Fitnah atau ujian senantiasa hadir dalam perjalanan hidup manusia. Fitnah akan semakin besar ketika manusia jauh dari agamanya. Kembali kepada ulama sebagai orang yang paling mengerti hukum-hukum Allah dan yang paling takut kepada-Nya merupakan jalan yang mesti ditempuh bila ingin keluar dari lingkaran fitnah.
Fitnah adalah sebuah ungkapan yang sangat ditakuti oleh segenap manusia. Hampir-hampir tak seorang pun kecuali akan berusaha menghindarinya.
Begitulah Allah subhanahu wa ta’ala menjadikan tabiat manusia ingin selalu terhindar dari hal-hal yang menakutkan atau membahayakan.
Lebih dari itu, dalam pandangan syariat Islam, secara umum fitnah adalah sesuatu yang harus dihindari. Oleh karenanya, ayat-ayat Al Qur’an dan hadits-hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam begitu banyak mewanti-wanti kita dari fitnah sehingga tidak sedikit dari para ulama menulis buku khusus atau meletakkan bab khusus dalam buku-buku mereka, menjelaskan perkara fitnah baik dari sisi makna atau bentuk dan gambarannya, atau sikap yang mesti diambil saat menghadapi fitnah. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَٱتَّقُواْ فِتۡنَةٗ لَّا تُصِيبَنَّ ٱلَّذِينَ ظَلَمُواْ مِنكُمۡ خَآصَّةٗۖ
“Dan peliharalah dirimu dari fitnah yang tidak khusus menimpa orang-orang yang dzalim saja di antara kamu.” (al-Anfal: 25)
Juga Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
فَلۡيَحۡذَرِ ٱلَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنۡ أَمۡرِهِۦٓ أَن تُصِيبَهُمۡ فِتۡنَةٌ أَوۡ يُصِيبَهُمۡ عَذَابٌ أَلِيمٌ ٦٣
“Maka hendaknya orang-orang yang menyalahi perintah-Nya takut akan ditimpa fitnah atau ditimpa adzab yang pedih.” (an-Nur: 63)
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda dalam hadits yang diriwayatkan Al-Bukhari dari shahabat Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, “Zaman-zaman akan saling berdekatan, amalan akan berkurang, sifat pelit akan diberikan, fitnah dan haraj akan banyak.” Para shahabat berkata, “Apakah itu?” Beliau menjawab, “Pembunuhan.”
Demikian pula Abdullah bin Umar radhiallahu ‘anhuma menceritakan apa yang beliau alami dari peringatan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap fitnah, “Kami dahulu duduk-duduk bersama Nabi, maka beliau menyebut fitnah dan berulang kali menyebutnya.” (HR. Abu Dawud dan dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Abu Dawud no. 42431)
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga menyatakan, “Segeralah beramal, karena akan terjadi fitnah-fitnah seperti potongan-potongan malam yang gelap, seorang di waktu pagi sebagai mukmin dan masuk sore menjadi kafir atau di waktu sore sebagai mukmin, di waktu pagi menjadi kafir, ia menukar agamanya dengan harta benda dunia.” (HR. Muslim)
Demikian mengerikan fitnah-fitnah itu. Karenanya beliau bersabda, “Sesungguhnya orang yang berbahagia adalah yang benar-benar dijauhkan dari fitnah-fitnah dan yang diberi cobaan lalu bersabar.” (HR. Abu Dawud dan dishahihkan Al-Albani dalam Ash-Shahihah: 975) Bahkan dalam lafadz yang lain beliau mengulang-ulang kalimat pertamanya sampai 3 kali.
Makna Fitnah
Apa yang dimaksud dengan fitnah? Apakah berarti tuduhan tanpa bukti sebagaimana makna yang dipahami masyarakat? Untuk mengetahui maksudnya kami akan menukilkan penjelasan salah seorang ulama ahli tafsir Al Qur’an yaitu Asy-Syaikh Muhammad Asy-Syinqithi. Beliau berkata: “Penelitian Al Qur’an menunjukkan bahwa kata fitnah dalam Al Qur’an jika disebut secara mutlak memiliki 4 makna, yaitu membakar dengan api, cobaan dan ujian, hasil yang jelek dari cobaan, dan hujjah.” (Lihat Adhwa’ul Bayan 6/254-255)
Disebut pula dalam kamus-kamus bahasa Arab bahwa artinya perbedaan-perbedaan pendapat manusia dan kegoncangan pemikiran mereka (Kamus Al-Muhith dan Al-Mu’jam Al-Wasith).
