Jika ingin tahu di mana ajaran yang ‘aneh tapi nyata’, jawabannya ada di agama Syiah. Kalau mau tahu ajaran sesat-menyesatkan, semuanya ada di Syiah.
Bagaimana tidak? Syiah mengoleksi demikian banyak keanehan, kejanggalan, sesuatu yang tidak bisa diterima oleh akal sehat, penyimpangan akidah, moral dan akhlak, serta menyelisihi fitrah manusia. Pun begitu, Syiah dianggap bagian dari Islam padahal Islam berlepas diri dari Syiah.
Berikut ini beberapa daftar kejahatan kaum yang rendah tersebut.
Dalam agama Syiah, kesyirikan bukanlah sesuatu yang dimungkiri. Seruan “Ya Husain!” biasa mereka ucapkan dalam perkumpulan mereka, dalam acara Husainiyat misalnya, seraya menepuk-nepuk dada. Lebih ngeri lagi syiriknya, mereka mengatakan bahwa Ali bin Abi Thalib, ayahanda Husain, adalah Rabb mereka pada hari kiamat.
Dalam agama Syiah ada pengagungan terhadap kuburan. Bahkan, beribadah dan sujud kepada kuburan tokoh-tokoh mereka adalah sesuatu yang biasa.
Dalam agama Syiah ada tuduhan bahwa al-Qur’an yang di tangan kaum muslimin itu kurang, tidak lengkap. Dalam agama Syiah ada penghinaan terhadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan ahlul bait beliau.
Dalam agama Syiah ada pengafiran terhadap orang-orang terbaik dari umat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, yaitu para sahabat yang mulia radhiallahu ‘anhum, kecuali sedikit dari mereka.
Dalam agama Syiah ada legalisasi dusta dengan nama taqiyah. Bahkan, barang siapa tidak bertaqiyah, dia tidaklah beragama. Demikian anggapan mereka.
Dalam agama Syiah ada penghalalan darah orang-orang yang tidak mengikuti agama mereka, terutama darah Sunni (Ahlus sunnah) musuh besar Syiah.
Dalam agama Syiah ada kecintaan kepada Yahudi karena Syiah memang terlahir dari rahim Yahudi.
Dalam agama Syiah ada tindakan memakan harta manusia dengan cara batil yang dilakukan oleh tokoh agama mereka. Mereka menyebutnya khumus.
Dalam agama Syiah, shalat Jum’at tidak disyariatkan kecuali sekadar taqiyah, berpura-pura saja tanpa keyakinan. Bahkan, shalat lima waktu dikurangi menjadi tiga waktu. Yang lebih ngeri lagi, shalat dilakukan dengan menghadap foto atau poster tokoh agama mereka.
Dalam agama Syiah ada ritual menyantap najis, yaitu makan dan minum “kotoran” imam mereka. Mereka menganggap, barang siapa memakannya, ia akan selamat dari api neraka.
Dalam agama Syiah ada ritual sadis dengan memukul-mukul dahi dan punggung dengan benda tajam dalam peringatan Asyura.
Dalam agama Syiah ada kejahatan dan kezaliman yang diatasnamakan agama terhadap anak-anak kecil dengan menjadikan mereka berdarah-darah akibat pukulan pedang di dahi mereka. Anehnya, ini dilakukan sendiri oleh orang tua mereka dalam ritual acara Asyura.
Dalam agama Syiah dibolehkan sodomi, perbuatan kaum Luth (homoseks) juga dianggap halal.
Dalam agama Syiah ada penghalalan zina, penistaan terhadap perempuan atas nama mut’ah. Yang terakhir inilah yang ingin kita bicarakan secara khusus.
