Wanita yang Meratapi Mayat

Bersedih saat mendapat musibah kematian orang yang dicintai merupakan keadaan yang lumrah bagi setiap orang. Yang menjadi masalah adalah ketika kesedihan itu diungkapkan dengan cara yang tidak semestinya, yang menunjukkan ketidaksabaran dalam menerima musibah tersebut. Bagaimana bentuk kesedihan yang dibolehkan saat mendapat musibah kematian orang yang kita cintai? Apakah menangis termasuk bentuk yang dilarang?

 

Dunia Tempat Ujian dan Cobaan

Sudah menjadi sunnatullah bahwasanya dunia adalah tempat ujian dan cobaan, sehingga datangnya merupakan suatu kepastian. Seorang hamba yang mengaku beriman kepada Allah ‘azza wa jalla dan hari akhir mesti bersiap diri menghadapi ujian dan cobaan tersebut, karena seorang hamba tidak dibiarkan dengan pengakuan keimanan dari lisannya sampai datang pembuktian berupa ujian.

Dia yang Mahasuci menyatakan dalam Al-Qur’an yang agung:

 أَحَسِبَ ٱلنَّاسُ أَن يُتۡرَكُوٓاْ أَن يَقُولُوٓاْ ءَامَنَّا وَهُمۡ لَا يُفۡتَنُونَ ٢  وَلَقَدۡ فَتَنَّا ٱلَّذِينَ مِن قَبۡلِهِمۡۖ فَلَيَعۡلَمَنَّ ٱللَّهُ ٱلَّذِينَ صَدَقُواْ وَلَيَعۡلَمَنَّ ٱلۡكَٰذِبِينَ ٣

“Apakah manusia itu mengira bahwa mereka akan dibiarkan saja mengatakan, ‘Kami telah beriman’, sedang mereka belum diuji? Dan sesungguhnya Kami telah menguji orang-orang sebelum mereka, agar Allah sungguh-sungguh mengetahui siapa orang-orang yang benar (dalam keimanannya) dan benar-benar mengetahui siapa orang-orang yang dusta.” (al-Ankabut: 23)

Ujian dan cobaan yang menghampiri hamba beragam macam dan bentuknya, bisa berupa kekurangan harta, hilangnya jiwa, kelaparan, dan sebagainya. Allah ‘azza wa jalla berfirman,

وَلَنَبۡلُوَنَّكُم بِشَيۡءٖ مِّنَ ٱلۡخَوۡفِ وَٱلۡجُوعِ وَنَقۡصٖ مِّنَ ٱلۡأَمۡوَٰلِ وَٱلۡأَنفُسِ وَٱلثَّمَرَٰتِۗ وَبَشِّرِ ٱلصَّٰبِرِينَ

“Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kalian dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar.” (al-Baqarah: 155)

 

Hikmah Cobaan yang Menimpa Hamba

Asy-Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di rahimahullah berkata ketika menafsirkan ayat di atas, “Allah ‘azza wa jalla mengabarkan Dia pasti menguji hamba-hamba-Nya agar menjadi jelas orang yang jujur dari orang yang dusta, orang yang berkeluh kesah dari orang yang sabar. Demikianlah sunnatullah kepada hamba-hamba-Nya.

Karena kelapangan bila terus-menerus ada pada ahlul iman dan tidak ada ujian serta cobaan bersama kelapangan tersebut, niscaya akan bercampur-baur antara ahlul iman dengan selainnya (tidak dapat dibedakan). Hal ini jelas merupakan kerusakan. Sementara hikmah Allah ‘azza wa jalla mengharuskan terpisahnya orang yang baik dari orang yang jelek. Ini merupakan faedah ujian dan cobaan, karena tujuan ujian dan cobaan bukanlah menghilangkan keimanan yang pada kaum mukminin dan bukan pula untuk memurtadkan mereka dari agama mereka.

