Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
إِذَا وَقَعَ الذُّبَابُ فِي شَرَابِ أَحَدِكُمْ فَلْيَغْمِسْهُ ثُمَّ لِيَنْزِعْهُ فَإِنَّ فِي إِحْدَى جَنَاحَيْهِ دَاءً وَالْأُخْرَى شِفَاءً
“Apabila lalat hinggap (menjilat) pada minuman salah seorang kalian, tenggelamkanlah lalat itu lantas angkat (buang) lalat tersebut. Sesungguhnya salah satu sayapnya mengandung racun dan sayap lainnya mengandung penawar.” (HR. al-Bukhari, no. 3320, Abu Dawud no. 3844)
Menurut asy-Syaikh Shalih bin Fauzan bin Abdullah al-Fauzan hafizhahullah, hadits ini menjelaskan tentang salah satu dari sekian banyak mukjizat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Disebutkan sebagai mukjizat dari sisi kabar yang disampaikan beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam perihal keburukan yang telah Allah Subhanahu wata’ala tetapkan pada seekor lalat, dan kebaikan (penawar) yang Allah Subhanahu wata’ala lekatkan pula pada lalat tersebut. Hal ini tidaklah bisa dikabarkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam kecuali melalui wahyu. Sebab, urusan ini bersifat gaib, tak satu pun makhluk mengetahuinya. Ini termasuk mukjizat Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam. (Tashil al-Ilmam bi Fiqh lil Ahadits min Bulughil al-Maram, I/63)
Dalam kisah lain, saat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bepergian bersama para sahabat , di tengah-tengah perjalanan mereka kehabisan air. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam mengutus Ali dan seorang sahabat lainnya guna mencari air. Ketika mencari air, Ali dan seorang sahabat ini bertemu dengan seorang wanita bersama untanya. Pada unta milik si wanita terdapat dua tempat air yang tergantung. Lantas keduanya bertanya kepada wanita tersebut letak sumber mata air. Keduanya menyangka bahwa sumber mata air dekat. Wanita itu menjelaskan bahwa untuk memperoleh air itu ia harus berjalan sejak kemarin. Ini menunjukkan bahwa lokasi sumber air sangatlah jauh. Wanita itu pun lantas diminta menemui Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam.
Wanita itu pun memenuhi permintaan keduanya dan berangkat menemui Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Setelah berada di hadapan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, kemudian beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam meminta untuk mengambil tempat air wanita itu yang tinggal sedikit airnya. Kemudian beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam memanggil para sahabat seraya bersabda, “Tuangkan, tuangkan!” Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam meletakkan tangan beliau pada air tersebut. Allah Subhanahu wata’ala pun menjadikan air yang sedikit itu menjadi berkah. Seluruh prajurit muslim yang bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam mendapatkan air itu dan berwudhu. Tak hanya itu, mereka pun bisa mengambil air itu dan menyimpannya untuk bekal di perjalanan. Inilah mukjizat Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam. Kisah lain terjadi saat Perang Tabuk.
Pasukan kaum muslimin kehabisan perbekalan. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam meminta para sahabat untuk menyembelih sebagian unta yang mereka bawa untuk dimakan. Melihat hal itu, Umar bin al- Khaththab radhiyallahu ‘anhu menemui Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dan berkata, “Wahai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, engkau memperkenankan para sahabat menyembelih untanya. Saya khawatir bakal kehabisan bekal lagi (yaitu, jika unta-unta itu disembelih, mereka hendak berkendara apa, padahal jarak ke tempat yang dituju masih jauh).” Kata Umar, “Saya usul, bagaimana jika engkau meminta para sahabat untuk mengumpulkan perbekalan mereka yang tersisa lalu engkau doakan agar mendapat berkah?” Jawab beliau, “Ya, baik.”