Dari uraian makna fitnah di atas, menjadi jelas gambaran-gambaran fitnah di dunia ini, di antaranya:
Pertama, banyaknya kelompok dan aliran yang menisbatkan diri mereka kepada Islam.
Kedua, pembantaian yang menimpa kaum muslimin di berbagai belahan dunia.
Ketiga, kedzaliman yang dilakukan oleh para umara (penguasa).
Keempat, kesimpangsiuran pendapat dalam perkara-perkara baru yang membutuhkan pembahasan para ulama dan lain-lain.
Dalam menghadapi fitnah-fitnah yang ada, Ahlus Sunnah wal Jamaah telah memberikan tuntunan berupa sikap yang bijaksana sehingga dapat menghalau fitnah-fitnah itu atau meminimalkannya. Di antara sikap yang sangat penting dalam hal ini adalah merujuk kepada para ulama, meminta bimbingan dan pengarahan mereka dalam menghadapinya.
Mengapa demikian? Kenapa perkara ini tidak diserahkan kepada masing-masing individu saja agar mereka menentukan sikap sendiri-sendiri? Menjawab pertanyaan yang terkadang muncul itu, kita katakan bahwa perkara fitnah bukan perkara biasa, bahkan perkara yang amat berbahaya sebagaimana telah disinggung. Dan tidak setiap orang bisa menyikapinya dengan tepat dan bijak sehingga kita kembalikan kepada para ulama karena beberapa hal.
Pertama, karena fitnah pada awal munculnya tidak ada yang mengetahui kecuali para ulama. Kalau sudah pergi baru orang-orang jahil ikut mengetahuinya sebagaimana dijelaskan oleh Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu.
Kedua, menyikapi fitnah sangat diperlukan pertimbangan maslahat (keuntungan) dan mafsadah (kerusakan) yang akan diakibatkan, terutama yang berkaitan erat dengan syariat. Dan yang sangat mengerti dalam masalah ini adalah para ulama. Juga peninjauan perkara itu dilihat dari sekian banyak sisi syariat yang tidak mungkin bagi orang awam bahkan pemula thalibul ilmi (penuntut ilmu agama) untuk memahami perkara yang sifatnya umum dan menyeluruh.
Sehubungan dengan ini Al-Imam An-Nawawi menjelaskan, jika sebuah kemungkaran ada pada masalah-masalah yang pelik baik dari perbuatan atau perkataan dan membutuhkan ijtihad, maka tiada jalan bagi orang awam untuk terlibat di dalamnya. Itu hanya hak para ulama.
Ketiga, bahwa Islam telah memberikan tuntunan-tuntunan yang berkaitan dengan fitnah dan yang mengetahuinya adalah para ulama.
Keempat, Islam memerintahkan dan menganjurkan untuk bertanya kepada ahlu dzikir (ulama) pada permasalahan yang tidak diketahuinya. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
فَسَۡٔلُوٓاْ أَهۡلَ ٱلذِّكۡرِ إِن كُنتُمۡ لَا تَعۡلَمُونَ ٤٣
“Bertanyalah kepada ahlu dzikr jika kalian tidak mengetahui.” (an-Nahl: 43)
Kelima, mengembalikan perkara ini kepada orang-orang awam akan mengakibatkan terpecahnya persatuan kaum muslimin.
Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan menyatakan, “Allah subhanahu wa ta’ala menjadikan perkara-perkara perdamaian dan peperangan serta urusan-urusan yang sifatnya umum dan menyeluruh kembalinya kepada para umara dan ulama secara khusus. Dan tidak boleh masing-masing individu terlibat dalam masalah ini, karena yang demikian akan mengacaukan urusan dan memecah persatuan serta memberikan peluang kepada orang-orang yang memiliki tujuan jahat yang selalu menanti-nanti bencana untuk kaum muslimin.” (Lihat Qawa’id fitta’amul ma’al ulama’: 120-122)
Keenam, yang mampu menganalisa hakekat akibat dari fitnah adalah para ulama yang benar-benar kokoh dalam berilmu.
