Ada Surga dan Neraka

Judul di atas bisa jadi sangat menggelitik. Mengapa? Bukankah keyakinan tentang akhirat—berikut segala kehidupan di dalamnya—dalam akidah Islam sudah final? Banyak kaum muslimin yang memang “nyaman” dengan pemahaman demikian. Namun kenyataan berbicara lain. Masih dan akan terus ada yang berupaya melucuti ajaran-ajaran Islam yang telah baku di kalangan umat. Salah satunya adalah kehidupan akhirat.
Ada kalangan yang mereduksi semua gambaran akhirat yang telah digambarkan dalam al-Qur’an dan as-Sunnah. Surga dan neraka dalam benak mereka hanyalah sebatas gambaran dunia metafisik. Dengan kata lain, surga dan neraka hanyalah fantasi atau dongeng. Oleh karena itu, setiap muslim tak perlu “merisaukan” kehidupan akhirat tersebut.
Intinya, mereka—yang di antaranya adalah kalangan Islam liberal—hendak menafikan eksistensi surga dan neraka secara fisik seperti disebut al-Qur’an. Bagi mereka, surga, neraka, ash-shirath, dsb, adalah pesan-pesan agama yang bersifat simbolis, jadi (lagi-lagi) perlu dipahami secara kontekstual. Misalnya, ash-shirath yang digambarkan syariat sebagai titian di atas neraka yang lebih halus daripada rambut namun lebih tajam daripada pedang—setebal rambut dibelah tujuh tidak ada riwayatnya, red.—, lantas dimaknai sebagai highways (berbentuk jamak) yang diterjemahkan sebagai jalan-jalan raya menuju kebenaran.
Di pihak lain, memang tak bisa dimungkiri beredar komik masa kecil yang lancang dalam menyuguhkan naturalisasi alam akhirat. Surga dan neraka diilustrasikan secara ngawur. Alhasil, sampai ada gambaran penyiksaan di neraka yang menggunakan setrika layaknya di dunia. Karena kala itu setrika listrik belum jamak digunakan, tentu saja ilustrasinya dengan setrika “djadoel” alias setrika arang.
Di satu sisi, ada juga yang coba mengayunkan gagasan keagamaan menyimpang yang lain. Menurut paham yang tak kalah aneh ini, umat nonmuslim juga mempunyai kesempatan untuk masuk surga, jika mereka beramal saleh serta beriman kepada Allah l dan hari akhir.  Padahal kita tahu mereka tidak menyembah Allah l dan mengimani Rasulullah n, juga tidak melakukan ibadah-ibadah yang disyariatkan dalam Islam. Ini sama artinya meruntuhkan seluruh syariat Islam. Alhasil, tak ada bedanya Islam dengan aliran kebatinan yang cuma bermodal “eling”.
Abaikan sejenak semua yang aneh-aneh itu. Yang perlu kita yakini, surga dan neraka berikut kehidupan akhirat adalah janji Allah l yang pasti. Tak semua berita Allah l lantas harus dilogika, tak perlu pula kita penat berfilsafat. Meskipun demikian, tidak ada berita Ilahi yang bertolak belakang dengan logika yang sehat. Terkadang keterbatasan logika kita yang justru menghambat. Oleh karena itu, cukuplah keimanan kita kedepankan untuk membenarkan berita-berita yang dikabarkan Allah l dan Rasul-Nya tanpa “bersusah payah” menyelewengkan maknanya.
Lebih-lebih, hari akhir telah membentang, sudahkah kita menatap diri, akan menuju ke manakah kita, surga atau neraka? Ataukah kita justru menjadi para pengingkar, menganggap dunia adalah “surga” yang sesungguhnya, lantas tak pernah mengakui adanya surga dan neraka di akhirat,—na’udzubillah. Wallahu a’lam.