Safar merupakan bagian hidup setiap muslim dalam rangka menjalankan ketaatan kepada Rabb-nya atau untuk meraih kemaslahatan duniawinya. Termasuk kesempurnaan agama ini serta kemudahan-kemudahan yang ada di dalamnya, Allah subhanahu wa ta’ala menetapkan hukum-hukum safar serta mengajarkan adab-adabnya di dalam Al-Kitab dan Sunnah Nabi-Nya shallallahu alaihi wa sallam.
Pengertian Safar
Dalam bahasa Arab, safar berarti menempuh perjalanan.
Adapun secara syariat safar adalah meninggalkan tempat bermukim dengan niat menempuh perjalanan menuju suatu tempat. (Lisanul Arab, 6/277; asy-Syarhul Mumti’, 4/490; Shahih Fiqhus Sunnah, 1/472)
Batasan Safar
Para ulama berbeda pendapat tentang jarak perjalanan yang telah dianggap sebagai safar. Imam ash-Shan’ani rahimahullah menyebutkan ada sekitar dua puluh pendapat dalam masalah ini sebagaimana dihikayatkan oleh Ibnul Mundzir. (Subulus Salam, 3/109)
Di sini akan kita sebutkan beberapa pendapat.
-
Jarak minimal suatu perjalanan dianggap/disebut safar adalah 4 barid = 16 farsakh = 48 mil = 85 km.
Ini adalah pendapat Ibnu Umar, Ibnu Abbas, al-Hasan al-Bashri, az-Zuhri, Malik, Ahmad, dan asy-Syafi’i. Dalilnya adalah riwayat dari Ibnu Umar dan Ibnu Abbas radhiyalllahu anhum,
كَانَا يُصَلِّيَانِ رَكْعَتَيْنِ وَيُفْطِرَانِ فِي أَرْبَعَةٍ بُرُدٍ فَمَا فَوْقَ ذَلِكَ
“Beliau berdua (Ibnu Umar dan Ibnu Abbas) shalat dua rakaat (qashar) dan tidak berpuasa dalam perjalanan empat barid atau lebih dari itu.” (Diriwayatkan al-Baihaqi dengan sanad yang sahih, dan al-Bukhari dalam Shahih-nya secara mu’allaq)
Mereka juga berdalil dengan sabda Nabi shallallahu alaihi wa sallam,
يَا أَهْلَ مَكَّةَ، لاَ تَقْصُرُوا الصَّلَاةَ فِي أَقَلِّ مِنْ أَرْبَعَةِ بُرُدٍ مِنْ مَكَّةَ إِلَى عَسْفَانَ
“Wahai penduduk Makkah, janganlah kalian meng-qashar shalat (dalam perjalanan) kurang dari empat barid dari Makkah ke Asfan.” (HR. ad-Daraquthni dan al-Baihaqi. Hadits ini dha’if sekali karena ada dua perawi yang dha’if: Abdul Wahhab bin Mujahid bin Jabr dan Ismail bin Iyasy. Lihat al-Irwa’, no. 565)
-
Jarak minimal sebuah perjalanan dianggap/disebut safar adalah sejauh perjalanan 3 hari 3 malam (berjalan kaki atau naik unta).
Ini adalah pendapat Ibnu Masud, Suwaid bin Ghafalah, asy-Sya’bi, an-Nakha’i, ats-Tsauri, dan Abu Hanifah. Dalilnya adalah hadits Ibnu Umar radhiyallahu anhuma,
لاَ تُسَافِرُ الْمَرْأَةُ ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ إِلاَّ مَعَ ذِي مَحْرَمٍ
“Tidak boleh seorang wanita safar selama tiga hari kecuali bersama mahramnya.”[1] (HR. al-Bukhari, “Kitabul Jum’ah”, “Bab Fi Kam Yaqshuru ash-Shalah”, no. 1034)\
Baca juga:
-
Jarak minimal sebuah perjalanan dianggap safar adalah sejauh perjalanan sehari penuh.
Pendapat ini dipilih oleh al-Auza’i dan Ibnul Mundzir.
Masih ada beberapa pendapat yang lain dalam masalah ini.
Adapun riwayat yang paling kuat dalam masalah ini adalah hadits Anas radhiyallahu anhu,
كَانَ رَسُولُ اللهِ إِذَا خَرَجَ مَسِيْرَةَ ثَلَاثَةِ أَمْيَالٍ أَوْ ثَلَاثَةِ فَرَاسِخَ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ
“Dahulu Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam apabila beliau keluar sejauh 3 mil atau 3 farsakh beliau shalat dua rakaat (yakni meng-qashar shalat).” (HR. Muslim, “Kitab Shalatul Musafirin wa Qashruha”, “Bab Shalatul Musafirin wa Qashruha”, no. 1116)
Akan tetapi, dalam riwayat di atas tidak dipastikan apakah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam meng-qashar shalat pada jarak 3 mil atau 3 farsakh. Dengan demikian, riwayat ini tidak bisa dijadikan hujah dalam membatasi jarak safar.
Adapun larangan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam terhadap seorang wanita yang safar sejauh perjalanan tiga hari tanpa mahram, maka tidak ada hujah dalam hadits tersebut[2]. Sebab, hadits tersebut tidak menunjukkan bahwa safar tidak terwujud atau terjadi kecuali dalam jarak perjalanan tiga hari. Hadits itu hanya menunjukkan larangan bagi seorang wanita untuk safar tanpa disertai mahram.