Kemudian diserulah para sahabat agar mengumpulkan bekal yang tersisa. “Barang siapa masih memiliki sedikit bekal, datanglah kemari seraya membawa bekalnya!” seruan itu menggema. Dibentangkanlah permadani. Ada yang menyerahkan sisa kurmanya. Ada pula yang menyerahkan tepung. Terkumpullah segala bentuk bekal yang ada pada mereka. Lantas, Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam mendatangi tempat dikumpulkannya perbekalan. Beliau pun mendoakan keberkahannya. Setelah itu, para sahabat diperintah untuk mengambilnya. Mereka mengambil dalam keadaan penuh. Mereka membawa bekal yang tak sedikit lagi. Inilah mukjizat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam.
Pernah disajikan susu kepada Rasulullah. Saat itu beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam bersama Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu di Madinah. Setelah ada suguhan, Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam meminta agar ahlu shuffah dipanggil. Ahlu shuffah adalah orang-orang yang menetap di masjid Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam karena ingin menuntut ilmu. Saat itu jumlah mereka tujuh puluh orang. Ahlu shuffah itu pun berdatangan. Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam mendoakan susu itu agar diberkahi. Selanjutnya, beliau memerintahkan kepada Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu untuk membagikan susu tersebut. Orang-orang pun lantas meminum susu hingga kenyang. Begitu pun Abu Hurairah z turut meminumnya hingga kenyang pula. Setelah semua orang minum, barulah Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam minum. Ini termasuk mukjizat Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam. (Tashil al-Ilmam, I/81—82)
Beragam mukjizat telah dijelaskan oleh as-Sunnah, di antaranya kisah memancarnya air dari jari-jemari Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam dan sebagainya. Termasuk mukjizat adalah al-Qur’an al-Aziz sendiri, yang merupakan kalamullah.
Ragam Khawariqul ’Adah
Menurut Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah, mukjizat para nabi adalah tanda-tanda dan bukti-bukti kenabian mereka. Karena itu, mendasarkan pada beberapa petunjuk, untuk membedakan status kenabian yang melekat pada seseorang di antaranya bisa dilihat dari peristiwa-peristiwa di luar kebiasaan yang terjadi padanya. Adapun ragam khawariqul ’adah (hal-hal di luar kebiasaan) di antaranya sebagai berikut.
1. Hal-hal di luar kebiasaan tersebut bisa terjadi lantaran kebaikan dan takwa yang ada pada dirinya. Macam khawariqul ’adah seperti ini melingkupi Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam dan para pengikutnya. Beberapa peristiwa di luar kebiasaan yang terjadi dilatari oleh faktor agama dan kebutuhan kaum muslimin.
2. Hal-hal di luar kebiasaan itu terjadi karena faktor yang bersifat mubah. Misalnya, orang yang dibantu oleh jin untuk menyelesaikan kebutuhankebutuhannya yang bersifat mubah. Khawariqul ’adah semacam ini bersifat pertengahan. Bukan tingkatan yang tinggi atau rendah. Ini serupa dengan bentuk memperkerjakan jin yang dilakukan oleh Nabi Sulaiman ‘Alaihissalam. Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
يَعْمَلُونَ لَهُ مَا يَشَاءُ مِن مَّحَارِيبَ وَتَمَاثِيلَ وَجِفَانٍ كَالْجَوَابِ وَقُدُورٍ رَّاسِيَاتٍ ۚ اعْمَلُوا آلَ دَاوُودَ شُكْرًا ۚ وَقَلِيلٌ مِّنْ عِبَادِيَ الشَّكُورُ
“Para jin itu membuat untuk Sulaiman apa yang dikehendakinya dari gedunggedung yang tinggi, patung-patung, serta piring-piring (yang besar) seperti kolam dan periuk yang tetap (berada di atas tungkunya). Bekerjalah wahai keluarga Dawud untuk bersyukur (kepada Allah), dan sedikit sekali dari hamba-hamba-Ku yang bersyukur.” (Saba: 13)
Demikian pula Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam telah diutus kepada kalangan jin, mendakwahi mereka agar beriman dan beribadah kepada Allah Subhanahu wata’ala sebagaimana beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam diutus kepada kalangan manusia.
