Bersedekahlah

Sudah menjadi kecenderungannya, manusia amat mencintai materi atau harta yang menjadi miliknya. Saat lapang saja ia demikian, terlebih lagi pada saat sempit. Padahal Islam senantiasa menganjurkan umatnya untuk bersedekah pada saat sulit sekalipun.

Allah azza wa jalla berfirman,

مَّثَلُ ٱلَّذِينَ يُنفِقُونَ أَمۡوَٰلَهُمۡ فِي سَبِيلِ ٱللَّهِ كَمَثَلِ حَبَّةٍ أَنۢبَتَتۡ سَبۡعَ سَنَابِلَ فِي كُلِّ سُنۢبُلَةٍ مِّاْئَةُ حَبَّةٍۗ وَٱللَّهُ يُضَٰعِفُ لِمَن يَشَآءُۚ وَٱللَّهُ وَٰسِعٌ عَلِيمٌ

“Perumpamaan nafkah yang dikeluarkan oleh orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipatgandakan ganjaran bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Mahaluas karunia-Nya lagi Maha Mengetahui.” (al-Baqarah: 261)

ٱلَّذِينَ يُنفِقُونَ أَمۡوَٰلَهُم بِٱلَّيۡلِ وَٱلنَّهَارِ سِرًّا وَعَلَانِيَةً فَلَهُمۡ أَجۡرُهُمۡ عِندَ رَبِّهِمۡ وَلَا خَوۡفٌ عَلَيۡهِمۡ وَلَا هُمۡ يَحۡزَنُونَ

“Orang-orang yang menafkahkan hartanya di malam dan siang hari secara sembunyi dan terang-terangan, maka mereka mendapatkan pahala di sisi Rabb mereka. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak pula mereka bersedih hati.” (al-Baqarah: 274)

Keutamaan bersedekah sudah kita maklumi. Karena keutamaannya yang besar, syariat yang mulia ini banyak mendorong kita untuk mengeluarkan sedekah. Dorongan tersebut tidak hanya ditujukan kepada lelaki, tetapi juga kepada kaum perempuan. Allah azza wa jalla berfirman dalam kitab-Nya yang agung,

إِنَّ ٱلۡمُسۡلِمِينَ وَٱلۡمُسۡلِمَٰتِ وَٱلۡمُؤۡمِنِينَ وَٱلۡمُؤۡمِنَٰتِ وَٱلۡقَٰنِتِينَ وَٱلۡقَٰنِتَٰتِ وَٱلصَّٰدِقِينَ وَٱلصَّٰدِقَٰتِ وَٱلصَّٰبِرِينَ وَٱلصَّٰبِرَٰتِ وَٱلۡخَٰشِعِينَ وَٱلۡخَٰشِعَٰتِ وَٱلۡمُتَصَدِّقِينَ وَٱلۡمُتَصَدِّقَٰتِ وَٱلصَّٰٓئِمِينَ وَٱلصَّٰٓئِمَٰتِ وَٱلۡحَٰفِظِينَ فُرُوجَهُمۡ وَٱلۡحَٰفِظَٰتِ وَٱلذَّٰكِرِينَ ٱللَّهَ كَثِيرًا وَٱلذَّٰكِرَٰتِ أَعَدَّ ٱللَّهُ لَهُم مَّغۡفِرَةً وَأَجۡرًا عَظِيمًا

“Sesungguhnya laki-laki dan perempuan yang muslim, laki-laki dan perempuan yang mukmin, laki-laki dan perempuan yang tetap dalam ketaatannya, laki-laki dan perempuan yang jujur, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyuk, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut nama Allah (berzikir), Allah telah menyediakan untuk mereka ampunan dan pahala yang besar.” (al-Ahzab: 35)

Baca juga:

Allah Musnahkan Riba dan Suburkan Sedekah

Dalam surah lain, Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

إِنَّ ٱلۡمُصَّدِّقِينَ وَٱلۡمُصَّدِّقَٰتِ وَأَقۡرَضُواْ ٱللَّهَ قَرۡضًا حَسَنًا يُضَٰعَفُ لَهُمۡ وَلَهُمۡ أَجۡرٌ كَرِيمٌ

