Timur akan diwadahi dalam Lembaga Pendidikan dan Pengembangan Pesantren Kilat (LP3K). LP3K beserta kelompok Husein al-Habsyi menjalin kerja sama. Kongsi mereka diwadahi dalam sebuah organisasi bernama Ikhwanul Muslimin. Program IM ala Indonesia ini, selain melakukan kaderisasi melalui pesantren kilat, juga bermaksud mengobarkan revolusi di Indonesia. Mereka pun membuat struktur kepengurusan. Sebenarnya struktur tersebut adalah model yang digagas oleh Ir. Sanusi (salah satu anggota kelompok Petisi 50 yang diprakarsai oleh mantanGubernur DKI Jakarta, Ali Sadikin.

Kelompok Petisi 50 adalah kelompok penentang pemerintahan Soeharto). Ir. Sanusi adalah orang yang didakwa terlibat pengeboman BCA (Bank Central Asia) di kawasan bisnis Cina di Jakarta, awal Oktober 1984. Ir. Sanusi dituduh sebagai orang yang mendanai pengeboman tersebut yang pelaksanaannya melibatkan aktivis GPK (Gerakan Pemuda Kabah). Aksi pengeboman ini terjadi selang beberapa pekan setelah peristiwa Tragedi Tanjungpriok yang banyak menelan korban dari kalangan kaum muslimin. Menjelang Natal 1984, bom-bom rakitan telah disiapkan oleh Ibrahim Jawad, Husein al-Habsyi, Achmad Muladawillah, dan Abdul Kadir al-Habsyi. Mereka akan melakukan aksi pada 24 Desembar 1984, sehari jelang Natal.

“Pesta Natal” dilakukan jelang tengah malam dengan meledakkan kompleks Seminari Al-Kitab Asia Tenggara, Kompleks Gereja Kepasturan Katolik, Malang. Aksi teror ini mengakibatkan penangkapan terhadap Muhammad Achwan dan rekannya, Murjoko. Walaupun terjadi penangkapan terhadap aktivis LP3K, namun tak menyurutkan al-Habsyi dan Ibrahim Jawad yang pernah belajar di Iran ini untuk melakukan aksi teror berikutnya. Mereka merencanakan peledakan Candi Borobudur pada Januari 1985. Pada malam hari, Ibrahim Jawad, Achmad Muladawillah, dan Abdulkadir al-Habsyi masuk ke Candi Borobudur. Mereka membawa 14 bom. Setelah dilakukan pengetesan, hanya 13 bom saja yang diletakkan di Candi Borobudur. Setelah dinihari, bom-bom tersebut meledak. Dari 13 bom yang ditempatkan hanya sembilan yang meledak. Bom-bom itu menghancurkan sembilan stupa beserta arca di dalamnya. Itulah aksi teror dengan kata sandi “camping”.

Setelah sukses melaksanakan camping, mereka merencanakan “Belajar Bahasa Arab”, sebuah kata sandi untuk melakukan pengeboman di Bali. Mengapa Bali dijadikan sasaran? Alasannya, Bali adalah tempat maksiat. Berangkatlah Abdulkadir al-Habsyi, Abdul Hakim, Hamzah alias Supriyono, dan Imam alias Gozali Hasan menuju Bali. Namun, sebelum mereka tiba di Bali, bom-bom rakitan yang mereka bawa meledak terlebih dulu. Ledakan terjadi saat Bus Pemudi Express jurusan Malang— Bali yang mereka tumpangi berada di Kampung Curah Puser, Desa Sumber Kencono, Banyuwangi. Bus itu pun luluh lantak. Ledakan itu menewaskan tujuh penumpang termasuk Abdul Hakim, Hamzah alias Supriyono dan Imam alias Gozali Hasan. Abdul Kadir al-Habsyi hanya cedera di telinga dan berhasil melarikan diri. Anwar Warsidi, ketua pesantren di Way Jepara, Lampung, menampung para anggota DI wilayah Jakarta dan

Solo untuk membangun masyarakat Islam baru. Akibat ulah para anggota DI, mereka diserang oleh TNI di bawah pimpinan Danrem 043/Garuda Hitam, Kol. Hendropriyono, yang kelak menjadi Kepala Badan Intelijen Negara. Peristiwa ini terjadi pada 6—7 Pebruari 1989, yang dikenal sebagai peristiwa GPK (Gerakan Pengacau Keamanan) Warsidi. Di Solo, aparat keamanan tak kalah ketat dalam mengawasi para aktivis DI. Abdullah Sungkar termasuk yang senantiasa dimata-matai oleh intelijen dalam setiap ceramahnya. Dia termasuk penentang pemerintah Soeharto yang menerapkan asas tunggal Pancasila. Akibat ceramah-ceramahnya yang menyerang tajam pemerintah, akhirnya Abdullah Sungkar dan rekannya, Abu Bakar Ba’asyir menjadi buron. Pihak keamanan berupaya menangkap keduanya.

Namun, keduanya berhasil lari ke Jakarta. Dari Jakarta, Abdullah Sungkar dan Abu Bakar Ba’asyir merencanakan pelarian ke Malaysia melalui Medan. Pada hari yang ditentukan, mereka berdua disertai Adung dan seorang murid lainnya, menuju ke Tanjung Balai, Asahan. Dari sanalah mereka menyeberang menuju negara tetangga, Malaysia. Singkat kisah, dari Malaysia keduanya berusaha ke Saudi Arabia. Keinginan itu terlaksana. Dari Saudi Arabia, mereka ke Pakistan dan bertemu dengan Abdur Robbi Rasul Sayyaf. Pembicaraan keduanya dengan Abdur Robbi Rasul Sayyaf menjajaki kemungkinan pengiriman kader-kader DI dari Indonesia untuk pelatihan militer di Afghanistan.

