Waktu Shalat Jumat

Selesai sudah pembahasan kita tentang waktu shalat fardu yang lima. Berikut ini kita akan membahas tentang waktu shalat Jumat yang juga merupakan shalat yang wajib ditunaikan oleh kaum laki-laki di masjid.

 

Pendapat mayoritas ulama, waktu shalat Jumat adalah saat matahari telah tergelincir seperti halnya waktu shalat Zuhur. Hal ini ditunjukkan dalam hadits-hadits berikut ini.

  • Dari Iyas bin Salamah ibnul Akwa’ dari ayahnya, ayahnya berkata,

كُنَّا نُجَمِّعُ مَعَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا زَالَتِ الشَّمْسُ ثُمَّ نَرْجِعُ نَتَتَبَّعُ الْفَيْءَ

“Kami shalat Jumat bersama Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam ketika matahari telah tergelincir. Kemudian (selesai shalat) kami kembali ke tempat kami dengan mengikuti bayangan (benda/pohon dan sebagainya, pent.).” (HR. al-Bukhari no. 4168 dan Muslim no. 1989)

  • Anas bin Malik radhiallahu anhu berkata,

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُصَلِّي الْجُمُعَةَ حِيْنَ تَمِيْلُ الشَّمْسُ

“Sungguh, Nabi shallallahu alaihi wa sallam biasa shalat Jumat ketika matahari miring (condong ke barat, pent.).” (HR. al-Bukhari no. 904)

  • Jabir bin Abdillah radhiallahu anhu berkata,

كُنَّا نُصَلِّي مَعَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ثُمَّ نَرْجِعُ فَنُرِيْحُ نَوَاضِحَنَا. قَالَ حَسَنٌ: فَقُلْتُ لِجَعْفَرٍ: فِي أَيِّ سَاعَةٍ تِلْكَ؟ قَالَ: زَوَالَ الشَّمْسِ

“Kami shalat bersama Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam kemudian kami kembali lalu mengistirahatkan unta-unta kami.” Hasan[1] berkata, “Aku bertanya kepada Ja’far[2], ‘Waktunya kapan itu?’ Ja’far menjawab, ‘Saat matahari tergelincir’.” (HR. Muslim no. 1986)

Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata,

“Dalam hadits (Anas) didapatkan penjelasan bahwa yang menjadi kebiasaan Nabi shallallahu alaihi wa sallam adalah mengerjakan shalat Jumat ketika matahari telah tergelincir.” (Fathul Bari, 2/499)

Imam al-Baghawi rahimahullah berkata,

“Dalam hadits ini ada dalil disegerakannya shalat Jumat. Apabila seseorang menunaikannya sebelum zawal (tergelincir matahari), tidaklah dibolehkan, sebagaimana sebagian mereka berpendapat demikian.” (Syarhus Sunnah, 4/239)

Baca juga:

Hukum Shalat Jumat dan Persyaratannya

An-Nawawi rahimahullah mengatakan,

“Hadits-hadits ini menampakkan tentang penyegeraan shalat Jumat. Malik, Abu Hanifah, asy-Syafi’i dan jumhur ulama dari kalangan sahabat dan tabiin serta orang-orang yang datang setelah mereka mengatakan, ‘Tidak boleh dilaksanakan shalat Jumat kecuali setelah matahari tergelincir (zawal)’.”

Tidak ada yang menyelisihi hal ini kecuali Ahmad ibnu Hanbal dan Ishaq. Keduanya membolehkan shalat Jumat sebelum zawal. Al-Qadhi berkata,

“Dalam masalah ini diriwayatkan beberapa pendapat dari para sahabat. Namun, tidak ada sedikit pun yang sahih kecuali pendapat yang dipegangi oleh jumhur[3]. Jumhur memaknai hadits-hadits ini dengan mubalaghah (penekanan yang sangat) untuk menyegerakan shalat Jumat. Mereka mengakhirkan makan dan tidur siang pada hari Jumat hingga selesai mengerjakan shalat Jumat karena menyenangi untuk bersegera mendatangi masjid untuk menanti shalat Jumat. Seandainya sebelumnya mereka tersibukkan dengan salah satu perkara itu, mereka khawatir terluputkan dari shalat Jumat, atau luput dari bersegera mendatangi shalat Jumat.” (al-Minhaj, 6/387)

