Wanita dalam Istananya

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

          يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ ٱتَّقُواْ رَبَّكُمُ ٱلَّذِي خَلَقَكُم مِّن نَّفۡسٖ وَٰحِدَةٖ وَخَلَقَ مِنۡهَا زَوۡجَهَا وَبَثَّ مِنۡهُمَا رِجَالٗا كَثِيرٗا وَنِسَآءٗۚ

“Wahai sekalian manusia, bertakwalah kalian kepada Rabb kalian yang telah menciptakan kalian dari jiwa yang satu, dan dari jiwa yang satu itu Dia menciptakan pasangannya, dan dari keduanya Dia memperkembangbiakkan lelaki dan perempuan yang banyak.” (an-Nisa’: 1)

Dalam ayat di atas, Rabb kita memberitakan bahwa bangsa manusia itu awalnya dari satu keluarga, dari sepasang suami istri, bapak kita, Adam dan ibu kita, Hawwa. Dari pasangan tersebut Allah subhanahu wa ta’ala mengembangbiakkan keluarga yang banyak.

Allah subhanahu wa ta’ala juga berfirman,

وَهُوَ ٱلَّذِي خَلَقَ مِنَ ٱلۡمَآءِ بَشَرٗا فَجَعَلَهُۥ نَسَبٗا وَصِهۡرٗاۗ وَكَانَ رَبُّكَ قَدِيرٗا ٥٤

“Dia-lah yang menciptakan manusia dari air (mani), lalu Dia jadikan manusia tadi memiliki nasab (keturunan) dan periparan (atau hubungan yang terjalin karena pernikahan).” (al-Furqan: 54)

Dari satu keluarga manusia berasal, kemudian berkembang menjadi keluarga yang banyak. Keluarga-keluarga baru tersebut terbentuk dengan adanya pernikahan. Seandainya tidak ada pembentukan keluarga lewat pernikahan yang sah, niscaya bangsa manusia akan hidup dalam kekacauan dan tidak dapat berkembang dengan tatanan yang semestinya.

Karena pentingnya keberadaan keluarga bagi kelangsungan hidup umat manusia, Islam mendorong pemeluknya untuk membentuk keluarga manakala ada kemampuan untuk itu. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda kepada para pemuda,

يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ، مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ...

“Wahai sekalian pemuda, siapa di antara kalian yang memil iki kemampuan, hendaknyalah dia menikah….” (HR. Bukhari dan Muslim)

Dalam sabda yang lain, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengasung para lelaki yang ingin menikah untuk memilih wanita yang bisa melahirkan keturunan yang banyak.

Bagaimana caranya?

Tentu dengan melihat ibu atau saudari si perempuan; berapa anak yang dilahirkan ibunya, atau berapa anak yang dimiliki sejumlah saudarinya yang telah menikah. Sebab, biasanya seseorang itu menyerupai karib kerabatnya. (Aunul Ma’bud, Kitab an-Nikah, Bab an-Nahyu ‘an Tazawwuj Man lam Yalid min an-Nisa’)

Pertimbangan ini menjadi sangat penting ketika memilih perempuan yang akan dinikahi. Seperti yang dinyatakan di atas sang Rasul-lah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang memerintahkannya,

تَزَوَّجُوْا الْوَدُوْدَ الْوَلُوْدَ فَإِنِّي مُكَاثِرٌ بِكُمُ الْأُمَم

“Menikahlah kalian dengan perempuan yang penyayang lagi subur rahimnya karena aku berbangga-bangga dengan banyaknya kalian di hadapan umat-umat (yang lain).(HR. Abu Dawud dan an-Nasa’i. Hadits ini hasan sahih sebagaimana dalam Irwa’ul Ghalil no. 1784 dan Adab az-Zafaaf hlm. 61)

Karena ada perintah demikian, berarti seorang lelaki dilarang menikahi seorang perempuan yang diketahui mandul atau sulit memiliki keturunan, walau mengagumkan parasnya.

Karena itulah, al-Imam Abu Dawud rahimahullah memberi judul dalam Shahihnya untuk hadits di atas, Bab “an-Nahyu ‘an Tazawwuj Man lam Yalid min an-Nisa’”. Artinya, Bab “Larangan Menikah dengan Perempuan yang Tidak Bisa Melahirkan (Mandul)”.

Al-Imam an-Nasa’i rahimahullah memberinya judul Bab “Karahiyah Tazwij al-’Aqim”, artinya Bab “Dibenci Menikahi Perempuan yang Mandul”.