Pada tahun 1985, Jamaah Darul Islam mulai mengirim para kader-kadernya ke Afghanistan. Para kader itu ikut pelatihan militer yang diselenggarakan oleh al-Ittihad al-Islamy. Di antara para kader tersebut adalah Ali Ghufron alias Muklas, Enceng Nurjaman alias Hanbali, Fathurohman al-Ghozi, Ainul Bahri alias Abu Dujana, Abdul Aziz alias Qudama alias Imam Samudra, dan lain-lain. Mereka dididik dalam urusan persenjataan, bahan peledak, dan lain-lainnya. Pada April 1999, kelompok AMIN (Angkatan Mujahidin Islam Nusantara) yang di antaranya tokohnya adalah Arif Fadhillah alias Abu Dzar, yang meninggal di Sirisori pada 2000 dalam konflik Ambon, yang anggotanya merupakan rekrutmen mantan preman Tanjungpriok dan Tanahabang, Jakarta. Mereka bertanggung jawab atas perampokan BCA dan peledakan yang hampir bersamaan di depan Hayam Wuruk Plaza. Demikian juga pengeboman Masjid Istiqlal, Jakarta, yang terjadi empat hari setelah peristiwa perampokan dan peledakan di atas. Kompi AMIN terlibat pula dalam pembacokan terhadap Matori Abdul Jalil yang ketika itu menjabat Ketua Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), pada 5 Maret 2000.

Berikut aksi-aksi pengeboman yang terjadi di Indonesia, dengan pelaku tak semata anggota Jamaah Islamiyah (JI). Ahad, 28 Mei 2000, satu bom meledak di gereja GKPI Jl. Jamin Ginting, Padang Bulan, Medan. Sebanyak 20 jemaat terluka. Beberapa jam kemudian aparat berhasil menjinakkan bom di gereja HKBP Jl. Imam Bonjol dan gereja Kristus Raja Jl. MT. Haryono, Medan. Agustus 2000 terjadi penyerangan terhadap gereja GKII di Jalan Bunga Kenanga, Padang Bulan, Medan. Setelah itu bom natal 2000 pun berhamburan meledak. Pada 24 Desember 2000 aksi bom natal serentak di delapan kota di Tanah Air. Di Bandung, bom meledak saat dirakit. Peristiwa ini menewaskan Jabir sebagai komandan lapangan dan wakilnya, Akim Akimudin.

Masih pada tahun 2000, Kedutaan Besar Filipina untuk Indonesia pun dibom. Diiringi pula ledakan bom di Bursa Efek Jakarta, 13 September 2000. Ledakan bom di Bursa Efek Jakarta mengakibatkan 15 orang tewas, ditengarai pelakunya dari GAM (Gerakan Aceh Merdeka). Aksi fai’ terjadi pada akhir Agustus 2002. Imam Samudra dan kawankawan berhasil merampok toko emas “Elita” di Serang, Banten, dalam rangka mendanai Bom Bali I. Rentetan lain aksi terorisme yang menodai Bumi Nyiur Melambai adalah Bom Bali I, Oktober 2002. Disusul kemudian Bom Kedutaan Australia pada 2004, yang tokoh utama dan pertama ditangkap adalah Agus Ahmad Hidayat, meskipun otak pelaku pengeboman adalah Dr. Azahari dan Noordin M. Top.

Pada Maret 2004, terjadi penangkapan terhadap Aman Abdurrahman alias Oman Rochman, salah seorang dai Yayasan Al-Sofwa Jakarta, pelaku peledakan bom di Cimanggis. Pada 15 Oktober 2004 bom meledak di Cicurug, Sukabumi. Pelakunya adalah Jabir alias Gempur alias Nanang. Selain itu, Bom Bali II pada 2005 serta bom Hotel JW Marriot dan Hotel Ritz Carlton pada 2009, penyerangan sekawanan teroris terhadap Mapolsek Hamparan

Perak, Deli Serdang, Sumatra Utara pada September 2010. Juga terjadi bom bunuh diri di Masjid Adz-Dzikra, Kantor Mapolres Cirebon Kota pada 15 April 2011. Disusul oleh peristiwa bom bunuh diri lagi di GBIS Kepunton, Solo pada Ahad, 25 September 2011. Terkait aksi pengeboman yang dilakukan para teroris, di antara pelaku pengeboman tersebut adalah orangorang baru. Ini menandakan bahwa pasca-Bom Bali I, perekrutan terhadap anggota jamaah baru terus berlangsung.

Di sinilah bukti kuat bahwa terorisme di Indonesia, bahkan dunia, adalah gerakan yang bersifat laten. Sel-sel organisasi mereka masih aktif dan tersebar di berbagai tempat. Karena itu, bahaya laten terorisme masih tetap ada. Wallahu a’lam.

Sumber Bacaan

Gerakan Moderen Islam di Indonesia 1900—1942, Deliar Noer, LP3ES, 1996. Tinjauan Sejarah & Islam Teror NII, Abu Mujahid, Toobagus Publishing, 2011. NII Sampai JI Salafy Jihadisme Di Indonesia, Solahudin, Komunitas Bambu, 2011.

Arsip pribadi Abu Mujahid, tidak diterbitkan.

Ditulis oleh Al-Ustadz Abulfaruq Ayip Syafrudin

terorisme