(ditulis oleh: Al-Ustadz Abu Ishaq Muslim Al-Atsari)
3. SHALAT ASHAR
Shalat Wustha adalah Shalat Ashar
Allah k memerintahkan kepada kaum muslimin untuk menjaga shalat lima waktu yang mereka kerjakan siang dan malam. Terlebih lagi shalat ashar sebagaimana dinyatakan dalam firman-Nya:
“Jagalah oleh kalian shalat-shalat lima waktu dan shalat wustha, serta berdirilah karena Allah dengan taat/khusyuk.” (Al-Baqarah: 238)
Al-Hafizh Ibnu Katsir t berkata, “Allah l memerintahkan untuk menjaga shalat-shalat pada waktunya, menjaga batasan-batasannya, serta mengerjakannya pada waktunya.” Al-Hafizh melanjutkan, “Allah l mengkhususkan shalat wustha di antara shalat-shalat yang ada dengan menambah penekanannya.” (Tafsir Al-Qur`anil ‘Azhim, 1/379)
Ulama berselisih pendapat tentang shalat yang disebut dengan shalat wustha1. Al-Imam Asy-Syaukani t menyebutkan sampai 17 pendapat, dan merajihkan pendapat yang mengatakan shalat ashar karena dalil-dalil yang ada. (Nailul Authar 1/437,438)
Al-Imam Al-Baghawi t menyatakan, “Kebanyakan ulama berpendapat shalat wustha adalah shalat ashar. Hal ini diriwayatkan oleh sekelompok sahabat Rasulullah n. Ini merupakan pendapat ‘Ali, Abdullah bin Mas’ud, Abu Ayyub, Abu Hurairah, dan Aisyah g2. Dengan ini pula Ibrahim An-Nakha’i, Qatadah, dan Al-Hasan berpendapat.” (Ma’alimut Tanzil, 1/164)
Inilah pendapat yang kuat karena adanya hadits Rasulullah n yang beliau ucapkan ketika hari perang Ahzab:
مَلَأَ اللهُ قُبُوْرَهُمْ وَبُيُوْتَهُمْ نَارًا كَمَا شَغَلُوْنَا عَنِ الصَّلاَةِ الْوُسْطَى حَتَّى غَابَتِ الشَّمْسُ
“Semoga Allah memenuhi kuburan dan rumah-rumah mereka dengan api sebagaimana mereka telah menyibukkan kita dari mengerjakan shalat wustha (pada waktunya) hingga matahari tenggelam.” (HR. Al-Bukhari no. 2931 dan Muslim no. 1419)
Dalam riwayat Muslim (no. 1424) dan selainnya disebutkan, Rasulullah n menyatakan:
شَغَلُوْنَا عَنِ الصَّلاَةِ الْوُسْطَى صَلاَةِ الْعَصْرِ
“Mereka telah menyibukkan kita dari mengerjakan shalat wustha (pada waktunya), shalat ashar.”
Al-Imam At-Tirmidzi t menyatakan ini merupakan pendapat mayoritas ulama dari kalangan sahabat Nabi n dan selain mereka. (Sunan At-Tirmidzi 1/117)
Keutamaan Shalat Ashar dan Shalat Fajar
Jarir bin Abdillah z berkata, “Kami sedang berada di sisi Nabi n suatu malam, lalu beliau melihat ke bulan yang sedang purnama seraya berkata:
“Sesungguhnya kelak kalian akan melihat Rabb kalian sebagaimana kalian melihat bulan purnama ini, kalian tidak akan berdesak-desakan dalam melihat-Nya. Maka jika kalian mampu untuk tidak terluputkan3 dari mengerjakan shalat sebelum matahari terbit dan sebelum matahari tenggelam, hendaklah kalian melakukannya.” Lalu beliau membaca ayat: “Dan bertasbihlah memuji Rabbmu sebelum matahari terbit dan sebelum tenggelamnya4.” (HR. Al-Bukhari no. 554 dan Muslim no. 1432)
Al-Khaththabi t berkata, “Hadits ini menunjukkan bahwa melihat Allah l bisa diharapkan bagi orang yang menjaga dua shalat ini.” (Fathul Bari, 2/46)
