Doa-doa Istiftah
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membuka bacaan beliau dalam shalat dengan mengucapkan doa-doa yang banyak lagi beragam. Di dalamnya beliau memuji Allah ‘azza wa jalla, memuliakan-Nya dan menyanjung-Nya. Doa-doa inilah yang diistilahkan dengan doa istiftah. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepada Rifa’ah ibn Rafi’ radhiallahu ‘anhu, sahabatnya yang keliru dalam shalatnya (al-musi’u shalatuhu):
إِنَّهُ لاَ تَتِمُّ صَلاَةٌ لِأَحَدٍ مِنَ النَّاسِ حَتَّى يَتَوَضَّأَ فَيَضَعَ الْوُضُوْءَ – يَعْنِي مَوْضِعَهُ – ثُمَّ يُكَبِّرَ، وَيَحْمَدَ الله، وَيُثْنِيَ عَلَيْهِ، وَيَقْرَأَ بمَا تَيَسَّرَ مِنَ الْقُرْآنِ …
“Sesungguhnya tidak sempurna shalat seseorang dari manusia hingga ia berwudhu lalu meletakkan wudhunya pada tempat-tempatnya, kemudian ia bertakbir, memuji Allah ‘azza wa jalla dan menyanjung-Nya serta membaca apa yang mudah baginya dari Al-Qur’an…” (HR. Abu Dawud no. 857, dishahihkan dalam Shahih Abi Dawud)
Doa istiftah ini dibaca dengan sirr (tidak dikeraskan), dan pendapat yang rajih (kuat) hukumnya mustahab (sunnah) sebagaimana pendapat jumhur ulama dari kalangan sahabat, tabi’in, dan orang-orang setelah mereka.
Al-Imam An-Nawawi rahimahullah berkata, “Tidak diketahui ada yang menyelisihi pendapat ini, kecuali Al-Imam Malik rahimahullah. Beliau berkata, ‘Tidak dibaca doa istiftah ini dan tidak ada sama sekali bacaan apapun antara Al-Fatihah dan takbir. Yang seharusnya ia ucapkan adalah bertakbir: Allahu Akbar, lalu membaca Alhamdulillahi Rabbil Alamin sampai akhir dari surah Al-Fatihah.” (Al-Majmu’, 3/278)
Al-Imam Al-Albani rahimahullah berkata, “Pendapat Al-Imam Malik rahimahullah ini memberikan konsekuensi batalnya tiga sunnah:
Pertama: doa istiftah
Kedua: isti’adzah (mengucapkan A’udzubillah… dst, memohon perlindungan dari gangguan setan)
Ketiga: basmalah
Padahal ini merupakan sunnah yang pasti lagi mutawatir dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Yang nampak, sunnah-sunnah ini tidak sampai kepada Al-Imam Malik rahimahullah, ataupun sampai kepada beliau akan tetapi beliau tidak mengambilnya karena suatu sebab menurut beliau.” (Ashlu Shifati Shalatin Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, 1/239-240)
Sebagaimana telah disinggung di atas, doa-doa istiftah itu banyak dan beragam. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri mengganti-ganti bacaan doa istiftahnya. Terkadang membaca doa yang ini, di kali lain membaca doa yang itu dan seterusnya. Ketika shalat fardhu beliau membaca yang satu dan ketika shalat nafilah/sunnah beliau membaca yang lainnya.