“Sesungguhnya orang-orang yang bersedekah baik laki-laki maupun perempuan serta meminjamkan kepada Allah pinjaman yang baik, niscaya akan dilipatgandakan (pembayarannya) kepada mereka dan mereka akan beroleh pahala yang banyak.” (al-Hadid: 18)

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam yang mulia pun turut memberi dorongan kepada para wanita untuk bersedekah, sebagaimana dalam hadits Ibnu Abbas radhiallahu anhuma. Ia bertutur,

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَّى يَوْمَ الْفِطْرِ رَكْعَتَيْنِ لَمْ يُصَلِّ قَبْلَهَا وَلاَ بَعْدَهَا، ثُمَّ أَتَى النِّسَاءَ وَمَعَهُ بِلاَلٌ، فَأَمَرَهُنَّ بِالصَّدَقَةِ فَجَعَلْنَ يُلْقِيْنَ، تُلْقِي الْمَرْأَةُ خُرْصَهَا وَسِخَابَهَا

“Nabi shallallahu alaihi wa sallam shalat dua rakaat pada hari Idul Fitri. Beliau tidak shalat sebelum dan sesudahnya. Kemudian (setelah menyampaikan khotbah kepada hadirin) beliau mendatangi tempat para wanita dan Bilal menyertai beliau. Beliau memerintah mereka untuk bersedekah. Mulailah mereka melemparkan perhiasan mereka (ke kain yang dibentangkan Bilal untuk menampung sedekah). Ada wanita yang melemparkan anting-anting dan kalungnya.” (HR. al-Bukhari no. 964 dan Muslim no. 2054)

Asma bintu Abi Bakr radhiallahu anha berkata,

قُلْتُ: يَا رَسُوْلَ اللهِ، مَالِي مَالٌ إِلاَّ مَا أَدْخَلَ عَلَيَّ الزُّبَيْرُ، فَأَتَصَدَّقُ؟ قَالَ: تَصَدَّقِي وَلاَ تُوْعِي فَيُوْعَى عَلَيْكِ

Aku berkata, “Wahai Rasulullah, aku tidak memiliki harta kecuali apa yang dimasukkan oleh az-Zubair untukku. Apakah boleh aku menyedekahkannya?” Beliau bersabda, “Bersedekahlah. Jangan engkau kumpul-kumpulkan hartamu dalam wadah dan enggan memberikan infak. (Jika engkau melakukannya,) niscaya Allah akan menyempitkan rezekimu.” (HR. al-Bukhari no. 2590 dan Muslim no. 2375)

Baca juga:

Bakhil Terhadap Karunia Allah

Sampai pun seorang wanita tidak memiliki kelebihan kecuali sedikit harta atau makanan, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam tetap mendorongnya untuk bersedekah dan tidak menahannya, terutama kepada tetangganya. Abu Hurairah radhiallahu anhu menyampaikan bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

يَا نِسَاءَ الْمُسْلِمَاتِ، لاَ تَحْقِرَنَّ جَارَةٌ لِجَارَتِهَا وَلَوْ فِرْسِنَ شَاةٍ

“Wahai wanita-wanita muslimah! Janganlah seorang tetangga meremehkan untuk memberikan sedekah kepada tetangganya walaupun hanya sepotong kaki kambing.” (HR. al-Bukhari no. 6017 dan Muslim no. 2376)

An-Nawawi rahimahullah menerangkan,

“Janganlah seorang wanita enggan memberi sedekah dan hadiah kepada tetangganya karena kekurangan yang ada pada dirinya dan meremehkan apa yang hendak diberikannya. Namun, hendaklah ia bersifat dermawan, memberi apa yang mudah baginya untuk diberikan walaupun hanya sedikit, seperti sepotong kaki kambing. Itu lebih baik daripada tidak memberi sama sekali.

