Bani Israil Menyembah Anak Sapi

Setelah berada di Bukit Thursina, Allah Subhanahu wata’ala menerangkan kepada Nabi Musa ‘alaihis salam bahwa Dia telah memberikan cobaan kepada bani Israil dan mereka pun disesatkan oleh Samiri. Nabi Musa ‘alaihis salam pun terkejut dan kecewa.

Begitu kembali dari Bukit Thur, beliau ‘alaihis salam melihat sebagian besar (sekitar 70.000 orang) bani Israil benar-benar melakukan kesyirikan, beribadah kepada patung anak sapi emas. Mereka meratap dan menari-nari di sekeliling patung itu, sehingga kemarahan beliau pun memuncak. Sambil melemparkan lembaran Taurat yang ada di tangannya ke tanah, beliau berkata sebagaimana firman Allah Subhanahu wata’ala,

بِئْسَمَا خَلَفْتُمُونِي مِن بَعْدِي ۖ أَعَجِلْتُمْ أَمْرَ رَبِّكُمْ

“Alangkah buruknya perbuatan yang kamu kerjakan sesudah kepergianku! Apakah kamu hendak mendahului janji Rabbmu?” (al-A’raf: 150)

Tidak sampai di situ saja, beliau mengira bahwa saudaranya, Harun ‘alaihis salam, kurang maksimal dalam mengingatkan dan membimbing kaumnya, sehingga beliau mencari Nabi Harun ‘alaihis salam lalu menarik kepala dan janggut Nabi Harun ‘alaihis salam, seraya berkata sebagaimana firman Allah Subhanahu wata’ala,

قَالَ يَا هَارُونُ مَا مَنَعَكَ إِذْ رَأَيْتَهُمْ ضَلُّوا ( ) أَلَّا تَتَّبِعَنِ ۖ أَفَعَصَيْتَ أَمْرِي

“Hai Harun, apa yang menghalangi kamu ketika kamu melihat mereka telah sesat, (sehingga) kamu tidak mengikuti aku? Apakah kamu telah (sengaja) mendurhakai perintahku?” (Thaha: 92-93)

Nabi Harun ‘alaihis salam pun berkata kepada saudaranya, sebagaimana dalam firman Allah Subhanahu wata’ala,

قَالَ يَا ابْنَ أُمَّ لَا تَأْخُذْ بِلِحْيَتِي وَلَا بِرَأْسِي ۖ إِنِّي خَشِيتُ أَن تَقُولَ فَرَّقْتَ بَيْنَ بَنِي إِسْرَائِيلَ وَلَمْ تَرْقُبْ قَوْلِي

“Hai putra ibuku, janganlah kamu pegang jenggotku dan jangan (pula) kepalaku. Sesungguhnya aku khawatir bahwa kamu akan berkata (kepadaku), ‘Kamu telah memecah antara bani Israil dan kamu tidak memelihara amanatku’.” (Thaha: 94)

Memang, Nabi Harun ‘alaihis salam tidak diam begitu saja dan membiarkan mereka melakukan kesyirikan. Namun, karena bani Israil yang menyembah patung anak sapi itu menganggapnya lemah, mereka hampir membunuh beliau.

Di sisi lain, orang-orang Yahudi dan Nasrani justru menganggap bahwa Nabi Harunlah yang membuatkan patung itu untuk bani Israil. Alangkah kejinya tuduhan mereka ini.

Sangat disayangkan pula sikap sebagian kaum muslimin. Di manakah sentimen keagamaan mereka terhadap salah seorang Nabi Allah Subhanahu wata’ala yang mulia? Relakah mereka Nabi Harun ‘alaihis salam yang dimuliakan oleh Allah Subhanahu wata’ala dilecehkan begitu rupa dan dianggap sebagai pendukung kesyirikan?

Orang-orang Yahudi tidak pernah memuliakan para nabi dan rasul yang datang kepada mereka. Jangankan terhadap para nabi dan rasul, Allah Subhanahu wata’ala juga tidak lepas dari sikap pelecehan mereka.