Fadhilatusy Syaikh Al-Imam Muhammad ibnu Shalih Al-Utsaimin rahimahullah berkata, “Sepantasnya bagi seseorang beristiftah sekali waktu dengan (doa istiftah) yang ini dan di waktu lain dengan (doa istiftah) yang itu, agar ia menunaikan sunnah-sunnah seluruhnya. Dengan cara seperti itu, berarti ia juga menghidupkan sunnah serta lebih menghadirkan hati. Mengapa? Karena bila seseorang hanya membaca satu macam doa istiftah secara terus-menerus (tidak menggantinya dengan doa yang lain), niscaya hal itu akan menjadi kebiasaan baginya. Sampai-sampai saat ia bertakbiratul ihram dalam keadaan hatinya lalai (tidak perhatian dengan amalan shalatnya) sementara telah menjadi kebiasaannya beristiftah dengan “Subhanaka allahumma wa bihamdik…”, maka ia akan dapati dirinya tanpa sadar mulai membaca doa istiftah tersebut.” (Asy-Syarhul Mumti’, 3/48)
Beberapa doa istiftah yang pernah diamalkan dan diajarkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah sebagai berikut:
- Bacaan:
اللَّهُمَّ باَعِدْ بَيْنِي وَبَيْنَ خَطَايَايَ كَمَا باَعَدْتَ بَيْنَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ، اللَّهُمَّ نَقِّنِي مِنْ خَطَايَايَ كَمَا يُنَقَّى الثَّوْبُ الْأَبْيَضُ مِنَ الدَّنَسِ، اللَّهُمَّ اغْسِلْنِي مِنْ خَطَايَايَ بِالْمَاءِ وَالثَّلْجِ وَالْبَرَدِ
“Ya Allah, jauhkanlah antara aku dan kesalahan-kesalahanku sebagaimana Engkau jauhkan antara timur dan barat. Ya Allah, bersihkanlah aku dari kesalahan-kesalahanku sebagaimana dibersihkannya kain yang putih dari noda. Ya Allah, cucilah aku dari kesalahan-kesalahanku dengan air, hujan es, dan air dingin.” (HR. Al-Bukhari no. 744 dan Muslim no. 1353, dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa mengucapkan doa istiftah ini dalam shalat fardhu.
- Bacaan:
وَجَّهْتُ وَجْهِيَ لِلَّذِيْ فَطَرَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ حَنِيْفًا مُسْلِمًا وَمَا أَنَا مِنَ الْمُشْرِكِيْنَ، إِنَّ صَلاَتِي وَنُسُكِيْ وَمَحْيَايَ، وَمَمَاتِي لِلهِ رَبِّ الْعَلَمِيْنَ، لاَ شَرِيْكَ لَهُ، وَبِذلِكَ أُمِرْتُ وَأَنَا أَوَّلُ الْمُسْلِمِيْنَ. اللَّهُمَّ أَنْتَ الْمَلِكُ لاَ إِلهَ إِلاَّ أَنْتَ، أَنْتَ رَبِّي وَأَنَا عَبْدُكَ، ظَلَمْتُ نَفْسِي وَاعْتَرَفْتُ بِذَنْبِي، فَاغْفِرْ لِي ذَنْبِي جَمِيْعًا إِنَّهُ لاَ يَغْفِرُ الذُّنُوْبَ إِلاَّ أَنْتَ. وَاهْدِنِي لِأَحْسَنِ الْأَخْلاَقِ، لاَ يَهْدِي لِأَحْسَنِهَا إِلاَّ أَنْتَ. وَاصْرِفْ عَنِّي سَيِّئَهَا, لاَ يَصْرِفُ عَنِّي سَيِّئَهَا إِلاَّ أَنْتَ. لَبَّيْكَ وَسَعْدَيْكَ، وَالْخَيْرُ كُلُّهُ فِي يَدَيْكَ، وَالشَّرُّ لَيْسَ إِلَيْكَ، أَنَا بِكَ وَإِلَيْكَ، تَبَارَكْتَ وَتَعَالَيْتَ، أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوْبُ إِلَيْكَ
“Aku hadapkan wajahku kepada Dzat yang telah memulai penciptaan langit-langit dan bumi tanpa ada contoh sebelumnya, dalam keadaan lurus mengarah kepada al-haq, lagi berserah diri, dan aku bukanlah termasuk orang-orang musyrik.
Sesungguhnya shalatku, ibadah sembelihanku, hidup dan matiku hanyalah untuk Allah Rabb semesta alam, tiada sekutu bagi-Nya, dan dengan itulah aku diperintah dan aku adalah orang yang pertama kali berserah diri1.
Ya Allah, Engkau adalah Raja, tidak ada sesembahan yang haq kecuali Engkau. Engkaulah Rabbku dan aku adalah hamba-Mu. Aku telah menzalimi diriku, dan aku mengakui dosa-dosaku, maka ampunilah dosa-dosaku seluruhnya, sesungguhnya tidak ada yang dapat mengampuni dosa-dosa kecuali Engkau.
Tunjukilah aku kepada akhlak yang terbaik, tidak ada yang dapat menunjukkan kepada akhlak yang terbaik kecuali Engkau. Dan palingkan/jauhkanlah aku dari kejelekan akhlak dan tidak ada yang dapat menjauhkanku dari kejelekan akhlak kecuali Engkau.
