Sosok Suami yang Adil

Apabila para suami ingin meneladani seseorang yang bisa berbuat adil di antara para istri, dialah sosok Rasul yang mulia shallallahu ‘alaihi wa sallam. Pribadi beliau sangat dan pasti mencukupi dijadikan teladan, karena Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

لَّقَدۡ كَانَ لَكُمۡ فِي رَسُولِ ٱللَّهِ أُسۡوَةٌ حَسَنَةٞ لِّمَن كَانَ يَرۡجُواْ ٱللَّهَ وَٱلۡيَوۡمَ ٱلۡأٓخِرَ وَذَكَرَ ٱللَّهَ كَثِيرٗا ٢١

“Sungguh telah ada bagi kalian uswah hasanah pada diri Rasulullah, bagi siapa yang mengharapkan Allah dan hari akhir, serta banyak mengingat Allah.” (al-Ahzab: 21)

Seorang yang beriman, mengharapkan pertemuan dengan Allah subhanahu wa ta’ala, membenarkan hari kebangkitan saat amalan mendapat balasan, takut akan hukuman Allah subhanahu wa ta’ala, dan berharap pahala-Nya, tentu tidak ragu menjadikan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai uswah/teladan.

Tentang hukum beruswah dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ini, ada perbedaan pendapat di kalangan ulama. Sebagian mereka mengatakan hukumnya wajib, sampai ada dalil yang menunjukkan sunnah/mustahab. Sebagian yang lain berpendapat hukumnya mustahab/sunnah sampai ada dalil yang menunjukkan wajib.

Kata al-Imam al-Qurthubi rahimahullah, bisa jadi dirinci, (1) hukumnya wajib apabila terkait dengan urusan agama dan (2) hukumnya mustahab dalam urusan dunia. (al-Jami’ li Ahkamil Qur’an, 13/103)

Kita ketahui bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memiliki banyak istri. Di antara para istri tersebut ada yang lebih beliau cintai daripada yang lain. Sebab, cinta adalah urusan hati yang berada di Tangan ar-Rahman, sesuatu yang di luar kemampuan hamba.

Oleh karena itu, tidaklah beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam dicela karena memiliki rasa cinta yang berbeda terhadap para istrinya. Memang, siapa pun tidak mungkin berbuat adil dalam urusan rasa cinta. Hanya saja, meski beliau lebih mencintai sebagian istrinya dibanding yang lain, hal itu tidaklah menghalangi beliau untuk berbuat adil secara zahir di antara mereka.

Aisyah radhiallahu ‘anha adalah istri yang paling dicintai oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dari mana kita tahu? Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri yang menyatakan dan mengakuinya.

قِيْلَ: يَا رَسُوْلَ اللهِ، مَنْ أَحَبُّ النَّاسِ إِلَيْكَ؟ قَالَ: عَائشَةُ. قِيْلَ: مِنَ الرِّجَالِ؟ قَالَ: أَبُوْهَا

Ditanyakan kepada Rasulullah, “Wahai Rasulullah, siapakah orang yang paling Anda cintai?”

Beliau menjawab, “Aisyah.”[1]

Ditanyakan lagi, “(Kalau) dari kalangan lelaki?”

“Ayahnya[2],” jawab beliau. (HR at-Tirmidzi, dinyatakan sahih oleh al-Albani rahimahullah dalam Shahih Sunan at-Tirmidzi no. 3890)

Aisyah radhiallahu ‘anha mempersaksikan tentang keadilan sang suami dalam kisahnya berikut ini.

كَانَ رَسُوْلُ اللهِ لاَ يُفَضِّلُ بَعْضَنَا عَلَى بَعْضٍ فِي الْقِسْمِ مِنْ مُكْثِهِ عِنْدَنَا. وَكَانَ قَلَّ يَوْمٌ إِلاَّ وَهُوَ يَطُوْفُ عَلَيْنَا جَمِيْعًا، فَيَدْنُو مِنْ كُلِّ امْرَأَةٍ مِنْ غَيْرِ مَسِيْسٍ حَتَّى يَبْلُغَ إِلَى الَّتِي هُوَ يَوْمُهَا فَيَبْيِتُ عِنْدَهَا. وَلَقَدْ قَالَتْ سَوْدَةُ بِنْتُ زَمْعَةَ حِيْنَ أَسَنَّتْ وَفَرِقَتْ أَنْ يُفَارِقَهَا رَسُوْلُ اللهِ: يَا رَسُوْلَ اللهِ، يَوْمِيْ لِعَائِشَةَ. فَقَبِلَ ذَلِكَ رَسُوْلُ اللهِ مِنْهَا. قَالَتْ: نَقُوْلُ فِي ذَلِكَ: أَنْزَلَ اللهُ تَعَالَى وَفِي أَشْبَاهِهَا أُرَاهُ قَالَ:

وَإِنِ ٱمۡرَأَةٌ خَافَتۡ مِنۢ بَعۡلِهَا نُشُوزًا

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak membedakan pembagian giliran di antara kami kami. Setiap hari beliau berkeliling menemui kami semua. Beliau mendekati semua istrinya tanpa ‘menyentuhnya’, hingga sampai di rumah istri yang beroleh giliran di hari tersebut, lalu beliau bermalam di rumahnya.