Lebih menyedihkan lagi, adanya sebagian kaum muslimin yang ditokohkan, menganggap diamnya Nabi Harun ‘alaihis salam adalah sikap toleran terhadap perbedaan pendapat meskipun dalam urusan tauhid dan syirik. Tidakkah dia memerhatikan alasan Nabi Harun ‘alaihis salam Tidakkah dia membaca bahwa ketika itu Nabi Musa ‘alaihis salam sedang tidak ada bersama mereka? Tidakkah dia membayangkan seandainya Nabi Harun ‘alaihis salam menumpas orang-orang musyrik itu, lalu ditanya oleh Nabi Musa ‘alaihis salam setelah tiba di tengah-tengah bani Israil, apa yang terjadi dengan bani Israil? Ke mana 70.000 orang bani Israil lainnya? Apa jawaban yang akan beliau berikan kepada Nabi Musa ‘alaihis salam melihat bani Israil musnah?

Tidakkah dia memerhatikan bagaimana Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam tidak memberi peluang sedikit pun kepada kesyirikan? Beliau Shallallahu ‘alaihi wasallam tidak mengizinkan penduduk Thaif masih menyimpan berhala pujaan  mereka meskipun hanya sehari? Tokoh itu pula yang menyatakan bahwa permusuhan kita dengan Yahudi bukan dalam urusan agama, tetapi tanah/wilayah. Semoga Allah Subhanahu wata’ala memberinya petunjuk agar bertobat.

Kepada anak-anak kaum muslimin yang tertipu oleh penampilan Yahudi dan Nasrani, masihkah mereka beriman kepada al-Qur’anul Karim? Tidakkah mereka yakin bahwa al-Qur’an ini menyempurnakan semua kitab agama yang terdahulu? Terhadap hadits Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam, mereka berani menolaknya kalau tidak sesuai dengan al-Qur’an, meskipun sanadnya sahih, tetapi mengapa terhadap kitab-kitab yang tidak jelas kebenarannya, keasliannya, bahkan tidak mempunyai sanad yang sahih sampai kepada nabi mereka, boleh diterima mentah-mentah, tidak dihadapkan kepada al-Qur’an untuk dinilai benar atau tidaknya? Bahkan, dijadikan acuan untuk menilai dan mengoreksi ajaran Islam?

Wallahul musta’an.

Bukankah dengan jelas Allah Subhanahu wata’ala berfirman, menceritakan upaya Nabi Harun ‘alaihis salam memberi peringatan agar bani Israil tidak berbuat syirik?

وَلَقَدْ قَالَ لَهُمْ هَارُونُ مِن قَبْلُ يَا قَوْمِ إِنَّمَا فُتِنتُم بِهِ ۖ وَإِنَّ رَبَّكُمُ الرَّحْمَٰنُ فَاتَّبِعُونِي وَأَطِيعُوا أَمْرِي () قَالُوا لَن نَّبْرَحَ عَلَيْهِ عَاكِفِينَ حَتَّىٰ يَرْجِعَ إِلَيْنَا مُوسَىٰ

“Dan sesungguhnya Harun telah berkata kepada mereka sebelumnya,“Hai kaumku, sesungguhnya kamu hanya diberi cobaan dengan anak lembu itu dan sesungguhnya Rabbmu ialah Allah yang Maha Pemurah, maka ikutilah aku dan taatilah perintahku.” Mereka menjawab,“Kami akan tetap menyembah patung anak lembu ini, hingga Musa kembali kepada kami.” (Thaha: 90—91)

Cukuplah Allah Subhanahu wata’ala menjadi saksi bahwa Nabi Harun ‘alaihis salam telah berusaha melarang dan mencegah mereka dengan sekeras-kerasnya.

Bagi orang-orang Yahudi dan Nasrani, kalau mereka beriman kepada Allah Subhanahu wata’ala dan memuliakan para nabi dari kalangan mereka, yang jelas-jelas penerus bapak moyang mereka -Ibrahim ‘alaihis salam– mereka semestinya mencabut tuduhan mereka terhadap Nabi Harun ‘alaihis salam. Sebab, bukan Nabi Harun ‘alaihis salam yang membuatkan patung anak sapi emas itu, bahkan beliau tidak pernah menyetujui perbuatan bani Israil yang menyembah patung anak sapi tersebut. Yahudi dan Nasrani juga harus meyakini dan menerima bahwa memang Samirilah yang menyesatkan bani Israil.