At-Tirmidzi rahimahullah berkata,

“Inilah yang disepakati oleh kebanyakan ulama, yaitu waktu shalat Jumat adalah ketika matahari tergelincir seperti waktu shalat Zuhur. Ini merupakan pendapat asy-Syafi’i, Ahmad, dan Ishaq. Sebagian mereka berpandangan bahwa shalat Jumat boleh ditunaikan sebelum zawal. Imam Ahmad berkata, ‘Siapa yang mengerjakan shalat Jumat sebelum zawal, ia tidak harus mengulangi shalatnya’.” (Sunan at-Tirmidzi, 2/8)

Al-Mubarakfuri mengatakan,

“Yang zahir dan dicondongi adalah pendapat jumhur bahwa shalat Jumat tidak boleh dikerjakan kecuali setelah tergelincirnya matahari. Adapun pandangan sebagian mereka tentang bolehnya shalat Jumat sebelum zawal, tidak ada hadits sahih yang sharih (jelas) yang menunjukkannya. Wallahu a’lam.” (Tuhfatul Ahwadzi, “Kitab al-Jumu’ah”, “Bab Ma Ja`a fi Waqtil Jumu’ah”, hadits no. 503)

Ibnu Hazm rahimahullah berkata,

“Shalat Jumat adalah Zuhurnya hari Jumat. Ia tidak boleh ditunaikan kecuali setelah zawal. Adapun akhir waktunya sama dengan akhir waktu shalat Zuhur pada hari-hari yang lainnya.” (al-Muhalla bil Atsar, 3/244)

Baca juga:

Tata Cara Shalat Jumat

Imam al-Bukhari rahimahullah membuat satu bab dalam Shahih-nya yang berjudul “Bab Waqtul Jumu’ah Idza Zalatisy Syamsu”, artinya Bab Waktu Shalat Jumat ialah ketika Matahari telah Tergelincir.

Az-Zarqani dalam Syarhul Muwaththa’ (1/40) mengatakan,

“Menurut Jumhur, waktu shalat Jumat ialah apabila matahari tergelincir telah sebagaimana shalat Zuhur. Sebagian imam (ulama) telah berpendapat ganjil dengan membolehkan penunaian Jumat sebelum zawal. Imam Malik rahimahullah berargumen dengan perbuatan Umar dan Utsman radhiallahu anhuma karena keduanya termasuk al-Khulafa ar-Rasyidin yang kita diperintah untuk mencontoh mereka.”

Perbuatan Umar dan Utsman radhiallahu anhuma yang dimaksud adalah yang ditunjukkan oleh dua atsar yang diriwayatkan oleh Imam Malik rahimahullah dalam kitabnya, al-Muwaththa` (no. 13 dan no. 14) berikut ini.

  • Abu Suhail bin Malik meriwayatkan dari bapaknya, dia mengatakan,

كُنْتُ أَرَى طِنْفِسَةً لِعَقِيْلِ بْنِ أَبِي طَالِبٍ يَوْمَ الْجُمُعَةِ، تُطْرَحُ إِلَى جِدَارِ الْمَسْجِدِ الْغَرْبِي، فَإِذَا غَشِيَ الطِّنْفِسَةَ كُلَّهَا ظِلُّ الْجِدَارِ، خَرَجَ عُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ وَصَلَّى الْجُمُعَةَ

“Aku melihat permadani milik Aqil bin Abi Thalib dibentangkan ke dinding sebelah barat Masjid Nabawi. Apabila seluruh permadani itu telah diliputi oleh bayangan dinding, keluarlah Umar ibnul Khaththab (yang ketika itu menjadi khalifah, -pent.) dan mengerjakan shalat Jumat (mengimami orang-orang, -pent.).”