Nasib Perempuan Sebelum dan Setelah Islam
Islam dibawa oleh Sang Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam ke tengah manusia dalam keadaan nasib perempuan demikian terpuruk. Terkhusus di kalangan bangsa Arab pada masa jahiliah. Mereka membenci kelahiran bayi perempuan. Ada yang mengubur bayi perempuannya hidup-hidup. Ada pula yang membiarkannya hidup tetapi dalam keadaan terhina.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,
وَإِذَا بُشِّرَ أَحَدُهُم بِٱلۡأُنثَىٰ ظَلَّ وَجۡهُهُۥ مُسۡوَدّٗا وَهُوَ كَظِيمٞ ٥٨ يَتَوَٰرَىٰ مِنَ ٱلۡقَوۡمِ مِن سُوٓءِ مَا بُشِّرَ بِهِۦٓۚ أَيُمۡسِكُهُۥ عَلَىٰ هُونٍ أَمۡ يَدُسُّهُۥ فِي ٱلتُّرَابِۗ أَلَا سَآءَ مَا يَحۡكُمُونَ ٥٩
“Dan apabila salah seorang dari mereka diberi kabar dengan kelahiran anak perempuan, hitamlah (merah padamlah) wajahnya dan dia sangat marah.
Dia menyembunyikan dirinya dari orang banyak disebabkan buruknya berita yang disampaikan kepadanya. Apakah dia akan memelihara anak perempuan tersebut dengan menanggung kehinaan ataukah akan menguburkannya ke dalam tanah (hidup-hidup). Ketahuilah, alangkah buruknya apa yang mereka tetapkan itu.” (an-Nahl: 58—59)
Kalau ada bayi perempuan yang selamat dari penguburan hidup-hidup, dia tidak dipelihara dengan baik. Dia dibiarkan tumbuh dalam keadaan sengsara dan tersia-siakan.
Dia tidak berhak beroleh warisan dari kerabatnya yang meninggal walaupun kerabatnya tersebut kaya raya dan si perempuan fakir. Sebab, yang berhak mendapat warisan hanyalah kaum lelaki . Bahkan, apabila suaminya meninggal, si perempuan dan hartanya (apabila punya harta) menjadi warisan yang akan diambil oleh ahli waris suaminya. Mereka akan berbuat sesuka hati mereka kepadanya.
Di masa sebelum datangnya Islam, seorang lelaki bisa semaunya menikahi perempuan tanpa pembatasan dan tanpa peduli dengan keadaan istri-istri; kesempitan dan kezaliman, tidak ada mahar yang bisa dimiliki, tidak ada hak dan tidak ada pergaulan yang baik.
Keadaan pun berganti. Tatkala cahaya Islam bersinar menerangi bumi yang gulita, diangkatlah kezaliman terhadap perempuan. Islam menetapkan bahwa perempuan adalah manusia sebagaimana lelaki, keduanya berserikat dalam membentuk keturunan bangsa manusia.
يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ إِنَّا خَلَقۡنَٰكُم مِّن ذَكَرٖ وَأُنثَىٰ
“Wahai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kalian dari seorang lelaki dan seorang perempuan….” (al-Hujurat: 13)
Keduanya pun berserikat dalam hal mendapatkan pahala atau hukuman atas perbuatan yang dilakukan.
مَنۡ عَمِلَ صَٰلِحٗا مِّن ذَكَرٍ أَوۡ أُنثَىٰ وَهُوَ مُؤۡمِنٞ فَلَنُحۡيِيَنَّهُۥ حَيَوٰةٗ طَيِّبَةٗۖ وَلَنَجۡزِيَنَّهُمۡ أَجۡرَهُم بِأَحۡسَنِ مَا كَانُواْ يَعۡمَلُونَ ٩٧
“Barang siapa mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan, dalam keadaan beriman, sungguh akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sungguh akan Kami berikan balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (an-Nahl: 97)
لِّيُعَذِّبَ ٱللَّهُ ٱلۡمُنَٰفِقِينَ وَٱلۡمُنَٰفِقَٰتِ وَٱلۡمُشۡرِكِينَ وَٱلۡمُشۡرِكَ
“…sehingga Allah mengazab orang-orang munafik laki-laki dan perempuan dan orang-orang musyrik laki-laki dan perempuan….” (al-Ahzab: 73)
Allah subhanahu wa ta’ala mengharamkan perempuan dijadikan barang warisan.