Allah azza wa jalla telah berfirman,

فَمَن يَعۡمَلۡ مِثۡقَالَ ذَرَّةٍ خَيۡرًا يَرَهُۥ

“Siapa yang beramal kebaikan walaupun hanya seberat semut yang sangat kecil niscaya ia akan melihat balasannya.” (az-Zalzalah: 7)

Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

اتَّقُوْا النَّارَ وَلَوْ بِشِقِّ تَمْرَةٍ

“Takutlah kalian kepada api neraka walaupun (untuk menjaga diri dari neraka tersebut) kalian hanya dapat bersedekah dengan sepotong belahan kurma.”[1] (al-Minhaj, 7/121)

Baca juga:

Jangan Meremehkan Satu Kebaikan Pun

Ketika Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam menyebutkan bahwa kaum wanita paling banyak menjadi penghuni neraka, beliau shallallahu alaihi wa sallam memerintah mereka untuk banyak bersedekah. Abu Sa’id al-Khudri radhiallahu anhu menuturkan,

“Dalam satu hari raya, Idul Adha atau Idul Fitri, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam keluar menuju tanah lapang. Beliau melewati para wanita dan bersabda,

يَا مَعْشَرَ النِّسَاءِ تَصَدَّقْنَ، فَإِنِّي أُرِيْتُكُنَّ أَكْثَرَ أَهْلِ النَّارِ

“Wahai sekalian kaum wanita, bersedekahlah. Sebab, diperlihatkan kepadaku mayoritas penduduk neraka adalah kalian.” (HR. al-Bukhari no. 304)

Kaum wanita diperintah bersedekah karena mayoritas mereka penghuni neraka. Dengan demikian, sedekah yang mereka keluarkan dapat menolak azab api neraka dengan izin Allah azza wa jalla. Selain itu juga dengan banyak beristigfar, sebagaimana tambahan dalam riwayat Muslim dari hadits Ibnu Umar radhiallahu anhuma,

يَا مَعْشَرَ النِّسَاءِ تَصَدَّقْنَ وَأَكْثِرْنَ الْاِسْتِغْفَرَ، فَإِنِّي رَأَيْتُكُنَّ أَكْثَرَ أَهْلِ النَّارِ

“Wahai sekalian kaum wanita, bersedekahlah dan perbanyaklah istigfar (meminta ampun). Sebab, aku melihat mayoritas penduduk neraka adalah kalian.” (HR. Muslim no. 238)

Boleh Bersedekah kepada Suami dan Anak

Sedekah yang utama adalah yang diberikan kepada kerabat terdekat. Karena itu, seorang wanita boleh memberikan sedekah kepada suaminya. Bahkan, dia boleh mengeluarkan zakatnya untuk suaminya apabila suaminya termasuk orang yang berhak memperolehnya. Artinya, suaminya termasuk orang yang tersebut dalam firman-Nya,

ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ وَهَاجَرُواْ وَجَٰهَدُواْ فِي سَبِيلِ ٱللَّهِ بِأَمۡوَٰلِهِمۡ وَأَنفُسِهِمۡ أَعۡظَمُ دَرَجَةً عِندَ ٱللَّهِۚ وَأُوْلَٰٓئِكَ هُمُ ٱلۡفَآئِزُونَ

“Sesungguhnya sedekah (zakat) itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para muallaf yang dibujuk hatinya, untuk memerdekakan budak, orang-orang yang terlilit hutang, untuk fi sabilillah, dan ibnusabil (musafir)….” (at-Taubah: 60)

Ini merupakan pendapat jumhur ulama, sebagaimana dinukilkan oleh Imam ash-Shan’ani rahimahullah dalam Subulus Salam (4/67).

Al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalani rahimahullah berkata,

“Ulama berdalil dengan hadits ini (hadits Zainab ats-Tsaqafiyah radhiallahu anha yang akan disebutkan, pent.) untuk membolehkan seorang wanita memberikan zakatnya kepada suaminya. Ini merupakan pendapat Imam asy-Syafi’i, ats-Tsauri, dua murid Abu Hanifah, dan salah satu dari dua riwayat Imam Malik dan Imam Ahmad.” (Fathul Bari, 3/415)

Imam asy-Syaukani rahimahullah menyatakan,

“Yang tampak, istri boleh menyerahkan zakatnya kepada suaminya. Alasan pertama, tidak ada larangan dalam hal ini. Siapa yang mengatakan tidak boleh, hendaklah ia mendatangkan dalil. Alasan kedua (dalam hadits Zainab radhiallahu anha, -pent.) Nabi shallallahu alaihi wa sallam tidak meminta perincian[2].