Labbaika (aku terus-menerus menegakkan ketaatan kepada-Mu) dan sa’daik (terus bersiap menerima perintah-Mu dan terus mengikuti agama-Mu yang Engkau ridhai). Kebaikan itu seluruhnya berada pada kedua tangan-Mu, dan kejelekan itu tidak disandarkan kepada-Mu2. Aku berlindung, bersandar kepada-Mu dan Aku memohon taufik pada-Mu. Mahasuci Engkau lagi Mahatinggi. Aku memohon ampun kepada-Mu dan bertaubat kepada-Mu.” (HR. Muslim no. 1809 dari Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhu)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengucapkan doa istiftah ini dalam shalat fardhu dan shalat nafilah.
Ini menyelisihi pendapat sebagian ulama yang mengatakan bahwa doa istiftah ini dibaca dalam shalat lail (tahajud), seperti Abu Dawud Ath-Thayalisi rahimahullah dalam Musnad-Nya (23) dan Ibnul Qayyim rahimahullah dalam Zadul Ma’ad (1/51) mengatakan, “Yang benar, doa istiftah ini hanyalah diucapkan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam qiyamul lail.” Namun pendapat yang benar sebagaimana yang telah kami sebutkan. (Ashlu Shifah Shalatin Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, 1/249)
- Bacaan:
وَجَّهْتُ وَجْهِيَ لِلَّذِيْ فَطَرَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ حَنِيْفًا مُسْلِمًا وَمَا أَنَا مِنَ الْمُشْرِكِيْنَ. إِنَّ صَلاَتِي, وَنُسُكِيْ وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلهِ رَبِّ الْعَلَمِيْنَ، لاَ شَرِيْكَ لَهُ، وَبِذَلِكَ أُمِرْتُ، وَأَنَا أَوَّلُ الْمُسْلِمِيْنَ. اللَّهُمَّ أَنْتَ الْمَلِكُ لاَ إِلهَ إِلاَّ أَنْتَ سُبْحاَنَكَ وَبِحَمْدِكَ
“Aku hadapkan wajahku kepada Dzat yang mencipta langit-langit dan bumi tanpa ada contoh sebelumnya, dalam keadaan aku lurus, condong kepada al-haq lagi berserah diri, dan aku bukanlah termasuk orang-orang musyrik. Sesungguhnya shalatku, ibadah sembelihanku, hidup dan matiku hanyalah untuk Allah Rabb semesta alam, tiada sekutu bagi-Nya, dan dengan itulah aku diperintah dan aku adalah orang yang pertama kali berserah diri. Ya Allah, Engkau adalah Raja tidak ada sesembahan yang haq kecuali Engkau. Mahasuci Engkau dan sepenuh pujian kepada-Mu.” (HR. An-Nasa’i no. 898 dari Muhammad bin Maslamah radhiallahu ‘anhu. Dishahihkan dalam Shahih Ibni Majah dan Al-Misykat no. 821)
- Bacaan:
وَجَّهْتُ وَجْهِيَ لِلَّذِيْ فَطَرَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ حَنِيْفًا مُسْلِمًا وَمَا أَنَا مِنَ الْمُشْرِكِيْنَ. إِنَّ صَلاَتِي وَنُسُكِيْ وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلهِ رَبِّ الْعَلَمِيْنَ، لاَ شَرِيْكَ لَهُ، وَبِذَلِكَ أُمِرْتُ وَأَنَا مِنَ الْمُسْلِمِيْنَ. اللَّهُمَّ اهْدِنِي لِأَحْسَنِ الْأَعْمَالِ وَأَحْسَنِ الْأَخْلاَقِ، لاَ يَهْدِي لِأَحْسَنِهَا إِلاَّ أَنْتَ. وَقِنِي سَيِّئَ الْأَعْمَالِ وَسَيِّئَ الْأَخْلاَقِ، لاَ يَقِي سَيِّئَهَا إِلاَّ أَنْتَ