Allah ‘azza wa jalla tidaklah menyia-nyiakan iman kaum mukminin. Dia mengabarkan dalam ayat ini bahwa Dia akan menguji hamba-hamba-Nya “dengan sedikit ketakutan” dari musuh-musuh mereka, “kelaparan,” yakni sedikit dari rasa takut dan sedikit kelaparan. Karena bila Dia menguji mereka dengan ketakutan seluruhnya atau kelaparan seluruhnya niscaya mereka akan binasa, sementara ujian itu untuk menyaring bukan untuk membinasakan.

“Kekurangan harta” meliputi seluruh kekurangan yang menimpa harta berupa bencana yang turun dari langit, tenggelam, hilang, dirampas oleh orang yang zalim dari kalangan raja/penguasa yang zalim dan perampok/pembegal jalanan dan selainnya.

(Kekurangan) jiwa” yakni meninggalnya orang-orang yang dicintai, baik anak-anak, karib kerabat atau sahabat. Temasuk kekurangan jiwa adalah berbagai macam penyakit yang menimpa pada tubuh hamba atau tubuh orang yang dicintainya.

“Dan (kekurangan) buah-buahan” berupa biji-bijian, buah kurma, pepohonan seluruhnya, sayur mayur, karena musim dingin yang sangat atau terbakar atau hama yang diturunkan dari langit berupa belalang dan semisalnya.

 Perkara-perkara ini mesti terjadi karena Dzat yang Maha Mengetahui Maha Mengabarkan telah memberitakannya, maka terjadilah sebagaimana diberitakan- Nya. Bila musibah ini terjadi, manusia terbagi dua: orang-orang yang berkeluh kesah dan orang-orang yang sabar.

Orang yang berkeluh kesah terjadi pada dirinya dua musibah, yaitu hilangnya apa yang dicintainya karena adanya musibah tersebut dan luput darinya perkara yang lebih besar daripada musibah tersebut yaitu pahala dengan berpegang pada perintah Allah ‘azza wa jalla berupa perintah bersabar. Maka dia merugi dengan penyesalan dan terhalang dari pahala ditambah dengan berkurangnya imannya. Terluput dari dirinya kesabaran, keridhaan dan kesyukuran.

Adapun orang yang diberi taufik oleh Allah ‘azza wa jalla ketika terjadi musibah, maka ia menahan dirinya dari murka dalam bentuk ucapan dan perbuatan. Dia berharap pahala musibah tersebut di sisi Allah ‘azza wa jalla. Dia tahu pahala yang akan diperolehnya dengan kesabarannya lebih besar daripada musibah yang menimpanya. Bahkan musibah menjadi kenikmatan bagi dirinya karena musibah tersebut menjadi jalan untuk memperoleh perkara yang lebih baik baginya dan lebih bermanfaat. Sungguh ia telah berpegang dengan perintah Allah ‘azza wa jalla dan beruntung memperoleh pahalanya. Karena itulah Allah ‘azza wa jalla berfirman, “ Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar.”

Yakni berilah kabar gembira kepada mereka bahwa akan ditunaikan pahala mereka tanpa perhitungan/batasan. Orang-orang yang sabar adalah mereka yang beruntung mendapatkan kabar gembira yang besar ini dan anugerah yang tiada terkira.” (Taisir al-Karimir Rahman, hlm. 76)

 

Wajib Bersabar ketika Ditimpa Musibah

Salah satu ujian/cobaan yang disebutkan dalam ayat Allah ‘azza wa jalla di atas adalah hilangnya jiwa atau meninggalnya orang yang dicintai, baik anak, suami, istri, orang tua, karib kerabat atau sahabat yang dekat. Ini satu kemestian. Maknanya, seseorang tidak mungkin hidup langgeng selama-lamanya bersama orang-orang yang dicintainya.

