Pertanyaan:
Ada pemuda-pemudi melakukan zina beberapa waktu yang lalu. Keduanya ingin bertobat. Pertanyaannya,
- Bagaimana cara tobatnya?
- Haruskah keduanya menikah?
- Bagaimana kalau orang tua wanita tetap tidak setuju?
- Bagaimana nanti status anak keduanya?
Mohon bantuannya supaya mereka berdua dapat kembali ke jalan yang benar.
Jawaban:
Cara Tobat dari Perbuatan Zina
Keduanya bertobat kepada Allah dengan tobat nasuha, yaitu dengan cara memenuhi tiga syarat tobat yang disebutkan oleh para ulama. Tiga syarat ini disimpulkan oleh para ulama dari Al-Qur’an dan As-Sunnah.
-
Keduanya harus menyesali perbuatan tersebut.
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّمَا التَّوْبَةُ النَّدْمُ
“Sesungguhnya penyesalan itu adalah tobat.”[1]
Oleh karena itu, hendaklah keduanya menyesali apa yang telah mereka lakukan.
-
Melepaskan diri dan menjauhkan diri sejauh-jauhnya dari perbuatan yang seperti itu.
Keduanya tidak lagi mengulangi atau mendekati segala hal yang akan menyeret dan mengantar kepada perzinaan, seperti pergaulan bebas dengan wanita (pacaran), berbincang-bincang secara bebas dengan wanita yang bukan mahram, bercengkerama, ikhtilath/bercampur baur. Semuanya adalah perkara yang diharamkan oleh syariat untuk menutupi pintu perzinaan. Hendaknya keduanya menjauhkan diri dari itu semua.
-
Kemudian keduanya berazam/bertekad kuat untuk tidak mengulangi kembali perbuatannya tersebut. Demikian juga beristigfar kepada Allah, memohon ampunan-Nya.
Dalam hal ini ada hadits Abu Bakr ash-Shiddiq radhiallahu anhu tentang disyariatkannya seseorang yang telah melakukan perbuatan maksiat untuk melakukan shalat dua rakaat lalu memohon ampunan kepada Allah.[2]
Haruskah Keduanya Menikah?
Keduanya tidak harus menikah. Namun, tidak mengapa keduanya menikah dengan syarat:
Apabila wanita yang telah dizinai tersebut hamil karena perzinaan itu, si lelaki tidak boleh menikahinya pada masa wanita itu masih hamil.
Mereka harus menunggu sampai si wanita melahirkan bayinya, baru boleh dinikahi. Inilah pendapat yang benar yang disebutkan oleh ulama, yaitu wanita yang hamil karena perzinaan tidak boleh dinikahi sampai melahirkan. Sebab, ada dalil yang menuntut adanya istibra` ar-rahim (pembebasan rahim) dari bibit seseorang. Oleh karena itu, rahim harus dibebaskan terlebih dahulu dengan cara menunggu sampai lahir sehingga rahimnya bebas, tidak ada lagi bibit di dalamnya. Setelah itu baru si lelaki bisa menikahinya. Itu pun apabila keduanya bertobat dari perzinaan.
Apabila wanita yang dizinainya tidak sampai hamil, pembebasan rahimnya dengan cara menunggu haid berikutnya. Setelah melakukan perzinaan, kemudian dia haid. Dalam kasus yang seperti ini, si lelaki boleh menikahinya setelah melewati satu kali masa haid, yang menunjukkan bahwa memang tidak ada bibit yang tersimpan dalam rahimnya. Tentunya, ini apabila keduanya bertobat dari perzinaan.
Baca juga: Globalisasi Menghancurkan Generasi
Adapun jika salah satu dari keduanya belum bertobat dari perzinaan tersebut—sehingga salah satu dari keduanya masih berlaku padanya nama zaani (pezina)—, keduanya tidak boleh menikah. Dalilnya adalah firman Allah subhanahu wa ta’ala,
ٱلزَّانِي لَا يَنكِحُ إِلَّا زَانِيَةً أَوۡ مُشۡرِكَةً وَٱلزَّانِيَةُ لَا يَنكِحُهَآ إِلَّا زَانٍ أَوۡ مُشۡرِكٌۚ وَحُرِّمَ ذَٰلِكَ عَلَى ٱلۡمُؤۡمِنِينَ
“Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas orang-orang mukmin.” (an-Nur: 3)
Maksudnya, seorang pezina diharamkan menikah dan wanita pezina haram dinikahi. Jadi, bolehnya menikah adalah apabila keduanya memang sudah bertobat dari perzinaan tersebut sehingga tidak lagi dinamakan lelaki pezina atau wanita pezina.
Bagaimana Status Anak Keduanya?
Ini tentunya kalau ditakdirkan bahwa wanita yang dizinai itu hamil akibat perzinaan tersebut. Status anak tersebut adalah anak yang lahir karena perzinaan.
Anak ini tidak boleh dinasabkan pada lelaki yang berzina dengan ibunya karena dia bukanlah ayahnya secara syariat. Oleh karena itu, sang anak dinasabkan kepada ibunya. Demikian pula, tidak ada saling mewarisi.
Selain itu, seandainya anak tersebut wanita, laki-laki tersebut tidak boleh menjadi walinya dalam pernikahan. Si lelaki juga bukan mahramnya sehingga tidak berlaku padanya hukum-hukum mahram. Jadi, si lelaki tidak boleh berkhalwat dengannya, tidak boleh melihat wajahnya, tidak boleh berjabat tangan dengannya, dan seterusnya.
Satu-satunya hukum yang berlaku adalah bahwa si laki-laki tidak boleh menikahi anak hasil perzinaan tersebut karena anak wanita itu berasal dari air maninya. Hanya ini satu-satunya hukum yang berlaku, sebagaimana diterangkan oleh para ulama.
Wallahu a’lam bish-shawab.
Catatan Kaki:
[1] HR. Ahmad, Ibnu Majah, al-Hakim, dan yang lainnya dari Abdullah ibnu Mas’ud radhiallahu anhu; dinilai sahih oleh al-Albani dalam Shahih Ibni Majah (no. 4252).
[2] HR. Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Majah, dan yang lainnya; dinilai sahih oleh al-Albani dalam Shahih Abi Dawud (no. 1021).
(Ustadz Abu Abdillah Muhammad al-Makassari)