Takdir, Wilayah Terbatas : Mendudukkan Pembahasan Takdir

Membahas masalah takdir sangatlah penting. Namun, sebagian kalangan justru keliru memahaminya dengan mengatakan, “Membahas masalah takdir hanya melahirkan keraguan dan kebingungan!”, “Membahas masalah takdir hanya akan menjadi sebab ketergelinciran dan kesesatan!”

Semua anggapan di atas tidaklah benar karena membahas masalah takdir sangatlah penting. Hal ini dibuktikan dengan beberapa hal berikut.

  1. Beriman kepada takdir merupakan salah satu rukun iman.
    Keimanan seorang hamba tidak akan mungkin sempurna melainkan dengan beriman kepada takdir. Lalu, bagaimana mungkin caranya untuk mengetahui keimanan terhadap takdir, jika tidak dibicarakan dan tidak dijelaskan?
  2. Al-Qur’an banyak menyebutkan masalah takdir serta perinciannya.
    Padahal, Allah subhanahu wa ta’ala memerintahkan kita untuk mempelajari dan merenungkan Al-Qur’an. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

“Ini adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka memerhatikan ayat-ayatnya dan supaya mendapat pelajaran orang-orang yang mempunyai pikiran.” (Shaad: 29)

Lalu, apakah alasannya mengecualikan ayat-ayat takdir dari keumuman perintah tersebut?

  1. Beriman kepada takdir disebutkan dalam hadits terbesar dalam Islam, hadits Jibril ‘alaihissalam.

Peristiwa dalam hadits tersebut terjadi pada hari-hari terakhir kehidupan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Di akhir hadits, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

هَذَا جِبْرِيلُ جَاءَ يُعَلِّمُ النَّاسَ دِينَهُمْ

“Orang tadi adalah Jibril. Ia datang untuk memberikan pelajaran tentang agama manusia.” (HR. Muslim no. 8)

Jadi, mempelajari masalah takdir juga termasuk bagian dari agama. Hukumnya wajib, walaupun secara global.

  1. Para sahabat bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang masalah takdir yang sangat rinci.

Sebuah hadits diriwayatkan oleh al-Imam Muslim (no. 2648) dari sahabat Jabir radhiallahu ‘anhu. Suraqah bin Malik radhiallahu ‘anhu pernah bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:

يَا رَسُولَ اللهِ، بَيِّنْ لَنَا دِينَنَا كَأَنَّا خُلِقْنَا الْآنَ، فِيمَا الْعَمَلُ الْيَوْمَ، أَفِيمَا جَفَّتْ بِهِ الْأَقْلَامُ وَجَرَتْ بِهِ الْمَقَادِيرُ أَمْ فِيمَا نَسْتَقْبِلُ؟ قَالَ: لَا، بَلْ فِيمَا جَفَّتْ بِهِ الْأَقْلَامُ وَجَرَتْ بِهِ الْمَقَادِيرُ. قَالَ: فَفِيمَ الْعَمَلُ؟ فَقَالَ: اعْمَلُوا فَكُلٌّ مُيَسَّرٌ

“Wahai Rasulullah, mohon berikan penjelasan tentang agama ini kepada kami, seolah-olah kami diciptakan sekarang ini. Untuk apakah kita beramal hari ini, apakah pada hal-hal yang pena telah kering dan takdir yang berjalan, ataukah untuk yang akan datang?” Beliau menjawab, “Bahkan pada hal-hal yang pena telah kering darinya dan takdir yang berjalan.” Ia bertanya, “Lalu apa guna beramal?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Beramallah kalian, karena masing-masing dipermudah (untuk melakukan sesuatu yang telah ditakdirkan untuknya).”

  1. Para sahabat menyampaikan masalah takdir kepada murid-murid mereka, kalangan tabi’in.

Mereka mengajukan pertanyaan tentang takdir untuk menguji dan mengetahui pandangan mereka. Dalam sebuah riwayat Muslim (no. 2650), Abul Aswad ad-Du’ali berkata, “Imran bin Hushain radhiallahu ‘anhu pernah bertanya kepadaku, ‘Apa pendapatmu tentang amalan yang dikerjakan orang hari ini, yakni bekerja keras?

Apakah sesuatu yang telah ditetapkan untuk mereka dan sesuatu yang telah lewat takdir sebelumnya? Ataukah untuk sesuatu yang akan mereka hadapi, dari ajaran yang dibawa oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mereka dan hujjah telah tegak untuk mereka?’ Aku menjawab, ‘Bahkan, sesuatu yang telah ditetapkan untuk mereka.’ Beliau bertanya, ‘Kalau begitu, apakah bukan sebuah kezaliman bagi mereka?’ Abul Aswad berkata, ‘Aku pun langsung benar-benar terkejut.’ Aku berkata, ‘Segala sesuatu adalah ciptaan Allah subhanahu wa ta’ala, kekuasaan di tangan-Nya. Dia tidak ditanya tentang perbuatan-Nya, akan tetapi merekalah yang akan ditanya tentang perbuatan mereka.’ Imran bin Hushain radhiallahu ‘anhu berkata:

يَرْحَمُكَ اللهُ إِنِّي لَمْ أُرِدْ بِمَا سَأَلْتُكَ إِلَّا لِأَحْزِرَ عَقْلَكَ

‘Semoga Allah subhanahu wa ta’ala merahmatimu, sesungguhnya aku tidak memaksudkan dari pertanyaanku kepadamu melainkan untuk memahamkan akalmu’.”