Ibnul Qayyim menjelaskan, “Tidak setiap orang yang mengerti fiqh dalam bidang agama mengerti takwil, hakekat yang berakhir padanya sebuah makna. Yang mengetahui perkara ini khusus orang-orang yang kokoh dalam berilmu.” (subhanahu wa ta’ala’lamul Muwaqqi’in 1:332)
Beberapa alasan tersebut sangat cukup untuk menjadi landasan dalam berpijak di atas prinsip ini yaitu merujuk para ulama dalam perkara fitnah. Dan alangkah baiknya kalau kita merenungi beberapa ayat atau hadits yang memerintahkan atau mengandung anjuran untuk melakukan hal ini sebagaimana telah diisyaratkan di atas.
Firman Allah subhanahu wa ta’ala,
فَسَۡٔلُوٓاْ أَهۡلَ ٱلذِّكۡرِ إِن كُنتُمۡ لَا تَعۡلَمُونَ ٤٣
“Bertanyalah kepada ahlu dzikr jika kalian tidak mengetahui.” (an-Nahl: 43)
Asy-Syaikh Abdurrahman As-Sa’di menjelaskan dalam tafsirnya, “Bertanyalah kepada ahli ilmu… sesungguhnya Allah subhanahu wa ta’ala memerintahkan siapa saja yang tidak mengetahui untuk rujuk kepada mereka dalam seluruh kejadian…” (Taisir al-Karimir Rahman hal. 441)
وَإِذَا جَآءَهُمۡ أَمۡرٞ مِّنَ ٱلۡأَمۡنِ أَوِ ٱلۡخَوۡفِ أَذَاعُواْ بِهِۦۖ وَلَوۡ رَدُّوهُ إِلَى ٱلرَّسُولِ وَإِلَىٰٓ أُوْلِي ٱلۡأَمۡرِ مِنۡهُمۡ لَعَلِمَهُ ٱلَّذِينَ يَسۡتَنۢبِطُونَهُۥ مِنۡهُمۡۗ
“Dan apabila datang kepada mereka suatu cerita tentang ketentraman atau ketakutan mereka lalu menyiarkannya. Dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan ulil amri di antara mereka tentulah orang-orang yang mampu menyimpulkan di antara mereka akan mengetahuinya.” (an-Nisa: 83)
Asy-Syaikh Abdurrahman As-Sa’di menerangkan hukum-hukum yang terkandung di dalamnya, katanya, “Ini adalah teguran dari Allah subhanahu wa ta’ala kepada hamba-hamba-Nya dari perbuatan yang tidak sepantasnya. Seharusnya jika sampai kepada mereka suatu perkara dari perkara-perkara penting dan maslahat yang bersifat menyeluruh yang berkaitan dengan keamanan dan kebahagiaan kaum muslimin, atau ketakutan yang mengandung musibah, mereka mengecek dan tidak terburu-buru menyebarkan kabar, tapi mengembalikan pada Rasul dan kepada Ulil Amri di antara mereka. Yaitu orang-orang yang memiliki pendapat yang baik, ilmu, keinginan yang baik, berakal dan memiliki kebijakan, yang memahami perkara-perkara dan mengetahui maslahat serta mafsadah. Jika mereka (ulil amri dan para ulama) memandang panyebarannya ada maslahat dan memberi semangat kaum mukminin, kebahagiaan dan keselamatan dari musuh, mereka akan melakukannya. Tapi jika mereka memandang tidak ada maslahat atau ada tapi mudharatnya lebih besar, mereka tidak akan menyiarkannya.”