Rasulullah n pernah pula bersabda:
لَنْ يَلِجَ النَّارَ أَحَدٌ صَلَّى قَبْلَ طُلُوْعِ الشَّمْسِ وَقَبْلَ غُرُوْبِهَا – يَعْنِي الْفَجْرَ وَالْعَصْرَ
“Tidak akan masuk neraka seseorang yang shalat sebelum matahari terbit dan sebelum tenggelam.” Yang beliau maksudkan adalah shalat fajar dan shalat ashar. (HR. Muslim no. 1434)
Dalam hadits lain beliau menegaskan:
مَنْ صَلَّى الْبَرْدَيْنِ دَخَلَ الْجَنَّةَ
“Siapa yang shalat bardain (fajar dan ashar) ia akan masuk surga.” (HR. Al-Bukhari no. 574 dan Muslim no. 1436)
Al-Khaththabi t berkata, “Dua shalat ini dinamakan bardain karena keduanya dikerjakan pada waktu siang yang dingin, dan keduanya merupakan dua ujung siang saat udara enak dan telah hilang hawa yang panas.” (Fathul Bari, 2/71)
Abu Hurairah z berkata bahwasanya Rasulullah n bersabda:
يَتَعَاقَبُوْنَ فِيْكُمْ مَلاَئِكَةٌ بِالَّليْلِ وَمَلاَئِكَةٌ بِالنَّهَارِ، وَيَجْتَمِعُوْنَ فِي صَلاَةِ الْفَجْرِ وَصَلاَةِ الْعَصْرِ، ثُمَّ يَعْرُجُ الَّذِيْنَ بَاتُوْا فِيْكُمْ، فَيَسْأَلُهُمْ – وَهُوَ أَعْلَمُ بِهِمْ-: كَيْفَ تَرَكْتُمْ عِبَادِيْ؟ فَيَقُوْلُوْنَ: تَرَكْنَا وَهُمْ يُصَلُّوْنَ وَأَتَيْنَاهُمْ وَهُمْ يُصَلُّوْنَ
“Saling berganti di tengah kalian malaikat malam dan malaikat siang. Mereka berkumpul dalam shalat fajar dan shalat ashar. Kemudian naiklah malaikat yang telah bermalam di tengah kalian, lalu Allah bertanya kepada mereka –dan Allah lebih tahu daripada mereka–, ‘Bagaimana kalian meninggalkan hamba-hamba-Ku?’ Mereka menjawab, ‘Kami tinggalkan mereka dalam keadaan mereka mengerjakan shalat. Dan kami datang kepada mereka dalam keadaan mereka mengerjakan shalat’.” (HR. Al-Bukhari no. 555 dan Muslim no. 1430)
Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-Asqalani t berkata, “Dalam hadits ini ada isyarat agungnya dua shalat ini (ashar dan fajar). Karena pada dua shalat tersebut berkumpul dua kelompok malaikat, sedangkan di selain dua shalat ini hanya berkumpul satu kelompok malaikat. Hadits ini juga menunjukkan mulianya dua waktu yang disebutkan (waktu ashar dan fajar).” (Fathul Bari, 2/50)
Awal Waktu Ashar
Awal masuknya waktu shalat ashar adalah dengan berakhirnya waktu shalat zhuhur. (Al-Majmu’ 3/30, At-Tahdzib lil Baghawi 2/9, Asy-Syarhul Kabir lil Rafi’i 1/368,369, Al-Hawil Kabir 2/16, Mughnil Muhtaj 1/249, Asy-Syarhul Mumti’ 2/107)
Dalam hadits Jabir bin Abdillah Al-Anshari x disebutkan:
أَنَّ النَّبِيَّ n جَاءَهُ جِبْرِيْلُ q فَقَالَ: قُمْ فَصَلِّهِ. فَصَلَّى الظُّهْرَ حِيْنَ زَالَتِ الشَّمْسُ، ثُمَّ جَاءَهُ الْعَصْرُ فَقَالَ: قُمْ فَصَلِّهِ. فَصَلَّى الْعَصْرَ حِيْنَ صَارَ ظِّلُ كُلِّ شَيْءٍ مِثْلَهُ– أََوْ قَالَ: صَارَ ظِلُّهُ مِثْلَهُ –
Nabi n didatangi oleh malaikat Jibril q. Jibril berkata, “Bangkitlah lalu shalatlah waktu ini.” Maka Rasulullah shalat zhuhur ketika matahari telah tergelicir. Kemudian Jibril datang lagi kepada Rasulullah pada waktu ashar, lalu berkata, “Bangkitlah, kerjakanlah shalat.” Rasulullah pun mengerjakan shalat ashar tatkala bayangan segala sesuatu sama dengan sesuatu tersebut –atau Jabir berkata, “…ketika bayangannya sama dengannya.” (HR. Ahmad 3/330-331 dan selainnya. Al-Hakim berkata, “Hadits ini shahih masyhur,” dan disepakati oleh Adz-Dzahabi. Kata Al-Imam Al-Albani, “Hadits ini sebagaimana dikatakan oleh Al-Hakim dan Adz-Dzahabi.”- Ats-Tsamarul Mustathab fi Fiqhis Sunnah wal Kitab, 1/58)