Hadits di atas sendiri dititahkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam karena suatu sebab, sebagaimana penuturan sahabat yang mulia berikut ini. Ma’qil bin Yasar radhiallahu ‘anhu berkata, “Seorang lelaki menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu berkata, ‘Saya tertarik dengan seorang perempuan yang berparas cantik dan bernasab tinggi, hanya saja dia tidak bisa melahirkan. Apakah boleh saya menikahinya?’

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, ‘Tidak boleh.’

Lelaki itu datang lagi pada kali yang kedua untuk meminta izin menikahi si perempuan, namun Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tetap melarangnya. Demikian juga pada kali yang ketiga, ia masih meminta izin untuk menikahi si perempuan yang mandul. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu memberikan bimbingan di atas.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengaitkan sifat wadud (sangat mencintai)[1] dengan walud (banyak melahirkan atau subur rahimnya). Sebab, rasa cinta merupakan perantara kepada “hubungan” yang menjadi sebab terciptanya keturunan. (Sunan an-Nasa’i dengan Hasyiyah al-Imam as-Sindi, 6/66)

Semua itu bertujuan untuk memperbanyak populasi umat dan keluarga yang terbentuk dalam Islam.

Syariat Islam mengatur tatanan keluarga dan menjaganya agar tidak tercerai berai. Karena itulah, dalam Islam ada hukum-hukum yang mengatur tentang pernikahan, talak, iddah, hak ayah dan ibu, dan selainnya. Ini menunjukkan pentingnya keberadaan keluarga dalam Islam, karena memang keluarga adalah tempat tumbuhnya generasi umat manusia.

Bagaimana keadaan keluarga, maka demikianlah gambaran masa depan umat. Apabila keluarga dalam masyarakat Islam baik, baik pula masa depan umat ini.

 

Peran Penting Kaum Hawa dalam Keluarga

Perempuan adalah pilar yang penting dalam bangunan keluarga. “Di belakang setiap tokoh, ada perempuan yang mendidiknya”, kalimat ini bukan sekadar isapan jempol, namun memang pantas diucapkan.

Lantas, mengapa ada tudingan bahwa perempuan yang mengkhususkan diri untuk “mengurusi” rumah dan keluarganya adalah pengangguran? Tidak memberikan keuntungan materi bagi masyarakatnya, bahkan merugikan setengah dari potensi masyarakat manusia?

Sungguh,tuduhan yang tidak berdasar!

Sadarilah, sebagai ibu di rumah tangganya, seorang perempuan tidak hanya bertugas mengandung dan melahirkan ‘manusia’. Di pundaknya ada tanggung jawab tarbiyah guna mempersiapkan pribadi yang saleh.

Tugas perempuan di rumahnya membutuhkan keahlian khusus: ilmu, pemikiran, ketelitian, strategi, kelembutan, dan kasih sayang, yang sejatinya kaum lelaki tidak sanggup mengembannya.

Pekerjaan perempuan di rumahnya bernilai ibadah, bukan sekadar rutinitas, bila dia niatkan untuk beroleh pahala dan ridha Ilahi. Pekerjaannya memiliki ruh yang bisa dirasakan oleh orang yang mengerti tujuan kehidupan dan rahasia adanya manusia.

Demikian kata alim yang mulia Fadhilatusy Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan hafizhahullah. (Dari ceramah yang beliau sampaikan di Riyadh pada tanggal 6/11/1411 H, berjudul Daur al-Mar’ah fi Tarbiyah al-Usrah)

Kita akan menengok apa saja tugas perempuan di rumahnya yang insya Allah mengantarkan kita kepada kesimpulan bahwa tugasnya tersebut tidak bisa dianggap remeh. Ia justru bernilai amat agung.

  1. Di rumahnya, seorang perempuan bisa dengan tenang menunaikan ibadah kepada Allah subhanahu wa ta’ala

Untuk itulah manusia dicipta, untuk menghamba kepada-Nya.

وَمَا خَلَقۡتُ ٱلۡجِنَّ وَٱلۡإِنسَ إِلَّا لِيَعۡبُدُونِ ٥٦

“Tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada-Ku.” (adz-Dzariyat: 56)

Karena itu pula, tatkala para ibu orang-orang yang beriman ‘ummahatul mukminin’, istri Khairul Anam (sebaik-baik manusia) shallallahu ‘alaihi wa sallam, diperintah untuk berdiam di rumah mereka—semoga Allah subhanahu wa ta’ala meridhai mereka semuanya—Allah subhanahu wa ta’ala mengarahkan mereka untuk melakukan ibadah kepada-Nya di dalam rumah mereka.

          وَقَرۡنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجۡنَ تَبَرُّجَ ٱلۡجَٰهِلِيَّةِ ٱلۡأُولَىٰۖ وَأَقِمۡنَ ٱلصَّلَوٰةَ وَءَاتِينَ ٱلزَّكَوٰةَ وَأَطِعۡنَ ٱللَّهَ وَرَسُولَهُۥٓۚ

 “Dan berdiamlah kalian (wahai istri-istri Nabi) di dalam rumah-rumah kalian, janganlah bertabarruj sebagaimana tabarrujnya orang-orang jahiliah yang awal, tegakkanlah shalat, bayarkanlah zakat, serta taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya.” (al-Ahzab: 33)

Walaupun pelaksanaan syiar-syiar ibadah seperti shalat, puasa, zakat, dan semisalnya, termasuk tujuan ibadah yang terbesar, sebenarnya ibadah itu lebih luas lagi cakupan dan maknanya.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah mendefinisikan ibadah sebagai,

اِسْمٌ جَامِعٌ لِكُلِّ مَا يُحِبُّهُ اللهُ وَيَرْضَاهُ مِنَ الْأَقْوَالِ وَالْأَفْعَالِ الظَّاهِرَةِ وَالْبَاطِنَةِ

“Nama yang mencakup seluruh perkara yang Allah subhanahu wa ta’ala cintai dan ridhai, baik ucapan dan perbuatan, yang lahir dan yang batin.” (Fathul Majid Syarhu Kitab at-Tauhid, hlm. 17)

Menunaikan ibadah dengan baik dan benar merupakan pendukung terbesar bagi wanita untuk menjalankan perannya dengan sebaik-baiknya di dalam rumahnya.

Wanita salihah yang menunaikan ibadah kepada Rabbnya dengan khusyuk dan thuma’ninah akan memberi pengaruh yang besar terhadap orang-orang di dalam rumahnya, baik itu anak-anaknya maupun selainnya.

Ketika seorang wanita mukminah membaguskan wudhu, misalnya, kemudian berdiri di hadapan Rabbnya dengan tunduk khusyuk, niscaya makna ini akan membekas pada anak-anaknya sebagai qudwah hasanah atau teladan. Ini akan menambah makna bimbingan yang dia berikan lewat ucapan.

 

  1. Wanita di rumahnya adalah sakan, memberikan ketenangan dan ketenteraman bagi suaminya.

Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

          وَمِنۡ ءَايَٰتِهِۦٓ أَنۡ خَلَقَ لَكُم مِّنۡ أَنفُسِكُمۡ أَزۡوَٰجٗا لِّتَسۡكُنُوٓاْ إِلَيۡهَا وَجَعَلَ بَيۡنَكُم مَّوَدَّةٗ وَرَحۡمَةًۚ

 “Di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya, Dia menciptakan untuk kalian istri-istri dari jenis kalian agar kalian merasa tenang kepadanya (istri tersebut) dan Dia menjadikan di antara kalian mawaddah dan rahmah.” (ar-Rum: 21)

Sakan adalah kalimat yang mencakup makna menetapi, ketenangan, dan kesenangan di dalam rumah. Al-Imam asy-Syaukani rahimahullah berkata tentang ayat لِّتَسۡكُنُوٓاْ إِلَيۡهَا, “Kalian merasa akrab dengannya dan condong/cenderung hati kalian kepadanya.” (Fathul Qadir, 4/263)

Sebelumnya, perhatikanlah! Di dalam ayat di atas Allah subhanahu wa ta’ala menyebutkan dengan lafadz , لِّتَسۡكُنُوٓاْ إِلَيۡهَا (sakan ila) yang berarti, “agar kalian merasa tenang kepadanya.”

Allah subhanahu wa ta’ala tidak menyebutkan dengan lafadz لِّتَسۡكُنُوٓاْ مَعَهَا (sakan ma’a), karena sakan bersama sesuatu (sakan ma’a) sifatnya umum, bisa disertai kecintaan kepada sesuatu tersebut dan bisa pula tanpa cinta.