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ لَا يَحِلُّ لَكُمۡ أَن تَرِثُواْ ٱلنِّسَآءَ كَرۡهٗاۖ
“Wahai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kalian mewarisi perempuan dengan cara paksa….” (an-Nisa: 19)
Bahkan, perempuan menjadi ahli waris atas harta yang ditinggalkan oleh kerabatnya yang wafat sebagaimana halnya kaum lelaki.
لِّلرِّجَالِ نَصِيبٞ مِّمَّا تَرَكَ ٱلۡوَٰلِدَانِ وَٱلۡأَقۡرَبُونَ وَلِلنِّسَآءِ نَصِيبٞ مِّمَّا تَرَكَ ٱلۡوَٰلِدَانِ وَٱلۡأَقۡرَبُونَ مِمَّا قَلَّ مِنۡهُ أَوۡ كَثُرَۚ نَصِيبٗا مَّفۡرُوضٗا ٧
“Bagi para lelaki ada bagian dari harta peninggalan kedua orang tua dan karib kerabat. Dan bagi perempuan ada pula bagian dari harta peninggalan kedua orang tua dan karib kerabat, baik sedikit ataupun banyak menurut bagian yang telah ditetapkan.” (an-Nisa: 7)
Dalam urusan nikah, Allah subhanahu wa ta’ala membatasi seorang lelaki untuk mengumpulkan maksimal empat orang istri, dengan syarat suami bisa berlaku adil di antara istri-istrinya dan bisa bergaul dengan baik dengan mereka.
وَعَاشِرُوهُنَّ بِٱلۡمَعۡرُوفِۚ
“Dan bergaullah kalian (para suami) dengan mereka (para istri) secara patut.” (an-Nisa: 19)
Diwajibkan bagi seorang lelaki untuk menyerahkan mahar kepada perempuan yang dinikahinya.
وَءَاتُواْ ٱلنِّسَآءَ صَدُقَٰتِهِنَّ نِحۡلَةٗۚ
“Berikanlah mahar kepada perempuan yang kalian nikahi sebagai pemberian dengan penuh kerelaan….” (an-Nisa: 4)
Selain itu, suami diwajibkan memberi makan dan pakaian kepada istrinya, menurut penjelasan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang hak istri dalam hadits beliau yang agung. (Tanbihat ‘ala Ahkam Takhtashshu bil Mu’minat, Fadhilatusy Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan hafizhahullah, hlm. 5—6)
Perempuan dalam Ajaran Syiah
Lain perempuan dalam ajaran Islam, lain pula dalam ajaran Syiah. Syiah memperlakukan perempuan tidak seperti nilai-nilai yang ditanamkan oleh Islam. Mereka menjadikan perempuan sebagai budak nafsu mereka yang kotor. Namun, mereka menyembunyikan kebusukan tersebut dengan mengatasnamakan agama. Mut’ah namanya. Dibuatlah riwayat-riwayat yang palsu oleh para zindiq tentang keutamaan mut ’ah, lalu mereka sandarkan secara dusta kepada para imam ahlul bait yang mulia.
Dengan mut’ah, seorang lelaki dalam agama Syiah—apalagi sekelas Sayyid atau Ayatullah—bisa sesukanya “menikahi” perempuan, tidak harus ada wali dan tanpa harus ada saksi. Ketemuan berdua di jalan, suka sama suka, si lelaki berkata, “Aku ingin mut’ah denganmu.”
Jika si perempuan setuju, disepakatilah maharnya (baca: sewanya) dan bisa ditentukan berapa lama ingin menjalani mut’ah tersebut, hanya satu jam, semalam, atau lebih dari itu.
