‘Umamah bintu Hamzah Al-Hasyimiyah

(ditulis oleh: Al-Ustadzah Ummu ‘Abdirrahman bintu ‘Imran)

 

Tinggal sebagai muslimah di antara kaum musyrikin di Makkah bukanlah sesuatu yang diharapkan. Putri Singa Allah, Hamzah bin ‘Abdil Muththalib z ini mendambakan hidup bersama kaum muslimin di Madinah. Dia pun menanti, hingga saatnya tiba….

Dia adalah Umamah bintu Hamzah bin ‘Abdil Muththalib bin Hasyim bin ‘Abdi Manaf bin Qushai Al-Hasyimiyah x. Ibunya bernama Salma bintu ‘Umais bin Ma’d bin Taim bin Malik bin Quhafah dari Khats’am, saudara perempuan Asma’ bintu ‘Umais x. Sementara sang ayah, Hamzah bin ‘Abdil Muththalib z adalah paman Rasulullah yang syahid dalam pertempuran Badr. Sepeninggal ayahnya, ‘Umamah bintu Hamzah masih tetap tinggal di Makkah.
Sekian lama tinggal di negeri Madinah, rombongan kaum muslimin bersama Rasulullah n menunaikan ‘umrah qadha’, setelah setahun sebelumnya mereka urung menunaikan ‘umrah ke Makkah karena dihadang kaum musyrikin. Hanya tiga hari waktu yang diberikan pada kaum muslimin untuk tinggal di Makkah. Setelah itu, kaum musyrikin mengingatkan kaum muslimin agar segera meninggalkan Makkah.
Ketika rombongan Rasulullah n hendak kembali ke Madinah, ‘Umamah bintu Hamzah mengikuti rombongan. Dia berseru memanggil-manggil, “Paman! Paman!”
‘Ali bin Abi Thalib z bertanya kepada Rasulullah n, “Mengapa engkau biarkan putri paman kita dalam keadaan yatim di antara kaum musyrikin?”
Ali pun mengusulkan kepada beliau untuk membawa ‘Umamah dari Makkah. Rasulullah n tak melarang ‘Ali untuk membawa ‘Umamah.
“Bawa serta putri paman ayahmu!” ujar ‘Ali kepada istrinya, Fathimah x. Maka berangkatlah ‘Umamah bintu Hamzah bersama rombongan kaum muslimin menuju Madinah.
Namun permasalahannya, siapa yang paling berhak untuk mengasuh putri yatim Hamzah bin ‘Abdil Muththalib z ini.
Di antara yang merasa berhak adalah Zaid bin Haritsah z yang diberi wasiat oleh Hamzah bin ‘Abdil Muththalib z. Juga Rasulullah n mempersaudarakannya dengan Hamzah saat beliau mempersaudarakan kaum Muhajirin. “Aku lebih berhak untuk mengasuh anak saudaraku,” katanya.
Mendengar hal itu, Ja’far bin Abi Thalib bin ‘Abdil Muththalib z berujar, “Aku lebih berhak untuk mengasuhnya, karena Asma’ bintu ‘Umais bibinya adalah istriku, sementara kedudukan bibi seperti kedudukan ibu!”
‘Ali pun merasa keberatan. “Mengapa kalian bertikai tentang permasalahan putri pamanku, sementara aku yang membawanya keluar dari Makkah di antara kaum musyrikin. Kalian pun tidak lebih dekat nasabnya dengan ‘Umamah daripada aku. Aku lebih berhak untuk mengasuhnya!”
Mereka adalah para sahabat yang mulia. Segala perselisihan, tak ada tempat lain untuk kembali kecuali pada Rasulullah n. Mereka adukan pertikaian mereka, hingga beliau pun memberikan jalan yang terbaik. “Aku akan memutuskan perkara kalian,” kata beliau. “Adapun engkau, wahai Zaid, engkau adalah maula Allah dan maula Rasul-Nya. Adapun dirimu, wahai ‘Ali, engkau saudara dan sahabatku. Sedangkan engkau, wahai Ja’far, orang yang paling mirip denganku. Dan engkau, wahai Ja’far, orang yang paling pantas untuk mengasuhnya, karena istrimu adalah bibinya. Lebih-lebih lagi seseorang tak boleh menikahi wanita yang bibi wanita itu menjadi istrinya.”
Rasulullah n memutuskan hak pengasuhan ‘Umamah bintu Hamzah untuk Ja’far.
‘Ali bin Abi Thalib z pernah mengusulkan kepada Rasulullah n, “Wahai Rasulullah, mengapa engkau tidak menikah dengan ‘Umamah?” “Dia itu anak saudaraku sesusuan1,” jawab Rasulullah n, “Dan sesungguhnya Allah mengharamkan karena susuan segala sesuatu yang diharamkan karena nasab.”
‘Umamah bintu Hamzah, kisah kehidupannya memberikan pelajaran bagi kaum muslimin hingga akhir zaman. ‘Umamah bintu Hamzah, semoga Allah l meridhainya….
Wallahu a’lamu bish-shawab.
Sumber Bacaan:
Al-Ishabah, Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-‘Asqalani (8/22-23)
Ath-Thabaqatul Kubra, Al-Imam Ibnu Sa’d (10/152-154)
Shahih Al-Bukhari, Kitab Al-Maghazi Bab ‘Umratil Qadha’

1 Karena Rasulullah n dan Hamzah z pernah disusui oleh ibu susu yang sama.