Tetangga saya peminum khamr dan suka mengganggu saya dengan ucapannya. Terkadang dia sangat baik terhadap saya, namun di waktu yang sama pula dia mengajak saya bertengkar. Lalu apa yang harus saya perbuat dengan tetangga yang seperti itu? Berilah kami fatwa, jazakumullah kulla khairin.
Jawab:
Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan hafizhahullah menjawab, “Tidak diragukan bahwa tetangga punya hak di dalam Islam dan Allah k telah mewasiatkan untuk berbuat baik kepada tetangga. Allah l berfirman:
“Beribadahlah kalian kepada Allah dan janganlah kalian mempersekutukan-Nya dengan sesuatupun. Dan berbuat baiklah kepada kedua orangtua, karib kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, teman sejawat, ibnu sabil, dan hamba sahaya kalian…” (An-Nisa’: 36)
Nabi n bersabda:
مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلاَ يُؤْذِي جَارَهُ
“Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka janganlah ia mengganggu tetangganya.”1
Atau sebagaimana disabdakan beliau n.
Dengan demikian jelaslah bahwa tetangga punya hak untuk mendapatkan kebaikan.
Adapun penyampaian anda bahwa tetangga anda suka berbuat dosa besar, ia minum khamr, maka kewajiban anda adalah menasihatinya, mengingkari perbuatannya tersebut, serta menakut-nakutinya dengan Allah k. Juga mengabarkan kepadanya, selama ia beriman kepada Allah l dan hari akhir, maka dia wajib bertaubat kepada Allah l dari maksiat, perkara yang membinasakan dan merupakan dosa besar tersebut. Wajib bagi kalian menasihati dan mengingatkannya. Semoga Allah l memberikan hidayah kepadanya dengan sebab kalian. Ia punya hak terhadap kalian. Terlebih lagi keberadaannya sebagai tetangga kalian. Namun bila ia tetap melakukan dosa setelah dinasihati dan tidak mau bertaubat maka engkau boleh memboikotnya karena Allah l, dengan tidak mengajaknya bicara dan tidak duduk bersamanya, sampai ia mau bertaubat kepada Allah l.
Bila ia mengganggu dan menyakitimu, engkau wajib bersabar dan membalasnya dengan perbuatan baik. Karena membalas kejelekan dengan kebaikan termasuk sifat orang yang beriman, dan termasuk perkara yang Allah l perintahkan2. Namun disertai dengan apa yang telah kami sebutkan yaitu tetap memberikan nasihat dan peringatan. Bila memang dibutuhkan untuk memboikotnya, maka diboikot dengan tidak diajak bicara dan tidak duduk-duduk bersamanya, semoga dengan itu ia sadar dan menjadi sebab taubatnya.” Wallahu a’lam bish-shawab.
(Majmu’ Fatawa Fadhilatusy Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan, 2/710-711)
DONOR DARAH
Boleh atau tidak saudara laki-laki saya menyumbangkan darahnya untuk istri saya?
Jawab:
Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan Al Fauzan hafizhahullah menjawab, “Tidak ada larangan dalam hal ini bila memang keadaannya darurat untuk memberikan transfusi darah kepada istrimu. Boleh donor darahnya dari saudara laki-lakimu ataupun dari selainnya. Tidak ada larangan dalam hal ini, insya Allah.”
(Majmu’ Fatawa Fadhilatusy Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan, 2/712)
KEMATIAN ANAK
Saya memiliki adik lelaki yang masih kecil, usianya sekitar setahun. Namun ia telah meninggal dunia setelah meneguk sedikit racun cair yang diletakkan oleh saudara perempuannya di depan pintu tanpa sepengetahuan ibu kami. Adik kecil saya itu mengambil wadah yang berisi racun tersebut, lalu meminumnya hingga ia meninggal dunia. Karena ibu saya sangat sedih dengan kematian adik saya itu, beliaupun meneguk bekas cairan yang diminum oleh adik saya untuk mengetes apakah racun tersebut berpengaruh pada dirinya sebagaimana berpengaruh pada anaknya ataukah tidak. Lantas apakah ibu saya berdosa meminum racun tersebut? Ada atau tidak kafarah baginya dikarenakan anaknya telah meminum racun tersebut?
Jawab:
Asy-Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan hafizhahullah menjawab, “Yang pertama dari arahan kami adalah anak-anak sepantasnya mendapatkan penjagaan, pemeliharaan, dan dijauhkan dari segala hal yang dapat membahayakan mereka. Mereka tidak boleh ditinggalkan di hadapan atau di sisi sesuatu yang bisa membahayakan mereka.
Tentang diletakkannya wadah yang berisi racun dan diminum si anak yang kemudian membawa pada kematiannya, apakah ada tuntutan terhadap ibu si anak? Bila si ibu bermudah-mudah/bersikap tidak peduli, ia membiarkan anak kecilnya berada di samping cairan yang berbahaya sehingga ia akan meminumnya, maka si ibu wajib membayar kafarah dengan memerdekakan seorang budak bila memungkinkan. Bila tidak, ia berpuasa dua bulan berturut-turut sebagai kafarah kelalaiannya terhadap si anak. Adapun bila si ibu tidak bersifat demikian, ia tinggalkan anaknya di tempat yang jauh dari barang berbahaya namun si anak mendatangi sendiri tempat barang berbahaya tersebut dan meneguknya maka si ibu tidak menanggung kewajiban membayar kafarah.
Mengenai pertanyaan, si ibu ikut meneguk racun yang membawa kematian putranya tersebut untuk mengetes apakah memang cairan itu dapat membunuh jiwa atau tidak, maka ini tidaklah dibolehkan. Karena tidak boleh seseorang meminum sesuatu yang bermudarat dalam rangka percobaan. Saya meyakini si ibu melakukan hal tersebut karena rasa kasih dan sayangnya kepada si anak. Ia ingin merasakan apa yang dirasakan putranya dari cairan tersebut. Ia pun ingin meringankan penyesalan jiwanya dan ia ingin melihat apakah cairan tersebut berbahaya atau tidak. Akan tetapi ia tetap salah berbuat demikian, karena ia menghadapkan dirinya pada bahaya. Sementara Allah l berfirman:
“Janganlah kalian menjatuhkan diri kalian kepada kebinasaan.” (Al-Baqarah: 195)
Takdir pun terlaksana, walhamdulillah (tidak membawa kepada kebinasaan jiwanya sebagaimana anaknya), maka wajib baginya bersabar dan mengharapkan pahala atas kematian anaknya. Bila ia seorang yang bermudah-mudah dan suka lalai memerhatikan si anak, wajib baginya membayar kafarah.” Wallahu a’lam bish-shawab. (Majmu’ Fatawa Fadhilatusy Syaikh Shalih bin Fauzan Al-Fauzan, 2/596-597)
1 Diriwayatkan oleh Al-Imam Al-Bukhari dalam Shahih-nya no. 6018 dan Muslim no. 172, dari hadits Abu Hurairah z. –pent.
2 Allah l berfirman:
“Dan tidaklah sama kebaikan dengan kejahatan. Tolaklah kejahatan itu dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia ada permusuhan, seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia.” (Fushshilat: 34) -pent.