THAHARAH MERUPAKAN SYARAT SAHNYA THAWAF?

Fadhilatusy Syaikh Ibnu Utsaimin t berkata, “Jumhur ulama berpendapat, thaharah merupakan syarat pelaksanaan thawaf, berdasarkan hadits Ibnu Abbas c:
الطَّوَافُ بِالْبَيْتِ صَلاَةٌ إِلاَّ أَنَّ اللهَ أَبَاحَ فِيْهِ الْكَلاَمَ
“Thawaf di Baitullah adalah shalat. Hanya saja, Allah l membolehkan berbicara dalam thawaf.”
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah t memilih pendapat lain, yaitu thaharah bukanlah syarat, sehingga boleh dan sah bagi orang yang berhadats kecil untuk melakukan thawaf. Beliau berdalil dengan dalil-dalil yang kuat1. Siapa yang melihat dalil-dalil tersebut akan jelas baginya bahwa itu adalah haq (maksudnya, pendapat Ibnu Taimiyah adalah benar, pen.)
Adapun hadits “Thawaf di Baitullah adalah shalat…”2 tidak shahih dari Nabi n. Akan tetapi, riwayat ini mauquf sampai Ibnu Abbas c (yakni, ucapan Ibnu Abbas saja)3, dan yang dimaksud oleh Ibnu Abbas dengan ucapan tersebut4, wallahu a’lam, thawaf hukumnya sama dengan hukum shalat ditinjau dari sisi yang mengerjakannya harus khusyuk, berzikir kepada Allah l, dan yang semisalnya.
Ucapan Ibnu Abbas “hanya saja Allah l membolehkan berbicara saat thawaf,” perbedaan shalat dengan thawaf bukan hanya itu saja. Selain dibolehkan berbicara, ketika thawaf boleh pula makan dan minum, boleh cepat-cepat dan boleh pula tidak, tidak dipersyaratkan thawaf dengan menghadap kiblat/Ka’bah, bahkan tidak sah thawaf sambil menghadap Ka’bah. Perbedaan lain, dalam thawaf tidak membaca Al-Fatihah, tidak ada takbiratul ihram, dan tidak ada salam.
Pendapat Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah t ini lebih dekat kepada kebenaran. Akan tetapi, tidak boleh kita katakan kepada seseorang, “Thawaf Anda dengan berwudhu sama dengan tanpa berwudhu.” Walaupun seharusnya, thawaf dengan berwudhu sebelumnya (dalam keadaan suci) lebih utama, tanpa diragukan. Hanya saja, terkadang di tengah kerumunan manusia di Al-Haram ketika thawaf, seseorang mungkin berhadats dengan mengeluarkan angin, kencing, atau yang semisalnya. Dalam keadaan seperti ini, siapa pun tidak bisa mengharuskan hamba-hamba Allah l dengan ucapannya, “Pergilah engkau mencari tempat wudhu dan berwudhulah, lalu ulangi thawafmu.” Dalam kerumunan manusia yang sangat besar, kapan ia bisa mendapatkan air untuk berwudhu, padahal seluruh tempat telah penuh? Jika kemudian ia berwudhu dan kembali melakukan thawaf, apakah bisa dijamin ia tidak akan berhadats lagi?
Tentunya tidak bisa dijamin, karena mungkin ia akan berhadats untuk kedua kalinya. Bila kita katakan, “Wudhumu batal, pergi dan berwudhulah,” lalu dia pergi. Ketika ia mendapatkan tempat untuk berwudhu, ia pun melakukannya. Setelah itu ia kembali dan mengulang thawafnya. Ia tidak aman dari berhadats lagi dan terus demikian.
Dengan demikian, jika datang sesuatu yang tidak diterangkan dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah bahwa sesuatu itu wajib, terlebih lagi ada kesulitan untuk menghindarinya ataupun menjaganya, hendaklah dipertimbangkan bila mengharuskan orang lain untuk melakukannya.”
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.
(Majmu’ Fatawa wa Rasail Fadhilatusy Syaikh, hlm. 22/359—360)


1 Sebagaimana dalam Majmu’ Fatawa beliau, 26/225—230.
2 HR. Asy-Syafi’i secara mauquf. Riwayat yang marfu’ disebutkan oleh At-Tirmidzi dalam Sunan-nya no. 960 dan selainnya.
3 Al-Imam At-Tirmidzi menyatakan bahwa hadits ini diriwayatkan dari Ibnu Thawus dan selainnya, dari Thawus, dari Ibnu Abbas secara mauquf. Tidak diketahui ada yang meriwayatkannya secara marfu’ kecuali dari hadits Atha’ ibnus Saib. Tidak demikian, kata Asy-Syaikh Al-Albani t, karena ada dua rawi tsiqah yang mengikuti Atha’ (mutaba’ah) dalam periwayatan secara marfu’, Ibrahim ibnu Maisarah dan Al-Hasan ibnu Muslim al-Makki.  Riwayat yang marfu’ ini disahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Al-Irwa’ (no. 121). Walaupun Atha’ ibnus Saib seorang perawi yang mukhtalith (bercampur hafalannya) namun Sufyan ats-Tsauri t meriwayatkan darinya sebelum bercampur hafalannya, dan Sufyan termasuk yang meriwayatkan hadits ini dari Atha’. Ini mengisyaratkan bahwa hadits yang diriwayatkan Sufyan dari Atha’ tersebut adalah sahih. Lihat keterangan lebih lanjut dalam Al-Irwa’ pada pembahasan hadits no. 121.
4 Sebagaimana telah disebutkan, hadits ini sahih pula dari ucapan Nabi n (marfu’). Akan tetapi, kata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah t, bukanlah maknanya bahwa thawaf merupakan satu macam dari ibadah shalat seperti halnya shalat Jum’at, istisqa, kusuf, dan lainnya, karena Allah l membedakan antara shalat dan thawaf dengan firman-Nya:
“Sucikanlah oleh kalian berdua (Ibrahim dan Ismail) rumah-Ku untuk orang-orang yang thawaf, orang-orang yang i’tikaf, dan orang-orang yang ruku dan sujud (shalat).” (Al-Baqarah: 125)
Lihat keterangan Syaikhul Islam dalam Majmu’ Fatawa (26/193—194).