Artinya, sedekah yang dimaksud adalah umum (mencakup yang sunnah dan yang wajib). Karena beliau tidak meminta perincian tentang sedekah tersebut apakah sifatnya sunnah ataukah wajib, seakan-akan beliau menyatakan (kepada Zainab), ‘Boleh bagimu memberikan sedekah kepada suamimu, sama saja baik sedekah yang fardu (yaitu zakat, -pent.) atau yang sunnah’.” (Nailul Authar, 4/224)

Baca juga:

Buah Kedermawanan

Zainab ats-Tsaqafiyah, istri Abdullah bin Mas’ud radhiallahu anhu, pernah minta izin menemui Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam. Ketika disebutkan nama Zainab, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bertanya,

يَا مَعْشَرَ النِّسَاءِ تَصَدَّقْنَ وَأَكْثِرْنَأَيُّ الزَّياَنِبِ؟

“Zainab yang mana?”

فَقِيْلَ: امْرَأَةُ ابْنِ مَسْعُوْدٍ.

Dijawab, “Istri Ibnu Mas’ud.”

قَالَ: نَعَمْ، ائْذنُوا لَهَا. فَأُذِنَ لَهَا، قَالَتْ: يَا نَبِيَّ اللهِ، إِنَّكَ أَمَرْتَ الْيَوْمَ بِالصَّدَقَةِ، وَكَانَ عِنْدِي حُلِّيٌ لِي، فَأَرَدْتُ أَنْ أَتَصَدَّقَ بِهَا، فَزَعَمَ ابْنُ مَسْعُوْدٍ أَنَّهُ وَوَلَدَهُ أَحَقُّ مَنْ تَصَدَّقْتُ بِهِ عَلَيْهِمْ.

Beliau berkata, “Ya, izinkan dia masuk.”

Zainab diizinkan masuk. Ia bertanya, “Wahai Nabiyullah! Engkau hari ini memerintah kami bersedekah. Aku memiliki perhiasan dan ingin menyedekahkannya. Namun, Ibnu Mas’ud menganggap bahwa dirinya dan anaknya adalah orang yang paling pantas memperoleh sedekahku.”

فَقَالَ النَّبِيُّ  صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: صَدَقَ ابْنُ مَسْعُوْدٍ، زَوْجُكِ وَوَلَدُكِ أَحَقُّ مَنْ تَصَدَّقْتِ بِهِ عَلَيهِمْ

Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Benar kata Ibnu Mas’ud. Suami dan anakmu adalah orang yang paling pantas mendapatkan sedekahmu tersebut.” (HR. al-Bukhari no. 1462)

Dalam riwayat lain disebutkan, dari Zainab ats-Tsaqafiyah radhiallahu anha,

كُنْتُ فِي الْمَسْجِدِ فَرَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَقَالَ: تَصَدَّقْنَ وَلَوْ مِنْ حُلِيِّكُنَّ.

Aku pernah berada dalam masjid. Ketika itu aku melihat Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda, “Bersedekahlah kalian (para wanita) walaupun dengan perhiasan kalian.”

وَكَانتْ زَيْنَبُ تُنْفِقُ عَلَى عَبْدِ اللهِ وَأَيْتَامٍ فِي حِجْرِهَا. فَقَالَتْ لِعَبْدِ اللهِ: سَلْ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، أَيَجْزِي عَنِّي أَنْ أُنْفِقَ عَلَيْكَ وَعَلَى أَيْتَامِي فِي حِجْرِيْ مِنَ الصَّدَقَةِ؟

Zainab biasa memberikan infak kepada Abdullah dan anak-anak yatim yang berada dalam pengasuhannya. Zainab berkata kepada Abdullah, “Tanyakan kepada Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, apakah boleh bagiku memberikan infak kepadamu dan kepada anak-anak yatim yang dalam asuhanku?

Baca juga:

Makna Menyambung Silaturahim akan Memanjangkan Umur

فَقَالَ: سَلِي أَنْتِ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ.

Abdullah berkata, “Kamu saja yang bertanya kepada Rasulullah.

فَانْطَلَقْتُ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَوَجَدْتُ امْرَأَةً مِنَ الْأَنْصَارِ عَلَى الْبَابِ، حَاجَتُهَا مِثْلُ حَاجَتِيْ.