Tatkala Saudah radhiallahu ‘anha telah lanjut usia dan khawatir bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam akan menceraikannya, dia berkata, “Giliran hariku untuk Aisyah.”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun menerima tawaran tersebut.” Terhadap masalah seperti yang dialami oleh Saudah inilah turun ayat Allah subhanahu wa ta’ala,

وَإِنِ ٱمۡرَأَةٌ خَافَتۡ مِنۢ بَعۡلِهَا نُشُوزًا

        “Apabila seorang istri mengkhawatirkan nusyuz dari suaminya….” (HR. Abu Dawud no. 2135, hadits ini hasan sahih sebagaimana dalam Shahih Sunan Abi Dawud)

Aisyah radhiallahu ‘anha berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menggilir setiap istri beliau, siang dan malamnya, kecuali Saudah bintu Zam’ah radhiallahu ‘anha. Dia telah menghadiahkan siang dan malamnya untuk Aisyah istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam rangka mencari ridha Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (HR. al-Bukhari no. 2593)

Ketika hendak safar, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengutamakan istri yang beliau cintai untuk selalu diajak bersama beliau. Beliau justru mengundi istri-istri beliau, siapa yang akan dibawa serta dalam safar. Hal ini sebagaimana sebagaimana penuturan Aisyah radhiallahu ‘anha,

كَانَ رَسُوْلُ اللهِ إِذَا أَرَادَ سَفَرًا أَقْرَعَ بَيْنَ نِسَائهِ فَأَيَّتُهُنَّ أَخْرَجَ سَهْمَهَا خرَجَ بِهَا مَعَهُ

“Jika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ingin safar, beliau mengundi istri-istri beliau. Siapa yang keluar namanya dalam undian tersebut, dia akan dibawa serta oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam safarnya.” (HR. al-Bukhari no. 2593)

Termasuk keadilan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah ketika menikahi janda, beliau bermalam di kediamannya selama tiga hari agar terjalin kedekatan dengan istri yang baru tersebut. Setelah tiga hari, giliran istri yang baru tersebut sama dengan istri-istri yang lain.

Ummu Salamah radhiallahu ‘anha menyampaikan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tinggal di kediamannya selama tiga hari setelah pernikahan mereka. Ketika beliau hendak meninggalkan rumah, Ummu Salamah menarik baju beliau, mengharap beliau masih mau berdiam di rumahnya.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنْ شِئْتِ أَنْ أُسَبِّعَ لَكِ وَأُسَبِّعَ لِنِسَائِي، وَإِنْ سَبَّعْتُ لَكِ سَبَّعْتُ لِنِسَائِي

“Jika kamu mau agar aku berdiam di sisimu selama tujuh hari dan berdiam di sisi istri-istriku yang lainnya selama tujuh hari, (akan kulakukan). Sebab, jika aku memberi waktu tujuh hari untukmu, berarti aku juga harus memberi waktu tujuh hari untuk istri-istriku.” (HR. Muslim no. 3610)

Keadilan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ini tidaklah berkurang, sampai pun beliau sakit. Beliau tetap menggilir istri-istri beliau di rumah-rumah mereka, sampai akhirnya beliau merasakan kepayahan karena sakit beliau yang semakin parah. Aisyah radhiallahu ‘anha menuturkan,

لمَاَّ ثَقُلَ رَسُوْلُ اللهِ وَاشْتَدَّ وَجْعُهُ اسْتَأْذَنَ أَزْوَاجَهُ أَنْ يُمرَّضَ فِي بَيْتِي فَأَذِنَّ لَهُ

“Ketika sakit Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertambah parah, beliau meminta izin kepada istri-istrinya untuk dirawat di rumahku. Mereka pun mengizinkan beliau….” (HR. al-Bukhari no. 5714)

Dalam sebuah riwayat, Aisyah radhiallahu ‘anha berkata,

أَنَّ رَسُوْلُ اللهِ كَانَ يَسْأَلُ فِي مَرَضِهِ مَاتَ فِيْهِ يَقُوْلُ: أَيْنَ أَنَا غَدًا؟ أَيْنَ أَنَا غَدًا؟ يُرِيْدُ يَوْمَ عَائِشَةَ، فَأَذِنَ لَهُ أَزْوَاجُهُ يَكُوْنُ حَيْثُ شَاءَ، فَكَانَ فِي بَيْتِ عَائِشَةَ حَتَّى مَاتَ عِنْدَهَا

Rasulullah bertanya saat sakit yang mengantarkan beliau kepada ajalnya,

“Di mana saya besok? Di mana saya besok?” Beliau menginginkan hari giliran Aisyah.

