Al-Imam an-Nawawi rahimahullah berkata dalam bab “Shalatil Jama’ati min Sunanil Huda (Shalat Berjamaah termasuk Jalan Petunjuk [Syariat Islam])”, “Al-Imam Muslim rahimahullah meriwayatkandalam Shahih-nya, dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu ia berkata,
مَنْ سَرَّهُ أَنْ يَلْقَى اللهَ غَدًا مُسْلِمًا فَلْيُحَافِظْ عَلَى هَؤُلَاءِ الصَّلَوَاتِ حَيْثُ يُنَادَى بِهِنَّ فَإِنَّ اللهَ شَرَعَ لِنَبِيِّكُمْ سُنَنَ الْهُدَى وَإِنَّهُنَّ مِنْ سُنَنِ الْهُدَى، وَلَوْ أَنَّكُمْ صَلَّيْتُمْ فِي بُيُوتِكُمْ كَمَا يُصَلِّي هَذَا الْمُتَخَلِّفُ فِي بَيْتِهِ لَتَرَكْتُمْ سُنَّةَ نَبِيِّكُمْ، وَلَوْ تَرَكْتُمْ سُنَّةَ نَبِيِّكُمْ لَضَلَلْتُمْ، وَمَا مِنْ رَجُلٍ يَتَطَهَّرُ فَيُحْسِنُ الطُّهُورَ ثُمَّ يَعْمِدُ إِلَى مَسْجِدٍ مِنْ هَذِهِ الْمَسَاجِدِ إِلَّا كَتَبَ اللهُ لَهُ بِكُلِّ خَطْوَةٍ يَخْطُوهَا حَسَنَةً وَيَرْفَعُهُ بِهَا دَرَجَةً وَيَحُطُّ عَنْهُ بِهَا سَيِّئَةً، وَلَقَدْ رَأَيْتُنَا وَمَا يَتَخَلَّفُ عَنْهَا إِلَّا مُنَافِقٌ مَعْلُومُ النِّفَاقِ وَلَقَدْ كَانَ الرَّجُلُ يُؤْتَى بِهِ يُهَادَى بَيْنَ الرَّجُلَيْنِ حَتَّى يُقَامَ فِي الصَّفِّ
‘Barang siapa merasa senang apabila bertemu Allah Subhanahu wata’ala besok (pada hari kiamat) dalam keadaan muslim, hendaknya ia memelihara shalat lima waktu (berjamaah pada waktunya), di mana pun disuarakan azan. Sesungguhnya Allah Subhanahu wata’ala telah mensyariatkan kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam kalian jalan petunjuk, sedangkan shalat lima waktu (dengan berjamaah) termasuk jalan petunjuk. Kalau saja kalian melakukan shalat itu di rumah sebagaimana kebiasaan shalatnya orang yang tidak mau berjamaah, niscaya kalian telah meninggalkan ajaran Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, jika demikian pasti kalian tersesat. Tidaklah salah seorang di antara kalian bersuci dengan sempurna lalu pergi menuju ke masjid dari masjid-masjid ini, kecuali Allah Subhanahu wata’ala catat dengan setiap langkah baginya kebaikan, mengangkat derajat baginya dan menghapus darinya kesalahan. Aku benar-benar melihat di antara kami, tidak ada yang meninggalkan shalat berjamaah, kecuali orang munafik yang sesungguhnya. Sungguh pernah terjadi seorang lelaki diantar ke masjid, dipapah di antara dua orang, sampai diberdirikan dalam shaf’.”
Pada riwayat yang lain beliau berkata,
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam telah mengajarkan kepada kami jalan petunjuk. Sesungguhnya termasuk jalan petunjuk adalah shalat (berjamaah) di masjid yang dikumandangkan azan padanya.” (Syarh an-Nawawi, 3/168—169)
Allah Subhanahu wata’ala telah mensyariatkan bagi kaum muslimin untuk berkumpul (berjamaah) dalam melakukan ibadah. Shalat Berjamaah, Menyatukan Umat Berikut ini beberapa jenis ibadah yang pelaksanaannya disyariatkan untuk dilakukan secara berjamaah.
Ibadah Haji
Perkumpulan terbesar yang terjadi pada kaum muslimin dalam rangka melaksanakan ibadah adalah saat melaksanakan ibadah haji. Mereka datang dari berbagai penjuru dunia, berkumpul di satu tempat yaitu di Padang Arafah, pada hari Arafah. Bulan-bulan haji hanya pada bulan tertentu, yaitu Syawwal, Dzulqa’dah, dan Dzulhijjah, sebagaimana firman Allah Subhanahu wata’ala,
حَجُّ أَشْهُرٌ مَّعْلُومَاتٌ
“(Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi.” (al-Baqarah: 197)
Shalat ‘Ied
Disyariatkan bagi kaum muslimin untuk berkumpul setiap tahun, dalam rangka melakukan shalat ‘ied secara berjamaah, baik Idul Fitri maupun Idul Adha. Pelaksanaannya disyariatkan di tanah lapang (mushalla).