Aku pergi ke tempat Nabi shallallahu alaihi wa sallam. Di depan pintu aku menjumpai seorang wanita dari kalangan Anshar. Keperluannya sama dengan keperluanku.

فَمَرَّ عَلَيْنَا بِلاَلٌ، فَقُلْنَا: سَلِ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيَجْزِي عَنِّي أَنْ أُنْفِقَ عَلَى زَوْجِي وَأَيْتاَمٍ لِي فِي حِجْرِي. وَقُلْنَا: لاَ تُخْبِرْ بِنَا.

Ketika itu Bilal melewati kami. Kami pun memanggilnya dan meminta kepadanya, “Tanyakan kepada Nabi shallallahu alaihi wa sallam, apakah boleh bagiku memberikan infak kepada suamiku dan kepada anak-anak yatimku yang dalam asuhanku?

Kami juga berpesan, “Jangan engkau beritahu kepada Nabi siapa kami berdua.

فَدَخَلَ فَسَأَلَهُ، فَقَالَ: مَنْ هُمَا؟ قَالَ: زَيْنَبُ. قَالَ: أَيُّ الزَّياَنِبِ؟ قَالَ: امْرَأَةُ عَبْدِ اللهِ. قَالَ: نَعَمْ، وَلَهَا أَجْرُ الْقَرَابَةِ وَأَجْرُ الصَّدَقَةِ

Bilal pun masuk ke tempat Nabi dan bertanya kepada beliau. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bertanya, “Siapa dua wanita yang bertanya itu?

Bilal menjawab, “Zainab.

“Zainab yang mana?” tanya Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam.

Bilal menjawab, “Istri Abdullah.

“Ya, boleh. Dia akan mendapatkan pahala karena menyambung hubungan kekerabatan dan pahala sedekah.” (HR. al-Bukhari no. 1466 dan Muslim no. 2315)

Suatu ketika Ummul Mukminin, Ummu Salamah radhiallahu anha bertanya kepada Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam,

أَلِيَ أَجْرٌ أَنْ أُنْفِقَ عَلَى بَنِي أَبِي سَلَمَةَ، إِنَّمَا هُمْ بَنِيَّ. فَقاَلَ: أَنْفِقِي عَلَيْهِمْ، فَلَكِ أَجْرُ مَا أَنْفَقْتَ عَلَيْهِمْ

“Apakah aku mendapatkan pahala apabila aku memberikan infak kepada anak-anak Abu Salamah[3]? Mereka itu anak-anakku sendiri.”

Rasulullah bersabda, “Berilah infak kepada mereka. Engkau akan mendapatkan pahala karena memberikan infak kepada mereka.” (HR. al-Bukhari no. 1467 dan Muslim no. 2317)

Boleh Bersedekah dengan Sesuatu yang Ada di Rumah Suami

Aisyah radhiallahu anha berkata, “Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا أَنْفَقَتِ الْمَرْأَةُ مِنْ طَعَامِ بَيْتِهَا غَيْرَ مُفْسِدَةٍ، كاَنَ لَهَا أَجْرُهَا بِمَا أَنْفَقَتْ وَلِزَوْجِهَا أَجْرُهُ بِمَا كَسَبَ

“Apabila seorang wanita menginfakkan makanan yang ada di rumahnya tanpa merusak, ia akan beroleh pahala infaknya. Demikian pula suaminya mendapatkan pahala dengan apa yang ia usahakan.” (HR. al-Bukhari no. 1437, 1441 dan Muslim no. 2361)

Imam ash-Shan’ani rahimahullah menerangkan bahwa makna sabda Nabi shallallahu alaihi wa sallam غَيْرَ مُفْسِدَةٍ  (tanpa merusak) ialah tidak berlebihan dalam infak tersebut, tidak memudaratkan, dan tidak menghabiskan harta. (Subulus Salam, 4/65)

Abu Hurairah radhiallahu anhu menyampaikan dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam,

إِذَا أَنْفَقَتِ الْمَرْأَةُ مِنْ كَسْبِ زَوْجِهَا عَنْ غَيْرِ أَمْرِهِ فَلَهَا نِصْفُ أَجْرِهِ

Apabila seorang wanita berinfak dari penghasilan suaminya tanpa diperintahkan oleh suaminya, ia beroleh setengah pahalanya.(HR. al-Bukhari no. 2066 dan Muslim no. 2367)