Adapun sakan kepada sesuatu (sakan ila), mengandung makna yang lebih besar, berupa kedekatan, cinta, kecondongan, dan ketenangan. Sepanjang apa pun pencarian seseorang dalam hidupnya guna beroleh teman yang dapat membuatnya tenang dan jiwanya tenteram saat berdekatan, dia tidak akan dapatkan teman yang semisal seorang istri.

Sebaliknya juga demikian, seorang perempuan tidak akan beroleh teman semisal suami. Inilah fitrah insan yang kita tidak bisa lari dan lepas darinya.

Seorang perempuan tidak akan mampu menjadi sakan bagi suaminya sampai dia memahami hak suaminya dan kedudukannya , kemudian menunaikannya dalam rangka menaati Rabbnya, dengan hati gembira dan ridha.

Mengapa wanita harus memerhatikan muamalahnya dengan suaminya?

Jawabannya, karena Islam mengukuhkan tingginya kedudukan suami atas istrinya dan besarnya hak suami terhadap istrinya. Hadits-hadits berikut ini memberikan gambarannya, maka pahamilah, wahai para istri.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda,

لَوْ كُنْتُ آمِرًا أَحَدًا أَنْ يَسْجُدَ لِأَحَدٍ, لَأَمَرْتُ الْمَرْأَةَ أَنْ تَسْجُدَ لِزَوْجِهَا مِنْ عِظَمِ حَقِّهِ عَلَيْهَا

“Seandainya aku boleh memerintah seseorang untuk sujud kepada orang lain, niscaya aku akan memerintah seorang istri untuk sujud kepada suaminya karena besarnya hak suami terhadapnya.” (HR. Ahmad, sahih dalam Irwa’ul Ghalil no. 1998 dan ash-Shahihah no. 3366)

Bibi Hushain bin Mihshan radhiallahu ‘anhu pernah menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepadanya,

أَ ذَاتُ زَوْجٍ أَنْتِ؟ قَالَتْ: نَعَمْ. قاَلَ: كَيْفَ أَنْتِ لَهُ؟ قاَلَتْ: مَا آلُوْهُ إِلاَّ مَا عَجَزْتُ عَنْهُ. قَالَ: فَانْظُرِيْ أَيْنَ أَنْتِ مِنْهُ, فَإِنَّمَا هُوَ جَنَّتُكِ وَ نَارُكِ

“Apakah engkau punya suami?”

Dia menjawab, “Ya.”

Kata Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lagi, “Bagaimana yang engkau lakukan terhadap suamimu?”

Dia menjawab, “Aku tidak pernah mengurang-ngurangi dalam menaatinya dan berkhidmat padanya kecuali dalam urusan yang memang aku tidak mampu.”

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menasihati, “Perhatikanlah di mana keberadaanmu dalam pergaulanmu dengan suamimu, karena dia adalah surga dan nerakamu.” (HR. Ahmad, an-Nasa’i, al-Hakim. Sanadnya sahih, lihat Adabuz Zafaf, hlm. 214 dan ash-Shahihah no. 2612)

Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu menyampaikan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

وَالَّذِي نَفْسِيْ بِيَدِهِ لَوْ كَانَ مِنْ قَدَمِهِ إِلَى مفْرقِ رَأْسِهِ قرْحَةٌ تَجْرِي بِالْقَيْحِ وَالصَّدِيْدِ، ثُمّ اسْتَقْبَلَتْهُ فََلَحِسَتْهُ مَا أَدَّتْ حَقَّهُ

“Demi Dzat yang jiwaku berada di tangannya, seandainya pada telapak kaki sampai belahan rambut suaminya ada luka/borok yang mengucurkan nanah bercampur darah, kemudian istri menghadap suaminya dan menjilati luka/borok tersebut, niscaya dia belum purna menunaikan hak suaminya.” (HR. Ahmad, dinyatakan sahih oleh al-Haitsami 4/9, al-Mundziri 3/55, dan Abu Nu’aim dalam ad-Dalail 137. Catatan kaki Musnad al-Imam Ahmad, 10/513)

Abdul lah ibnu Abi Aufa radhiallahu ‘anhu memberitakan dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

وَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ، لاَ تُؤَدِّي الْمَرْأَةُ حَقَّ رَبِّهَا حَتَّى تُؤَدِّيَ حَقَّ زَوْجِهَا، وَلَوْ سَأَلَهَا نَفْسَهَا وَهِيَ عَلى قَتَبٍ لَمْ تَمْنَعْهُ