Bisa jadi dia yang lebih dahulu “meninggalkan” mereka, atau mereka yang “meninggalkan”-nya, karena Allah ‘azza wa jalla berfirman,

كُلُّ نَفۡسٖ ذَآئِقَةُ ٱلۡمَوۡتِۗ

“Setiap yang bernyawa mesti akan merasakan mati.” (Ali ‘Imran: 185)

Kewajiban bagi yang ditinggal adalah bertakwa kepada Allah ‘azza wa jalla dan bersabar. Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melewati seorang wanita yang sedang menangis di sisi sebuah kuburan. Beliau pun berkata,

اِتَّقِي اللهَ وَاصْبِرِيْ. قَالَتْ: إِلَيْكَ عَنِّي فَإِنَّكَ لَمْ تُصَبْ بِمُصِيْبَتِيْ. وَلَمْ تَعْرِفْهُ، فَقِيْلَ لَهَا: إِنَّهُ النَّبِيُّ. فَأَتَتِ النَّبِيَّ فَلَمْ تَجِدْ عِنْدَهُ بَوَّابِيْنَ، فَقَالَتْ: لَمْ أَعْرِفْكَ. فَقَالَ: إِنَّمَا الصَّبْرُ عِنْدَ الصَّدْمَةِ اْلأُول

“Bertakwalah kepada Allah[1] dan sabarlah.”

Wanita itu menjawab dalam keadaan ia belum mengenali siapa yang menasihatinya: “Biarkan aku karena engkau tidak ditimpa musibah seperti musibahku (tidak merasakan musibah yang aku rasakan –pen.)”

Dikatakanlah kepada si wanita: “Yang menasihatimu adalah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Wanita itu (terkejut) bergegas mendatangi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan tidak didapatkannya penjaga pintu di sisi (pintu) Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

“Aku tadi tidak mengenalimu,” katanya menyampaikan uzur.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Hanyalah kesabaran itu pada shadmah[2] (goncangan) yang pertama.” (HR. al-Bukhari no. 1283 dan Muslim no. 926)

Kesabaran yang dimaksudkan dalam hadits di atas adalah sabar yang sempurna yang membuahkan pahala yang besar karena besar pula kesulitan yang dihadapi. (Syarhu Muslim, 6/227)

Al-Khaththabi rahimahullah berkata, “Maknanya adalah kesabaran yang dipuji pelakunya adalah kesabaran ketika musibah datang tiba-tiba. Beda halnya dengan kesabaran yang ada setelah itu, karena dengan berlalunya hari-hari maka musibah itu akan terlupakan.” (Fathul Bari, 3/185)

Usamah bin Zaid radhiallahu ‘anhuma berkata, “Putri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengirim utusan menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk mengabarkan bahwa anaknya (yang berarti cucu Nabi –pen.) sedang menjelang ajal dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dimohon bersedia datang ke rumahnya. Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun mengirim orang untuk menyampaikan salam beliau disertai pesan:

إِنَّ مَا أَخَذَ وَلَهُ مَا أَعْطَى وَكُلٌّ عِنْدَهُ بِأَجَلٍ مُسَمًّى فَلْتَصْبِرْ وَلْتَحْتَسِبْ

“Sesungguhnya milik Allah-lah apa yang diambilnya dan milik-Nyalah apa yang Dia berikan. Setiap orang di sisi Allah memiliki ajal yang telah ditentukan, maka hendaklah ia bersabar dan mengharap pahala dari Allah.”

Putri beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam kembali mengirim orang untuk menemui beliau dan bersumpah agar beliau bersedia datang ke rumahnya. Akhirnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bangkit menuju rumah putrinya disertai Sa’d bin Ubadah, Mu’adz bin Jabal, Ubai bin Ka’ab, Zaid bin Tsabit, dan beberapa orang lainnya. Anak itu lalu diangkat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam keadaan napasnya berbunyi tersengal-sengal. Mengalirlah air mata beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Melihat hal itu, Sa’d bertanya, “Wahai Rasulullah, kenapa engkau menangis?”[3]