Berdasarkan hadits di atas, kita pahami bahwa seorang istri boleh menginfakkan harta suaminya walaupun tanpa seizin suaminya. Namun, yang jadi permasalahan, terdapat hadits yang menyelisihi hal ini, yaitu hadits Abu Umamah al-Bahili radhiallahu anhu. Ia berkata, “Aku pernah mendengar Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda dalam khotbahnya pada tahun haji Wada,

لاَ تُنْفِقُ امْرَأَةٌ شَيْئًا مِنْ بَيْتِ زَوْجِهَا إِلاَّ بِإِذْنِ زَوْجِهَا. قِيْلَ: يَا رَسُوْلَ اللهِ، وَلاَ الطَّعَامَ؟ قَالَ: ذَاكَ أَفْضَلُ أَمْوَالِنَا

Seorang wanita tidak boleh menginfakkan sesuatu dari rumah suaminya kecuali dengan izin suaminya. Ditanyakan kepada beliau, Wahai Rasulullah, walaupun makanan? Beliau menjawab, Makanan adalah harta kita yang paling utama. (HR. at-Tirmidzi no. 670, dinilai hasan Imam al-Albani rahimahullah dalam Shahih at-Tirmidzi)

Baca juga:

Berbuat Baik kepada Sesama

Imam an-Nawawi rahimahullah menerangkan,

“Ketahuilah, apabila seorang pekerja, yaitu khazin (penjaga harta tuannya), istri, dan budak ingin menginfakkan harta tuan/suaminya, ia harus mendapatkan izin dari si pemilik harta (atau suami) terlebih dahulu. Apabila sama sekali tidak ada izinnya, tidak ada pahala yang didapatkan oleh ketiga golongan tersebut. Ketiganya justru berdosa karena menggunakan harta orang lain tanpa seizin pemiliknya.

Izin ada dua macam. Yang pertama, izin yang jelas dalam hal nafkah dan sedekah. Yang kedua, izin yang dipahami dari kebiasaan, seperti memberikan sepotong roti kepada peminta-minta. Menurut kebiasaan yang terjadi, suami dan pemilik harta ridha. Dengan demikian, diperoleh izinnya walaupun ia tidak mengucapkannya. Hal ini tentunya apabila diketahui keridhaannya menurut kebiasaan dan diketahui bahwa dia memiliki jiwa kedermawaan dan keridhaan sebagaimana keumuman orang.

Apabila kebiasaannya tidak tetap dan keridhaannya diragukan, atau si pemilik harta/suami itu seorang yang pelit dan itu sudah diketahui, atau diragukan dari keadaannya, seorang istri dan selainnya tidak boleh menggunakan hartanya (untuk diinfakkan) kecuali mendapatkan izin yang jelas darinya.

Adapun sabda Nabi shallallahu alaihi wa sallam,

وَمَا أَنْفَقَتْ مِنْ كَسْبِهِ مِنْ غَيْرِ أَمْرِهِ فَإِنَّ نِصْفَ أَجْرِهِ لَهُ

“Apabila seorang istri berinfak dari penghasilan suaminya tanpa diperintahkan oleh suaminya, setengah pahalanya untuk si suami.”

Maknanya, tanpa perintah suaminya yang jelas (sharih) tentang ukuran harta yang diinfakkan tersebut. Namun, istri dahulu telah mendapatkan izin yang bersifat umum, mencakup kadar tersebut dan selainnya.”

Baca juga:

Hak Suami dalam Islam

An-Nawawi juga menyatakan,

“Ketahuilah, semua pengeluaran infak dari harta suami tanpa izinnya yang jelas (sharih) adalah sebatas kadar yang ringan, yang menurut kebiasaan ia ridha hartanya diberikan dalam kadar yang demikian. Apabila kadarnya melebihi kebiasaan, tidak dibolehkan.

Inilah makna dari sabda Nabi shallallahu alaihi wa sallam,

إِذَا أَنْفَقَتِ الْمَرْأَةُ مِنْ طَعَامِ بَيْتِهَا غَيْرَ مُفْسِدَةٍ

Beliau shallallahu alaihi wa sallam mengisyaratkan kadar harta yang diketahui bahwa suami biasanya ridha apabila hartanya diberikan sejumlah demikian.” (al-Minhaj, 7/114—115)

Ibnul Arabi al-Maliki rahimahullah berkata,

“Ulama terbagi menjadi dua pendapat ketika menjelaskan hadits ini.

