Kenikmatan abadi yang tidak pernah terlihat oleh mata, tidak pernah terdengar oleh telinga, dan tidak pula terbersit di kalbu seseorang terus menjadi dambaan puncak setiap insan beriman. Itulah surga….!
Namun, ada wanita yang diancam oleh penetap syariat akan terhalang dari mencium wangi surga, berarti dia tidak masuk ke dalamnya. Betapa celaka dia!
Apa gerangan yang diperbuatnya di dunia ini hingga memeroleh vonis memilukan tersebut?
Berpakaian Tetapi Telanjang
Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, Rasulullah radhiallahu ‘anhu bersabda,
صِنْفَان مِنْ أَهْلِ النَّارِ لَم أَرَهُمَا …. )الْحَدِيثَ، وَفِيهِ: ( وَنسَاءٌ كَاسيَاتٌ عَاريَاتٌ مُميلاَتٌ مَائلاَتٌ، رُؤُوْسُهُنُّ كَأَسِنَمَةِ الْبُخْتِ الْمَائلَةِ، لاَ يَدْحُلْنَ الْجَنَّةَ وَلاَ يَجدْنَ رِيْحَهَا وَإِنَّ رِيْحَهَا لَيُوْجَدُ منْ مَسِيْرَةِ كَذَا وَكَذَا.
“Ada dua golongan penghuni neraka yang aku belum melihat keduanya…” (hadits ini masih berlanjut dan di dalamnya ada lafadz:) “… dan para perempuan yang berpakaian tetapi telanjang, memiringkan lagi miring. Kepala mereka seperti punuk unta yang miring. Mereka tidak akan masuk surga dan tidak akan mencium wangi surga. Padahal wangi surga bisa tercium dari jarak perjalanan sekian dan sekian.” (HR. Muslim no. 5547)
Apa perbuatan para perempuan di atas?
Mereka itu adalah ‘perempuan-perempuan yang berpakaian tetapi telanjang’, . كَاسيَاتٌ عَاريَاتٌ
Kalimat ini memiliki beberapa makna.
- Mereka berpakaian dengan nikmat Allah subhanahu wa ta’ala, tetapi telanjang dari mensyukuri nikmat tersebut (tidak mau bersyukur).
- Mereka mengenakan pakaian, tetapi telanjang (enggan) dari melakukan keba ikan, enggan memberikan perhatian terhadap akhirat mereka, dan enggan mementingkan ketaatan.
- Mereka membuka suatu bagian dari tubuh mereka (di hadapan lelaki ajnabi) karena ingin menampakkan keindahannya. Mereka yang berbuat seperti ini dikatakan berpakaian tetapi hakikatnya telanjang.
- Mereka memakai pakaian yang tipis sehingga menampakkan apa yang ada di balik pakaian tersebut. Mereka berpakaian, tetapi secara makna mereka telanjang.
Para perempuan ini berjalan dengan gaya angkuh seraya menggerak-gerakkan pundak mereka. Mereka menyisiri rambut mereka dengan model miring persis seperti gaya sisiran perempuan “nakal”.
Rambut mereka tampak besar karena dililiti dengan balutan atau yang semisalnya sebagai hiasan, sehingga seperti punuk unta yang miring.
Adapula yang mengatakan bahwa mereka mengikat rambut mereka tinggi di atas kepala. Mereka adalah perempuan yang jauh dari menaati Allah subhanahu wa ta’ala, jauh dari menjaga kemaluan, dan hal selainnya yang harus mereka jaga. Mereka mengajarkan perilaku mereka yang tercela kepada perempuan lain. (al-Minhaj, 13/336 dan 17/188)
Perempuan, menurut aturan Islam yang agung, diperintah untuk menutup auratnya dengan sempurna di hadapan lelaki yang bukan mahramnya. Sempurna dalam artian tidak boleh menampakkan bagian tubuhnya yang tidak diperkenankan terlihat oleh selain lelaki dari kalangan mahramnya.
Yang dituntut dari menutup aurat tersebut tidaklah ‘asal menutup’, tetapi terdapat syarat-syarat yang harus dipenuhi sehingga dikatakan aurat telah tertutup sesuai yang dimaukan syariat.
Di antaranya, pakaian penutup tersebut harus panjang menutupi seluruh tubuh, tidak boleh pakaian pendek sehingga menampakkan sebagian tubuh, tidak sempit sehingga membentuk lekuk-lekuk tubuh, tidak tipis sehingga menggambarkan apa yang ada di balik pakaian tersebut, tidak dihiasi dengan bermacam-macam hiasan, dan lain sebagainya.