 Beliau menjawab,

هَذِهِ رَحْمَةٌ جَعَلَهَا اللهُ فِي قُلُوْبِ عِبَادِهِ. وَإِنَّمَا يَرْحَمُ اللهُ مِنْ عِبَادِهِ الرُّحَمَاءَ

“Ini adalah kasih sayang dan iba yang Allah berikan di hati-hati para hamba. Allah hanyalah merahmati hamba-hamba-Nya yang punya rasa kasih sayang.” (HR. al-Bukhari no. 1284 dan Muslim no. 923)

 

Haramnya Niyahah

Banyak kita saksikan di masyarakat kita, ketika musibah kematian menimpa suatu keluarga, anggota keluarga yang ditinggalkan khususnya kalangan wanitanya ataupun orang-orang yang dekat dengan si mayit meratapinya, dengan menangis meraung-raung, berteriak-teriak menyebutkan kebaikan orang yang meninggal tersebut, memukul-mukul pipi, merobek baju dan perbuatan jahiliah semisalnya. Meratapi mayit dengan menangis meraung-raung inilah yang dikenal dengan istilah niyahah.

Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah berkata, “Niyahah ini adalah ratapan yang dilakukan oleh laki-laki dan wanita, akan tetapi hal ini banyak dilakukan oleh wanita.” (al-Qaulul Mufid ‘ala Kitabit Tauhid, 2/25)

Bahkan di zaman jahiliah (mungkin juga ada di zaman sekarang), ada di antara wanita yang menjadi tukang ratap bayaran. Ia menyediakan dirinya untuk dipanggil guna meratapi orang yang meninggal. Karena itu, ia mendapatkan upah.

Ulama sepakat niyahah ini haram hukumnya (Syarhu Muslim 6/236) bahkan termasuk dosa besar, karena datang nash yang berisi ancaman di akhirat berupa azab bagi pelakunya (al-Kaba’ir, al-Imam Adz-Dzahabi, hlm. 10).

Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah berkata, “Dosa niyahah ini tidak akan diampuni kecuali dengan bertaubat. Adapun kebaikan-kebaikan yang dilakukan tidak dapat menghapuskannya, karena niyahah termasuk dosa besar. Sementara dosa besar hanya dihapuskan dengan taubatnya si pelaku.” (al-Qaulul Mufid ‘ala Kitabit Tauhid, 2/25)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

أَرْبَعٌ مِنْ أُمَّتِي مِنْ أَمْرِ الْجَاهِلِيَّةِ لاَ يَتْرُكُوْنَهُنَّ، الْفَخْرُ فِي اْلأَحْسَابِ، وَالطَّعْنُ فِي الْأَنْسَابِ، وَاْلاِسْتِسْقَاءُ بِالنُّجُوْمِ، وَالنِّيَاحَةُ. وَقَالَ: النَّائِحَةُ إِذَا لَمْ تَتُبْ قَبْلَ مَوْتِهَا تُقَامُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَعَلَيْهَا سِرْبَالٌ مِنْ قَطِرَانٍ وَدِرْعٌ مِنْ جَرَبٍ

“Ada empat hal dari umatku yang termasuk perkara jahiliah yang mereka tidak meninggalkannya, yaitu berbangga-bangga dengan kebanggaan keluarga, mencela nasab, minta hujan kepada bintang-bintang dan niyahah.” Dan beliau menyatakan, “Wanita yang melakukan niyahah apabila tidak bertaubat sebelum meninggalnya, maka kelak di hari kiamat dia akan diberdirikan dengan memakai pakaian panjang dari ter[4] dan pakaian dari kudis.” (HR . Muslim no. 934)

Al-Imam adz-Dzahabi rahimahullah menyatakan bahwa wanita yang berbuat niyahah mendapatkan azab yang demikian karena ia memerintahkan untuk berkeluh kesah dan melarang dari kesabaran. Sementara Allah ‘azza wa jalla dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam telah memerintahkan untuk bersabar dan mengharap pahala serta melarang dari keluh kesah dan murka ketika datang musibah. (al-Kaba’ir, hlm. 203)