Hendaknya mereka lebih dahulu dapat membuktikan keaslian dan kemurnian kitab yang ada di tangan mereka, terutama dalam segi sanadnya. Rawi-rawinya harus bersih dari cacat sampai kepada nabi mereka, dan ini tidak mungkin mereka lakukan kecuali mengada-ada.

Sebab itu, kaum mukminin, baik dari kalangan ahli kitab yang masuk Islam maupun bukan, mereka sangat yakin bahwa kitab yang ada di tangan ahli kitab tidak lagi asli sebagaimana diturunkan kepada Nabi Musa dan ‘Isa ‘alaihimassalam. Oleh sebab itu, tidak mungkin kitab yang mereka anggap dari Nabi Musa dan ‘Isa ‘alaihimassalam tersebut dapat dijadikan acuan untuk mengoreksi al-Qur’an.

Bahkan, seharusnya al-Qur’an-lah yang mereka jadikan acuan untuk mengoreksi kitab-kitab tersebut. Dengan kenyataan tidak aslinya kitab yang ada di tangan mereka sebagaimana diterima oleh Nabi Musa dan ‘Isa ‘alaihimassalam, sudah tentu keraguan mereka tentang Samiri yang disebutkan dalam al-Qur’an tidak beralasan sama sekali.

Selain itu, apakah pantas seorang nabi yang mulia seperti Nabi Harun ‘alaihis salam menyetujui kesyirikan, bahkan mendukungnya dengan menyediakan sarananya? Mahasuci Allah, sungguh itu adalah tuduhan yang sangat keji. Siapa pun yang mengaku beriman, tentu memuliakan para nabi yang diutus oleh Allah ‘azza wa jalla.

Kita kembali kepada kisah ini.

Setelah menerima jawaban Nabi Harun ‘alaihis salam, Nabi Musa ‘alaihis salam berdoa kepada Allah Subhanahu wata’ala memintakan ampunan untuk dirinya dan saudaranya yang mulia ini, ‘alaihimassalam. Orang-orang yang tergoda ikut menyembah patung anak sapi itu akhirnya sadar, mereka merasa berdosa,

وَلَمَّا سُقِطَ فِي أَيْدِيهِمْ وَرَأَوْا أَنَّهُمْ قَدْ ضَلُّوا قَالُوا لَئِن لَّمْ يَرْحَمْنَا رَبُّنَا وَيَغْفِرْ لَنَا لَنَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ

“Dan setelah mereka sangat menyesali perbuatannya dan mengetahui bahwa mereka telah sesat, mereka pun berkata, “Sungguh, jika Rabb kami tidak memberi rahmat kepada kami dan tidak mengampuni kami, pastilah kami menjadi orang-orang yang merugi.” (al-A’raf: 149)

Mereka pun datang menemui Nabi Musa ‘alaihis salam dan menanyakan cara bertobat dari dosa tersebut. Allah Subhanahu wata’ala berfirman,

وَإِذْ قَالَ مُوسَىٰ لِقَوْمِهِ يَا قَوْمِ إِنَّكُمْ ظَلَمْتُمْ أَنفُسَكُم بِاتِّخَاذِكُمُ الْعِجْلَ فَتُوبُوا إِلَىٰ بَارِئِكُمْ فَاقْتُلُوا أَنفُسَكُمْ ذَٰلِكُمْ خَيْرٌ لَّكُمْ عِندَ بَارِئِكُمْ فَتَابَ عَلَيْكُمْ ۚ إِنَّهُ هُوَ التَّوَّابُ الرَّحِيمُ

“Dan (ingatlah), ketika Musa berkata kepada kaumnya, “Hai kaumku, sesungguhnya kamu telah menganiaya dirimu sendiri karena kamu telah menjadikan anak lembu (sembahanmu), maka bertobatlah kepada Bari’ (Allah Yang Menjadikan) kamu dan bunuhlah dirimu. Hal itu lebih baik bagimu pada sisi Rabb yang menjadikan kamu; maka Allah akan menerima tobatmu. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang.” (al-Baqarah: 54)