  1. Para ulama salaf telah menulis dan menyusun tulisan tentang takdir.
    Jika kita melarang pembahasan tentang takdir, sama artinya menganggap mereka sebagai orang-orang bodoh.

An-Nawawi rahimahullah berkata, “Telah pasti secara dalil qath’i, dari Al-Kitab, as-Sunnah, ijma’ sahabat, ijma’ ahlil halli wal ‘aqdi, dari generasi salaf dan khalaf, tentang ketetapan takdir. Banyak ulama yang menulis tentang takdir. Di antara kitab terbaik yang ditulis dan banyak memberikan faedah adalah kitab karya al-Hafizh al-Faqih Abu Bakr al-Baihaqi, semoga Allah subhanahu wa ta’ala merahmatinya.” (Syarah an-Nawawi, an-Nawawi, 1/154—155)

Pertanyaannya, bagaimana memadukan keterangan di atas dengan beberapa riwayat yang menunjukkan larangan membicarakan takdir?
Misalnya, hadits Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu riwayat ath-Thabarani dalam kitab al-Mu’jamul al-Kabir (no. 10448) dan yang lain. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

وَإِذَا ذُكِرَ الْقَدَرُ فَأَمْسِكُوا

“Apabila disebut tentang takdir, tahanlah diri!” (as-Silsilah ash-Shahihah, 1/24 [34])

Atau contoh lain, hadits Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu riwayat at-Tirmidzi (no. 2133) yang dihasankan oleh al-Albani. Di dalam hadits tersebut, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat marah saat menyaksikan para sahabat sedang berselisih tentang takdir. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّمَا هَلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ حِينَ تَنَازَعُوا فِي هَذَا الْأَمْرِ، عَزَمْتُ عَلَيْكُمْ أَلَّا تَتَنَازَعُوا فِيهِ

“Sesungguhnya umat sebelum kalian binasa karena memperselisihkan masalah ini (takdir). Saya mengharuskan kalian untuk tidak berselisih tentang masalah ini!”
Menjawab pertanyaan di atas sebenarnya mudah karena ajaran Islam tidak mengandung kontradiksi.

Larangan untuk membicarakan tentang takdir hanyalah pada kondisi-kondisi berikut ini.

  1. Membica-rakan tentang takdir secara batil, tanpa ilmu dan tanpa dalil.
    Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungjawabannya.” (al-Isra’: 36)

Asy-Syaikh Shalih al-Fauzan berkata, “Maksudnya, takdir termasuk rahasia. Apabila seseorang membahasnya dan memperdalam pembahasan, ia tidak akan mungkin pernah mencapai tujuan melainkan jika dia berjalan sesuai dengan keterangan nash-nash. Pada beberapa hadits disebutkan, ‘Jika perkara takdir disebut, tahanlah diri!’ Hal ini karena jika si hamba memperdalam pembahasan tentang takdir bukan di atas ilmu, ia akan terperosok dalam kesesatan. Sebab kesesatannya, karena ia mencari ‘illah (alasan) bagi perbuatan-perbuatan Allah subhanahu wa ta’ala dan membahas takdir tanpa memiliki pengetahuan tentang Al-Qur’an dan as-Sunnah.” (Syarah Lum’atul I’tiqad, al-Fauzan, hlm. 70—72)

  1. Landasan membicarakan tak-dir adalah dengan akal, karena akal manusia sangat terbatas.
  2. Tidak bersikap tunduk dan menerima ketentuan Allah subhanahu wa ta’ala tentang takdir, karena takdir termasuk perkara gaib.
  3. Membahas sisi dan aspek yang tersembunyi tentang takdir, sesuatu yang tidak dibahas dalam Al-Qur’an dan as-Sunnah.
  4. Mengungkapkan pertanyaan-pertanyaan yang menunjukkan ketidakpuasan terhadap nash.

Kesimpulan: Hukum Membahas tentang Takdir

  1. Jika membahasnya dengan kebenaran, dalil Al-Qur’an dan as-Sunnah, disertai keterangan para ulama, boleh dan tidak dilarang bahkan terkadang wajib.
  2. Jika membahasnya dengan kebatilan, tidak boleh dan terlarang.
    (al-Iman bil Qadha wal Qadar, Muhammad bin Ibrahim, hlm. 19—25)

Ditulis oleh al-Ustadz Mukhtar Ibnu Rifai

 

takdir