Abdullah bin Mas’ud radhiallahu ‘anhu berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَيْسَ مِنَّا مَنْ لَطَمَ الْخُدُوْدَ وَشَقَّ الْجُيُوْبَ وَدَعَا بِدَعْوَى الْجَاهِلِيَّةِ

“Tidak termasuk golongan kami orang yang memukul-mukul pipi (karena meratap ketika ditimpa musibah –pen.), merobek kantung dan menyeru dengan seruan jahiliah.” (HR . al-Bukhari no. 1294 dan Muslim no. 103)

Yang dimaksud dengan “menyeru dengan seruan jahiliah” adalah melakukan niyahah, menyebut-nyebut kebaikan si mayat dan mendoakan kecelakaan menimpa diri. Demikian kata al-Imam an-Nawawi rahimahullah menukil dari al-Qadhi ‘Iyadh. (Syarhu Shahih Muslim, 2/110)

Abu Musa radhiallahu ‘anhu pernah menderita sakit yang parah hingga ia pingsan dan kepalanya berada di pangkuan salah seorang wanita dari kalangan keluarganya. Maka menjeritlah wanita tersebut, sementara Abu Musa radhiallahu ‘anhu tidak mampu mengucapkan satu katapun kepada si wanita. Tatkala Abu Musa radhiallahu ‘anhu siuman ia berkata,

أَنَا بَرِيءٌ مِمَّا بَرِئَ مِنْهُ رَسُوْلُ اللهِ فَإِنَّ رَسُوْلَ للهِ بَرِئَ مِنَ الصَّالِقَةِ وَالْحَالِقَةِ وَالشَّاقَّةِ

“Aku berlepas diri terhadap apa yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berlepas diri darinya. Sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berlepas diri dari wanita yang meninggikan suaranya (berteriak) ketika terjadi musibah, wanita yang mencukur rambutnya ketika terjadi

dan wanita yang merobek pakaiannya ketika terjadi musibah.” (HR . al- Bukhari no. 1296 dan Muslim no. 104)

‘Aisyah radhiallahu ‘anha mengabarkan: “Tatkala datang berita kematian Zaid bin Haritsah, Ja’far bin Abi Thalib dan Abdullah bin Rawahah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam duduk dan tampak kesedihan pada diri beliau. Aku melihat hal itu dari celah pintu. Lalu datanglah seseorang menemui beliau dengan membawa kabar, “Wahai Rasulullah, istri dan kerabat wanita Ja’far meratap,” katanya sembari menceritakan bagaimana tangisan mereka.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun memerintahkan orang itu agar melarang mereka dari berbuat demikian. Orang itu pun pergi untuk menunaikan perintah tersebut.

Namun kemudian orang itu kembali lagi dengan berkata, “Demi Allah, sungguh kami tidak mampu mendiamkan mereka.”

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata,

فَاحْثُ فِي أَفْوَاهِهِنَّ التُّرَابَ

“Taburkan pasir di mulut-mulut mereka.” (HR. al-Bukhari no. 1305 dan Muslim no. 935)

Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullah dalam syarahnya terhadap hadits di atas membawakan ucapan al-Imam al-Qurthubi rahimahullah berikut ini: “(Adanya perintah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang demikian –pen.) menunjukkan para wanita itu menangis dengan suara keras, maka ketika mereka tidak berhenti dari perbuatan demikian, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan agar menyumpal mulut-mulut mereka dengan pasir. Dikhususkan mulut dalam hal ini karena dari mulutlah keluar ratapan tersebut, beda halnya dengan mata misalnya.” (Fathul Bari, 3/207)

Karena haramnya perbuatan niyahah ini maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membai’at para wanita shahabiyah agar tidak melakukannya sebagaimana diceritakan Ummu ‘Athiyyah radhiallahu ‘anha. Ia berkata,