“Aku hadapkan wajahku kepada Dzat yang telah memulai penciptaan langit-langit dan bumi tanpa ada contoh sebelumnya, dalam keadaan lurus condong kepada al-haq, lagi berserah diri, dan aku bukanlah termasuk orang-orang musyrik. Sesungguhnya shalatku, ibadah sembelihanku, hidup dan matiku, hanyalah untuk Allah Rabb semesta alam, tiada sekutu bagi-Nya, dan dengan itulah aku diperintah dan aku termasuk orang-orang yang berserah diri. Ya Allah, tunjukilah aku kepada amalan yang terbaik dan akhlak yang terbaik, tidak ada yang dapat memberikan petunjuk kepada amalan dan akhlak yang terbaik kecuali Engkau. Jagalah aku dari amal yang buruk dan akhlak yang jelek, tidak ada yang dapat menjaga dari amal dan akhlak yang buruk kecuali Engkau.” (HR. An-Nasa’i no. 896 dari Jabir radhiallahu ‘anhuma. Dishahihkan dalam Shahih Ibni Majah dan Al-Misykat no. 820)
- Bacaan:
سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ، وَتَبَارَكَ اسْمُكَ، وَتَعَالَى جَدُّكَ، وَلاَ إِلَهَ غَيْرُكَ
“Mahasuci Engkau, ya Allah, dan sepenuh pujian kepada-Mu. Berlimpah keberkahan nama-Mu, Mahatinggi kemuliaan dan keagungan-Mu, dan tidak ada sesembahan yang benar kecuali Engkau.” (HR. Abu Dawud no. 776, An-Nasa‘i no. 899, dan selain keduanya dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiallahu ‘anhu. Dishahihkan dalam Shahih Abi Dawud)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda yang maknanya, “Ucapan yang paling dicintai oleh Allah adalah seorang hamba mengucapkan: سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ… (Diriwayatkan oleh Ibnu Mandah dalam At-Tauhid, 2/123. Juga diriwayatkan An-Nasa’i dalam ‘Amalul Yaum wal Lailah, 488/849, dengan sanad yang hasan sebagaimana dalam Ash-Shahihah no. 2939)
- Bacaan:
سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ, وَتَبَارَكَ اسْمُكَ, وَتَعَالَى جَدُّكَ, وَ لاَ إِلَهَ غَيْرُكَ، لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ (ثَلَاثًا), اللهُ as(أَكْبَر كَبِيْرًا (ثَلَاثًا
“Mahasuci Engkau, ya Allah, dan sepenuh pujian kepada-Mu. Berlimpah keberkahan nama-Mu, Mahatinggi kemuliaan dan keagungan-Mu, dan tidak ada sesembahan yang benar kecuali Engkau. Tidak ada sesembahan yang benar kecuali Allah (3 kali), Allah Maha Besar (3 kali).” (HR. Abu Dawud no. 775 dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiallahu ‘anhu. Dishahihkan dalam Shahih Abi Dawud)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengucapkan doa istiftah ini dalam shalat malam (tahajud).
- Bacaan:
اللهُ أَكْبَرُ كَبِيْرًا، وَالْحَمْدُ لِلهِ كَثِيْرًا، وَسُبْحَانَ اللهِ بُكْرَةً وَأَصِيْلاً
“Allah Maha Besar, segala puji bagi Allah dengan pujian yang banyak. Mahasuci Allah pada waktu pagi dan petang.” (HR. Muslim no. 1357 dan yang selainnya dari Ibnu Umar radhiallahu ‘anhuma)
Doa ini diucapkan seorang sahabat ketika beristiftah, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam setelah menanyakan siapa pengucapnya, beliau bersabda, “Aku merasa kagum dengan doa tersebut! Dibukakan untuk doa tersebut pintu-pintu langit.”
- Bacaan:
الْحَمْدُ لِلهِ حَمْدًا كَثِيْرًا طَيِّبًا مُبَارَكًا فِيْهِ
“Segala puji bagi Allah dengan pujian yang banyak, yang baik, lagi diberkahi di dalamnya.” (HR. Muslim no. 1356 dari Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu)
Doa ini diucapkan seorang sahabat yang lain ketika beristiftah, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sungguh aku melihat dua belas malaikat berlomba-lomba, siapa di antara mereka yang akan mengangkat doa tersebut.”