Ayat ini menerangkan bahwa Allah Subhanahu wata’ala menerima tobat mereka setelah mereka membunuh diri mereka. Ibnu Katsir rahimahullah menukilkan bahwa mereka yang bunuh diri itu hampir mencapai 70.000 orang. Kemudian, Allah ‘azza wa jalla berfirman,

قَالَ فَمَا خَطْبُكَ يَا سَامِرِيُّ ( ) قَالَ بَصُرْتُ بِمَا لَمْ يَبْصُرُوا بِهِ فَقَبَضْتُ قَبْضَةً مِّنْ أَثَرِ الرَّسُولِ فَنَبَذْتُهَا وَكَذَٰلِكَ سَوَّلَتْ لِي نَفْسِي ( ) قَالَ فَاذْهَبْ فَإِنَّ لَكَ فِي الْحَيَاةِ أَن تَقُولَ لَا مِسَاسَ ۖ وَإِنَّ لَكَ مَوْعِدًا لَّن تُخْلَفَهُ ۖ وَانظُرْ إِلَىٰ إِلَٰهِكَ الَّذِي ظَلْتَ عَلَيْهِ عَاكِفًا ۖ لَّنُحَرِّقَنَّهُ ثُمَّ لَنَنسِفَنَّهُ فِي الْيَمِّ نَسْفًا ( ) إِنَّمَا إِلَٰهُكُمُ اللَّهُ الَّذِي لَا إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ ۚ وَسِعَ كُلَّ شَيْءٍ عِلْمًا ( ) كَذَٰلِكَ نَقُصُّ عَلَيْكَ مِنْ أَنبَاءِ مَا قَدْ سَبَقَ ۚ وَقَدْ آتَيْنَاكَ مِن لَّدُنَّا ذِكْرًا ( ) مَّنْ أَعْرَضَ عَنْهُ فَإِنَّهُ يَحْمِلُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وِزْرًا

Musa berkata, “Apakah yang mendorongmu (berbuat demikian), hai Samiri?” Samiri menjawab, “Aku mengetahui sesuatu yang mereka tidak mengetahuinya, maka aku ambil segenggam dari jejak rasul lalu aku melemparkannya, dan demikianlah nafsuku membujukku.” Musa berkata, “Pergilah kamu, maka sesungguhnya bagimu di dalam kehidupan di dunia ini (hanya dapat) mengatakan, ‘Janganlah menyentuh (aku).’ Dan sesungguhnya bagimu hukuman (di akhirat) yang kamu sekali-kali tidak dapat menghindarinya, dan lihatlah sesembahanmu itu yang kamu tetap menyembahnya. Sesungguhnya kami akan membakarnya, kemudian kami sungguh-sungguh akan menghamburkannya ke dalam laut (berupa abu yang berserakan). Sesungguhnya sesembahanmu hanyalah Allah, yang tidak ada sesembahan yang haq selain Dia. Pengetahuan-Nya meliputi segala sesuatu.” (Thaha: 95-98)

Meskipun singkat, ternyata kecintaan menyembah patung anak sapi itu benar-benar meresap ke dalam hati sebagian besar bani Israil. Oleh sebab itu, Nabi Musa ‘alaihis salam menghancurkan patung itu dengan membakarnya, lalu menghamburkannya ke dalam laut sambil disaksikan oleh seluruh bani Israil. Semua itu agar mereka melihat bahwa benda yang mereka sembah selain Allah Subhanahu wata’ala itu tidak berdaya apa-apa. Tidak mampu menyelamatkan dirinya sedikit pun, sehingga bagaimana mungkin dia dapat menyelamatkan orang-orang yang menyembahnya? Dengan lenyapnya wujud patung itu, hilang pula rasa cinta terhadap benda yang tidak memberi manfaat atau mudarat tersebut.

Ingat kembali kisah ‘Amr bin Jumuh radhiyallahu ‘anhu sebelum masuk Islam.