  • Ibnu Abi Salith mengabarkan,

أَنَّ عُثْمَانَ بْنَ عَفَّانَ صَلَّى الْجُمُعَةَ بِالْمَدِيْنَةِ وَصَلَّى الْعَصْرَ بِمَلَلٍ. قَالَ مَالِكٌ: وَذَلِكَ لِلتَّهْجِيْرِ وَسُرْعَةِ السَّيْرِ

“Utsman bin Affan shalat Jumat di Madinah dan shalat Asar di Malal[4].” Malik berkata, “Hal itu karena shalat Jumat dilaksanakan pada waktu hajirah (tengah hari setelah zawal) dan cepatnya perjalanan (sehingga Utsman mencapai Malal pada waktu ashar setelah mengerjakan shalat Jumat di Madinah, pent.).”

Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata tentang riwayat Abu Suhail dari bapaknya di atas,

“Sanadnya sahih. Atsar ini jelas menunjukkan bahwa Umar radhiallahu anhu keluar untuk mengimami manusia pada shalat Jumat setelah zawal. Namun, sebagian mereka memahami sebaliknya (yaitu sebelum zawal). Pemahaman ini tidak bisa dibenarkan kecuali apabila permadani Aqil tersebut dianggap dibentangkan di luar masjid. Akan tetapi, kemungkinan ini amat jauh. Yang tampak, justru permadani tersebut dibentangkan di dalam masjid.

Berdasarkan hal ini, berarti keluarnya Umar radhiallahu anhu lebih mundur sedikit dari waktu zawal. Dalam hadits as-Saqifah dari Ibnu Abbas radhiallahu anhuma, ia berkata,

فَلَمَّا كَانَ يَوْمُ الْجُمُعَةِ وَزَالَتِ الشَّمْسُ خَرَجَ عُمَرُ وَجَلَسَ عَلَى الْمِنْبَرِ

“Tatkala datang hari Jumat dan matahari telah tergelincir, keluarlah Umar dan dia duduk di atas mimbar (untuk berkhotbah sebelum mengerjakan shalat Jumat).” (Fathul Bari, 2/498)

Az-Zarqani berkata, “Perbuatan Umar dan Utsman menunjukkan awal waktu Jumat adalah sejak zawal sebagaimana shalat Zuhur.” (Syarhul Muwaththa’, 1/42)

Baca juga:

Keutamaan Hari Jumat

Atsar dari para sahabat yang mendukung pendapat ini, antara lain:

  • Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan dari jalan Abu Ishaq bahwasanya

أَنَّهُ صَلَّى خَلْفَ عَلِيٍّ الْجُمُعَةَ بَعْدَ مَا زَالَتِ الشَّمْسُ

“Ia shalat Jumat bermakmum kepada Ali bin Abi Thalib radhiallahu anhu setelah matahari tergelincir.”[5]

  • Ibnu Abi Syaibah juga meriwayatkan dari jalan Abu Razin, ia berkata,

كُنَّا نُصَلِّي مَعَ عَلِيٍّ الْجُمُعَةَ فَأَحْيَانًا نَجِدُ فَيْئًا وَأَحْيَانًا لاَ نَجِدُ

“Kami shalat Jumat bersama Ali bin Abi Thalib radhiallahu anhu. Terkadang kami mendapati fai’[6], terkadang pula kami tidak mendapatinya.”

Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah berkata,

“Riwayat ini dipahami bahwa (shalat Jumat) disegerakan persis ketika zawal (sehingga belum didapatkan fai’) atau diundur sedikit setelah zawal (sehingga didapati fai’).” (Fathul Bari, 2/498)

Baca juga:

Adab Mendatangi Shalat Jumat

Mengerjakan shalat Jumat di waktu zawal ini juga dilakukan oleh an-Nu’man bin Basyir radhiallahu anhu yang ketika itu menjadi Gubernur Kufah pada awal pemerintahan Yazid bin Mu’awiyah. Hal ini diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah, juga dari Simak bin Harb dengan sanad yang sahih. Simak berkata,

كَانَ النُّعْمَانُ بْنُ بَشِيْرٍ يُصَلِّي بِنَا الْجُمُعَةَ بَعْدَ مَا تَزُوْلُ الشَّمْسُ

“An-Nu’man bin Basyir shalat Jumat mengimami kami setelah matahari tergelincir.”