3. Hal-hal yang di luar kebiasaan itu disebabkan oleh faktor yang haram, seperti kemaksiatan, kezaliman, dan kesyirikan, atau melalui perkataan batil. Jenis ini merupakan macam khawariqul ’adah para tukang sihir, dukun, kafir, dan para pendurhaka. Contohnya, ahlul bid’ah dari kalangan tarekat (sufi) Rifaiyah dan selainnya. Mereka meminta bantuan melalui cara-cara yang berselubung kesyirikan, membunuh jiwa tanpa hak, dan maksiat. Padahal Allah Subhanahu wata’ala telah mengharamkan tiga macam perbuatan tersebut. Firman-Nya,
وَالَّذِينَ لَا يَدْعُونَ مَعَ اللَّهِ إِلَٰهًا آخَرَ وَلَا يَقْتُلُونَ النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلَّا بِالْحَقِّ وَلَا يَزْنُونَ ۚ وَمَن يَفْعَلْ ذَٰلِكَ يَلْقَ أَثَامًا
“Dan orang-orang yang tidak menyembah tuhan yang lain beserta Allah dan tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) kecuali dengan alasan yang benar dan tidak berzina. Barang siapa melakukan hal itu, niscaya dia mendapat (pembalasan) dosa(nya).” ( al-Furqan: 68) ( an- Nubuwat, hlm. 27—28)
Salah satu tanda kenabian diiringi dengan kejadian di luar kebiasaan. Namun, maknanya bukan hal-hal di luar kebiasaan yang diperuntukkan bagi kalangan manusia biasa. Inilah hakikat mukjizat. Sebab, bisa saja kejadiankejadian yang di luar kebiasaan itu terjadi melalui cara-cara sihir dan perdukunan. Jika khawariqul ’adah itu terjadi melalui cara-cara perdukunan atau sihir, hal seperti itu bukan termasuk khawariqul adah yang menjadi tanda kenabian. Ilustrasi peristiwa ini bisa dicermati dari kisah Nabi Musa ‘Alaihissalam melawan para tukang sihir Fir’aun. Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
فَأَجْمِعُوا كَيْدَكُمْ ثُمَّ ائْتُوا صَفًّا ۚ وَقَدْ أَفْلَحَ الْيَوْمَ مَنِ اسْتَعْلَىٰ () قَالُوا يَا مُوسَىٰ إِمَّا أَن تُلْقِيَ وَإِمَّا أَن نَّكُونَ أَوَّلَ مَنْ أَلْقَىٰ () قَالَ بَلْ أَلْقُوا ۖ فَإِذَا حِبَالُهُمْ وَعِصِيُّهُمْ يُخَيَّلُ إِلَيْهِ مِن سِحْرِهِمْ أَنَّهَا تَسْعَىٰ () فَأَوْجَسَ فِي نَفْسِهِ خِيفَةً مُّوسَىٰ () قُلْنَا لَا تَخَفْ إِنَّكَ أَنتَ الْأَعْلَىٰ () وَأَلْقِ مَا فِي يَمِينِكَ تَلْقَفْ مَا صَنَعُوا ۖ إِنَّمَا صَنَعُوا كَيْدُ سَاحِرٍ ۖ وَلَا يُفْلِحُ السَّاحِرُ حَيْثُ أَتَىٰ
Maka himpunkan segala macam daya (sihir) kamu sekalian, kemudian datanglah dengan berbaris, dan sesungguhnya beruntunglah orang yang menang pada hari ini. (Setelah mereka berkumpul) berkata, “Hai Musa (pilihlah), apakah kamu yang melemparkan (dahulu) atau kamilah orang yang mula-mula melemparkan?” Musa menjawab, “Silakan kamu sekalian melemparkan.” Tiba-tiba tali dan tongkat mereka, terbayang pada Musa seakan-akan merayap cepat lantaran sihir mereka. Musa pun merasa takut dalam hatinya. Kami berkata, “Janganlah kamu merasa takut, sesungguhnya kamulah yang paling unggul (menang)! Lemparkanlah apa yang ada di tangan kananmu, niscaya ia akan menelan apa yang mereka perbuat. Sesungguhnya apa yang mereka perbuat itu adalah tipu daya tukang sihir (belaka). Tidak akan menang tukang sihir itu dari mana pun dia datang.” (Thaha: 64—69)