Disebutkan riwayat dari kitabrujukan utama mereka “al-Kafi”[1], Khalaf bin Hammad berkata, “Aku mengutus seseorang untuk bertanya kepada Abu Hasan tentang batas minimal waktu mut’ah. Apakah diperbolehkan mut’ah dengan kesepakatan jangka waktu satu kali hubungan badan?” Jawabnya, “Ya, boleh.” (al-Kafi, 5/460)
Perempuan yang dinikahi secara mut’ah memang tidak layak disebut istri, tetapi perempuan sewaan (lantas apa bedanya dengan pelacur?). Mereka meriwayatkan secara jahat dan dusta lalu mereka sandarkan kepada Abu Abdillah al-Husain bin Ali bin Abi Thalib radhiallahu ‘anhuma. Kata riwayat dusta itu, Abu Abdillah berkata, “Menikahlah dengan seribu perempuan, karena perempuan yang dimut’ah adalah perempuan sewaan.” (al-Kafi, 5/452)
Setelah kontrak mut’ah habis, terus bagaimana? Ya, bubar begitu saja. Tidak ada hak dan kewajiban, tidak ada hubungan waris-mewarisi. Demikian pernyataan Ayatullah mereka, Ali as-Sistani, dalam bukunya, Minhaj as-Salihin (3/80, masalah ke-255).
Bagaimana kalau ternyata si perempuan yang dimut’ah hamil akibat hubungan tersebut, apakah si lelaki bertanggung jawab menafkahi anak yang dikandung?
Kata Ali as-Sistani dalam masalah ke-256 di kitab yang sama, “Laki-laki yang nikah mu’tah dengan seorang perempuan tidaklah wajib untuk menafkahi istri mut’ahnya, walaupun sedang hamil dari bibitnya.”
Bahkan, banyak kejadian di negeri Syiah sana, tidak diketahui siapa lelaki yang berhasil menanamkan benih di rahim si perempuan karena si perempuan berulang kali melakukan mut’ah dengan banyak lelaki dalam sebulan. Na’udzu billah.
Yang lucu, untuk mengobati hati perempuan pelaku mut’ah yang mungkin ‘hancur lebur’ karena hamil tanpa suami yang sah/permanen, dibuatlah ‘riwayat’ bahwa anak yang terlahir dari nikah mut’ah lebih utama daripada anak yang lahir dari pernikahan yang sah. Imam Ja’far versi mereka di kitab mereka berkata, “Dan anak hasil mut’ah lebih utama daripada anak dari istri da’im (dari nikah permanen).” (Tafsir Minhajus Shadiqin, al-Mulla al-Kasyani, 2/495)
Di negeri pengekspor ajaran Syiah atau yang mayoritas penduduknya beragama Syiah, anak-anak perempuan yang terlahir dari hasil mut’ah dibuatkan perkumpulan yang dinamakan Zainabiyat. Para perempuan Zainabiyat ini kelak siap dan suka hati menjadi “istri-istri” mut’ah.
Di sisi lain, para suami sah-sah saja menjadi dayyuts yang telah kehilangan akal sehatnya. Telah hilang rasa cemburu kepada istri-istri mereka. Mereka rela meminjamkan istrinya kepada tetangga, sahabat, atau siapa pun laki-laki yang dititipi selama si suami safar. Terserah yang dititipi mau berbuat apa saja terhadap istrinya.
Ini terjadi karena adanya fatwa ulama mereka tentang bolehnya i’aratul farj (menyewakan kemaluan). Ketika lelaki yang dititipi tersebut menggauli si istri, perbuatannya tidak dianggap zina, tetapi menikah sementara alias mut’ah selama suaminya safar. Na’udzu billah.
Lebih jauh lagi, mut’ah tidak hanya dilakukan dengan seorang gadis atau perempuan yang tidak memiliki suami sah. Mut’ah boleh dilakukan dengan istri orang lain, walau tanpa sepengetahuan dan ridha suaminya. Tidak hanya perempuan baligh yang menjadi korban ganasnya mut’ah, bahkan gadis kecil berusia kurang dari sepuluh tahun pun boleh dimut’ah, menurut fatwa ulama mereka.