- Bacaan:
اللُّهُمَّ لَكَ الْحَمْدُ، أَنْتَ قَيِّمُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَمَنْ فِيْهِنَّ، وَلَكَ الْحَمْدُ، لَكَ مُلْكُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَمَنْ فِيهِنَّ، وَلَكَ الْحَمْدُ أَنْتَ نُوْرُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ، وَلَكَ الْحَمْدُ أَنْتَ مَلِكُ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ، وَلَكَ الْحَمْدُ أَنْتَ الْحَقُّ، وَوَعْدُكَ حَقٌّ، وَلِقَاؤُكَ حَقٌّ، وَقَوْلُكَ حَقٌّ، وَالْجَنَّةُ حَقٌّ، وَالنَّارُ حَقٌّ، وَالنَّبِيُّوْنَ حَقٌّ، وَمُحَمّدٌ حَقٌّ، وَالسَّاعَةُ حَقٌّ، اللَّهُمَّ لَكَ أَسْلَمْتُ، وَبِكَ آمَنْتُ، وَعَلَيْكَ تَوَكَّلْتُ، وَإِلَيْكَ أَنَبْتُ، وَبِكَ خَاصَمْتُ، وَإِلَيْكَ حَاكَمْتُ، فَاغْفِرْ لِي مَا قَدَّمْتُ وَمَا أَخَّرْتُ وَمَا أَسْرَرْتُ وَمَا أَعْلَنْتُ، أَنْتَ الْمُقَدِّمُ وَأَنْتَ الْمُؤَخِّرُ, لاَ إِلَهَ إِلاَّ أَنْتَ، وَلاَ حَوْلَ وَ لاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِاللهِ
“Ya Allah, hanya milik-Mu lah segala pujian. Engkau adalah Penegak (yang menjaga dan memelihara) langit-langit dan bumi dan siapa yang ada di dalamnya. Dan hanya milik-Mu lah segala pujian, hanya milik-Mu lah kerajaan langit-langit dan bumi dan siapa yang ada di dalamnya.
Hanya milik-Mu lah segala pujian, Engkau adalah pemberi cahaya langit-langit dan bumi. Hanya milik-Mu lah segala pujian, Engkau adalah Raja langit-langit dan bumi dan siapa yang ada di dalamnya. Hanya milik-Mu lah segala pujian.
Engkau adalah Al-Haq (Dzat yang pasti wujudnya), janji-Mu benar, perjumpaan dengan-Mu benar, ucapan-Mu benar, surga itu benar adanya, neraka itu benar adanya, para nabi itu benar, Muhammad itu benar dan hari kebangkitan itu benar (akan terjadi).
Ya Allah, hanya kepada-Mu aku berserah diri, hanya kepada-Mu aku beriman, hanya kepada-Mu aku bertawakkal, hanya kepada-Mu aku kembali, dan hanya karena-Mu aku berdebat, hanya kepada-Mu aku berhukum. Maka ampunilah dosa-dosa yang telah kuperbuat dan yang belakangan kuperbuat, ampunilah apa yang aku rahasiakan dan apa yang kutampakkan.
Engkau adalah Dzat yang Terdahulu, dan Engkau adalah Dzat yang Paling Akhir, tidak ada sesembahan yang benar kecuali Engkau, tiada daya dan upaya kecuali dengan pertolongan Allah.” (HR. Al-Bukhari no. 1120 dan Muslim no. 1805 dari Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma, lafadz yang dibawakan adalah lafadz Al-Bukhari)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa mengucapkan doa istiftah ini dalam shalat tahajjud.
- Bacaan:
اللَّهُمَّ رَبَّ جِبْرَئِيْلَ وَمِيْكَائِيْلَ وَإِسْرَافِيْلَ، فَاطِرَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ، عَالِمَ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ، أَنْتَ تَحْكُمُ بَيْنَ عِبَادِكَ فِيمَا كاَنُوْا فِيْهِ يَخْتَلِفُوْنَ، اهْدِنِي لِمَا اخْتُلِفَ فِيْهِ مِنَ الْحَقِّ بِإِذْنِكَ، إِنَّكَ تَهْدِي مَنْ تَشَاءُ إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيْمٍ
“Ya Allah, wahai Rabb Jibril, Mikail dan Israfil! Wahai Yang memulai penciptaan langit-langit dan bumi tanpa ada contoh sebelumnya! Wahai Dzat Yang mengetahui yang gaib dan yang tampak! Engkau menghukumi/memutuskan di antara hamba-hamba-Mu dalam perkara yang mereka berselisih di dalamnya. Tunjukilah aku mana yang benar dari apa yang diperselisihkan dengan izin-Mu. Sesungguhnya Engkau memberikan hidayah kepada siapa yang Engkau kehendaki ke jalan yang lurus.” (HR. Muslim no. 1808 dari Aisyah radhiallahu ‘anha)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengucapkannya dalam shalat lail (shalat malam).