لاَ أَخَذَ عَلَيْنَا النَّبِيُّ عِنْدَ الْبَيْعَةِ أَنْ نَنُوْحَ فَمَا وَفَّتْ مِنَّا امْرَأَةٌ غَيْرَ خَمْسِ نِسْوَةٍ: أُمِّ سُلَيْمٍ وَأُمِّ الْعَلاَءِ وَابْنَةِ أَبِي سَبْرَةَ امْرَأَةِ مُعَاذٍ وَامْرَأَتَيْنِ، أَوِ ابْنَةِ أَبِي سَبْرَةَ وَامْرَأَةِ مُعَاذٍ وَامْرَأَةٍ أُخْرَى

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengambil perjanjian dari kami (para wanita) ketika membai’at agar kami tidak melakukan niyahah. Tidak ada seorang wanita pun yang berbai’at ketika itu yang memenuhinya kecuali lima orang yaitu Ummu Sulaim, Ummul ‘Ala’, putri Abu Sabrah istri Mu’adz dan dua wanita lainnya, atau putri Abu Sabrah, istri Mu’adz dan seorang wanita yang lain[5].” (HR . al-Bukhari no. 1306 dan Muslim no. 936)

 

Niyahah Termasuk Amalan Kekufuran

Niyahah termasuk amalan kekufuran karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menggolongkannya ke dalam perbuatan jahiliah dalam sabdanya,

أَرْبَعٌ مِنْ أُمَّتِي مِنْ أَمْرِ الْجَاهِلِيَّةِ لاَ يَتْرُكُوْنَهُنَّ، الْفَخْرُ فِي الْأَحْسَابِ وَالطَّعْنُ فِي الْأَنْسَابِ وَالْاِسْتِسْقَاءُ بِالنُّجُوْمِ وَالنِّيَاحَةُ

“Ada empat hal dari umatku yang termasuk perkara jahiliah yang mereka tidak meninggalkannya, yaitu berbangga-bangga dengan kebanggaan keluarga, mencela nasab, minta hujan kepada bintang-bintang, dan niyahah.” (HR. Muslim no. 934)

Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam juga menyatakan,

اِثْنَتَانِ فِي النَّاسِ هُمَا بِهِمْ كُفْرٌ: الطَّعْنُ فِي النَّسَبِ، وَالنِّيَاحَةِ عَلَى الْمَيِّتِ

“Ada dua perkara pada manusia yang menyebabkan mereka kufur yaitu mencela nasab dan niyahah terhadap orang yang meninggal.” (HR . Muslim no. 67)

Yang dimaksud dengan kufur di sini adalah kufur ashgar yakni kufur yang tidak sampai mengeluarkan pelakunya dari agama Islam. (Fathul Majid hlm. 424, I’anatul Mustafid bi Syarhi Kitabit Tauhid, asy-Syaikh Shalih Fauzan, 2/112)

 

Niyahah akan Menarik Setan

Ummu Salamah radhiallahu ‘anha bertutur: “Ketika Abu Salamahzmeninggal, aku berkata, “Dia orang asing dan berada di negeri asing.[6] Sungguh-sungguh aku akan menangisinya dengan satu tangisan yang akan diperbincangkan. Maka aku pun telah bersiap-siap untuk menangisinya. Tiba-tiba datang seorang wanita dari ‘Awali Madinah, ia ingin membantuku untuk menangisi Abu Salamah. Lalu datanglah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan berkata,

أَتُرِيْدِيْنَ أَنْ تُدْخِلِي الشَّيْطَانَ بَيْتًا أَخْرَجَهُ اللهُ مِنْهُ؟

“Apakah engkau ingin memasukkan setan ke rumah yang Allah telah mengeluarkan setan itu darinya?” Beliau ucapkan hal itu dua kali. Aku menahan diri dari menangis hingga aku pun tidak menangis. (HR . Muslim no. 922)

 