Di antara mereka ada yang mengatakan bahwa istri boleh menginfakkan harta suaminya dalam kadar yang ringan (sedikit) yang tidak berpengaruh apabila dikeluarkan dari harta yang ada dan tidak begitu tampak pengeluarannya.

Pendapat kedua, istri boleh menginfakkan harta suaminya apabila suaminya telah mengizinkannya. Ini pendapat yang dipilih Imam al-Bukhari.

Adapun menurutku, hal itu mungkin dipahami sesuai dengan kebiasaan yang terjadi. Apabila istri tahu bahwa suaminya tidak benci/marah ketika hartanya diberikan atau disedekahkan, ia boleh melakukannya selama tidak menghabiskan harta tersebut.”

Ibnul Arabi menjelaskan bahwa makna غَيْرَ مُفْسِدَةٍ mengharuskan adanya izin suami secara sharih atau secara kebiasaan. Lafaz tersebut juga menunjukkan bahwa pemberian itu jumlahnya ringan/sedikit dan tidak menghabiskan harta. (‘Aridhatul Ahwadzi bi Syarhi Shahih at-Tirmidzi, 3/143—144)

Istri Boleh Menyedekahkan dan Menghibahkan Milik Pribadinya Tanpa Izin Suami

Ini merupakan pendapat yang dipegangi oleh jumhur ulama dan dilandasi oleh dalil-dalil yang sahih. Di antaranya ialah hadits Ibnu Abbas radhiallahu anhuma yang telah disebutkan tentang para wanita yang menyedekahkan perhiasan mereka ketika dianjurkan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam untuk bersedekah. Demikian pula hadits Asma bintu Abu Bakr radhiallahu anha.

Ummul Mukminin Maimunah bintu al-Harits radhiallahu anha mengabarkan bahwa ia pernah memerdekakan budak perempuannya tanpa meminta izin kepada Nabi shallallahu alaihi wa sallam.

Ketika hari gilirannya, ia berkata kepada suaminya, yakni Nabi shallallahu alaihi wa sallam, “Apakah Anda tahu, wahai Rasulullah, bahwa aku telah memerdekakan budak perempuanku?”

“Apakah engkau telah melakukannya?” tanya beliau meminta kepastian.

“Ya,” jawab Maimunah.

Beliau bersabda memberikan bimbingan,

أَمَّا إِنَّكِ لَوْ أَعْطَيْتِهَا أَخْوَالَكِ كَانَ أَعْظَمُ لِأَجْرِكِ

“Kalau budak perempuanmu itu engkau berikan kepada kerabat-kerabatmu dari pihak ibumu, niscaya lebih besar pahalanya bagimu (daripada engkau merdekakan, –pent.).” (HR. al-Bukhari no. 2592 dan Muslim no. 2314)

Sisi pendalilan dari hadits ini ialah Maimunah memerdekakan budaknya tanpa seizin suaminya. Ia baru menceritakannya setelah itu. Suaminya, yakni Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam, tidak menyalahkannya. Hanya saja, beliau memberikan bimbingan kepada Maimunah andai ia melakukan yang lebih utama, yaitu tidak memerdekakan budak tersebut, tetapi menghadiahkannya kepada kerabatnya.

Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.     


Catatan Kaki

[1] HR. al-Bukhari dan Muslim.

[2] Ketika ditanya sehubungan dengan masalah Zainab Ats-Tsaqafiyyah radhiallahu anha, apakah seorang istri boleh memberikan sedekahnya kepada suaminya. Beliau shallallahu alaihi wa sallam menyatakan kebolehannya tanpa mempertanyakan apakah sedekah tersebut sedekah yang sunnah atau yang wajib (zakat).

[3] Suaminya yang telah meninggal dunia.

Ditulis oleh Ustadzah Ummu Ishaq al-Atsariyah

 

hak istrihartaharta istriharta suamiinfakistri berinfakistri bersedekah kepada suamirumah tanggasedekah