Ini merupakan pendapat Al-Imam Malik, Asy-Syafi’i, Ahmad, dan jumhur ulama. Adapun Abu Hanifah berpandangan bahwa shalat ashar belum masuk waktunya hingga bayangan sesuatu/benda panjangnya dua kali dari panjang bendanya. Namun pendapatnya menyelisihi atsar dan menyelisihi manusia, bahkan murid-muridnya tidak menyepakatinya. (Al-Mughni Kitab Ash-Shalah, fashl Yastaqirru Wujubish Shalah bima Wajabat bihi, Al-Minhaj 5/125, At-Tahdzib lil Baghawi 2/9, Fathul Bari 2/36).
Al-Qurthubi t berkata sebagaimana dinukil Al-Hafizh Ibnu Hajar t dalam Fathul Bari (2/36), “Orang-orang seluruhnya menyelisihi pendapat Abu Hanifah dalam hal ini, sampaipun murid-muridnya yang mengambil ilmu/pendapatnya. Namun datang sekelompok orang setelah mereka yang membela pendapat Abu Hanifah. Orang-orang ini mengatakan, “Telah tsabit perintah untuk ibrad (dalam shalat zhuhur) dan ibrad ini tentunya tidak tercapai kecuali setelah hilangnya panas yang sangat. Sementara panas yang sangat tersebut tidak dapat hilang/berlalu di negeri itu kecuali setelah bayangan sesuatu benda dua kali dari panjang bendanya. Sehingga awal waktu ashar adalah saat panjang bayangan benda dua kali dari panjang bendanya.”
Namun bagaimana pun mereka membelanya, pendapat ini tetap lemah.
Akhir Waktu Ashar
Adapun akhir waktu ashar adalah selama matahari belum menguning dan belum jatuh sisinya yang awal –sebagai waktu ikhtiyar–, atau matahari belum tenggelam –sebagai waktu darurat–5. (Al-Majmu’ 3/31, Al-Mabsuth 1/134, Raudhatu Ath-Thalibin 1/208, Mughnil Muhtaj 1/249, Al-Muhalla 2/197, Nailul Authar 1/430, Asy-Syarhul Mumti’ 2/109)
Sebagaimana disebutkan dalam hadits Abdullah bin ‘Amr ibnul ‘Ash c bahwa ketika Rasulullah n ditanya tentang waktu shalat ashar, beliau menjawab:
وَوَقْتُ صَلاَةِ الْعَصْرِ مَا لَمْ تَصْفَرَّ الشَّمْسُ وَيَسْقُطْ قَرْنُهَا الْأَوَّلُ
“Waktu shalat ashar selama matahari belum menguning dan sebelum jatuh (tenggelam) sisinya yang awal.” (HR. Muslim no. 1388)
Demikian pula hadits Abu Hurairah z yang telah lewat, Rasulullah n bersabda:
وَإِنَّ أَوَّلَ وَقْتِ صَلاَةِ الْعَصْرِ حِيْنَ يَدْخُلُ وَقْتُهَا وَإِنَّ آخِرَ وَقْتِهَا حِيْنَ تَصْفَرُّ الشَّمْسُ
“Awal waktu shalat ashar adalah ketika masuk waktunya dan akhir waktunya saat matahari menguning.” (HR. At-Tirmidzi no. 151 dan selainnya. Al-Imam Al-Albani berkata: “Sanadnya shahih menurut syarat Al-Bukhari dan Muslim”, Ats-Tsamarul Mustathab 1/56 dan Ash-Shahihah no. 1696)
Juga ditunjukkan oleh sabda Rasulullah n:
مَنْ أَدْرَكَ مِنَ الصُّبْحِ رَكْعَةً قَبْلَ أَنْ تَطْلُعَ الشَّمْسُ فَقَدْ أَدْرَكَ الصُّبْحَ، وَمَنْ أَدْرَكَ رَكْعَةً مِنَ الْعَصْرِ قَبْلَ أَنْ تَغْرُبَ الشَّمْسُ فَقدْ أَدْرَكَ الْعَصْرَ