Kisah di atas menggambarkan dua fenomena yang bersifat di luar kebiasaan. Satu dalam bentuk mukjizat, sedangkan yang lain dalam bentuk sihir. Karena itu, segala bentuk keanehan, keluarbiasaan, dan keajaiban yang terjadi lantaran sihir dan perdukunan tidak memiliki kesamaan dengan ma’unah, karamah wali, apalagi mukjizat. Menurut Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah, hal-hal yang di luar kebiasaan yang ditimbulkan oleh sihir atau perdukunan terjadi melalui bantuan jin. Sebelumnya, kalangan jin membuat kesepakatan dengan para penyihir dan dukun (tukang ramal dan paranormal) dalam hal-hal yang melanggar syariat, seperti membunuh atau menyakiti orang lain (sebagai tumbal). Kesepakatan (sebagai syarat) itu bisa dalam bentuk kesyirikan dan bid’ah.
Banyak manusia teperdaya dan tertipu lantaran hal ini. Keanehan, keajaiban, dan peristiwa-peristiwa di luar kebiasaan tersebut dikira merupakan karamah. Padahal, itu berasal dari kalangan setan (jin). Kisah-kisah pengultusan terhadap kiai atau rohaniawan yang terbiasa melakukan bid’ah, khurafat, dan maksiat, selalu dibumbui dengan bentuk-bentuk khawariqul ’adah (kejadian-kejadian di luar kebiasaan) ini. Contoh yang masyhur dan klasik yang beredar di masyarakat adalah Kiai Fulan yang tidak menunaikan shalat Jumat di Indonesia, tetapi di Makkah, atau kisah-kisah semisal yang sengaja atau tidak, telah diedarkan di masyarakat. Kisah-kisah itu akan menimbulkan pelabelan sebagai kiai yang memiliki karamah. Dalam bahasa yang dikemas lebih anggun, “kiai karismatik”.
Siapakah Yang Berhak Mendapat Karamah?
Al-Imam al-Allamah Muhammad bin Ali asy-Syaukani rahimahumallah menjelaskan bahwa orang-orang yang tergolong para wali Allah Subhanahu wata’ala adalah mereka yang beriman kepada Allah Subhanahu wata’ala, para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-Nya, serta beriman kepada takdir-Nya yang baik atau buruk. Mereka harus menegakkan apa yang telah diwajibkan Allah Subhanahu wata’ala atasnya, meninggalkan apa yang telah dilarang oleh Allah Subhanahu wata’ala dan senantiasa memperbanyak ketaatan kepada-Nya. Orang yang seperti inilah yang termasuk para wali Allah Subhanahu wata’ala. Mereka berhak menyandang karamah yang tidak menyelisihi syariat.