Ada pula riwayat dari sahabat yang menyelisihi pendapat bahwa waktu Jumat adalah saat zawal.

  • Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dari jalan Abdullah bin Salimah, ia berkata,

صَلَّى بِنَا عَبْدُ اللهِ بْنُ مَسْعُوْدٍ  رَضِيَ اللهُ عَنْهُ الْجُمُعَةَ ضُحىً، وَقَالَ: خَشِيْتُ عَلَيْكُمُ الْحَرَّ

“Abdullah bin Mas’ud radhiallahu anhu shalat Jumat mengimami kami pada waktu duha. Dia berkata, ‘Aku khawatir kalian kepanasan’.”

Abdullah bin Salimah adalah perawi yang shaduq, tetapi berubah hafalannya ketika tua. Demikian kata Syu’bah dan selainnya.

  • Adapula riwayat dari jalan Sa’id bin Suwaid, ia berkata,

صَلَّى بِنَا مُعَاوِيَةُ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ الْجُمُعَةَ ضُحىً

“Mu’awiyah radhiallahu anhu shalat Jumat mengimami kami pada waktu duha.”

Sa’id perawi riwayat di atas disebutkan oleh Ibnu ‘Adi dalam adh-Dhu’afa`.

Baca juga:

Amalan-Amalan yang Dianjurkan di Hari Jumat

Sebagian Hanabilah (ulama mazhab Hanbali) berdalil dengan sabda Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam,

إِنَّ هذَا يَوْمٌ جَعَلَهُ اللهُ عِيْدًا لِلْمُسْلِمِيْنَ

“Sesungguhnya ini adalah hari (yakni hari Jumat, pent.) yang Allah jadikan sebagai hari raya bagi kaum muslimin.”

Mereka menyatakan bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam menamakan hari Jumat sebagai hari raya. Artinya, dibolehkan mengerjakan shalat Jumat pada waktu pelaksanaan shalat hari raya Idul Fitri dan Idul Adha. Namun, penamaan hari Jumat sebagai hari raya tidaklah mengharuskan seluruh hukum hari raya berlaku padanya. Buktinya, pada hari raya Idul Fithri dan Idul Adha diharamkan berpuasa secara mutlak, tetapi berbeda halnya dengan hari Jumat. (Fathul Bari, 2/498)

Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah menyatakan bahwa yang afdal/utama dari berbagai pendapat di atas ialah waktu shalat Jumat setelah zawal, sesuai dengan pendapat kebanyakan ulama. (asy-Syarhul Mumti’, 5/33)

Dengan demikian, pendapat yang kuat dan kami condongi adalah sebagaimana pendapat jumhur, yaitu awal waktu shalat Jumat sama dengan waktu shalat Zuhur. Demikian pula akhir waktunya.

Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.

Disenangi Menyegerakan Shalat Jumat Apabila telah Masuk Waktu 

Salamah ibnul Akwa’ radhiallahu anhu berkata,

كُنَّا نُصَلِّي مَعَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْجُمُعَةَ فَنَرْجِعُ وَمَا نَجِدُ لِلْحَيْطَانِ فَيْئًا نَسْتَظِلُّ بِهِ

“Kami pernah shalat Jumat bersama Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, lalu kami kembali ke tempat kami (selesai mengerjakan Jumat) dalam keadaan kami tidak mendapati bayangan tembok/dinding yang bisa kami jadikan naungan.” (HR. Muslim no. 1990)

Makna hadits ini tidak berarti tidak ada bayangan sama sekali dari tembok/dinding itu hingga dipahami bahwa matahari belum zawal saat itu. Sebab, yang dinyatakan tidak ada atau dinafikan oleh Salamah hanyalah bayangan yang bisa dijadikan naungan, yang mencukupi untuk berteduh dari panas.