“Siapa yang mendapati satu rakaat subuh sebelum matahari terbit maka sungguh ia telah mendapatkan shalat subuh. Dan siapa yang mendapati satu rakaat ashar sebelum matahari tenggelam maka sungguh ia telah mendapatkan shalat ashar.” (HR. Al-Bukhari no. 579 dan Muslim no. 1373)
Disenangi Shalat Ashar di Awal Waktu
Disenangi bersegera mengerjakan shalat ashar ini sebagaimana yang biasa dilakukan oleh Rasulullah n. Seperti disebutkan dalam hadits Anas bin Malik z:
أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ n كَانَ يُصَلِّي الْعَصْرَ وَالشَّمْسُ مُرْتَفِعَةٌ حَيَّةٌ، فَيَذْهَبُ الذَّاهِبُ إِلىَ الْعَوَالِي، فَيَأْتِي الْعَوَالِي وَالشَّمْسُ مُرْتَفِعَةٌ
“Adalah Rasulullah n biasa mengerjakan shalat ashar dalam keadaan matahari tinggi masih bersih warnanya (belum menguning atau berubah). Lalu selesai shalat seseorang pergi ke kampung yang berada di sekitar kota Madinah6. Ia tiba di kampung tersebut dalam keadaan matahari masih tinggi.” (HR. Al-Bukhari no. 550 dan Muslim no. 1407)
Aisyah x juga mengabarkan:
كَانَ رَسُوْلُ اللهِ n يُصَلِّي الْعَصْرَ وَالشَّمْسُ لَمْ تَخْرُجْ مِنْ حُجْرَتِهَا
“Adalah Rasulullah n biasa mengerjakan shalat ashar dalam keadaan (cahaya) matahari belum keluar dari kamarnya.” (HR. Al-Bukhari no. 544 dan Muslim no. 1382)
Abu Barzah Al-Aslami z mengabarkan, “Rasulullah n mengerjakan shalat ashar. Selesai shalat ashar, salah seorang dari kami kembali ke rumahnya di ujung kota Madinah dalam keadaan matahari masih putih bersih/masih terasa panasnya.” (HR. Al-Bukhari no. 547 dan Muslim no. 1460)
Anas bin Malik z berkata, “Rasulullah n shalat ashar mengimami kami. Ketika selesai, datang seseorang dari Bani Salamah menemui beliau seraya berkata, ‘Wahai Rasulullah, kami ingin menyembelih unta kami dan kami senang bila engkau turut hadir.’ Beliau menjawab, ‘Iya.’ Rasulullah pun pergi dan kami ikut menyertai beliau. Kami dapati unta belum disembelih, lalu disembelihlah unta itu kemudian dipotong-potong lalu dimasak. Setelah matang kami menyantapnya. Semua itu terjadi dalam keadaan matahari belum tenggelam.” (HR. Muslim no. 1413)
Al-Imam An-Nawawi t berkata, “Yang dimaukan dengan hadits-hadits ini dan yang setelahnya adalah bersegera mengerjakan shalat ashar di awal waktunya. Karena tidak mungkin seseorang dapat pergi setelah shalat ashar ke tempat yang jaraknya 2 atau 3 mil dalam keadaan matahari masih putih bersih belum berubah kekuningan dan semisalnya, kecuali bila ia mengerjakan ashar ketika bayangan sesuatu/benda sama dengan bendanya. Hampir-hampir hal ini tidak terjadi kecuali pada hari-hari yang panjang.” (Al-Minhaj, 5/124)
Larangan Mengakhirkan Ashar di Waktu Isfirar7
Tidak boleh bersengaja mengakhirkan shalat ashar sampai waktu isfirar sesaat sebelum matahari tenggelam terkecuali karena udzur.8 (Al-Mughni Kitab Ash-Shalah, fashl La Yajuzu Ta`khirul Ashri ‘an Waqtil Ikhtiyar lighairi ‘Udzrin, Syarhu Muntaha Al-Iradat 1/134, At-Tahdzib lil Baghawi 2/9, Al-Muhalla, 2/197, Nailul Authar 1/431).