Baca juga:
Hal ini ditunjukkan pula dalam riwayat yang lain dari sahabat Abu Sa’id radhiyallahu anhu dalam riwayat Imam al-Bukhari dan Imam Muslim. Di dalamnya terdapat lafaz يَوْمَيْنِ (dua hari),
لاَ تُسَافِرُ الْمَرْأَةُ يَوْمَيْنِ إِلاَّ وَمَعَهَا زَوْجُهَا أَوْ ذُو مَحْرَمٍ
“Tidak boleh seorang wanita safar selama dua hari kecuali bersama suami atau mahramnya.”
Dalam riwayat yang lain disebutkan dengan lafaz يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ (satu hari satu malam),
لاَ يَحِلُّ لِامْرَأَةٍ تُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ أَنْ تُسَافِرَ مَسِيرَةَ يَوْمٍ وَلَيْلَةٍ لَيْسَ مَعَهَا مَحْرَمٍ
“Tidak halal bagi seorang wanita yang beriman kepada Allah dan hari akhir untuk safar sejauh perjalanan sehari semalam tanpa disertai mahram.” (Muttafaqun alaih, dari hadits Abu Hurairah radhiyallahu anhu)
Riwayat-riwayat ini menunjukkan bahwa safar tidak dibatasi dengan perjalanan tiga hari.
Baca juga:
Ibnu Qudamah rahimahullah berkata, “Tidak ada dasar yang jelas untuk menentukan batasan jarak safar. Sebab, menetapkan batasan jarak safar membutuhkan nas (dalil) yang datang dari Allah atau Rasul-Nya.”
Sementara itu, dalam Al-Qur’an[3] dan As-Sunnah[4], safar disebutkan secara mutlak tanpa dikaitkan dengan batasan tertentu. Dalam kaidah fikih disebutkan,
“Sesuatu yang mutlak tetap berada di atas kemutlakannya, sampai datang sesuatu yang memberi batasan atasnya.”
Ketika tidak ada pembatasan jarak safar dalam syariat (nas), demikian pula tidak ada pembatasannya dalam bahasa Arab, pembatasan safar kembali kepada ‘urf (kebiasaan masyarakat setempat). Selama masyarakat setempat menganggap/menyatakan perjalanan tersebut adalah safar, maka perjalanan itu adalah safar yang disyariatkan untuk meng-qashar shalat dan berbuka puasa di dalamnya.
Pendapat yang paling kuat—wallahu a’lam—adalah pendapat Ibnu Qudamah rahimahullah dan yang lainnya, bahwa batasan safar kembali kepada ‘urf (kebiasaan masyarakat setempat). Pendapat ini dikuatkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan muridnya, al-Allamah Ibnul Qayim. Demikian pula dikuatkan oleh Syaikh Ibnu Utsaimin dan Syaikhuna Muqbil bin Hadi al-Wadi’i rahimahumullah. (Lihat al-Mughni, 2/542—543; al-Majmu’, 4/150; Majmu’ al-Fatawa, 24/21; asy-Syarhul Mumti’; 4/497, al-Jam’u baina ash-Shalataini fis Safar; hlm. 122)
Catatan Kaki
[1] Mahram adalah lelaki yang diharamkan menikahinya selama-lamanya disebabkan adanya hubungan nasab (keturunan), hubungan pernikahan, dan persusuan. Lihat Syarh Riyadhish Shalihin, Syaikh Ibnu Utsaimin, no. 990)
[2] Yakni hadits Ibnu Umar radhiyallahu anhuma,
لاَ تُسَافِرُ الْمَرْأَةُ ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ إِلاَّ مَعَ ذِي مَحْرَمٍٍ
“Tidak boleh seorang wanita safar selama tiga hari kecuali bersama mahramnya.”
[3] Firman Allah subhanahu wa ta’ala,
وَإِذَا ضَرَبۡتُمۡ فِي ٱلۡأَرۡضِ فَلَيۡسَ عَلَيۡكُمۡ جُنَاحٌ أَن تَقۡصُرُواْ مِنَ ٱلصَّلَوٰةِ إِنۡ خِفۡتُمۡ أَن يَفۡتِنَكُمُ ٱلَّذِينَ كَفَرُوٓاْۚ
“Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, tidaklah mengapa kamu meng-qashar shalatmu, jika kamu takut diserang orang-orang kafir.” (an-Nisa: 101)
Demikian pula firman Allah subhanahu wa ta’ala,
وَمَن كَانَ مَرِيضًا أَوۡ عَلَىٰ سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِّنۡ أَيَّامٍ أُخَرَۗ
“Dan barang siapa sakit atau dalam safar (kemudian berbuka), maka hendaklah ia berpuasa sebanyak hari yang ditinggalkannya itu.” (al-Baqarah: 185)
[4] Di antaranya, dari Abdullah bin Umar radhiyallahu anhuma, dia berkata,
صَحِبْتُ رَسُولَ اللهِ فَكَانَ لاَ يَزِيدُ فِي السَّفَرِ عَلَى رَكْعَتَيْنِ، وَأَبَا بَكْرٍ وَعُمَرَ وَعُثْمَانَ كَذَلِكَ
“Aku telah menemani Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, beliau tidak pernah menambah lebih dari dua rakaat dalam safar. Demikian pula aku menemani Abu Bakr, Umar, dan Utsman seperti itu.” (Muttafaqun alaih, lafaz ini adalah lafaz al-Bukhari)
Ditulis oleh Ustadz Abu Muhammad Abdul Jabbar