Sementara itu, tembok/dinding mereka pendek dan negeri mereka berada di tengah (pancaran sinar) matahari. Karena itu, tidak tampak bayangan yang bisa dijadikan tempat berteduh kecuali setelah zawal berlalu dalam waktu yang lama. Ini jelas menunjukkan bahwa shalat Jumat langsung dilaksanakan ketika zawal (tanpa penangguhan waktu). Di samping itu, ini juga menunjukkan ringkasnya khotbah Jumat yang disampaikan sebelum shalat. (al-Majmu’ 4/381, al-Minhaj 6/387—388, al-Muhalla 3/247)

Abdullah bin Maslamah menyebutkan riwayat dari Ibnu Abi Hazim, dari bapaknya, dari Sahl bin Sa’d radhiallahu anhu, ia berkata,

كُنَّا نَفْرَحُ يَوْمَ الْجُمُعَةِ. قُلْتُ لِسَهْلٍ: وَلِمَ؟ قَالَ: كَانَتْ لَنَا عَجُوْزٌ تُرْسِلُ إِلَى بُضَاعَةَ -نَخْلٍ بِالْمَدِيْنَةِ– فَتَأْخُذُ مِنْ أُصُوْلِ السِّلْقِ فَتَطْرُحُهُ فِي قِدْرٍ وَتُكَرْكِرُ حَبَّاتٍ مِنْ شَعِيْرٍ، فَإِذَا صَلَّيْنَا الْجُمُعَةَ انْصَرَفْنَا وَنُسَلِّمُ عَلَيْهَا، فَتُقَدُّمُهُ إِلَيْنَا، فَنَفْرَحُ مِنْ أَجْلِهِ وَمَا كُنَّا نَقِيْلُ وَلاَ نَتَغَدَّى إِلاَّ بَعْدَ الْجُمُعَةِ

“Kami merasa senang pada hari Jumat.” Aku (Abu Hazim) bertanya kepada Sahl, “Mengapa?”

Sahl menjawab, “Kami punya (kenalan) seorang wanita tua. Ia mengirim orang ke Budha’ah, sebuah kebun kurma di Madinah. Dia mengambil pokok pohon silq (bit, red.) dan dimasukkannya ke dalam bejana (yang berisi air, pent.), dan dimasak hingga matang. Kemudian ia mengadon biji-bijian dari gandum. Apabila kami selesai menunaikan shalat Jumat, kami pergi ke tempat wanita tersebut dan mengucapkan salam kepadanya. Lalu ia menghidangkan masakan tersebut kepada kami sehingga kami bergembira karenanya[7]. Tidaklah kami melakukan qailulah[8] dan makan siang kecuali setelah shalat Jumat.” (HR. al-Bukhari no. 6248)

Baca juga:

Mengagungkan Masjid dan Hari Jumat dengan Sunnah Rasulullah

Anas bin Malik radhiallahu anhu berkata,

كُنَّا نُبَكِّرُ بِالْجُمُعَةِ وَنَقِيْلُ بَعْدَ الْجُمُعَةِ

“Kami tabkir (bersegera) datang ke masjid untuk menanti pelaksanaan shalat Jumat. Kami melakukan qailulah setelah shalat Jumat.” (HR. al-Bukhari no. 905)

Al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani rahimahullah menyatakan,

“Zahir riwayat Anas ini menunjukkan bahwa mereka (para sahabat) mengerjakan shalat Jumat pada awal siang[9]. Akan tetapi, mengompromikan nas-nas lebih utama daripada menganggap adanya pertentangan (sehingga salah satunya ditinggalkan, pent.).

Telah ditetapkan dalam penjelasan yang telah lalu bahwa istilah tabkir dipakai untuk menunjukkan pengerjaan sesuatu pada awal waktu atau didahulukan. Inilah yang dimaksudkan di sini[10]. Maknanya, mereka mendahulukan pelaksanaan shalat Jumat sebelum tidur siang.