Karena Nabi n bersabda:
تِلْكَ صَلاَةُ الْمُنَافِقِ، يَجْلِسُ يَرْقُبُ الشَّمْسَ حَتَّى إِذَا كَانَ بَيْنَ قَرْنَيْ الشَّيْطَانِ قَامَ، فَنَقَرَهَا أَرْبَعًا لاَ يَذْكُرُ اللهَ إِلاَّ قَلِيْلاً
“Itu adalah shalat orang munafik. Ia duduk menunggu matahari, hingga ketika matahari telah berada di antara dua tanduk setan9 ia bangkit untuk shalat. Lalu ia mematuk dalam shalatnya10 sebanyak empat kali, dalam keadaan ia tidak mengingat (berzikir) kepada Allah kecuali sedikit.” (HR. Muslim no. 1411)
Al-Imam At-Tirmidzi t menukilkan tentang dibencinya mengakhirkan shalat ashar dari Abdullah ibnul Mubarak, Asy-Syafi’i, Ahmad, dan Ishaq. (Sunan At-Tirmidzi 1/107)
Ancaman bagi Orang yang Luput dari Shalat Ashar
Yang dimaksud dengan luput dari shalat ashar adalah mengakhirkan waktunya dari waktu yang diperbolehkan tanpa udzur. Dalam hal ini Rasulullah n bersabda:
الَّذِي تَفُوْتُهُ صَلاَةُ الْعَصْرِ كَأَنَّمَا وُتِرَ أَهْلُهُ وَمَالُهُ
“Orang yang terluputkan dari shalat ashar seakan-akan ia ditimpa musibah pada keluarga dan hartanya (sehingga ia tidak punya keluarga dan harta lagi).” (HR. Al-Bukhari no. 552 dan Muslim no. 1416)
Faedah
Dinukilkan dari Al-Qadhi Husain, Ash-Shaidalani, Al-Imam Al-Haramain, Ar-Ruyani, dan selain mereka, “Ashar memiliki lima waktu; waktu fadhilah (utama), waktu ikhtiyar (pilihan), waktu jawaz (dibolehkan) tanpa karahah/dibenci, waktu jawaz disertai karahah/dibenci, dan waktu udzur. Waktu fadhilah adalah dari awal masuk waktu ashar sampai bayangan seseorang panjangnya satu setengah kali dari orang tersebut. Waktu ikhtiyar adalah sampai bayangan benda dua kali panjang bendanya. Waktu jawaz tanpa karahah yaitu sampai isfirar (menguning) matahari. Waktu jawaz disertai karahah yaitu saat isfirar hingga matahari tenggelam. Waktu udzur adalah waktu zhuhur bagi orang yang menjamak ashar dengan shalat zhuhur karena safar atau karena hujan.” (Al-Majmu’ 3/31,32, Asy-Syarhul Kabir lil Rafi’i 1/369, Raudhatu Ath-Thalibin 1/208)
Orang yang Meninggalkan Shalat Ashar
Abu Malik berkata, “Kami bersama Buraidah ibnul Hushaib Al-Aslami z dalam satu peperangan pada hari mendung (berawan). Maka ia berkata, “Bersegeralah kalian mengerjakan shalat ashar karena Nabi n pernah bersabda:
مَنْ تَرَكَ صَلاَةَ الْعَصْرِ فَقَدْ حَبِطَ عَمَلُهُ
“Siapa yang meninggalkan shalat ashar (dengan sengaja) maka sungguh telah batal amalnya.” (HR. Al-Bukhari no. 553)
Mendapatkan Satu Rakaat Shalat Ashar Sebelum Matahari Tenggelam
Abu Hurairah z menyampaikan hadits Rasulullah n:
إِذَا أَدْرَكَ أَحَدُكُمْ سَجْدَةً مِنْ صَلاَةِ الْعَصْرِ قَبْلَ أَنْ تَغْرُبَ الشَّمْسُ فَلْيُتِمَّ صَلاَتَهُ