“Demi Dzat yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya, tidaklah seorang istri dapat menunaikan hak Rabbnya hingga dia menunaikan hak suaminya. Seandainya suaminya meminta dirinya (mengajaknya jima’) saat dia sedang berada di atas qatab[2], dia tidak boleh mencegah suaminya.” (HR. Ibnu Majah, Ahmad. Lihat ash-Shahihah, no 173)

Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أُرِيْتُ النَّارَ فَإِذَا أَكْثَرُ أَهْلِهَا النِّسَاءُ، يَكْفُرْنَ. قِيْلَ: أَيَكْفُرْنَ باِللهِ؟ قَالَ: يَكْفُرْنَ الْعَشِيْرَ وَيَكْفُرْنَ الْإِحْسَانَ، لَوْ أَحْسَنْتَ إِلَى إِحْدَاهُنَّ الدَّهْرَ ثُمَّ رَأَتْ مِنْكَ شَيْئًا, قَالَتْ: مَا رَأَيْتُ مِنْكَ خَيْرًا قَطُّ

Diperlihatkan kepadaku neraka, ternyata mayoritas penghuninya adalah para wanita yang kufur.

Ada yang bertanya, “Apakah mereka kufur kepada Allah subhanahu wa ta’ala?”

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Mereka mengkufuri suami dan mengkufuri kebaikannya. Seandainya kamu berbuat baik kepada salah seorang dari mereka sepanjang masa, kemudian dia melihat darimu sesuatu (yang tidak disukainya), dia akan berkata, ‘Aku sama sekali tidak pernah melihat kebaikan darimu’.” (HR. al-Bukhari)

Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu berkata dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

إِذَا صَلَّتِ الْمَرْأَةُ خَمْسَهَا وَحَصَّنَتْ فَرْجَهَا وَأَطَاعَتْ بَعْلَهَا، دَخَلَتْ مِنْ أَيِّ أَبْوَابِ الْجَنَّةِ شَاءَتْ

“Apabila seorang istri mengerjakan shalat lima waktunya, menjaga kemaluannya, dan menaati suaminya, dia akan masuk surga dari pintu surga mana pun yang dia inginkan.” (HR. ath-Thabarani dalam al-Ausath, Ibnu Hibban dalam Shahihnya sebagaimana dalam at-Targhib, 3/73)

Bahkan, setelah seorang suami wafat mendahului istrinya, dia masih memiliki kedudukan. Sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berikut ini mengisyaratkan hal tersebut.

لاَ يَحِلُّ مِالْرَأَةٍ تُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ أَنْ تُحِدَّ عَلَى مَيِّتٍ إِلاَّ مِنْ زَوْجٍ تُحِدُّ أَرْبَعَةَ عَشَرَ وَعِشْرِيْنَ

“Tidak halal bagi seorang perempuan yang beriman kepada Allah subhanahu wa ta’ala dan hari akhir untuk berihdad[3] karena kematian seseorang lebih dari tiga hari, kecuali\ karena kematian suami. Dia harus berihdad selama 4 bulan 10 hari.” (HR. al-Bukhari dan Muslim)

Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.

(Insya Allah bersambung)

ditulis oleh al-Ustadzah Ummu Ishaq al-Atsariyah

[1] Hal ini tercapai, wallahu a’lam, dengan menikahi perempuan yang masih gadis/perawan. Sebab, seorang gadis—yang terjaga dalam bimbingan Islam—tidak mengenal selain lelaki yang menikahinya. Dengan demikian, cintanya kepada suaminya adalah cinta yang pertama, atau dia baru mengenal cinta dengan pernikahannya tersebut sehingga benar-benar mencintai suaminya.

Sifat wadud, memiliki rasa cinta yang lebih kepada suami, bisa pula diketahui dengan melihat karib kerabatnya. Ibunya,misalnya,bagaimana cinta ibunya kepada ayahnya.

[2] Qatab adalah rahl (pelana). Dalam ash-Shihhah disebutkan, maknanya adalah pelana kecil seukuran punuk unta.

Makna hadits ini adalah dorongan kepada para istri untuk menaati suami mereka. Sungguh, mereka tidak boleh menolak ajakan suami mereka walau dalam keadaan demikian (di atas pelana). Lantas bagaimana halnya pada keadaan selainnya?

[3] Ihdad berarti meninggalkan perhiasan dan semua yang bermakna berhias.