Karamah ini adalah karunia dari Allah Subhanahu wata’ala, dan tidak halal bagi seorang muslim mengingkarinya. Barang siapa memiliki sifatsifat yang berlawanan dengan yang disebutkan di atas, dia bukan wali Allah Subhanahu wata’ala melainkan bala tentara setan. Adapun “karamah”nya adalah bentuk kesamaran yang dilemparkan oleh setan terhadap dirinya dan umat manusia. Yang seperti ini bukanlah hal yang aneh dan tak bisa diingkari, karena kebanyakan mereka menjadikan jin sebagai pembantunya. Para setan dari kalangan jin membantunya berbuat kejelekan, bahkan melakukan halhal yang diharamkan. (Qathru al-Wali ‘ala al-Hadits al-Wali, hlm. 64—65)
Kisah Para Wali Allah Subhanahu wata’ala
Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
إِذْ يُغَشِّيكُمُ النُّعَاسَ أَمَنَةً مِّنْهُ وَيُنَزِّلُ عَلَيْكُم مِّنَ السَّمَاءِ مَاءً لِّيُطَهِّرَكُم بِهِ وَيُذْهِبَ عَنكُمْ رِجْزَ الشَّيْطَانِ وَلِيَرْبِطَ عَلَىٰ قُلُوبِكُمْ وَيُثَبِّتَ بِهِ الْأَقْدَامَ
“Ingatlah ketika Allah menjadikan kamu mengantuk sebagai suatu penenteraman dari-Nya, dan Allah menurunkan kepadamu hujan dari langit untuk menyucikanmu dengan hujan itu dan menghilangkan dari kamu gangguangangguan setan dan untuk menguatkan hatimu dan dan memperteguh denganmu telapak kakimu.” (al-Anfal: 11)
Abu Thalhah radhiyallahu ‘anhu berkata, “Saya saat itu ditimpa kantuk pada Hari Uhud. Pedang pun jatuh dari tangan saya berkali-kali. Saat jatuh, saya ambil. Jatuh lagi, saya ambil lagi. Saya melihat mereka (para sahabat), mereka pun dalam keadaan terkantuk-kantuk di bawah perisai kulit.” Menurut Ibnu Katsir rahimahullah, “Kantuk memang menimpa kalangan para sahabat pada Hari (Perang) Uhud. Adapun ayat ini terkait kisah (Perang) Badar. Ini menunjukkan peristiwa yang sama. Saat itu orang-orang beriman mengalami kegoncangan jiwa yang luar biasa. Kejadian (mengantuk) itu menyebabkan hati mereka aman dan tenang dengan pertolongan Allah Subhanahu wata’ala. Ini adalah karunia dan rahmat dari Allah Subhanahu wata’ala serta nikmat atas mereka.” (Mukhtashar Tafsir al- Qur’an al-Azhim, 2/108)
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, Sesungguhnya Allah Subhanahu wata’ala berfirman,
“Barang siapa memusuhi wali-Ku, sungguh Aku akan umumkan perang terhadapnya. Tidaklah hamba-Ku mendekatkan diri kepada-Ku dengan sesuatu yang lebih Aku cintai daripada sesuatu yang telah Aku wajibkan kepadanya. Senantiasa hamba- Ku mendekatkan diri kepada-Ku dengan (amalan) sunnah hingga Aku mencintai- Nya. Apabila Aku telah mencintainya, Aku menjadi pendengarannya yang dia mendengar dengannya, penglihatannya yang dengan penglihatan itu dia melihat, Aku menjadi tangannya yang dengan tangan itu dia bertindak, dan menjadi kakinya yang dengan itu dia melangkah. Jika dia meminta, sungguh akan Aku beri. Jika dia minta perlindungan kepada- Ku, niscaya Aku lindungi dia.” ( HR. al-Bukhari, no. 2502)
Mukjizat adalah tanda dan bukti kenabian. Mengimaninya merupakan bentuk keimanan terhadap para rasul Allah Subhanahu wata’ala. Berbeda halnya dengan orang-orang yang mengingkarinya dan menganggapnya bagian dari mimpi. Al-Farabi dan filosof yang semisalnya memiliki anggapan demikian. Tentu saja, ini adalah pemahaman yang salah. Hanya orang-orang berimanlah yang tunduk hatinya kepada apa yang dibawa oleh para rasul Allah Subhanahu wata’ala. Wallahu a’lam.
Ditulis oleh Al-Ustadz Abulfaruq Ayip Syafruddin