- Bacaan:
اللهُ أَكْبَرُ (عَشْرًا)، الْحَمْدُ لِلهِ (عَشْرًا)، سُبْحَانَ اللهِ (عَشْرًا), لاَ إِلَهَ إلاَّ اللهُ (عَشْرًا)، أَسْتَغْفِرُ اللهَ (عَشْرًا) .اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِي، وَاهْدِنِي، وَارْزُقْنِي، وَعَافِنِي (عَشْرًا) .اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنَ الضِّيْقِ kl(يَوْمَ الْحِسَابِ (عَشْرًا) .
Allah Maha Besar (10 kali). Segala puji bagi Allah (10 kali). Mahasuci Allah (10 kali), tidak ada sesembahan yang benar kecuali Allah (10 kali), aku memohon ampun kepada Allah (10 kali). (kemudian membaca) Ya Allah, ampunilah aku, berilah petunjuk kepadaku, berilah rezeki kepadaku dan maafkanlah aku. (10 kali) (kemudian diteruskan dengan membaca) Ya Allah, sungguh aku berlindung kepada-Mu dari kesempitan pada hari penghisaban (perhitungan amalan).
(HR. Ahmad 6/143 dan Ath-Thabarani dalam Al-Ausath 62/2, dari Aisyah radhiallahu ‘anha, dengan sanad yang shahih sebagaimana dalam Ashlu Shifati Shalatin Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, 1/267 )
Doa-doa istiftah tersebut tidak digabungkan saat dibaca
Doa-doa istiftah di atas tidak digabungkan saat dibaca, karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika ditanya Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu tentang bacaan istiftah beliau, beliau menjawab dengan bacaan:
اللَّهُمَّ باَعِدْ بَيْنِي وَبَيْنَ خَطَايَايَ….
Beliau tidaklah menyebut doa istiftah yang lain setelah itu. Ini menunjukkan bahwa beliau tidak menggabungkan doa-doa istiftah yang ada. (Asy-Syarhul Mumti’, 3/52)
Isti’adzah
Isti’adzah yaitu bersandar kepada Allah ‘azza wa jalla dan mendekat ke sisi-Nya, untuk berlindung dari kejelekan setiap makhluk yang memiliki kejelekan. ‘Iyadzah itu untuk mencegah kejelekan.
Setelah beristiftah, sebelum membaca Al-Qur’an dalam shalat, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca ta’awudz (memohon perlindungan) kepada Allah ‘azza wa jalla terlebih dahulu dengan mengucapkan:
أَعُوْذُ بِاللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ، مِنْ هَمْزِهِ وَنَفْخِهِ وَنَفْثِهِ
“Aku berlindung kepada Allah dari setan yang terusir/dijauhkan (dari rahmat3) dari was-wasnya4, dari kesombongannya dan dari sihirnya.”5 (HR. Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushannaf 1/92/1, Ath-Thabarani dalam Al-Kabir 1/78/2, dari Jubair ibnu Muth’im radhiallahu ‘anhu, dishahihkan dalam Irwa’ul Ghalil hadits no. 342)
Terkadang dalam ta’awudz tersebut, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menambah dengan:
أَعُوْذُ بِاللهِ السَّمِيْعِ الْعَلِيْمِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ، مِنْ هَمْزِهِ وَنَفْخِهِ وَنَفْثِهِ
“Aku berlindung kepada Allah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui dari setan yang terusir/dijauhkan dari rahmat, dari was-wasnya, dari kesombongannya dan dari sihirnya.” (HR. Abu Dawud no. 775, dan lainnya, dari Abu Sa’id Al-Khudri radhiallahu ‘anhu dengan sanad yang hasan sebagaimana dalam Irwa’ul Ghalil pembahasan hadits no. 342)
Al-Imam Ahmad rahimahullah dalam Masa’il Ibni Hani’ (1/51) menyatakan, sepantasnya tambahan ini diucapkan kadang-kadang.
Jumhur ulama berpendapat hukum ta’awudz ini sunnah, dengan dalil hadits Al-Musi’u Shalatuhu, di mana dalam hadits tersebut tidak disebutkan ta’awudz. (Al-Majmu’ 3/283, Taudhihul Ahkam 2/170)
Ini merupakan pendapat Al-Hasan, Ibnu Sirin, Atha’, Ats-Tsauri, Al-Auza’i, Asy-Syafi’i, Ishaq, dan ashabur ra’yi. (Al-Mughni, Kitab Ash-Shalah, Fashl La Yajharul Imam bil Iftitah)
Pendapat inilah yang penulis pandang lebih kuat. Wallahu a’lamu bish-shawab.