Alangkah lemah akal dan keyakinan orang-orang berbuat syirik, dan alangkah indahnya perumpamaan yang dibuat oleh Allah ‘azza wa jalla di dalam al-Qur’anul Karim,

يَا أَيُّهَا النَّاسُ ضُرِبَ مَثَلٌ فَاسْتَمِعُوا لَهُ ۚ إِنَّ الَّذِينَ تَدْعُونَ مِن دُونِ اللَّهِ لَن يَخْلُقُوا ذُبَابًا وَلَوِ اجْتَمَعُوا لَهُ ۖ وَإِن يَسْلُبْهُمُ الذُّبَابُ شَيْئًا لَّا يَسْتَنقِذُوهُ مِنْهُ ۚ ضَعُفَ الطَّالِبُ وَالْمَطْلُوبُ

“Hai manusia, telah dibuat perumpamaan, maka dengarkanlah olehmu perumpamaan itu. Sesungguhnya segala yang kamu seru selain Allah sekali-kali tidak dapat menciptakan seekor lalat pun, walaupun mereka bersatu menciptakannya. Jika lalat itu merampas sesuatu dari mereka, tiadalah mereka dapat merebutnya kembali dari lalat itu. Amat lemahlah yang menyembah dan amat lemah (pulalah) yang disembah.” (al-Hajj: 73)

Jelaslah, semua yang diibadahi selain Allah ‘azza wa jalla, baik itu dari kalangan malaikat yang didekatkan maupun nabi yang diutus, tidak akan pernah mampu menciptakan sesuatu. Sudah tentu, selain dua golongan makhluk yang mulia ini tidak pula berdaya apa-apa. Adakah yang mau mengambil pelajaran?

Sekilas Tentang Samiri

Samiri ini, menurut sebagian ahli tarikh, adalah salah seorang bani Israil yang terasing di antara mereka. Ada pula yang berpendapat lain, dia termasuk penduduk Karman atau Bajarma, dan nama aslinya adalah Mikha, atau Musa bin Zhafar. Samiri adalah penisbatan kepada salah satu kabilah bani Israil.

Dahulu, Samiri bergaul dengan orang-orang yang menyembah patung anak sapi, sehingga cintanya kepada anak sapi benar-benar merasuk tulang. Setelah Fir’aun tenggelam dan bani Israil menyeberangi Laut Merah dengan selamat, mereka melewati sebuah negeri yang penduduknya menyembah anak sapi. Melihat keadaan penduduk tersebut, mereka pun berkata kepada Nabi Musa ‘alaihis salam, sebagaimana firman Allah Subhanahu wata’ala,

قَالُوا يَا مُوسَى اجْعَل لَّنَا إِلَٰهًا كَمَا لَهُمْ آلِهَةٌ

“Hai Musa, buatlah untuk kami satu sesembahan sebagaimana mereka mempunyai beberapa sesembahan.” (al-A’raf: 138)

Dari sinilah muncul ambisi Samiri untuk mengajak bani Israil menyembah patung anak sapi. Dia teringat ketika Jibril berada di depan pasukan Fir’aun menggiring mereka memasuki laut yang terbelah. Waktu itu Jibril berada di atas kendaraannya, dan Samiri melihat jejak kaki kuda Jibril tersebut.

Kemudian Samiri mengambil segenggam tanah bekas jejak kaki kuda itu dan menyimpannya dalam sebuah kantong. Ketika bani Israil melemparkan emas dan perhiasan mereka ke dalam api yang sedang berkobar melahap perhiasan tersebut hingga meleleh, Samiri melemparkan tanah  yang disimpannya ke tumpukan emas yang sudah meleleh dalam kobaran api itu sambil berkata, “Jadilah anak sapi!”

Dengan kekuasaan Allah Subhanahu wata’ala, cairan emas dan perhiasan itu menjadi patung seekor anak sapi yang mengeluarkan suara. Hal ini semakin membenamkan bani Israil ke dalam fitnah (ujian) karena kebodohan mereka. Menurut Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, patung itu bersuara karena angin yang masuk dari dubur sapi itu dan keluar dari mulut. Wallahu a’lam.