Syarat-syarat inilah yang tidak dipenuhi oleh para perempuan yang disebutkan dalam hadits di atas. Mereka memang mengenakan pakaian yang menempel pada tubuh, tetapi hakikatnya telanjang karena pakaian yang semestinya dipakai untuk menutup aurat mereka di hadapan ajnabi justru tidak menutup aurat sama sekali.
Meminta Cerai Tanpa Alasan Yang Benar
Maula (bekas budak yang dimerdekakan) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang bernama Tsauban radhiallahu ‘anhu, menyampaikan sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam,
.أَيُّمَا امْرَأَةٍ سَأَلَتْ زَوْجَهَا طَلاَقًا مِنْ غَيْرِ مَا بَأْسٍ، فَحَرَامٌ عَلَيْهَا رَائِحَةُ الْجَنَّةِ
“Perempuan (istri) mana saja yang meminta cerai dari suaminya tanpa alasan yang diperkenankan, haram baginya mencium wangi surga.” (HR. Abu Dawud no. 2226, at-Tirmidzi no. 1187, dan selain keduanya. Dinyatakan sahih al-Imam al-Albani rahimahullah dalam Shahih Sunan at-Tirmidzi)
Perbuatan berikutnya yang menyebabkan seorang perempuan tidak akan mencium wangi surga adalah minta cerai kepada suami tanpa alasan yang diperkenankan.
Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “Berita yang datang yang berisi tarhib (menakut-nakuti atau mengancam) istri yang minta cerai dari suaminya dimaknai dalam keadaan si istri meminta cerai tanpa ada sebab yang menuntut hal tersebut. (Fathul Bari, 9/314)
Si istri meminta cerai padahal dia tidak berada dalam suatu kesempitan atau kesulitan berat yang memaksanya untuk “minta pisah”. (Tuhfah al-Ahwazi, kitab ath-Thalaq, bab Ma Ja’a fi al-Mukhtali’at)
Dengan demikian, seorang istri tidak sepantasnya bermudah-mudah meminta cerai dari suaminya, karena adanya ancaman dalam hadits di atas.
Kalaupun dia terpaksa menuntut cerai atau meminta khulu’, hendaknya sudah terkumpul sebab-sebabnya sebagaimana yang diisyaratkan dalam surah al-Baqarah,
فَإِنۡ خِفۡتُمۡ أَلَّا يُقِيمَا حُدُودَ ٱللَّهِ فَلَا جُنَاحَ عَلَيۡهِمَا فِيمَا ٱفۡتَدَتۡ بِهِۦۗ
“Jika kalian khawatir keduanya (suami-istri) tidak dapat menegakkan hukum-hukum Allah, tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh istri untuk menebus dirinya….” (Al-Baqarah: 229)
Maknanya, kekhawatiran suami-istri apabila keduanya mempertahankan pernikahan niscaya keduanya tidak dapat menegakkan hudud/batasan-batasan yang ditetapkan Allah subhanahu wa ta’ala.
Adapun apabila tidak ada kebutuhan untuk minta cerai atau minta khulu, dibenci melakukannya. Bahkan, haram menurut sebagian ulama, berdasarkan hadits di atas. (al-Mulakhkhash al-Fiqhi, 2/320, Fadhilatusy Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan rahimahullah)
Menyerupai Lelaki
Dari Abdullah Ibnu Umar radhiallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ثَلاَثٌ لاَ يَدْخُلُوْنَ الْجَنةَ وَلاَ يَنْظُرُ اللهُ إلَيْهمْ يَوْمَ الْقيَامَة: الْعَاقُّ وَالدَيْهِ، وَالْمَرْأَةُ الْمُتَرَجِّلَةُ الْمُتَشَبِّهَةُ .بِالرِّجَالِ، وَالدَّيُّوثُ
“Ada tiga golongan yang tidak akan masuk surga dan Allah subhanahu wa ta’ala tidak akan melihat mereka pada hari kiamat kelak:
(1) anak yang durhaka kepada kedua orang tuanya,
(2) wanita yang berperilaku seperti lelaki yang menyerupai kaum lelaki, dan
(3) dayyuts (kepala keluarga yang tidak memiliki kecemburuan terhadap keluarganya dengan membiarkan kemungkaran di tengah-tengah mereka). (HR. an-Nasa’i, kata al-Imam al-Hakim rahimahullah, “Shahihul isnad,” dan disepakati oleh adz-Dzahabi rahimahullah. Kata al-Imam al-Albani rahimahullah, “Hadits ini sebagaimana yang dikatakan keduanya, insya Allah.” Lihat catatan kaki Jilbab al- Mar’ah al-Muslimah, hlm. 145)
Berkaitan dengan mutarajjilah, telah kita bahas dalam rubrik yang sama di majalah ini pada edisi 105. Klik di sini untuk melihat kembali pembahasan tersebut.