Bahkan dikisahkan oleh Husain al-Musawi[2], Khomeini—imam Syiah yang sangat jahat dan Allah subhanahu wa ta’ala cukupkan kita dari kejahatannya dengan kematiannya—pernah melakukan mut’ah dengan bocah perempuan berusia 4 atau 5 tahun. (Lillahi Tsumma lit Tarikh, as-Sayyid Husain al-Musawi, hlm. 35—37)
Melengkapi kejahatannya, Khomeini memandang bolehnya mut’ah dengan bayi perempuan yang masih menyusu sekalipun, sebagaimana dalam bukunya Tahrir al-Wasilah (2/241, masalah no. 12).
Apa yang kita simpulkan dari pemaparan di atas?
Perempuan, dari bayi sampai yang dewasa, tidak memiliki kehormatan di sisi Syiah. Perempuan dihinakan, hanya menjadi objek pemuas nafsu setan. Kalau si lelaki masih suka, dia tahan dalam hubungan mut’ah. Apabila sudah bosan, ditinggalkan begitu saja. Sungguh sengsara!
Betapa banyak lelaki yang melakukan mut’ah dengan seorang perempuan dan dengan ibunya. Dia melakukan mut’ah dengan si ibu dan dengan putri si ibu. Terjadi juga perempuan bersaudara dimut’ah oleh lelaki yang sama. Bahkan, ada seorang perempuan dimut’ah oleh seorang lelaki. Di belakang hari, si lelaki memut’ah putrinya sendiri dari hasil mut’ah sekian tahun sebelumnya. (Lillahi Tsumma lit Tarikh, hlm. 44)
Husain al-Musawi memberikan persaksian, “Pernah datang kepadaku[3] seorang ibu, meminta penjelasan dariku tentang kejadian yang menimpa dirinya. Dia beritakan kepadaku bahwa seorang tokoh agama Syiah, yaitu Sayyid Husain ash-Shadr, pernah mut’ah dengannya lebih dari 20 tahun yang lalu. Dia hamil dari hasil hubungan tersebut. Ketika Sayyid Husain ash-Shadr sudah tidak menginginkan dirinya, dia pun ditinggalkan.
Beberapa waktu kemudian dia melahirkan seorang anak perempuan. Dia bersumpah bahwa anak itu adalah hasil hubungannya dengan Sayyid Husain ash-Shadr karena waktu itu tidak ada seorang lelaki pun yang melakukan mut’ah dengannya selain Sayyid Husain.
Setelah si anak perempuan tumbuh besar, menjadi seorang remaja putri yang cantik dan siap menikah, ternyata si ibu mengetahui bahwa putrinya telah hamil. Saat ditanya sebab hamilnya, putrinya memberitakan bahwa Sayyid Husain ash-Shadr telah melakukan mut’ah dengannya hingga hamil. Si ibu bingung, apa yang semestinya dia lakukan?”
Kemudian al-Musawi mengatakan bahwa kejadian seperti di atas sering sekali terjadi. Ada yang melakukan mut’ah dengan seorang remaja putri yang ternyata adalah saudari perempuannya dari hasil mut’ah. Ada yang melakukan mut’ah dengan istri ayahnya. Di Iran, kejadian seperti ini tidak mampu dihitung karena banyaknya. (Lillahi Tsumma lit Tarikh, hlm. 44)
Demikian gambaran penistaan kaum Syiah terhadap kaum wanita. Maka dari itu, wahai kaum Hawa, jagalah dirimu jangan sampai mengikuti ajaran sesat Syiah! Jangan sampai engkau tertipu oleh mulut manis saudara setan dengan dalih agama.
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.
Ditulis oleh al-Ustadzah Ummu Ishaq al-Atsariyah
[1] Merupakan kitab hadits dan riwayat. Al-Kafi ini kedudukannya seperti Shahih al-Bukhari dalam agama Syiah. Penulisnya, Muhammad bin Ya’qub al-Kulaini, digelari Tsiqatul Islam.
[2] Beliau mantan ulama Syiah yang sudah bertobat. Beliau menulis buku berjudul Lillahi Tsumma lit Tarikh, yang membeberkan kebobrokan Syiah.
[3] Saat beliau masih bergabung dengan Syiah.