Bagaimana Samiri mengenali Jibril? Wallahu a’lam, sebagian orang menceritakan bahwa ketika Fir’aun membantai anak laki-laki bani Israil, ibu Samiri juga berusaha menyelamatkan putranya, seperti halnya ibu Nabi Musa ‘alaihis salam.

Samiri disembunyikan di dalam sebuah gua oleh ibunya lalu ditinggal pergi. Diceritakan mereka bahwa Allah Subhanahu wata’ala mengutus Jibril merawat bayi ini untuk satu urusan yang sudah ditentukan oleh Allah ‘azza wa jalla. Sejak saat itulah Samiri mengenal Jibril. Ketika bani Israil menyeberangi laut bersama Nabi Musa dan Harun alaihimassalam, Jibril berada di depan rombongan itu di atas kudanya.

Samiri mengenalinya, lalu mengambil bekas tapak kaki kuda Jibril yang membuat tanah yang diinjaknya menghijau.

Menurut sebagian ahli kitab, nama Samiri adalah penisbatan kepada kota Samirah yang dibangun seratus tahun sesudah Nabi Musa alaihis salam. Jadi, tidak mungkin yang menyesatkan bani Israil sehingga menyembah patung anak sapi salah seorang penduduk kota yang munculnya seratus tahun kemudian.

Dari sinilah mereka menganggap al-Qur’an salah dan mengatakan bahwa Nabi Harun alaihis salam -lah yang membuat patung tersebut. Semoga Allah Subhanahu wata’ala membinasakan mereka.

Di dalam kitab-kitab Israiliyat sendiri, dia mempunyai nama yang sama dengan Nabi Harun bin ‘Imran, saudara Nabi Musa alaihis salam, yaitu Harun as-Samiri.

Dari sini pula, entah karena sengaja atau karena kebodohan, mereka menuduh Nabi Harun-lah yang menyesatkan bani Israil. Wallahul musta’an.

Yang jelas, al-Qur’anul Karim menyebut nama ini, dan berarti tokoh ini ada, entah dengan nama sebagaimana yang termaktub dalam al-Qur’anul Karim, atau dengan nama dalam bahasa Ibrani lalu disesuaikan dengan dialek Arab.

Pelajaran dari Kisah Ini

Dari rangkaian kisah bani Israil bersama Nabi Musa dan Harun ‘alaihimassalam sampai mereka disesatkan oleh Samiri ini, dapat kita petik beberapa hikmah, di antaranya sebagai berikut.

  • Luasnya kasih sayang dan karunia Allah Subhanahu wata’ala kepada bani Israil, sehingga sudah sepantasnya mereka bersyukur dan semakin taat kepada-Nya.
  • Kebenaran itu tidak diukur berdasarkan jumlah yang banyak.
  • Orang yang lama terbenam dalam kebatilan dan baru sesaat meninggalkannya, sangat dikhawatirkan sisa-sisa kebatilan itu masih bersemayam di dalam hatinya.

Keadaan ini pernah dialami oleh para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam. Tetapi, setelah mendapat teguran keras dari Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam, mereka tidak lagi mempunyai keinginan untuk melakukan kesyirikan itu. Inilah salah satu keutamaan para sahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam.

  • Orang-orang yang berbuat syirik sama sekali tidak memiliki hujah yang mendukung kesyirikan mereka.
  • Syirik adalah pelanggaran terhadap hak asasi paling utama, yaitu hak Allah ‘azza wa jalla. Sebab itu, para nabi yang diutus oleh Allah Subhanahu wata’ala selalu mengingatkan bahaya syirik ini dan melarang umatnya melakukan syirik. Tidak mungkin mereka melegalkan apalagi mendukung atau menyiapkan sarana kesyirikan, meskipun sekejap.
  • Rahmat Allah Subhanahu wata’ala terhadap umat Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam dengan tidak menetapkan syariat keharusan bunuh diri sebagai cara untuk bertobat.

Wallahu a’lam.

Ditulis Oleh : al Ustadz Abu Muhammad Harits

Bani Israil