Shalat Jumat
Demikian pula halnya dengan shalat Jumat, kaum muslimin disyariatkan menegakkannya pada setiap pekan sekali. Jika di suatu daerah (kampung) terdapat beberapa masjid yang ditegakkan shalat berjamaah di tempat itu, yang lebih utama pelaksanaan shalat Jumat di satu masjid saja, yaitu masjid jami’. Namun, jika dalam keadaan darurat, seperti semakin banyaknya jumlah kaum muslimin, sehingga apabila dilaksanakan di satu masjid tidak cukup (sempit), diperbolehkan untuk dilaksanakan di beberapa masjid, karena keadaan yang mengharuskan.
Shalat Fardhu (Lima Waktu)
Islam mensyariatkan shalat lima waktu untuk dilaksanakan secara berjamaah. Sehingga pertama kali yang dilakukan Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam ketika tiba di Madinah adalah membangun masjid. Supaya kaum muslimin berkumpul di tempat itu, melakukan shalat dengan berjamaah. Di samping itu, masjid juga bisa dipakai sebagai tempat berkumpul untuk memusyawarahkan urusan-urusan yang penting atau untuk mempelajari ilmu agama. Karena itu, apabila setiap muslim memilih (melaksanakan shalat fardhu,-pen.) di rumah, tidak akan terwujud sikap saling menolong antarsesama, proses belajar ilmu\ agama tidak ia peroleh, dan kedekatan (saling mengenal) satu sama lain tidak pula tercapai.
Jadi, masjid adalah tempat berkumpulnya kaum muslimin. Di samping mereka akan menggapai pahala dengan shalat berjamaah, terwujud pula tolong-menolong, persatuan, dan saling mengenal.
Disyariatkannya shalat fardhu secara berjamaah adalah berdasarkan kesepakatan kaum muslimin. Ia adalah bagian dari ibadah yang paling utama dan bagian dari ketaatan yang paling mulia. Tidak ada yang menyelisihi kesepakatan ini selain kaum Rafidhah (salah satu sekte Syiah). Mereka berpendapat, tidak boleh ditegakkan shalat berjamaah kecuali jika imamnya adalah seorang yang maksum. Karena itulah, mereka tidak melaksanakan shalat Jumat dan shalat berjamaah. Syaikhul Islam rahimahullah berkata (tentang mereka), “Mereka adalah orang-orang yang meninggalkan dan menjauhi masjid, namun (lebih memilih) untuk memakmurkan masyhad (kuburan).” Kaum Rafidhah menganggap tidak disyariatkannya shalat berjamaah, meskipun kaum muslimin seluruhnya berpendapat tentang disyariatkannya.
Tidak ada satu pun (dari kaum muslimin) yang berpendapat tidak disyariatkan. Hanya saja mereka berbeda pendapat dalam hal hukumnya. Apakah fardhu ‘ain (diwajibkan atas setiap individu muslim) atau fardhu kifayah (diwajibkan atas sebagian saja), ataukah sunnah muakkadah (sunnah yang mendekati wajib). Pendapat yang menyatakan fardhu ‘ain terbagi lagi, apakah berjamaah menjadi syarat sahnya shalat atau tidak?
Di antara kelompok yang menyelisihi kesepakatan kaum muslimin dalam masalah ini adalah kaum Khawarij. Mereka berpendapat, shalat berjamaah tidak boleh ditegakkan kecuali apabila imamnya adalah seorang nabi atau shiddiq. Sebagaimana disyariatkan pada shalat fardhu, berjamaah juga disyariatkan pada shalat-shalat sunnah. Seperti shalat istisqa’ (meminta hujan), shalat kusuf (gerhana), dan shalat tarawih. Tidak mengapa pula shalat malam/tahajud dan shalat dhuha dilakukan secara berjamaah.
Namun, hal ini tidak boleh dijadikan sebagai suatu kebiasaan dan dilakukan terus-menerus. Sebab, Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam pernah shalat berjamaah (bukan shalat fardhu) di rumah seorang sahabat yang bernama ‘Itban bin Malik radhiyallahu ‘anhu dan di rumah Ummu Sulaim radhiyallahu ‘anha. Demikian pula Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu pernah bermakmum bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dalam shalat malam, saat beliau bermalam di rumah bibinya yang menjadi istri Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam, yaitu Maimunah radhiyallahu ‘anha. Yang disunnahkan untuk terus-menerus tetap berjamaah dalam shalat sunnah adalah shalat tarawih, shalat istisqa’, dan shalat kusuf. (Tashil al-Ilmam 2/401—403, asy-Syarh al-Mumti’, 2/365)
Ditulis oleh Al-Ustadz Abu Ubaidah Syafrudin