Berbeda halnya dengan kebiasaan mereka pada selain hari Jumat ketika melaksanakan shalat Zuhur pada hari yang panas. Mereka biasanya tidur siang dahulu kemudian mengerjakan shalat karena adanya pensyariatan ibrad (menunda shalat hingga waktu yang tidak terlalu panas).”

Baca juga:

Adab Orang yang Mendengarkan Khotbah

Kemudian al-Hafizh berkata,

“Akan disebutkan dalam judul bab setelah ini tentang penyebutan tabkir dan yang dimaksud ialah shalat pada awal waktu. Ini memperkuat pernyataan kami. Az-Zain ibnul Munayyir dalam al-Hasyiyah mengatakan, ‘Al-Bukhari menafsirkan hadits Anas yang kedua[11] dengan hadits Anas yang pertama[12], sebagai isyarat bahwa tidak ada pertentangan di antara keduanya.” (Fathul Bari, 2/499)

Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.


Catatan Kaki

[1] Hasan bin ‘Ayyasy, salah seorang perawi hadits ini.

[2] Ja’far bin Muhammad yang meriwayatkan hadits ini dari bapaknya, dari Jabir bin Abdillah radhiallahu anhu.

[3] Sebagaimana dalam al-Ikmal (3/254).

[4] Sebuah tempat yang terletak antara Makkah dan Madinah, jaraknya 17 mil dari Madinah. (an-Nihayah)

[5] Kata al-Hafizh dalam Fathul Bari (2/498), “Sanadnya sahih.”

[6] Bayangan benda yang tampak ketika matahari tergelincir (zawal).

[7] Para sahabat bergembira dengan hidangan tersebut karena dahulu mereka bukanlah orang yang berpunya, kecuali setelah Allah azza wa jalla membukakan rezeki untuk mereka dengan kemenangan-kemenangan dalam peperangan sehingga mereka mendapatkan ghanimah. Allah azza wa jalla berfirman,

وَمَغَانِمَ كَثِيرَةً يَأۡخُذُونَهَاۗ

“Dan ghanimah-ghanimah yang banyak yang mereka ambil.” (al-Fath: 19)

Dengan kemenangan-kemenangan tersebut, harta menjadi melimpah, padahal sebelumnya mayoritas sahabat adalah dari kalangan fakir. (Syarah Riyadhus Shalihin, 3/29—30)

[8] Al-Azhari berkata, “Qailulah menurut orang Arab adalah istirahat pada tengah hari walaupun tidak sampai tidur. Dalilnya firman Allah azza wa jalla,

أَصۡحَٰبُ ٱلۡجَنَّةِ يَوۡمَئِذٍ خَيۡرٌ مُّسۡتَقَرًّا وَأَحۡسَنُ مَقِيلًا

“Penghuni-penghuni surga pada hari itu paling baik tempat tinggalnya dan paling indah tempat istirahatnya/tempat qailulah.” (al-Furqan: 24)

Sementara itu, penghuni surga tidak pernah tidur. (Syarhus Sunnah, 4/241)

[9] Sementara itu, dalam hadits Anas radhiallahu anhu yang lain disebutkan bahwa Nabi shallallahu alaihi wa sallam biasa shalat Jumat ketika matahari telah condong ke barat.

[10] Bukan maknanya shalat Jumat tersebut dikerjakan pada awal siang/sebelum zawal.

[11] Yaitu hadits,

كُنَّا نُبَكِّرُ بِالْجُمُعَةِ وَنَقِيْلُ بَعْدَ الْجُمُعَةِ

“Kami tabkir (bersegera datang ke masjid) untuk menanti pelaksanaan shalat Jumat. Kami qailulah setelah shalat Jumat.”

[12] Yaitu hadits,

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُصَلِّي الْجُمُعَةَ حِيْنَ تَمِيْلُ الشَّمْسُ

“Nabi shallallahu alaihi wa sallam biasa shalat Jumat ketika matahari miring (condong ke barat, -pent.).”

 

Ditulis oleh Ustadz Abu Ishaq Muslim al-Atsari

 

shalat jumatwaktu shalatwaktu shalat jumat