Al-Imam Asy-Syaukani rahimahullah menyebutkan, “Tidak ada dalam hadits-hadits ta’awudz kecuali menerangkan bahwa ta’awudz dilakukan pada rakaat yang pertama. Adapun Al-Hasan, Atha’, dan Ibrahim berpendapat ta’awudz ini mustahab diucapkan dalam setiap rakaat. Mereka berdalil dengan keumuman firman Allah ‘azza wa jalla:
فَإِذَا قَرَأۡتَ ٱلۡقُرۡءَانَ فَٱسۡتَعِذۡ بِٱللَّهِ
“Bila engkau membaca Al-Qur’an maka mintalah perlindungan kepada Allah.” (An-Nahl: 98)
Tidaklah diragukan bahwa ayat di atas menunjukkan disyariatkannya isti’adzah sebelum membaca Al-Qur’an. Ayat ini berlaku umum, apakah si pembaca Al-Qur’an tersebut berada di luar shalat atau sedang mengerjakan shalat. Sedangkan hadits-hadits yang melarang berbicara di dalam shalat menunjukkan larangan tersebut tidak dibedakan, baik berbicara dengan mengucapkan ta’awudz ataupun ucapan-ucapan lain yang tidak ada dalil yang mengkhususkannya dan tidak pula ada izin untuk mengucapkan yang sejenisnya. Maka yang lebih hati-hati adalah mencukupkan dengan apa yang disebutkan dalam As-Sunnah, yaitu isti’adzah hanya dilakukan sebelum membaca Al-Qur’an dalam rakaat pertama saja.” (Nailul Authar, 2/39)
Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu berkata:
كَانَ رَسُولُ اللهِ إِذَا نَهَضَ فِي الرَّكْعَةِ الثَّانِيَةِ افْتَتَحَ الْقِرَاءَةِ بِالْحَمْدِ لِلهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ وَلَمْ يَسْكُتْ
“Adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bila bangkit ke rakaat kedua, beliau membuka bacaan (qiraah) dengan ‘Alhamdulillahi rabbil alamin’ dan beliau tidak diam.” (HR. Muslim no. 1355)
Hadits ini menunjukkan tidak disyariatkannya diam sebelum membaca (Al-Fatihah dan surat) pada rakaat yang kedua. Demikian pula tidak disyariatkan berta’awudz dalam raakat kedua ini. Dan hukum rakaat-rakaat berikutnya (setelah rakaat kedua) sama dengan hukum rakaat yang kedua. Sehingga diam sebelum membaca (Al-Fatihah dan surat) itu hanya khusus pada rakaat yang pertama. Demikian pula berta’awudz dalam rakaat pertama. (Nailul Authar, 2/136)
Ibnul Qayyim rahimahullah dalam Zadul Ma’ad (1/86) berkata, “Mencukupkan satu ta’awudz (hanya dalam rakaat pertama, pen.) adalah pendapat yang lebih nampak, berdasarkan hadits yang shahih dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu:
أَنَّ النَّبِيَّ كَانَ إِذَا نَهَضَ مِنَ الرَّكْعَةِ الثَّانِيَةِ، اسْتَفْتَحَ الْقِرَاءَةَ وَلَمْ يَسْكُتْ
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bila bangkit dari rakaat yang kedua, beliau membuka dengan bacaan dan tidak diam.”
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mencukupkan satu istiftah, karena beliau tidak menyelingi dua qiraah (bacaan) dengan diam, tapi beliau menyelinginya dengan dzikir. Maka qiraah dalam shalat seperti satu qiraah apabial yang menyelinginya adalah pujian kepada Allah, atau tasbih, atau tahlil, atau shalawat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan yang semisalnya.