Istri-istri beliau pun memperkenankan beliau untuk berdiam di tempat yang beliau inginkan. Beliau pun tinggal di rumah Aisyah sampai meninggal di sisi Aisyah….” (HR. al-Bukhari no. 5217)

Bersamaan dengan keadilan yang sempurna tersebut, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam meminta ampun kepada Allah subhanahu wa ta’ala dari perbuatan tidak adil dalam urusan yang beliau tidak mampu. Aisyah radhiallahu ‘anha berkata,

كَانَ رَسُوْلُ اللهِ يَقْسِمُ بَيْنَ نِسَائِهِ فَيَعْدِلُ وَيَقُوْلُ: اللَّهُمَّ هَذَا قِسْمَتِي فِيْمَا أَمْلِكُ، فَلاَ تَلُمْنِي فِيْمَا تَمْلِكُ وَلاَ أَمْلِكُ

Rasulullah membagi giliran di antara istri-istrinya dan beliau berlaku adil. Beliau berdoa, “Ya Allah, ini adalah pembagianku yang aku mampui. Janganlah Engkau mencelaku dalam apa yang Engkau kuasa sementara aku tidak kuasa.”[3]

Urusan yang beliau tidak sanggup berlaku adil adalah masalah kecondongan hati , yaitu cinta sebagaimana ditafsirkan oleh at-Tirmidzi. (Sunan at-Tirmidzi)

Memang dalam pembagian secara indrawi, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam benar-benar berbuat adil, tanpa kurang sedikit pun. Sebab, beliau sanggup dan mampu melakukan hal itu. Akan tetapi, urusan hati berada di tangan Allah subhanahu wa ta’ala.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mencintai Aisyah radhiallahu ‘anha lebih daripada istri-istri yang lain. Yang seperti ini di luar kemampuan dan keinginan beliau. Di samping itu, memang tidak ada tuntutan untuk berbuat adil dalam urusan hati. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

وَلَن تَسۡتَطِيعُوٓاْ أَن تَعۡدِلُواْ بَيۡنَ ٱلنِّسَآءِ وَلَوۡ حَرَصۡتُمۡۖ

“Kalian tidak akan sanggup untuk berbuat adil di antara istri-istri kalian walaupun kalian sangat ingin untuk melakukannya.” (an-Nisa: 129)

Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma menafsirkan urusan yang tidak dimampu yang tersebut dalam ayat di atas adalah, “Urusan cinta dan jima’.” (dinukil dalam Fathul Bari, 9/389)

Adapun dalam urusan lahiriah, seperti bermalam dan nafkah, suami wajib berlaku adil di antara istri-istrinya. Jika tidak, ia akan beroleh ancaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berikut ini.

مَنْ كَانَتْ لَهُ امْرَأَتَانِ مَالَ إِلَى إِحْدَاهُمَا جَاءَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَأَحَدُ شَقَّيْهِ مَائِلٌ

“Siapa yang memiliki dua istri lantas condong kepada salah satunya (tidak berlaku adil), dia akan datang pada hari kiamat dalam keadaan salah satu sisi tubuhnya miring.” (HR. Ahmad, dll; dinyatakan sahih dalam ash-Shahihah no. 2077)

Pergaulan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan istri-istri beliau merupakan teladan bagi orang-orang beriman. Oleh karena itu, seharusnya kita mengenali dan mempelajarinya, lantas mencontohnya. Sebab, apa yang dilakukan beliau adalah bentuk pensyariatan dan petunjuk kepada umat beliau, agar dicontoh dan diteladani, selain dalam urusan yang menjadi kekhususan beliau.

Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.

Ditulis oleh al-Ustadzah Ummu Ishaq al-Atsariyah

[1] Semoga Allah subhanahu wa ta’ala menghancurkan Rafidhah sehancur-hancurnya, mereka sangat membenci wanita yang justru sangat dicintai oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ini.

[2] Sekali lagi, kebinasaan bagi Rafidhah yang sangat membenci Abu Bakr ash-Shiddiq radhiallahu ‘anhu, sahabat yang paling dicintai oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

[3] Diriwayatkan oleh imam yang empat dan dinyatakan sahih oleh Ibnu Hibban dan al-Hakim, dari jalan Hammad bin Salamah. Demikian kata Ibnu Hajar al-Asqalani dalam Fathul Bari [9/389]. Kata at-Tirmidzi, “Diriwayatkan oleh Hammad bin Zaid dan lebih dari satu orang, dari Ayyub, dari Abu Qilabah secara mursal. Riwayat yang mursal ini lebih sahih daripada riwayat Hammad bin Salamah.”

Adapun al-Imam al-Albani menyatakan hadits ini lemah dalam Dhaif Sunan at-Tirmidzi.