Lalu beliau menyatakan, “Dalam penjelasan ini terkandung sebuah kaedah beradab, yaitu jika ada pembahasan sebuah perkara, hendaknya diserahkan kepada ahlinya (dalam hal ini ulama) dan jangan mendahului mereka. Itu lebih dekat kepada kebenaran dan lebih selamat dari kesalahan. Dan ayat itu mengandung larangan terburu-buru menyebarkan berita saat mendengarnya. Di dalamnya juga terdapat perintah untuk berfikir sebelum berbicara, bila ada maslahatnya maka dia maju, bila tidak maka menahan diri. (Taisir Al-Karimir Rahman: 198)
Firman Allah subhanahu wa ta’ala:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ أَطِيعُواْ ٱللَّهَ وَأَطِيعُواْ ٱلرَّسُولَ وَأُوْلِي ٱلۡأَمۡرِ مِنكُمۡۖ
“Wahai orang-orang yang beriman taatilah Allah dan taatilah Rasul dan ulil amri di antara kalian.” (an-Nisa: 59)
Masalah fitnah biasanya juga mengundang kontroversi. Makanya kita mesti mengembalikannya kepada Allah subhanahu wa ta’ala dan Rasul-Nya yakni Al-Kitab dan As-Sunnah. Dan yang memahami benar-benar hukum yang terkandung di dalamnya adalah para ulama.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidakkah mereka bertanya ketika mereka tidak tahu, sesungguhnya obatnya bodoh itu hanya bertanya…” (HR. Abu Dawud dari Jabir bin Abdillah, dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahihul Jami’ no: 4362)
Telah dimaklumi bahwa kita diperintah untuk bertanya kepada Ahlu Dzikr yakni ulama, sebagaimana ayat yang lalu.
Dalam kisah seorang yang membunuh 99 jiwa, lalu ingin bertaubat disebut di sana: Maka ia ditunjukkan kepada seorang ahli ibadah, lalu ia mendatanginya dan menyatakan bahwa telah membunuh 99 jiwa, bisakah bertaubat? Jawabnya: “Tidak.” Maka dibunuhnya sekalian sehingga genap menjadi 100.
Kemudian ia mencari orang yang paling alim dimuka bumi ini, maka ditunjukkanlah dia kepada seorang ulama lalu ia katakan kepadanya bahwa telah membunuh 100 jiwa apakah bisa bertaubat? Jawabnya: “Ya, apa yang menghalangi antara kamu dengan taubat?” (HR. Muslim dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiallahu ‘anhu)
Dalam hadits ini nampak jelas perbedaan antara seorang ulama dengan ahli ibadah. Fatwa seorang ulama membawa maslahat, sebaliknya fatwa seorang ahli ibadah tapi tanpa ilmu membawa mafsadah. Oleh karenanya Asy-Sya’bi menyatakan: “Apa yang datang kepadamu dari para shahabat Nabi, ambillah. Dan tinggalkan olehmu Sha’afiqah. Yakni yang tidak berilmu.”(Syarhus Sunnah Baghawi 1/318)
Atas dasar itu, prinsip ini menjadi pilihan para ulama Ahlus Sunnah sebagaimana dikatakan oleh Abu Hatim Ar-Razi, “Pilihan kami dalam masalah-masalah yang tidak terdapat padanya riwayat dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, para shahabat dan tabi’in, adalah apa yang dipilih para imam Ahlus Sunnah di berbagai negeri…, dan meninggalkan (membuang) ide serta pendapat orang-orang yang mengaburkan masalah (dan seakan) menghiasinya, yaitu dari kalangan para pendusta.” (Syarh Ushul subhanahu wa ta’ala’tiqad Al Lalika’i: 1/202-323)
Hal ini juga ditegaskan Ibnul Qayyim melalui penjelasannya, “Seorang yang memahami kitab Allah subhanahu wa ta’ala, Sunnah Rasulullah, dan ucapan shahabat dialah yang berhak berijtihad pada perkara nawazil (kejadian atau masalah yang baru). Golongan inilah yang boleh berijtihad dan boleh diminta fatwa.” (subhanahu wa ta’ala’lamul Muwaq’in, 4/212)
Uraian di atas baik dari ayat, hadits serta penjelasan para ulama merupakan dasar yang sangat kuat yang melandasi tegaknya prinsip ini. Maka hendaknya kita berusaha keras untuk tidak bergeser darinya meskipun hanya sejengkal?
Ditulis oleh al-Ustadz Qomar Suaidi, Lc.