Boleh Menangisi Mayit

Hadits Usamah bin Zaid radhiallahu ‘anhuma yang telah lewat penyebutannya menunjukkan bolehnya menangisi orang yang meninggal. Dan tidak hanya sekali Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menangis seperti itu. Ketika putri beliau, Zainab radhiallahu ‘anha meninggal, beliau menangis di dekat kuburannya. Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu berkata,

        شَهِدْناَ بِنْتَ رَسُوْلِ اللهِ وَرَسُوْلُ اللهِ جَالِسٌ عَلَى الْقَبْرِ، فَرَأَيْتُ عَيْنَيْهِ تَدْمَعَانِ فَقَالَ: هَلْ فِيْكُمْ مِنْ أَحَدٍ لَمْ يُقارِفِ اللَّيْلَةَ؟ فَقَالَ أَبُوْ طَلْحَةَ: أَنَا. قَالَ: فَأَنْزِلْ فِي قَبْرِهَا. فَنَزَلَ فِي قَبْرِهَا فَقَبَرَهَا

“Kami menghadiri (pemakaman) putri Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sementara Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam duduk dekat kuburannya. Maka aku melihat air mata beliau mengalir. Beliau bersabda, ‘Adakah salah seorang dari kalian yang tidak menggauli istrinya semalam?’

Abu Thalhah radhiallahu ‘anhu berkata, ‘Saya.’

‘Turunlah ke dalam kuburnya,’ titah beliau.

Maka Abu Thalhah pun turun ke kuburan Zainab radhiallahu ‘anha dan menguburkannya.” (HR. al-Bukhari no. 1342)

Demikian pula ketika beliau menyampaikan kepada para sahabatnya berita syahidnya Zaid bin Haritsah, Ja’far bin Abi Thalib dan Abdullah bin Rawahah radhiallahu ”anhum dalam perang Mu’tah, kedua pelupuk mata beliau basah berlinang air mata. (HR . al-Bukhari no. 1246)

Semua ini menunjukkan bolehnya menangisi orang yang meninggal, tapi dengan ketentuan tidak dengan suara keras atau tidak disertai dengan perbuatan jahiliah serta perkataan yang menunjukkan kemarahan dan kemurkaan terhadap apa yang Allah ‘azza wa jalla takdirkan. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda ketika meninggalnya putra beliau yang masih balita bernama Ibrahim.

إِنَّ الْعَيْنَ تَدْمَعُ وَالْقَلْبَ يَحْزَنُ وَلاَ نَقُوْلُ إِلاَّ مَا يَرْضَى رَبُّنَا وَإِنَّا بِفِرَاقِكَ يَا إِبْرَاهِيْمُ لَحَمْزُوْنُوْنَ

“Sungguh air mata ini mengalir dan hati ini bersedih namun kami tidak mengatakan kecuali apa yang diridhai Rabb kami dan sungguh perpisahan denganmu wahai Ibrahim sangatlah menyedihkan kami.” (HR . al-Bukhari no. 1303 dan Muslim no. 2315)

Dan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menyatakan,

إِنَّ اللهَ لاَ يُعَذِّبُ بِدَمْعِ الْعَيْنِ وَلاَ بِحُزْنِ الْقَلْبِ، وَلَكِنْ يُعَذِّبُ بِهَذَاوَأَشَارَ إِلَى لِسَانِهِأَوْ يَرْحَمُ

“Sesungguhnya Allah tidak mengazab (seorang hamba) karena tetesan air mata(nya) dan kesedihan hati(nya), akan tetapi Allah mengazab atau merahmati karena ini –beliau mengisyaratkan ke lidahnya.” (HR . al-Bukhari no. 1304 dan Muslim no. 924)

Asy-Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah menyatakan bahwa menangis yang dibolehkan adalah menangis yang didorong oleh tabiat (secara wajar tidak dibuat-buat) bukan karena murka terhadap ketetapan takdir Allah ‘azza wa jalla.