Adapula yang berpendapat bahwa ta’awudz hukumnya wajib dan dibaca setiap rakaat dalam shalat, seperti pendapat Ibnu Hazm rahimahullah dalam Al-Muhalla (2/278) dan yang lainnya dari ahlul ilmi6, dengan dalil firman Allah ‘azza wa jalla:
فَإِذَا قَرَأۡتَ ٱلۡقُرۡءَانَ فَٱسۡتَعِذۡ بِٱللَّهِ
“Bila engkau membaca Al-Qur’an maka mintalah perlindungan kepada Allah.” (An-Nahl: 98)
Rahasia isti’adzah
Isti’adzah memiliki berbagai kebaikan. Di antaranya sebagai penyuci lisan dari berbagai ucapan sia-sia dan kotor yang diucapkan oleh seseorang, ketika mengucapkan/membaca kalamullah. Juga merupakan isti’anah (memohon pertolongan) kepada Allah ‘azza wa jalla, serta pengakuan bahwa Allah ‘azza wa jalla-lah yang memiliki kekuasaan, sementara hamba itu lemah dan tidak mampu mengatasi musuhnya (setan) yang nyata namun tidak nampak, serta tak ada yang mampu menolak dan mencegahnya kecuali Allah ‘azza wa jalla yang menciptakannya. Terlebih, setan ini tidak dapat menerima keramahtamahan dan tidak peduli dengan kebaikan, berbeda dengan musuh dari kalangan manusia. Hal ini sebagaimana ditunjukkan oleh banyak ayat dalam Al-Qur’an.
Allah ‘azza wa jalla berfirman:
إِنَّ عِبَادِي لَيۡسَ لَكَ عَلَيۡهِمۡ سُلۡطَٰنٞۚ وَكَفَىٰ بِرَبِّكَ وَكِيلٗا ٦٥
“Sesungguhnya hamba-hamba-Ku, engkau tidak memiliki kekuasaan atas mereka sama sekali. Cukuplah Rabbmu sebagai pelindung.” (Al-Isra’: 65)
Para malaikat turun untuk memerangi musuh berupa manusia. Siapa saja yang terbunuh oleh musuh yang nampak maka dia menjadi seorang syahid. Sementara orang yang binasa oleh musuh yang tidak nampak, dia akan terusir. Siapa saja yang terkalahkan oleh musuh yang nampak maka dia akan mendapatkan balasan pahala, sementara siapa saja yang terkalahkan oleh musuh yang tidak nampak, dia akan tertimpa fitnah dan memikul dosa.
Tatkala setan melihat manusia dari tempat yang tidak terlihat oleh manusia, maka semestinya manusia memohon perlindungan darinya kepada Dzat Yang melihatnya sedangkan setan tidak dapat melihat-Nya. (Al-Mishbahul Munir, hal.18)
Penulis mengatakan, masalah ini di luar shalat ketika membaca Al-Qur’an, maka tentunya di dalam shalat seseorang harus lebih memerhatikan lagi diri dan shalatnya. Karena pada saat itu ia dalam keadaan berdiri beribadah kepada Rabbnya yang semestinya ditegakkan dengan khusyu’ dan menjaga shalatnya dari was-was setan serta tipu dayanya. Wallahul musta’an.
Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu menyatakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِذَا نُوْدِيَ لِلصَّلاَةِ أَدْبَرَ الشَّيْطَانُ وَلَهُ ضُرَاطٌ حَتَّى لاَ يَسْمَعُ التَّأْذِيْنَ، فَإِذَا قَضَى النِّدَاء أَقْبَلَ حَتَّى إِذَا ثَوَّبَ بِالصَّلاَةِ أَدْبَرَ، حَتىَّ إِذَا قَضَى التَّثْوِيْبَ أَقْبَلَ حَتَّى يَخْطُرَ بَيْنَ الْمَرْءِ وَنَفْسِهِ يَقُوْلُ: اُذْكُرْ كَذَا، اُذْكُرْ كَذَا -لِمَا لَمْ يَكُنْ يَذْكُرُ– حَتَّى يَظِلَّ الرَّجُلُ لاَ يَدْرِي كَمْ صَلَّى
“Apabila diserukan adzan untuk shalat setan berlalu dan ia memiliki kentut (berlalu dengan mengeluarkan suara kentut) hingga ia tidak mendengar adzan. Apabila adzan selesai dikumandangkan, ia datang kembali hingga saat diserukan iqamah, ia berlalu lagi. Ketika telah selesai iqamah, ia datang lagi hingga ia bisa melintaskan di hati seseorang berbagai pikiran, ia berkata, ‘Ingatlah ini, ingatlah itu’, padahal sebelumnya orang yang shalat tersebut tidak mengingatnya, demikian sampai orang tersebut tidak mengetahui telah berapa rakaat shalat itu dikerjakannya.” (HR. Al-Bukhari no. 608)
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.
(Insya Allah bersambung)
ditulis oleh: Al-Ustadz Muslim Abu Ishaq Al-Atsari