Apakah di dalam Islam dibolehkan seorang wanita mengobati laki-laki yang bukan mahramnya? Bagaimana pula sebaliknya, seorang wanita berobat kepada dokter laki-laki?
(Akhawat, Jateng)
Jawab:
Bila memang keadaannya darurat dan di sana tidak ada orang lain yang dapat mengobati laki-laki tersebut, maka dibolehkan bagi seorang wanita untuk mengobatinya, dengan dalil hadits ar-Rubayyi’ bintu Mu’awwidz radhiallahu ‘anha, ia berkata,
كُنَّا نَغْزُو مَعَ رَسُولِ اللهِ نَسْقِي وَنُدَاوِي الْجَرْحَى وَنَرُدُّ الْقَتْلَى إِلَى الْمَدِيْنَةِ
“Kami (para wanita) pernah ikut dalam satu peperangan bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Tugas kami adalah memberi minum kepada mujahidin, mengobati orang-orang yang luka, dan mengembalikan orang-orang yang terbunuh ke Madinah.” (Sahih, HR. al-Bukhari no. 2882, 2883)
Hadits di atas menunjukkan dibolehkannya wanita ajnabiyyah mengobati laki-laki ajnabi (yang bukan mahram) karena darurat. (Fathul Bari, 6/98)
Ummu ‘Athiyyah al-Anshariyyah radhiallahu ‘anha juga pernah menceritakan:
غَزَوْتُ مَعَ رَسُوْلِ اللهِ سَبْعَ غَزَوَاتٍ، أَخْلُفُهُمْ فِي رِحَالِهِمْ فَأَصْنَعُ لَهُمُ الطَّعَامَ وَأُدَاوِي الْجَرْحَى وَأَقُوْمُ عَلَى الْمَرْضَى
“Aku pernah ikut berperang bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam tujuh peperangan. Aku yang menggantikan mereka untuk menjaga kendaraan/ tunggangan mereka (para mujahidin), aku yang membuatkan makanan untuk mereka, mengobati orang yang luka-luka, serta merawat orang sakit.” (Sahih, HR. Muslim no. 1812)
Namun dalam hal ini harus diperhatikan sisi-sisi yang tidak mengundang fitnah (godaan) dan kerusakan, sehingga harus dihindari adanya khalwat (berduaan) antara si sakit dengan wanita yang mengobatinya. Atau wanita tersebut ketika mengobati si sakit, ditemani oleh mahramnya. Wallahu a‘lam.
Adapun bila di sana ada laki-laki yang bisa mengobati si sakit maka tidak dibolehkan ia diobati oleh wanita tersebut. (Jami’ Ahkamin Nisa’, 5/542)
Bagaimana bila seorang wanita berobat ke dokter laki-laki? Maka permasalahannya sama dengan di atas. Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih al-’Utsaimin rahimahullah ketika ditanya tentang permasalahan ini, beliau menjawab, “Berobatnya seorang wanita kepada dokter laki-laki karena tidak adanya dokter wanita tidaklah mengapa. Demikian yang disebutkan oleh ahli ilmu. Boleh baginya untuk membuka bagian tubuhnya yang sakit/ yang diperlukan untuk dilihat oleh dokter tersebut, namun wanita tadi harus ditemani oleh mahramnya dan tanpa berkhalwat dengan dokter tersebut, karena khalwat adalah perkara yang diharamkan. Tentunya hal ini sebatas keperluan.” (Fatawa al-Mar’ah al-Muslimah, 2/979)
Asy-Syaikh Muqbil bin Hadi al-Wadi’i rahimahullah berkata, “Menyentuh wanita ajnabiyyah (bukan mahram) tanpa ada keperluan/kebutuhan, tidaklah diperkenankan. Adapun bila diperlukan, seperti ia seorang dokter atau wanita itu sendiri seorang dokter dan tidak didapatkan dokter lain yang bisa mengobati si sakit selain dirinya, maka ketika itu dibolehkan menyentuh orang yang bukan mahramnya. Namun tetap penuh waspada terhadap fitnah (godaan) yang akan timbul.” (Ijabatus Sa’il, hlm. 32)