“Apabila salah seorang dari kalian mendapatkan satu sujud (satu rakaat) dari shalat ashar sebelum matahari tenggelam maka hendaknya ia menyempurnakan shalatnya.” (HR. Al-Bukhari no. 556 dan Muslim no. 1373)
1 Kata Al-’Allamah Manshur bin Yunus bin Idris Al-Huti t, ahli fiqih Hanabilah di zamannya, “Wustha maknanya utama dan pertengahan di antara shalat nahariyah (yang dikerjakan siang hari) dan shalat lailiyah (yang dikerjakan pada malam hari), atau pertengahan di antara dua shalat ruba’iyah (shalat yang berjumlah empat rakaat yaitu zhuhur dan isya).” (Syarhu Muntaha Al-Iradat, 1/134)
2 Juga pendapat Ibnu ‘Umar, Ibnu ‘Abbas, Abu Sa’id Al-Khudri, Ubai bin Ka’b, Samurah bin Jundab, Abdullah bin ‘Amr ibnul ‘Ash, Hafshah, Ummu Salamah, Abidah As-Salmani, Adh-Dhahhak, Al-Kalbi, Muqatil, Abu Hanifah, Ahmad, Dawud, Ibnul Mundzir, dan selain mereka. (Al-Minhaj 5/130, Al-Mughni Kitab Ash-Shalah, fashl Ma Shalatul Wustha, Nailul Authar 1/437)
3 Di sini ada kinayah, harusnya mempersiapkan diri dan tidak membiarkannya lalai seperti tertidur dan sebagainya. (Fathul Bari, 2/45)
4 Qaf: 39
5 Makna waktu darurat adalah seseorang terpaksa mengakhirkannya dari waktu ikhtiyar. Misalnya seseorang menderita luka-luka yang membuatnya tersibukkan dari mengerjakan shalat ashar karena membalut luka-lukanya, dalam keadaan ia sebenarnya bisa mengerjakan shalat ashar tersebut sebelum isfirar (cahaya menguning), namun ia akan menemui kesulitan/kepayahan. Maka bila ia mengakhirkan shalat asharnya beberapa saat sebelum datangnya shalat maghrib, berarti ia telah menunaikan shalat ashar pada waktunya. Ia tidak berdosa karena masih ada waktu darurat. (Asy-Syarhul Mumti’ 2/109)
6 Kampung yang paling jauh dari Madinah jaraknya 8 mil dan yang paling dekat 2 mil. Sebagiannya ada yang berjarak 3 mil dari Madinah. (Al-Minhaj, 5/124)
7 Matahari telah berwarna kekuning-kuningan.
8 Udzur yang dimaksud adalah seperti wanita yang baru mandi suci dari haid/nifasnya, orang kafir yang baru masuk Islam saat tersebut, anak kecil yang baru baligh pada waktu tersebut, orang gila/pingsan yang baru sadar, orang tidur yang baru bangun, atau orang sakit yang baru sembuh. (Al-Mughni Kitab Ash-Shalah, fashl La Yajuzu Ta`khirul ‘Ashri ‘an Waqtil Ikhtiyar lighairi ‘Udzrin )
9 Setan memosisikan dua tanduknya agar matahari persis di antara dua tanduknya ketika tenggelam dan terbit, karena orang-orang kafir pada waktu itu sujud kepada matahari yang sebenarnya mereka sujud kepada setan. (Nailul Authar 1/432)
10 Mengerjakannya dengan terburu-buru/tergesa-gesa tanpa menyempurnakan kekhusyukan, tanpa thuma`ninah, dan menyempurnakan bacaan zikir-zikir. Yang dimaksudkan dengan mematuk adalah bergerak dengan cepat seperti mematuknya burung. (Al-Minhaj, 5/126)