Suka Mengadu Domba
Dari Hudzaifah Ibnul Yaman radhiallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
.لاَ يَدْخُلُ الْجَنَّةَ قَتَّاتٌ
“Tidak akan masuk surga orang yang suka namimah.” (HR. al-Bukhari no. 6056 dan Muslim no. 287)
Namimah adalah salah satu penyakit lisan. Definisinya ialah menukil ucapan seseorang untuk disampaikan kepada orang lain dengan maksud merusak hubungan di antara mereka. (al-Minhaj, 2/295)
Mengadu domba, demikian sebutan yang biasa kita katakan terhadap perbuatan orang yang suka namimah. Walau dalam hadits tidak disebutkan perempuan sebagai pelakunya secara khusus, tetapi kenyataannya perbuatan namimah banyak dilakukan oleh kaum hawa, sebagaimana mereka jatuh dalam penyakit lisan lainnya, seperti ghibah, mencela, melaknat, dan berdusta. Kita mohon keselamatan dan penjagaan dari berbuat dosa kepada Allah subhanahu wa ta’ala.
Akan tetapi, yang sangat disesalkan, meski namimah termasuk dosa besar, banyak wanita yang menganggapnya remeh. Padahal namimah bukan dosa yang biasa-biasa saja. Allah subhanahu wa ta’ala mencela orang yang memiliki sifat suka namimah dan melarang mendengarkan ucapannya,
وَلَا تُطِعۡ كُلَّ حَلَّافٖ مَّهِينٍ ١٠ هَمَّازٖ مَّشَّآءِۢ بِنَمِيمٖ ١١
“Dan janganlah kamu ikuti setiap orang yang banyak bersumpah lagi hina, yang banyak mencela, yang ke sana kemari berbuat namimah.” (Al- Qalam: 10—11)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menyebutkan bahwa namimah merupakan salah satu dosa yang menjadi sebab seseorang diazab dalam kuburnya, sebagaimana dalam Shahihain yang disampaikan lewat sahabat yang mulia, Abdullah bin Abbas radhiallahu ‘anhuma.
Ancaman Tidak Masuk Surga
Sebagian salaf mengatakan bahwa dalil yang berisi ancaman seperti dalam hadits di atas, ‘tidak akan mencium wangi surga atau tidak akan masuk surga’, dipahami sebagaimana adanya tanpa perlu dimaknai yang lain. Sebab, hal ini lebih mengena dalam hal memberikan peringatan. (Nashihati lin Nisa’, karya Ummu Abdillah bintu Syaikh Muqbil rahimahullah, hlm. 34)
Jadi, karena ancaman yang sangat keras, orang akan berpikir panjang untuk melakukan perbuatan tersebut.
Adapula yang memaknai ancaman tersebut sebagaimana berikut.
- Orang yang menghalalkan yang haram dalam keadaan dia tahu itu sebenarnya haram menurut hukum Allah subhanahu wa ta’ala, tetapi dia tidak peduli. Dia kafir murtad dari Islam karena telah mengingkari dan mendustakan nash.
Dengan kekafirannya tersebut, dia kekal selamanya dalam neraka, tidak mungkin masuk surga.
- Dia tidak masuk surga dari awal bersama orang-orang yang selamat.
Akan tetapi, dia harus mempertanggungjawabkan dosanya terlebih dahulu dengan beroleh azab neraka sesuai kadar dosanya. (al- Minhaj, 17/189)
Yang jelas, sebagai hamba yang taat kepada Allah subhanahu wa ta’ala, tidak sepantasnya meremehkan perbuatan dosa, walau sekecil apapun; apalagi dosa yang diancam ‘tidak akan masuk surga’ bagi pelakunya.
Masuk surga adalah cita-cita tertinggi bagi seorang mukmin. Oleh karena itu, jangan sampai kita gagal meraihnya. Wallahul musta’an
Ditulis oleh al-Ustadzah Ummu Ishaq al-Atsariyah