Tangisan yang seperti ini tidaklah dicela bila seorang hamba melakukannya. Seperti yang pernah terjadi pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika mendapati cucunya dalam keadaan sakaratul maut, maka beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menangis karena iba dan kasihan melihat kepayahan anak tersebut ketika menjemput maut.

Termasuk pula dalam hal ini menangis karena sedih berpisah dengan orang yang dicintai sebagaimana terjadi pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika meninggal putra beliau yang bernama Ibrahim. (Syarhu Riyadhish Shalihin 4/307-308)

 

Yang Semestinya Dilakukan ketika Terjadi Musibah

Ketika musibah kematian datang menimpa, seorang hamba wajib untuk bersabar dan mengharapkan pahala dari Allah ‘azza wa jalla. Dia ucapkan kalimat istirja’; Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un. Dan berdoa kepada Allah ‘azza wa jalla sebagaimana dituntunkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam:

اللَّهُمَّ آجُرْنِي فِي مُصِيْبَتِي وَأَخْلِفْ لِي خَيْرًا مِنْهَا

“Ya Allah, berilah pahala kepadaku dalam musibahku ini dan gantikanlah untukku dengan yang lebih baik dari musibahku ini.”

Ketika Ummu Salamah radhiallahu ‘anha ditimpa musibah dengan meninggalnya suaminya, Abu Salamah radhiallahu ‘anhu, ia pun mengucapkan doa ini. Saat masa ‘iddah-nya selesai, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam meminangnya dan mempersuntingnya sehingga Ummu Salamah menjadi salah seorang ummahatul mukminin. (HR.Muslim no. 918)

Allah ‘azza wa jalla benar-benar menggantikan untuk Ummu Salamah dengan apa yang lebih baik dari musibah yang menimpanya karena kesabarannya dan keyakinannya.

Demikianlah… Semoga apa yang tertuang dalam tulisan ini menjadi perhatian bagi para wanita agar mereka meninggalkan niyahah dan perbuatan yang diharamkan lainnya ketika terjadi musibah. Sebaliknya, mereka melazimi kesabaran dan berharap pahala dari Rabbul ‘Izzah.

Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab

Ditulis oleh Al-Ustadzah Ummu Ishaq Al-Atsariyyah


[1] Al-Imam al-Qurthubi rahimahullah berkata, “Yang dzahir di sini, tangisan si wanita melebihi perkara yang dibolehkan berupa niyahah dan selainnya. Karena itulah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkannya untuk bertakwa (kepada Allah).” (Fathul Bari, 3/184)

[2] Makna asalnya adalah pukulan pada sesuatu yang keras, kemudian digunakan secara kiasan terhadap segala yang dibenci/tidak disukai yang terjadi dengan tiba-tiba. (Syarhu Muslim, 6/227)

[3] Sa’d menyangka seluruh macam tangisan (ketika menghadapi musibah kematian –pen.) itu haram, termasuk meneteskan air mata pun haram. Dan Sa’d menyangka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lupa akan hal itu, karenanya ia ingin mengingatkan beliau. Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan kepada Sa’d bahwa sekadar menangis dan meneteskan air mata tidaklah haram dan tidaklah makruh, bahkan hal itu merupakan rahmat dan keutamaan. Yang diharamkan hanyalah niyahah dan meratap dengan menyebut-nyebut kebaikan si mayit. (Syarhu Shahih Muslim, 6/225)

[4] Diriwayatkan bahwa Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma menafsirkan dengan tembaga yang meleleh. (Fathul Majid) (red) musibah (untuk berduka, red),

[5] Ragu dari rawi, namun yang benar adalah lafadz yang memisahkan putri Abu Sabrah dengan istri Mu’adz. (Fathul Bari, 3/219)

[6] Maknanya, kata al-Imam an-Nawawi rahimahullah, Abu Salamah ini penduduk Makkah dan ia meninggal di Madinah berarti ia orang asing yang meninggal di negeri asing. (Syarhu Shahih Muslim, 6/224)

meratapi mayatniyahah